Tuesday, March 29, 2016

ARJUNA SASRABAHU, SUMANTRI dan SUKRASANA.



Arjuna Sasrabahu adalah Putra Mahkota Kerajaan Maespati merupakan titisan Batara Wisnu. Batara Wisnu harus turun ke marcapada (dunia manusia) bertugas untuk menumpas Dasamuka yang sudah membuat kerusakan amat parah bagi kehidupan manusia diperbagai negara. Batara Wisnu harus menitis keraga manusia, untuk dapat memimpin pasukan menumpas Kerajaan Alengka dan membunuh Dasamuka atau Rahwana. Peristiwa itu merupakan rencana dari Sanghyang Otipati Jagatnata Batara Guru.  

Namun ada yang luput dari pengamatan Sanghyang Otipati adalah kehadiran dua anak manusia, putra Resi Suwandageni dari Pertapaan Jatisarana. Tetapi kehadiran dua anak manusia ini sejak awal sudah terpantau oleh Semar dan Togog sebagai biang gara-gara sumber kehancuran tatanan alam dunia sekaligus memporak porandakan tatanan kehidupan manusia diseluruh Kerajaan manusia. Kedua anak manusia tersebut adalah Bambang Sumantri kelak diberi gelar Patih Suwanda dan adiknya Sukrasana. Secara kasat mata dan garis keturunan rasanya tidak mungkin keduanya akan menjadi biang onar keseimbangan yang ditakuti Semar dan Togog. Maka supaya bisa memantau perkembangan tindak tanduk keduanya, Semar berinisiatif untuk melamar kerja di Kerajaan Maespati sebagai pengasuh Arjuna Sasrabahu kacil. Karena Semar sudah tahu, kelak dua orang itu akan datang dan mengabdi di Kerajaan Maespati ini. Kisahnya dimulai dengan uraian silsilah leluhur-leluhur Kerajaan Maespati.

Syahdan berdirilah Kerajaan besar di awal tahun Hindu Kuno, sekitar tahun 25 ribu BC (25 ribu sebelum masehi), kira-kira awal zaman ‘perunggu’. Kerajaan itu bernama Kerajaan Maespati. Adapun cerita Kerajaan Maespati yang terdapat dari salinan naskah kuno (codex) Hindu itu ternyata agak berlainan bila dibandingkan dengan tulisan ‘Purwacarita’. Tapi disini tidak akan membahas perbedaan itu, karena prinsipnya Kerajaan Maespati adalah kerajaan yang luar biasa indah dan sangat megahnya untuk taraf kebudayaan kuno saat itu. Keraton dengan dekorasi interior dan struktur bangunan dengan konstruksi sangat menakjubkan, kuat, indah dan dengan bentangan-bentangan ruangan yang sangat luas, menyerupai ruang aula pada masa kini. Belum lagi langit-langit ruangan yang cukup tinggi untuk kebudayaan kuno saat itu. Pilar-pilar dan balok-balok penopang bangunan, walau kelihatan sangat besar, namun dibuat dari bebatuan granit yaitu material batu gunung yang sangat kuat. Selain itu semua dinding dan tembok diukir dengan ukiran kualitas prima. Lantai kerajaan didisain menakjubkan karena setiap ruang mempunyai ketinggian lantai (leveling) berlain-lainan, disamping ditutup dengan batu gunung (sekarang dikenal sebagai marmer) dengan kualitas teratas dan warna-warna cerah menghiasi lantai setiap ruangan. Walau belum mengenal teknologi jendela, namun setiap ruangan, lubang sirkulasi udara ditutup kain-kain teranyam dengan hiasan dari emas dan perak. Memang belum dikenal pintalan kain, maka tidak sehalus kain-kain sekarang, dan tentu jauh dari kehalusan kain sutra. Tetapi sebagai kelambu penghias ruang kerajaan, kain penutup jendela, singgasana raja, sudah cukup indah, karena anyaman hiasan dari emas dan perak itu. Kursi singgasana raja dibuat dari bahan jati pilihan dengan bentuk ukiran yang luarbiasa, apalagi dihiasi dengan batu-batu permata dengan kombinasi warna-warna khas kebudayaan Hindu kuno. Semua ruang diberi pewangi ruangan yang disimpan di setiap sudut ruang. Pewangi itu berasal dari bakaran ramuan akar-akar, rerumputan dan dedaunan yang diolah sebagai jamu bakar, yang selain memberikan bau asap yang harum, juga sebagai pengusir serangga. Jamu pewangi ruangan disimpan pada cungkup terbuat dari emas. Dan semua perabot rumah tangga, perabotan perjamuan tamu seperti gelas, piring dan pisau makan, sendok garpu, semua terbuat dari emas berhiasan intan berlian. Dan jangan dikata hiasan untuk pakaian raja dan mahkotanya. Karena jika tidak berhias intan berlian, pakaian kebesaran berhiasan anyaman emas, maka raja pada saat itu dianggap bukan raja terbesar.

