Saturday, March 26, 2016

RIWAYAT SEMAR - TOGOG dan BATARA-GURU


Senja berganti malam dan malam sirna berganti siang, waktu berputar menutup hari dan kemudian berganti hari. Kini putra-putra Sang Hyang Tunggal telah tumbuh dewasa. Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya, dan Sang Hyang Manikmaya, mereka sama-sama mewarisi berbagai ilmu pengetahuan dan kesaktian dari ayahnya sehingga mereka benar-benar menjadi kesatria dewa yang pilih tanding.

Konon pada saat zaman pertengahan, dizaman Wayang Purwa, Sang Hyang Tunggal bermaksud turun-tahta, dan akan menyerahkan kekuasaannya kepada salah-seorang dari ketiga putra-utamanya, yaitu Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Manikmaya.

Di istana Jonggring Salaka, Kahyangan Suralaya. Sang  hyang Tunggal yang didampingi kedua permaisurinya memanggil ketiga putranya, Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Ia bermaksud ingin menyerahkan tahta Suralaya kepada salah putranya, namun sebelumnya Sang Hyang Tunggal mengisahkan perihal kelahiran mereka yang berasal dari sebutir telur hingga tercipta menjadi sosok manusia dewa.

Hyang Tunggal kemudian meriwayatkan kelahiran ketiga putranya, sebagai berikut; Pada suatu ketika, Dewi Wirandi yang hamil besar itu melahirkan, namun yang dilahirkan oleh sang dewi bukanlah sesosok bayi, tapi ia melahirkan sebutir telur. Sang Hyang Tunggal bermuja-semedi mengheningkan cipta masuk ke Swargaloka Awang Uwung Kumitir, kepersemayaman ayahnya- Sang Hyang Wenang. Dihadapan Sang Hyang Wenang, ia menceritakan perihal telur yang dilahirkan oleh istrinya.

Sang Hyang Wenang memberi petunjuk dan memberikan air kehidupan ‘Tirta Kamandalu’ kepada Sang Hyang Tunggal. Sesuai petunjuk ayahnya, telur itu ia puja-semedi cipta-rasa hingga meretak dan pecah berserakan menjadi tiga bagian, kulit, putih dan merah telur.           

Sang Hyang Tunggal menyiramkan ‘air kehidupan’ Tirta Kamandalu secara bersamaan kepada bagian telur yang tercerai berai. Secara ajaib, kulit, putih dan merah telur itu berubah menjadi tiga sosok bayi. Sang Hyang Tunggal memberi nama masing-masing bayi yang tercipta, dari kulit telur diberi nama Sang Hyang Antaga, sedangkan bayi yang tercipta dari putih telur diberi nama Sang Hyang Ismaya, dan bayi yang tercipta dari merah telur diberi nama Sang Hyang Manikmaya

Dan yang membuat Sang Hyang Tunggal belum bisa menentukan siapa diantara putranya yang berhak mewarisi Kahyangan Suralaya, adalah karena dulu Sang Hyang Tunggal menyirami tiga bagian pecahan telur itu secara bersamaan sehingga tidak ada yang tercipta lebih dahulu dari bagian lainnya,tidak ada istilah tertua diantara yang lainnya, besarnya pun bersamaan.

Sebelum Sang Hyang Tunggal selesai bersabda, tiba-tiba Sang Hyang Antaga berkata kepada Sang Hyang Tunggal. Ia mengatakan bahwa kulit telur tentunya lebih awal dilahirkan, sebab kulit berada diluar isi dan telah ditakdirkan menjadi pelindung, yaitu melindungi isi telur yang lemah. Maka menurut Sang Hyang Antaga, kulit telurlah yang dianggap lebih tua dibandingkan dengan isinya.

Sang Hyang Ismaya menepis perkataan Sang Hyang Antaga. Menurutnya, bahwa kulit dan isi telur adalah satu kesatuan yang terlahir bersamaan. Tanpa adanya putih dan merah telur yang menjadi isi, maka kulit telur pun tidak akan ada. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja tanpa ada isi yang telah ikut menyempurnakan keadaannya. Dan Sang Hyang Ismaya mengingatkan kepada Sang Hyang Antaga, bahwa putih dan merah telur yang menjadi isi adalah cikal bakal yang menjadi adanya tanda-tanda kehidupan. Kulit hanya ragangan (bungkusnya) saja, tetapi isilah yang menjadi sumber dan keutamanya.

