Wednesday, September 7, 2016

IHYA ULUMIDDIN buku 1


Dalam upaya memenuhi perintah Nabi Adam as., bersilaturahim dan belajar kepada penerus-penerus Nabi Suci Muhammad saw. Kali ini ‘penjelajah ruang dan waktu pengayom dan pelindung alam semesta’, Semar dan Togog menemui Imam besar, ahli flisafat, fikih dan tasawuf yaitu Imam Ghazali, untuk mereguk dan menyelami lautan ilmu filsafat Islam dari kedalaman lautan fikir Imam tersebut. Semar dan Togog mengunjungi Imam Ghazali kira-kira beberapa hari sebelum Imam besar itu wafat pada tahun 505 H atau 1111 masehi.

Walau berpenampilan asing untuk bandingan dengan masyarakat masa beliau hidup. Karena mereka berpenampilan seperti budak belian dimasa beliau, tak berpakaian dan beralas-kaki. Yang seorang lelaki sangat gemuk putih kuning langsat berwajah menyenangkan, selalu tersenyum ramah, walau agak janggal untuk penampilan wajah manusia umumnya. Sedangkan kawannya bertubuh kurus berkulit kecokelatan dan tampak berwajah bengis, ketus, tegas dan sangat serius, akan tetapi beliau tidak melihat aura kekejaman dibalik kekerasan wajahnya, malah sang Imam menangkap aura kelembutan hati. Hal itu mengingatkan sang Imam Ghazali akan kisah wajah sahabat Rasulullah saw. yaitu Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khatab, yang konon kabarnya berwajah keras dan sulit tersenyum.

Walau berpenampilan seperti budak, namun aneh keduanya sangat bersih, rapih, tidak terlihat keringat dan debu-debu atau kotoran-kotoran yang menempel di tubuh dan pakaian keduanya. Pakaian yang dikenakannya juga memperlihatkan warna amat indah dan asing, mereka juga memakai perhiasan gelang, kalung dan ikat pinggang dari emas. Dan yang lebih aneh, tubuh keduanya sangat harum, menebarkan wewangian yang menyegarkan, keberadaannya juga membuat udara sekitar kamar sang Imam menjadi sejuk. Namun Imam Ghazali waspada akan tamunya yang dipandangnya sebagai ‘malaikat’ yang sedang menyamar menjadi manusia, yang tampaknya mempunyai kekuasaan sangat luas tak terhingga.

‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu’, wahai Imam besar cendekiawan Islam, yang dibanggakan dan disayang dan menyayangi Allah SWT. Apakah sudah puas sang Imam besar memperhatikan kami berdua”, sapa ramah Semar menyadarkan keterpakuan Imam Ghazali. Tentu saja beliau menjadi gelagapan disapa begitu, sontak beliau menjawab: “‘Wa ’alaikumussalaamu warahmatullah wabarakatuhu’ langsung Imam menjabat tangan kedua tamunya sambil berdo’a; ‘Yaghfiru lanaa walakum’. Gerangan apa yang meringankan langkah kaki tuan-tuan berdua berkunjung ke gubuk kami”.

Dihadapan cendekiawan kebanggaan Allah ‘Azza wa Jalla, Semar tidak menutup rahasia keberadaan dan siapa dirinya. “Kami mendapat amanat dari eyang kami, Nabiullah Adam as. untuk mengikuti semua Nabi dan Rosul setelah beliau, untuk meraup dan mendulang berlian ilmu-ilmu Allah SWT. dan sekaligus menemani para Nabi penerus Eyang Adam as. Bila Nabi dan Rosul terakhir yaitu Nabi Muhammad saw. selesai menyebar ajaran Allah SWT., kami diperintah eyang Adam as. untuk menemui para penerus Nabi mulia Muhammad saw. Kami bukan malaikat dan juga bukan manusia kebanyakan, juga bukan jin atau siluman. Kami makhluk Allah juga yang berdiam di alam lain yang kami namakan Alam Mayapada. Dahulu manusia-manusia memanggil kami dengan sebutan Dewa-dewi, sebagai tempat mereka mengadu dan meminta pertolongan. Namun kami akhirnya sadar setelah Eyang Adam as.memaparkan rencana besar Iblis untuk memusnahkan manusia. Jika tidak, dia akan berusaha memurtadkan kembali manusia dari ajaran Allah SWT. Yah itu semua itu adalah sebuah rencana besar Iblis laknatullah untuk membelokkan iman seluruh manusia keturunan eyang Adam as. Maka kemudian Eyang Adam as. meminta kami untuk membayang-bayangi gerakan Iblis selamanya. Benar kami juga diminta untuk menata ulang jagat ini agar sesuai dengan kehidupan manusia hingga kiamat kelak. Kami menyaksikan kelahiran jagat dari dentumam maha dahsyat hingga membentuk alam semesta atas petunjukNya. Demikianlah yang bisa kami sampaikan untuk perkenalan ini. Saya sendiri dipanggil sebagai Semar Kudapawana Badranaya dan ini saudara muda saya Togog Tejamantri”, demikian jelas Semar.