Kerajaan Maespati ini didirikan dan dibesarkan oleh seorang ksatria bijak, luas wawasan pengetahuannya dan sangat arif, adil dalam memutuskan perkara-perkara hukum. Sehingga dicintai semua rakyat Maespati. Semua lapisan masyarakat merasa aman dan tenteram bernaung di bawah kepemimpinannya. Raja itu bernama Prabu Dewangga. Prabu Dewangga ini kelak akan menurunkan orang-orang besar yang menghiasi sejarah dengan tinta emas. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan disini semua silsilah keturunan Prabu Dewangga.

Prabu Dewangga berputra dua, yaitu:
1). Putra sulung adalah Dewasana, Prabu ini berputra dua;
    +1.1. Putra sulung bernama Prabu Heria, berputra dua; 
            *1.1.1. Putra sulung bernama Prabu Karta Wijaya, berputra satu;
                      #1.1.1.1. Arjuna Sasrabahu.

           *1.1.2. Putra bungsu bernama Resi Gautama berputra tiga;                          
                     #1.1.2.1. Dewi Anjani.        
                     #1.1.2.2. Raden Subali.
                     #1.1.2.3. Raden Sugriwa.

  +1.2. Putra bungsu bernama Prabu Wisanggeni, berputra dua;       
          *1.2.1. Putra sulung bernama Resi Suwandageni, berputra dua;
                    #1.2.1.1 Sumantri
                    #1.2.1.2 Sukrasana

         *1.2.2. Putra bungsu bernama Jamadagni disebut Ramabergawa.

2). Putra bungsu adalah Dewatana, tidak ada catatan mengenai silsilah keluarganya.

Dari ranting silsilah di atas, nampak bahwa antara Arjuna Sasrabahu, Dewi Anjani, Subali, Sugriwa, Sumantri dan Sukrasana adalah satu angkatan bersaudara sepupu, dengan urutan silsilah tertua adalah Arjuna Sasrabahu disusul Dewi Anjani dan kedua adiknya dan silsilah termuda adalah Sumantri dan Sukrasana. Jadi sudah dapat diperkirakan, peristiwa Ramayana akan terjadi setelah peristiwa Arjuna Sasrabahu, atau titisan Batara Wisnu berpindah dari Arjuna Sasrabahu ke dalam tubuh Sri Rama sekitar 20 sampai 30 tahun kemudian, atau setelah Dewi Anjani, Raden Subali dan Raden Sugriwa selesai bertapa atas petunjuk ayahnya Resi Gautama.