Sang Hyang Antaga tersinggung mendengar kata-kata Sang Hyang Ismaya. Ia yang tercipta dari kulit telur merasa dihina, tidak dianggap memiliki keutamaan, hanya ragangan yang berarti benda kosong yang tidak memiliki arti. Sang Hyang Antaga pun berjumawa, ia menganggap kulit telur adalah yang terkuat dengan wujud keras bagaimana bisa disebut kuat kalau kulit telur bisa retak dan pecah. Adu mulut antara Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kian memanas, mereka berdua sama-sama telah terbakar amarah.

Adigang, adigung, adiguna. Sang Hyang Antaga menunjukan perwatakannya yang secara lahir tercipta dari kulit telur, keras, jumawa dan selalu merasa dirinya yang paling hebat. Sang Hyang Ismaya yang sudah merasa jengah dengan segala perkataan dan sikap saudaranya, menanggapi tantangan. Bagi Sang Hyang Ismaya menolak tantangan adalah tindakan seorang pengecut. Sekaligus akan memberi pelajaran kepada Hyang Antaga bahwa di atas langit masih ada langit, jangan menganggap diri paling sakti di atas muka bumi.

 Melihat perselisihan yang kian memanas diantara kedua putranya, Sang Hyang Tunggal segera melerai. Ia menasehati putra-putranya agar bisa lebih berpikir secara jernih dan terbuka, sebab semua masalah akan ada jalan keluarnya bila ditanggapi dengan jiwa yang bersih. Tapi sudah terlanjur, keduanya sudah merasa saling dihinakan satu sama lainnya, maka keduanya pun sudah tidak menghiraukan lagi nasehat ayahandanya.

Bertikai dengan saudara sendiri, apakah kalian tidak akan menyesal nantinya? Guntur menggelegar dan kilat menyambar. Awan hitam berarak berkejaran menutupi langit, bumi pun bergetar. Candradimuka bergolak menyemburkan lahar api yang sangat panas. Sabda Sang Hyang Tunggal telah menjadi kutukan bagi mereka, namun karena keduanya sudah sama dirasuki nafsu angkara murka, maka keduanya sudah tidak mampu berfikir dengan hati nuraninya. Hyang Antaga segera melesat meninggalkan Jonggring Salaka, dan kemudian disusul oleh Sang Hyang Ismaya.

Adu mulut dan pertengkaran berlanjut menjadi adu kesaktian dan kanuraganpun berlangsung dengan sengit dan membuta.

 Di lain pihak Sang Hyang Manikmaya hanya diam membisu. Dia tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian kedua saudaranya, terkesan tidak ingin ikut campur. Akan tetapi ‘diam’ yang dilakukan Sang Hyang Manikmaya bukanlah sebab halus budi pekertinya. Di sinilah perbedaan perwatakan diantara mereka. Sang Hyang Manikmaya lebih cerdik dibandingkan kedua saudaranya, ia licik dan otaknya mampu bekerja dengan baik dibandingkan nafsunya. Sang Hyang Manikmaya akan membiarkan kedua saudaranya yang bertikai. Ia tahu bahwa diantara mereka mempunyai kesaktian yang berimbang, jadi untuk apa harus membuang tenaga ikut mengadu kesaktian dengan mereka. Yang terlintas dalam pikirannya adalah, ini kesempatan baik untuk bisa merebut hati ayahandanya dan mengincar singgasana Suralaya.

Sementara itu, jauh di luar gerbang gaib Selamatangkep, dua kesatria dewa telah saling beradu kesaktian. Masing-masing dari keduanya menunjukan keluhuran ilmunya. Saling mengeluarkan aji jaya kawijaya dan saling menghunus pusaka kadewatan. Mereka saling serang, saling pukul, saling tusuk dan saling banting, Candradimuka tidak henti-hentinya mengeluarkan semburan api panas yang menyala, asap hitamnya menggumpal melingkupi puncak Himalaya (Kahyangan Suralaya).