Imam Ghazali hanya melongo, mencengkeram kain meja dan bukunya, dia seakan tidak percaya akan pendengarannya, tetapi kemudian teringat akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT., jika Allah menghendaki semua yang tidak mungkin bisa mungkin terjadi. Akhirnya sang Imam bertakbir sebelas kali menghadap Ka’bah untuk mengesakan Allah, kemudian bersujud syukur karena diberi kesempatan menyaksikan suatu peristiwa amat ganjil. Sambil menitikan air mata, sang Imam memeluk Semar dan togog ramah. “Subhanallah walhamdulillah, jadi tuan-tuan adalah penjelajah dari masa kemasa, dari mulai jagat ini dilahirkan hingga kini. Tuan-tuan sudah menemani para Nabi dan Rosul, Allahu Akbar, tuan juga diberi kesempatan menemani Nabi Suci Junjungan Alam Muhammad saw. Allahu Akbar. Tak henti-hentinya sang Imam bertakbir. Semar lalu menjelaskan: “Benar memang kami menemani setiap Nabi dan Rosul, akan tetapi kami dilarang untuk menampakan wujud asli kami, seperti sekarang sedang berhadapan dengan tuan, kami harus menyamar untuk membaur dengan masyarakat”. Akhirnya Sang Imam Ghazali mengajak tamunya ke ruang ‘kerjanya’, mengambil ke-empat kitab yang sudah rampung beliau tulis. Maka beliaupun memaparkan Kitab Ihya' Ulumiddin yang terkenal kepada ‘kedua tamunya’ itu.

Siapa sebenarnya Imam Ghazali itu?.
Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam. Beliau dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan dalam Th. 450 H. (1058 M). Ayahnya bekerja membuat pakaian dart bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia.

Sebelum meninggal ayah Al-Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli tasawuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik AI Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah AI-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawuf itu. Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar uraian alim ulama itu maka ayah Al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah swt. kiranya dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu.

Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri tersebut, berangkatlah. Al-Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam Al-Haramain. Disanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqih madzhab Syafi’i. Imam Al-Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan: "AI-Ghazali itu bak lautan tak bertepi”

Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu AI-Ghazali berangkat ke Al-Askar mengunjungi Menteri Nizamul-muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka-pemuka ilrnu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dari keahlian Al-Ghazali. Menteri Nizamul-muluk melantik AI-Ghazali pada tahun 484 H. menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di kota Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, di mana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.

Maka pada tahun 488 H. Al-Ghazali pergi ke Makkah menunaikan rukun Islam kelima. Setelah selesai mengerjakan Haji, ia terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi Baitul-makdis. Kemudian ke Damaskus dan terus menetap beribadah di masjid Al-Umawi di kota tersebut pada suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama "Al-Ghazaliyah", diambil dari nama yang mulia itu. Pada masa itulah dia mengarang kitab "IHYA".

Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya -Ihya'-. Tak lama sesudah itu berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan Nizarniyah Nisapur. Akhirnya, kembali ia ke kampung asalnya Thusia. Maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama-ulama fiqih dan sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al-Qur’an, mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada para penuntut ilmu yang ingin mereguk dari lautan ilmunya, mendirikan shalat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul-khatirnah Al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 Jumadil-akhir tahun 505 H (1111 M) di Thusia.

Jenazahnya dikebumikan di makam Ath-Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli sya'ir yang termasyhur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon seorang filsuf Inggris, yaitu : "Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan". Ia meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh ummat muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan-karangannya yang berjumlah hampir 100 buku banyaknya. Diantaranya kitab Ihya', terdiri dari empat jilid besar.