Kisah Dewi Anjani, Subali dan Sugriwa akan dikisahkan terpisah, karena akan terkait dengan  penitisan Batara Wisnu berikutnya. Sedangkan Sumantri dan Sukrasana akan terlibat pada kehidupan Arjuna Sasrabahu. Saat itu keduanya terpisah jauh dengan jarak dan derajat kedudukan sosial. Takdirlah yang akan mempertemukan mereka antara Sumantri dan Arjuna Sasrabahu. Sumantri dan Sukrasana mendapatkan segala pelajaran ilmu kesaktian dan kegagahan dari ayah mereka Resi Suwandageni di pertapaan Jatisarana. Sehingga kedua putera resi ini benar-benar sama saktinya. Tentu dalam olah tempur dan penguasaan pemakaian senjata, Sumantri lebih unggul daripada Sukrasana. Sukrasana menguasai juga, tapi hanya terbatas teori tanpa latihan fisik kanuragan. Namun dalam penguasaan olah kesaktian tenaga batin keduanya sama-sama mumpuni.

Setelah dewasa perbedaan ini semakin kelihatan nyata. Sumantri tumbuh menjadi pemuda berpostur tinggi tegap dan tampan, profil ksatria pilih tanding. Sedangkan Sukrasana memiliki penampilan raksasa mungil kurus dan berperut buncit, hingga dewasa postur tubuh Sukrasana tidak berubah. Kalau Sumantri tumbuh dewasa dengan keahlian tata kelahi kanuragan semakin matang, apalagi setelah dianugerahi sejata sakti dari Hyang Otipati sebuah panah sakti bernama ‘Cakrabeswara’, Sumantri semakin meningkat kesaktiannya.

Sebaliknya Sukrasana dengan postur kecil mungilnya, memiliki kelebihan dalam olah rasa qolbu dan olah batin, menyatu dan berkomunikasi dengan ‘semua’ alam. Suatu talenta gaib yang diturunkan alam. Masa sekarang orang jenis ini dinamakan sebagai anak Indigo, paranormal, psychokinetic, extrasensory dan beyond telepathic sences (diluar jangkauan indra telepati). Sukrasana bisa memerintahkan benda-benda, semua jenis binatang dan mengendalikan iklim dan cuaca. Semakin dewasa kemampuan indra ke enamnya semakin tajam menakjubkan serta menakutkan.

Dari Sukrasana inilah sumber marabahayanya kelak apabila dia sudah berumur. Karena Sukrasana sejak bayi sudah dibuang ayahnya kehutan dan hanya ditanamkan ajian ‘Belah Jiwa’ semacam ajian adaptasi, tiruan atau malih-rupa (nemesis). Maka selama hidup dihutan Sukrasana tidak pernah diganggu hewan buas manapun, karena semua hewan buas melihat dan merasakan Sukrasana adalah makhluk dari sejenisnya, bahkan semua hewan-hewan buas itu dengan senang hati memelihara dan memberi makan sang bayi Sukrasana. Hebatnya pula berkat ajian itu, Sukrasana mampu menyerap semua bahasa-hewan dihutan itu. Mampu berubah wujud menjadi bentuk hewan apapun hanya dengan melihat saja. Dahsyatnya ajian ‘Belah Jiwa’ tidak sampai disitu saja, Sukrasana mampu meniru kepandaian semua orang dengan cukup memandang saja, bahkan bisa menguasi walau hanya dengan ‘mendengar nama orang sakti’ itu saja. Itulah sebabnya selama dilatih ayahnya Resi Suwandageni bersama kakaknya Sumantri, Sukrasana sebenarnya ‘sudah menguasai’ semua kesaktian ayahnya Resi Suwandageni, tanpa harus melatihnya, berbeda dengan kakaknya Sumantri. Sumantri harus melatih baik dengan puasa, tapa brata dan melatih aji-aji serta mantera-mantera ilmu kedigjayaan.