Karena yang bertempur adalah dua Maha-Dewa yang Maha-Sakti, adu kesaktian itu menyebabkan permukaan bumi dibuat tidak menentu. Tercipta badai-topan tornado selebar pulau Jawa, samudra diaduk menciptakan tsunami setinggi gunung, gunung-gunung diremas mengkerut meledakkan lava panas, daratan-bumi dicabik-cabik terbelah-belah menjadi pecahan-pecahan kepulauan dan patahan-patahan benua. Maka sejak saat itulah permukaan bumi terbagi-bagi beberapa benua dan pulau-pulau.

Tidak disangsikan lagi kedua putra Sang Hyang Tunggal itu, keduanya sama-sama sakti, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Palagan yuda tempat bertarung mereka tidak hanya di atas lapisan bumi, tapi juga masuk ke dalam perut bumi, bertarung di dasar samudera dan bahkan berdirgantara di angkasa.

Pertempuran dua kesatria dewa yang berlangsung dahsyat ini mengundang rasa keprihatinan bagi kakek-kakek mereka, baik Sang Hyang Wenang yang bersemayam di alam ‘sunyaruri’, ataupun Sang Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) yang bersemayam di Samudralaya. Telah banyak yang menjadi korban karena dampak dari pertarungan kedua cucunya. Rusaknya gunung, hutan dan lautan, juga mahluk-mahluk lain baik yang berada di alam maya ataupun di alam nyata.

Pertarungan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga telah memakan waktu yang cukup lama, tanpa berhenti dan tanpa mengenal rasa lelah. Dan saat pertarungan menginjak waktu yang ke-empat puluh hari, Sang Hyang Tunggal memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan dengan mengajukan syarat sayembara kepada kedua putranya. Barang siapa yang mampu menelan gunung Jamurdipa dan lalu memuntahkannya kembali, maka dialah yang akan diakui sebagai yang tertua dan dinobatkan sebagai Raja Tribuana, mewarisi seluruh Kahyangan Suralaya.

Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya menyanggupi sayembara tersebut. Keduanya lalu mempersiapkan diri. Didahului oleh Sang Hyang Antaga, ia bertiwikrama tubuhnya membesar melebihi gunung. Dan lalu gunung Jamurdipa dicabut dan dimasukan ke dalam mulutnya. Ia memaksa untuk menelan, namun ia merasa sangat kesusahan untuk menelannya, Gunung Jamurdipa itu masih berukuran lebih besar dari mulutnya, tapi karena nafsunya yang besar, maka ia terus mencoba memasukan gunung itu ke dalam mulutnya hingga mulutnya robek besar. Kepala dan matanyanya membesar, sebaliknya tubuhnya menyusut, meramping, suaranya menjadi serak mengerikan. Pengerahan kesaktian hingga kepuncak-pamungkasnya, membuat suara serak Antaga menjadi senjata mematikan yang amat mengerikan. Jika Antaga murka dan berteriak, suara hypersonicnya mampu meratakan pegunungan himalaya menjadi padang-pasir.
          
Sang Hyang Ismaya terkejut melihat perubahan tubuh dan wajah saudaranya namun dia tidak berpikir lebih lanjut, dia tidak mau kalah, segera melakukan triwikrama. Tubuhnya seketika meninggi dan membesar. Akan tetapi wujud triwikrama Sang Hyang Ismaya ternyata lebih tinggi besar dibandingkan dengan wujud triwikrama jelmaan Sang Hyang Antaga. Tingginya melebihi tujuh kali puncak Himalaya. Kemudian raksasa perwujudan dari Sang Hyang Ismaya dengan cepat merebut gunung yang hendak ditelan oleh Sang Hyang Antaga.