Dalam kalangan agama di negeri kita ini tak ada yang tidak mengenal kitab Ihya' Ulumiddin, suatu buku standar, terutama tentang akhlaq. Di Eropah mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih-bahasakan kedalam beberapa bahasa. Dalam dunia Kristen telah lahir pula kemudian Thomas a Kempis (1379 — 1471 M) yang mendekati pribadi Al-Ghazali dalam dunia Islam, dan hasil karangannya "De Imitation Christi" yang sifatnya mendekati "IHYA' ", tetapi dipandang dari sudut Kristen.

Diantara. karangannya yang banyak itu, ada dua buah yang kurang dikenal di negeri kita, akan tetapi sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli-ahli falsafah. Yaitu kitab "Maqashidul-falasifah" (Maksudnya ahli-ahli falsafah) dan kitab "Tahafutul-falasifah" (Kesesatan ahli-ahli falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam ilmu filsafat, mantik, metafisika dan fisika. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke XII M. Kitab yang kedua member kritik yang tajam atas sistem falsafah yang telah diterangkannya satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malah oleh Al-Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah mengumpulkan lebih dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.

Beberapa puluh tahun kemudian, maka lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filsuf Cordova (1126 - 1198). Dia membantah akan pendirian Al-Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya "Tahafutu-tahafutil falasifah" (Kesesatan buku Tahafutul-falasifah Al-Ghazali). Dalam buku ini, Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalah-pahaman Al-Ghazali tentang mengartikan apa yang dinamakan falsafah dan betapa salah pahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah.

Demikianlah telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran ulama Islam dan menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

Di samping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al-Ghazali, dilontarkannya kitabnya Tahafutul-falasifah ke tengah-tengah ummat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi guntur bahasanya. Maka pada akhimya dalam peperangan alam pikiran ini, AI-Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang. Sebagai filsuf, Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan "madzhab hissiyat" yakni yang kira-kira sama artinya dengan "mazhab perasaan". Sebagaimana filsuf Inggeris David Hume (1711 — 1776) yang mengemukakan bahwa perasaan adalah sebagai alat yang terpenting dalam falsafah, diwaktu dia menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul di abad ke XVIII, yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia.

Al-Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan (hissiyat) itu boleh keliru juga karena akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna mungkin dengan sendirinya saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semau-maunya saja. Lalu akhirnya Al-Ghazali kernbali kepada apa yang dinamakannya "dlaruriat" atau aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah swt.

Al-Ghazali tak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji dibandingkan dengan karangan-karangan filsuf yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hati serta khusu’ akan kata-kata "Wallahu a`lam” artinya "Allah yang Maha Tahu"

Dalam zaman Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih. Maka salah satu dari usaha Al-Ghazali ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu.

Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al-GhazaIi mendapat teman sepaham, disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sepaham, diantaranya iaIah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain dari ahli fiqih. Didunia Barat Al-Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filsuf. Di antaranya dari Renan, Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain.

Seorang ahli ketimuran Inggeris bemama Ds. Zwemmer pernah memasukkan Al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah saw. sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu :
Nabi Besar Muhammad s.a.w. sendiri.
Imam-Al-Bukhari, ulama hadist yang terbesar.
Imam-AI-Asygari, ulama tauhid yang termasyhur.
Imam-AI-Ghazali, pengarang Ihya‘ yang terkenal.

Demikiardah sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebutkan beberapa bidang lagi, dimana Al-Ghazali mempunyai saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, da'wah, figih dan lain-lain. Semoga pusaka ilmiah yang ditinggalkan Al-Ghazali, dapat kiranya diambil faedahnya oleh ummat manusia umumnya dan ummat Islam khususnya.

Kitab Ihya' Ulumiddin, buah tangan Al-Imam Al-Ghazali adalah salah satu karya besar dari beliau dan salah satu karya besar dalam perpustakaan Islam. Meskipun ada berpuluh lagi karangan Ghazali yang lain, dalam berbagai bidang ilmu Pengetahuan Islam, namun yang menjadi inti-sari dari seluruh karangan-karangan beliau itu ialah Kitab Ulumiddin.
Beliau pilih untuk menjadi judul narna bukunya Ihya' Ulumiddin, artinya ialah: MENGHIDUPKAN KEMBALI PENGETAHUAN AGAMA.