Saat Sumantri pergi untuk mengabdi kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, Sukrasana tidak diberitahu ayahnya Resi Suwandageni kemana Sumantri pergi. Namun Sukrasana minggat pergi tanpa pamit untuk mencari tahu pengembaraan Sumantri. Singkatnya Sukrasana berhasil menemui Sumantri dihutan kawasan Negara Maespati, sedang menyendiri, masgul akan tugas dari Prabu Arjuna Sasrabahu untuk memindahkan Taman Sriwedari dari Kahyangan Utarasegara di Suralaya ke Kerajaan Maespati. Karena Sumantri bercerita tentang tugas beratnya dari Prabu Arjuna Sasrabahu. Tanpa sadar Sumantri menyebut-nyebut nama Sang Prabu yang didengar Sukrasana dengan cara yang ganjil, saat itu juga Sukrasana menyerap atau meniru kesaktian sang prabu itu, diantaranya kesaktian memindahkan taman Sriwedari tsb.

Dahsyatnya ajian itu akan semakin menjadi-jadi apabila pemiliknya dibiarkan tumbuh dewasa dan hidup lama. Ajian itu akan mampu menyerap habis ilmu-ilmu orang sejagat-raya, bahkan kehidupan seseorang akan dikendalikannya. Orang yang mempunyai kemampuan seperti itu akan cenderung menjadi lalim dan diktator, lupa-daratan karena memiliki segalanya. Semar dan Togog yang mempuyai tugas menjaga keseimbangan alam raya hanya diperbolehkan bertindak melalui tangan orang lain, dan tidak bisa bertindak langsung. Maka Semar segera mengirim telik wangsit melalui kaca Lopian Hyang Otipati akan bahaya masa depan manusia dimasa kehidupan Sukrasana. Jadi Sukrasana harus dibunuh sebelum tumbuh dewasa.

Sang Prabu memberikan ujian kepada Sumantri, karena tampaknya Sumantri terlalu cepat menepukkan dada untuk menyatakan siap menerima segala tugas-tugas berat yang diberikan. Sikap percaya diri berlebihan itu karena dia memiliki andalan senjata anugerah Dewa, yaitu senjata sakti ‘Cakrabeswara’. Sumantri yang sangat menyayangi adiknya Sukrasana dapat tega mengancam dengan panah yang disusul tewasnya Sukrasana. Peristiwa tewasnya Sukrasana sungguh diluar kehendak Sumantri. Seakan ada campur tangan lain yang mengatur kejadian itu. Untuk jelasnya lebih baik kita kilas balik dengan mundur sejenak kebelakang,  setelah Sumantri mendapat anugerah pusaka dari Dewa.

Di pertapaan ayahnya, Sumantri gelisah, sering duduk melamun, sifat petualangannya bergejolak menyeruak. Dia ingin turun gunung, ingin mencari pengalaman luas, ingin mencari pengakuan dari orang-orang di luar akan jati dirinya. Dia ingin mengabdi pada suatu kerajaan besar, tapi Sumantri mematok syarat, sang raja harus lebih sakti dari dirinya. Maka kehidupan di pertapaan yang sunyi sanyap semakin menyiksa batinnya. Hiburan satu-satunya adalah bercengkerama dengan adiknya Sukrasana, berburu ke hutan bersama, namun waktu terus berjalan, rasa bosan dan keinginan mengembara semakin mencekiknya.