Dengan kekuatan luar biasa Sang Hyang Ismaya memaksakan gunung Jamurdipa masuk ke dalam mulutnya. Oleh sebab tubuhnya lebih besar dari raksasa jelmaan Sang Hyang Antaga, maka dengan kekuatannya Sang Hyang Ismaya berhasil menelan gunung Jamurdipa ke dalam mulutnya, dan dia merasa seperti tercekik dan sulit bernafas saat gunung Jamurdipa tertelan masuk di kerongkongannya. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya hingga gunung itu pun langsung amblas ke dalam perutnya. Dalam adu triwikrama dan telan gunung, walau tidak mampu dimuntahkan, membuktikan bahwa Sang Hyang Ismaya lebih sakti dari Sang Hyang Antaga.

Seperti juga Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya sudah kehabisan seluruh tenaganya, ia merasa sudah tidak mampu lagi untuk mencoba memuntahkan kembali gunung Jamurdipa. Pengerahan kekuatan sepenuhnya menyebabkan bentuk tubuh dan wajah Hyang Ismaya berubah. Karena pengaruh gunung yang tertelan, tubuh Hyang Ismaya seketika membesar, menungging kebelakang, rambut rontok, mulut dan wajah melebar keriput-menua. Hilang sudah tubuh dan wajah rupawannya. Seperti-halnya Hyang Antaga, pengerahan kesaktian Hyang Ismaya hingga kepuncak pamungkasnya, dan ujung gunung yang menyundul pantatnya, memberikan kekuatan baru baginya, yaitu - kentutnya. Jika Hyang Ismaya mengerahkan kekuatan kentutnya, daya rusaknya mampu meratakan pegunungan Himalaya menjadi padang pasir. Konon tidak ada kekuasaan dan kesaktian dimuka-bumi yang mampu menahan daya hancurnya.

Keduanya menyadari perubahan wajah dan fisiknya. Hyang Ismaya melihat Sang Hyang Antaga yang berpenampilan buruk rupa. Penampilan dan mukanya sangat jauh dari Sang Hyang Antaga yang sangat ia kenal. Sang Hyang Antaga yang ia kenali adalah sosok kesatria perkasa, sedangkan yang dihadapinya bisa dibilang lebih mirip dengan mahluk jadi-jadian sebangsa Jin atau Dedemit. Tubuhnya pendek kurus dan buncit, mukanya tidak seimbang dengan mulutnya yang sangat lebar menyerupai mulut angsa.

Sang Hyang Antaga pun terkejut bukan kepalang melihat rupa saudaranya. Sang Hyang Ismaya seharusnya berwajah elok dan bersinar seperti matahari, tapi bentuk-rupa Ismaya ini bertubuh gemuk berpantat besar, wajahnya pun sama sekali tidak mirip, sangat tua. 

Dengan kesaktian keduanya, mereka berupaya merubah bentuk buruk rupa kebentuk aslinya. Berbagai ilmu-ilmu gaib sudah mereka kerahkan, tapi tak kunjung berhasil, menyadari kegagalan itu apalagi menyadari harus menanggung malu memiliki bentuk dan rupa ganjil dan memalukan itu selamanya. Keduanya menjadi frustasi dan kalap akhirnya menjadi gelap mata.

Dalam luapan amarahnya, Sang Hyang Ismaya menembak barisan gunung-gunung dengan 'kentutnya', meledakan gunung dan memuntahkan lava dengan sangat mengerikan, menciptakan badai petir lalu kembali mengaduk lautan manjadi stunami setinggi gunung dan melibasnya. Aksinya yang lebih dahsyat adalah merobek lapisan atmosphir menciptakan badai-kosmik yang super dingin, membekukan gelombang lautan menjadi benua es. (sekarang kutub es utara bumi.)

Sang Hyang Antagapun tidak mau kalah, dia mengeluarkan kekuatan suara hypersonicnya meledakkan pegunungan, mengaduk lautan dan menciptakan topan tordano raksasa.

Aksi amarah keduanya sungguh meresahkan leluhur dewa-dewa, menewaskan makhluk-makhluk astral, jin-siluman-denawa dan lainnya. Jangan dibayangkan bagaimana dengan manusia. Mereka juga telah merusak tatanan kosmik, iklim dan cuaca, merubah arah arus lautan, seakan permukaan bumi saat itu baru saja diciptakan dan ditata-ulang.
                          
  
              ----------- ( BERSAMBUNG ) ------------



No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.