Sebabnya judul itu yang beliau pilih, ialah karena pada waktu itu ilmu-ilmu Islam sudah hampir tercampakkan oleh ilmu yang lain, terutama oleh filsafat Yunani, khusus Filsafat Aristoteles telah disambut dengan amat asyiknya oleh ahli-ahli fikir Islam, yang dipelopori oleh Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain di Timur dan kemudian menjalar pula ke Barat (Andalusia dan Afrika Utara), sesudah Ghazali, yang dipelopori oleh Ibnu Rusyd.

Filsafat Yunani itu pada waktu itu dinamai 'Ulumul Awail, artinya Pengetahuan orang zaman purbakala. Oleh sebab Islam sangat berlapang dada menerima segala macam ilmu pengetahuan ataupun hikmat, walau dari manapun datangnya, maka dalam abad-abad kedua dan ketiga hijriyah, terutama di zaman permulaan fajar Daulat Bani 'Abbas, banyaklah pengetahuan bangsa lain disalin ke dalam bahasa Arab, guna memperkaya perpustakaan dan buah pikiran Arab Islam sendiri. Sebab kemajuan Islam dan Daulah Islamiyah dalam lapangan politik dan pengaruh kebudayaan, tidaklah akan dapat bertahan lama kalau pemikiran dari sarjana-sarjana tidak meluas dan mendalam.

Majulah Islam dalam lapangan fighi, ilmu kalam, tasawuf dan filsafat. Tetapi kadang-kadang Ilmu Islam yang ash telah teledor oleh karena kemajuan dalam bidang yang tersebut di belakang ini, yakni filsafat. Al-Ghazali telah tampil ke muka mempersiapkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang ada pada masa itu, Beliau memperdalam fikih (Ilmu Hukum) dan perhatian beliau akhirnya amat tertarik kepada Filsafat sampai dipelajarinya begitu mendalam. Hasil dan buah dari penyelidikannya terhadap Filsafat itu telah diungkapkannya dalam buku-bukunya "Al-Munqidzu minadl-dlalal" ( Pembangkit dari lembah kesesatan ), "Maqashid al-Falasifah"  ( Tujuan daripada para Filosofi ) dan "Tahafut al-Falasifah" ( Kekacau-balauan para Filosofi ).

Setelah pengembaraan dalam alam pikiran yang mendalam itu, beliau telah menyatakan kesimpulan bahwa filsafat itu, baik juga untuk melatih kita berfikir. Tetapi jadi amat berbahaya kalau sekiranya pikiran yang akan dipergunakan bagi berfilsafat tidak terlatih terlebih dahulu dengan tuntunan Wahyu Ilahi dan tuntunan. Nabi. Ada orang menyatakan bahwa berfikir filsafat itu harus bebas, obyektif, jangan ada yang mempengaruhi terlebih dahulu. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidaklah ada seorang manusiapun yang dapat membebaskan dirinya daripada pengaruh alam sekelilingnya. Apa lagi menurut Ghazali Filosofi-Filosofi Yunani yang mempengaruhi berfikirnya Filosofi-Filosofi Muslim seumpama Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena penerawangan berfikir bebas itu, telah sampai kepada kesimpulan bahwa Alam itu adalah qodim penaka Tuhan juga. Disini Filsafat sudah menjauh sendirinya daripada pokok ajaran agama.

Lantaran itu, maka Ghazalipun amat menyuruh hati-hati di dalam belajar 'Ilmul Kalam, 'Ilmu Theologi dalam Islam. Untuk orang awam, kata beliau-Kalam itu lebih besar bahayanya daripada manfaatnya, sehingga beliau keluarkan sebuah risalah bernama "Iljamul 'Awam" ( Mengekang orang awam ) daripada membicarakan Ilmu Kalam. Iman kepada Allah, menurut Ghazali tidaklah dapat dengan dipelajari secara "akal semata", melainkan hendaklah karena dirasakan, demi setelah meleburkan diri ke dalam persada Alam yang ada dikeliling kita.

Setelah nyata bahwa bukan dengan filsafat, bukan dengan 'Ilmu Kalam, juga bukan dengan debat-berdebat (jidal) Ilmu Fiqhi, manakah jalan yang dapat mencapai kepada Tuhan itu? Ghazali akhirnya berpendapat bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dan ma'rifat kepada Tuhan, hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum shufi.