Sang resi ayahnya melihat perobahan perilaku putra sulungnya, walau Sumantri berusaha menutup-nutupinya. Akhirnya suatu malam Sumantri dipanggil ayahnya setelah Sukrasana terlelap dengan tidurnya. Terlihat sang resi sekarang telah berumur lanjut. Sang resi sudah menduga keinginan anaknya, mengembara mencari pengalaman hidup, dan sang resi tahu pula bahwa selain mengembara, Sumantri ingin mengabdi pada sesuatu kerajaan, tetapi dengan syarat sang raja harus lebih sakti dari dirinya. Maka sang resi menunjukkan seorang raja yang kesaktiannya tak ada bandingannya, selain sang raja seorang bijak dan dermawan. Dia adalah Prabu Arjuna Sasrabahu, seorang raja titisan Batara Wisnu. Ayahnya kemudian menasehati agar Sumantri baik-baik menghadapinya, dan menjelaskan bahwa sang prabu masih saudaranya juga. Dengan panjang lebar, ayahnya Resi Suwandageni menjelaskan silsilah keluarga mereka (seperti diuraikan di atas), dengan keluarga Kerajaan Maespati dimana Prabu Sasrabahu bertahta. Ayahnya berpesan bahwa yang bertitah adalah SangHyang Batara Wisnu dan siapapun yang mendapatkan tugas daripadanya pasti akan jaya. Sebaliknya bila pekerjaan itu bukan titah Baginda, ia akan menemui kemalangan. Banyak lagi pesan dan nasehat ayahnya sebelum Sumantri pergi. Kepergian Sumantri dari pertapaan Jatisarana adalah untuk mengejar sesuatu yang menjadi kebutuhan hidupnya, yaitu impiannya atau cita-citanya, ambisinya dan harapannya.

Banyak orang berhasil yang mengawali langkah keberhasilan dalam hidupnya dengan bermimpi. Setinggi apa pun mimpi seseorang, jika kita benar-benar yakin bahwa mimpinya akan berhasil dan mau berusaha keras untuk mewujudkannya, maka pastilah suatu saat mimpi tersebut akan menjadi kenyataan. Dalam realitas kehidupan, seseorang harus memiliki cita-cita dan impian agar hidup dapat terarah dan memiliki tujuan yang jelas. Orang bebas merancang impian sesuai dengan yang inginkannya dan juga bebas untuk mengubah impiannya setiap saat jika memang suara hati menghendaki untuk mengubahnya. Keberhasilan dan kesuksesan dalam hidup selalu berawal dari impian. Namun tidak semua orang berhasil mewujudkan impiannya. Hal ini bergantung pada bagaimana orang itu bisa mengarahkan impiannya menjadi kenyataan yang diharapkannya. Orang yang berhasil mewujudkan impiannya adalah orang yang dapat menyelaraskan antara impian dengan tindakan. Suatu impian akan dapat dicapai jika tidak terlena dengan impian-impian itu dan selalu hidup dalam dunia impian, namun mengharap untuk mau mengubah sikap dan tindakannya menuju ke arah impian yang dicita-citakannya. Jika saat ini kondisi dan keadaan sangat jauh dari impian yang dimilikinya, seseorang harus mengubah perilaku dan tindakannya untuk mencapainya. Dengan kata lain, harus keluar dari zona kenyamanan (comfort zone).