Ghazalipun insyaf bahwasanya di zamannya pertentangan kaum syari'ah amat besar dengan kaum Shufi atau kaum Hakikat. Kaum Fuqaha menghabiskan waktunya di dalam membincangkan syah dan bathal, dengan mengabaikan perhatian kepada kehalusan perasaan, sedang kaurn Shufi sating terlalu memupuk perasaan (dzauq) kadang-kadang tidak memperdulikan mana amalan, ibadat dan syari'at yang sesuai dengan Sunnah Rasul dan mana yang tidak.

Tasawuf perlu untuk memupuk perasaan halus manusia, atau ‘athifah’. Tetapi kadang-kadang terlanjur keluar dari garis syari'at. Syari’at perlu untuk mengatur kehidupan sehari-hari menurut jalan Rasul, tetapi kadang-kadang menjadi kaku dan kehilangan intisari karena hanya tunduk kepada yang tertulis belaka sehingga kebebasan manusia buat berfikir, buat merasa dan buat berfantasi menjadi hilang. Syari'at tanpa hakikat, menjadi bangkai tak bernyawa. Hakikat tanpa syari'at menjadi nyawa tak bertubuh.
Ghazali berusaha mempersatu-padukan keduanya. Dengan dasar itulah beliau ingin menghidupkan kembali Ilmu Agama: IHYA' ULUMIDDIN.

Dengan bersumber kepada Al-Qur-an, dengan kembali kepada Sunnah Rasul yang asli, kita bongkar dan kita gali ilmu yang sejati. Di dalamnya terkandunglah hikmat-hikrnat yang tinggi, yang kadang-kadang mungkin dapat dinamai filsafat, kadang-kadang dapat dinamai Ilmul Kalam, Fiqhi dan lain-lain, dan lagi buat mengetahui rahasia yang terkandung dalam hati (Asroril-Qulub).

Apabila ilmu telah dihidupkan kembali, syari'at mesti bertemu dengan hakikat, amal saleh mesti dinyawai oleh Iman dan di samping riadlah jasmani (latihan badan) kita adalah riadlah annafs atau riadlah qalb ( latihan jiwa atau latihan hati ). Disitulah kita mendapat "Haqiqat al Hajah” (hidup yang sejati).

Semua ibadat, sembahyang, puasa, zakat dan haji, sampai kepada mu'amalat ( pergaulan hidup manusia sehari-hari ), sampai kepada munakahat (pembangunan rumah tangga), sampai kepada hukum-hukum pidana, semuanya beliau cari isi dan umbinya, inti atau sarinya dalam alam hakikat dan hikmat, sehingga hidup kita sebagai muslim berarti dalam lahir dan bathin. Maka kitab "IHYA' ULUMIDDIN" adalah hasil karya positif sesudah beliau ragu (syak, skeptis) terhadap segala persoalan dalam bidang kepercayaan dan akhirnya keraguan itu sedikit demi sedikit mulai hilang, berganti dengan yakin. Dan itulah yang beliau hidangkan ke dalam masyarakat muslim.

Sebagai seorang ahli fiqih Islam yang besar, karangan beliau ini mendapat sambutan hangat. Mendapat sanjung puji yang tinggi dan juga mendapat sanggahan yang hebat.

Di zaman pemerintahan Sultan Yusuf bin Tasyfin di negeri Maghribi di Fas (Fez) kaum Fuqaha sangat murka kepada Ghazali, sebab karangannya Ihya"Ulumiddin banyak mengeritik kaum ahli fiqhi, yang sudah menjauh daripada Al-Qur'an dan hanya tenggelam kedalam taqlid. Fuqaha marah, sehingga mengusulkan kepada Sulthan supaya Ihya' dibakar raja dan dilarang keras peredarannya ke Maghribi. Di kala disampaikan orang berita itu kepada Ghazali serta-merta beliau berkata : "Tuhan akan merobek kerajaan mereka sebagaimana mereka telah merobek kitabku". Tiba-tiba muncullah dalam majlis itu, murid beliau Muhammad bin Taumrut, yang bergelar Al-Mahdi, lalu berkata: "Wahai Imam! Do’akanlah kepada Tuhan bahwa keruntuhan kerajaan Bani Tasyfin akan terjadi di tangan saya".