Impian tanpa ambisi, bagai kendaraan tanpa bensin. Siapapun memenuhi syarat untuk mencapai potensi penuh di dalam hidupnya. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain bahwa dirinya mampu mencapai kemajuan hidup. Tidak ada seorangpun yang ditakdirkan untuk gagal, semua orang ditakdirkan untuk mencapai keberhasilan. Ambisi merupakan kesadaran diri yang tinggi, motivasi, gairah, semangat, interospeksi, dan visi yang jelas. Tidak boleh ada keraguan. Tidak boleh ada ketakutan. Tidak boleh ada perasaan tidak mampu. Semua orang memiliki kemampuan alami untuk mencapai impian hidupnya. Untuk itu, harus ada ambisi di dalam diri, dan keinginan yang membara untuk mencapai sesuatu yang lebih besar di dalam hidup. Ambisi haruslah mengalir di dalam energi positif. Ambisi harus di dalam interospeksi, pengendalian diri, sikap rendah hati, belajar tanpa henti, serta menghidupkan energi motivasi secara konsisten di dalam setiap keadaan dan situasi. Jangan biarkan terjebak dalam perasaan superior ataupun inferior, sebab keduanya akan membawa seseorang ke dalam penderitaan dan tekanan hidup. Sangat banyak pelajaran yang diberikan oleh kehidupan nyata kepada orang yang ingin lebih maju. Pelajaran yang mudah dan tersulit selalu ada di sepanjang kehidupan. Diperlukan mental yang unggul untuk menghadapi semua pelajaran hidup tersulit. Diperlukan emosi yang cerdas dan pikiran positif untuk bertindak menuju arah pencapaian terbaik. Fokuskan perhatian kepada semua hal-hal detail. Hindari tinggi hati dan kemalasan. Lakukan pekerjaan dengan sangat baik dari integritas diri yang tinggi. Jangan berbohong pada kehidupan nyata, karena ada hukum alam yang mengawasi semua perilaku. Apa yang ditabur akan menuai. Jadi, dalam kehidupan nyata, hukum alam yang merupakan hukum Tuhan akan menjadi penilai atas keberhasilan dan kegagalan hidup seseorang. Ambisi dalam diri adalah kekuatan untuk mendorong kemajuan hidup. Ambisi dalam sikap rendah hati dan berserah diri kepada Tuhan adalah hadiah untuk mencapai kemajuan. Ambisi untuk mencapai yang terbaik di jalan Tuhan adalah cara untuk mencapai kemenangan dan sekaligus kebahagiaan. Ambisi yang membuat seseorang berjuang dengan totalitas dan sepenuh hati adalah energi untuk sukses. (oleh Djajenra)

Sumantri berkemauan keras dengan impian-impiannya, ajaran ayahnya tidak membuatnya jadi perenung, dia berusaha mewujudkan kedalam tindak nyata. Keteguhan hatinya akan keyakinannya dapat mengalahkan Jin raksasa, dapat menggugah Dewata untuk memberikan Senjata Pusaka Cakrabeswara. Dengan senjata pusaka itu ditangannya, Sumantri mulai membentuk semua impiannya menjadi tujuan dan arah cita-citanya, yaitu mengabdi kepada Raja. Sumantri diterima kerja oleh Mahapatih Maespati. Semula dia hanya bertugas sebagai prajurit biasa. Tetapi karena kemampuan laganya yang luar-biasa, sedikit demi sedikit dia diangkat menjadi prajurit gugus depan yang membawahi 1000 prajurit.

Ambisi untuk maju dan membuktikan diri, membuatnya dibenci pejabat-pejabat teras Istana. Sumantri tidak sadar akan lingkungan sekitarnya yang gerah memanas, kekurangan introspeksi membuatnya sering dijahili dan dimanfaatkan oleh atasan-atasannya. Kurang rendah hati, kurang mau belajar terhadap pergaulan antara pejabat istana, mau tidak mau Sumantri terjebak sendiri pada perasaan superior karena kesaktiannya atau karena dia yang paling berjasa memenangkan semua duel dengan musuh-musuh Kerajaan Maespati. Ada perasaan tinggi hati pada satu segi kemampuan tempur dan kanuragan, namun tenggelam pada kubang inferior, karena sebagai pemuda desa Sumantri tidak punya pengalaman pergaulan pada perjamuan-perjamuan pejabat kekaisaran apalagi di lingkungan putri-putri kerajaan. Kemampuan tata krama percakapan, sikap membawa diri pada pergaulan antara para prajurit gugus depan dengan para Narpati, membuatnya kurang begitu diperhitungkan.