Kemudian memang jatuhlah kerajaan Murabithin, digantikan oleh murid Imam Ghazali yang bernama Muhammad bin Taumrut itu, dengan nama Kerajaan Muwahhidin. Bila Imam Ghazali mengetahui bahwa muridnyalah yang menjadi raja, dan kitab beliau telah diakui kembali di negeri itu, beliau berniat hendak hijrah ke Maghribi. Sayang sekali sebelum beliau berangkat, beliau meninggal dunia tahun 505 H. dalam usia 55 tahun.

"lhya"Ulumiddin" adalah salah satu karya besar, yang diakui sebagai fikiran besar yang terkandung di dalamnya. Ds. Zwemmer, tokoh sending Kristen yang terkenal, berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad saw. adalah dua Pribadi yang amat besar jasanya menegakkan Islam, pertama Imam Bukhari karena pengumpulan Haditsnya, kedua Imam Ghazali karena "Ihya'-nya". Segala sesuatu apabila telah tercapai kesempurnaannya, nampaklah di mana kekurangannya. "Tiada gading yang tak retak". Alam ini sendiri menjadi amat sempurna, karena serba kekurangannya. Tuhan menciptaka Alam dalam kesempurnaannya, karena ada kekurangannya. Kalau tidak ada yang cacat niscaya Allah Ta'ala tidak kaya karena tidak menjadikan sesuatu yang bernama cacat.

Demikian juga kitab-kitab karangan Ghazali terutama Ihya’Ulumiddin ini. Kadang-kadang beliau, Iantaran asyiknya memperingatkan kesucian hidup, hingga sangat  mencela dunia. Orang yang terpengaruh oleh ajaran Ghazali tentang cacat dunia, maulah rasanya mengutuk sama sekali dunia itu. Mengutuk dunia bisa menyebabkan dunia itu lepas dari tangan kita, hingga dipungut oleh orang lain, sehingga negara-negara Islam terjajah.

Kadang-kadang beliau rnenganjurkan hidup membujang, tak usah beristeri. Supaya beban hidup dalam munajat kepada Tuhan menjadi ringan, padahal ajaran asli Islam tidak mengajarkan demikian. Dan yang Iebih penting lagi, sebagal seorang ahli pikir yang bebas dan besar, beliau membebaskan pikirannya daripadanya pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu, tetapi hadits-hadits yang dijadikan dalil, kerapkali tidak memperhatikan ilmu sanad hadits, sehingga sebagairnana ditulis Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya' musti hati-hati, karena banyak haditsnya lemah.

Itulah menjadi bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang filsuf besar tidaklah melengkapi ilmunya dalam segala bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits, tetapi dia besar dalam penciptaan fikiran. Sebagaimana juga Ulama-Ulama Ahli Hadits, kebanyakan tidak sanggup buat menciptakan fiqhi atau mengeluarkan faham bebas, sebab amat terikat oleh hadits-hadits, sehingga fikirannya menjadi buntu karena kekuatan hafalan.

Perhatikan kepada ajaran Filsafat Ethika (Akhlaq) Al-Ghazali sampai saat-saat sekarang ini masih menjadi bahan yang kaya untuk direnungkan. Kupasan Ghazali tidak akan habis-habisnya menjadi bahan study tentang tasawuf, tentang aqidah, tentang filsafat dan ethika (akhlaq). Demikianlah selayang pandang tentang IHYA ’ULUMIDDIN oleh "Hujjatul Islam" AI-Ghazali.

Di dalam perkembangan ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam di Indonesia, tasawuf Imam Ghazal dengan Ihya'-nya besar sekali peranannya. Madzhab Sunni yang masuk kemari sejak zaraan kerajaan Islam Pasai ialah Madzhab Syafi'i. Imam Ghazali adalah seorang Ulama Muta-akhkhirin dalam madzhab itu.

Tasawuf "Wihdatul Wujud" (Pantheisme) AI-Hallaj yang mulanya amat berpengaruh di sini menjadi terdesak karena datangnya ajaran Ghazali. Kitab Ihya’Ulumiddin menjadi pegangan ulama-ulama di tanah air kita.

Versi lainnya menceritakan dengan jabaran sebagai berikut;
Sejarah Hidup Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero …

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengenalnya. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau.
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu.
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya.
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali.
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya.
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

Berikut isi kitab Ihya Ulumiddin buku pertama, silahkan klik disini.

1 comment:

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.