Memang Sumantri memiliki mental baja, hasil tempaan ayahnya, menghadapi kesulitan hidup dan pelajaran bersosial di lingkungan kerajaan. Emosinya terjaga dengan kesopanan cerminan anak dari seorang resi, tidak meledak-ledak, tetapi digantikan sikap berwibawa setiap menerima titah atasan-atasannya. Sehingga meskipun dia masih berkedudukan sebagai hulubalang atau prajurit gugus depan dari mahapatih kerajaan Maespati, namun wibawanya cukup menggetarkan hati atasannya. Ada pepatah mengatakan sekali mutiara tetaplah mutiara walau dipendam dalam lumpur. Bintang gemerlapnya mulai tampak menyeruak, tatkala Narpati Soda, atasannya mempercayakannya memimpin pasukan penjemputan Dewi Citrawati dari Kerajaan Magada kakak Prabu Citragada. Kerajaan Magada pernah diancam oleh Raja Darmawisesa dari Kerajaan Widarba, karena menolak pinangannya untuk Dewi Citrawati. Sebagai balasan atas penolakan lamarannya, Kerajaan Magada akan diserbu oleh Kerajaan Widarba. Atas prakarsa Prabu Arjuna Sasrabahu, Kerajaan Maespati memberikan bantuan pasukan perang lengkap dengan perwira-perwiranya. Dibalik bantuan Kerajaan Maespati kepada Kerajaan Magada, Prabu Arjuna Sasrabahu berniat juga untuk meminang Dewi Citrawati untuk dijadikan permaisurinya, karena sampai saat itu sang Prabu belum juga menikah. Tentu saja lamaran Prabu Arjuna Sasrabahu diterima dengan tangan terbuka bahkan Prabu Citragada merasa sangat tersanjung, kakaknya Dewi Citrawati dilamar raja sebesar raja Maespati. Sekaligus kelegaan Prabu Citragada dari tekanan Raja Darmawisesa. Kemurkaan Raja Darmawisesa dibuktikan dengan mengirimkan seluruh balatentaranya berikut balatentara Kerajaan sahabat.

Peperangan besar tidak dapat dihindarkan lagi antara gabungan Kerajaan Magada dan Kerajaan Maespati melawan Kerajaan Widarba. Kedua prajurit bertarung dengan penuh kesungguhan demi raja yang diagungkannya. Tetapi ada yang berubah dari hari ke hari, pasukan gugus tengah yang dipimpin Sumantri kian mendesak mundur seluruh pasukan Kerajaan Widarba di semua lininya. Kejadian itu membuat Raja Darmawisesa resah, maka untuk mencegah berjatuhannya banyak korban, Raja Darwawisesa menantang pertarungan antar narpati dari dua kerajaan yang berseteru saja. Tantangan diterima dengan ksatria oleh Kerajaan Maespati. Dari pihak Kerajaan Maespati bersiap maju adalah Prabu Citragada raja Magada sendiri didampingi narpati-narpati Kerajaan Maespati yaitu; Narpati Soda atasan Sumantri, Narpati Wisabajra, Narpati Suryaketu, Narpati Kalingpati, Narpati Candramaketu, Narpati Sastranegara. Sedang dari pihak Kerajaan Widarba adalah Patih Godadarma, Prabu Sriwindu, Prabu Sindarloba, Prabu Darmapati, Prabu Kodrabanu, Prabu Redradarma. Pada waktu dan tempat sudah ditentukan, maka berhadap-hadapanlah keenam petinggi kedua kerajaan, kecuali Prabu Citragada. Perang tanding satu lawan satu berlangsung seru, masing-masing perwira mengerahkan kanurangan dengan aji-aji ampuh disertai senjatanya pamungkasnya. Masing-masing pihak tidak ada yang mau mengalah. Selang beberapa lama, tampaklah keunggulan perwira-perwira Kerajaan Maespati. Satu persatu Narpati-narpati Kerajaan Widarba berguguran, kecuali Patih Godadarma tampak sangat tangguh ketika menghadapi Narpati Soda. Narpati Soda sudah banyak terluka dan amat kepayahan. Ketika saat kritis keris Patih Godadarma akan melibas leher Narpati Soda, sebilah pedang menahannya, hingga arah keris itu melenceng bahkan terlempar saking kuatnya pedang itu menangkisnya. Tampak tubuh tegap menghalangi tubuh Narpati Soda. Sumantri telah menolong atasannya pada saat-saat genting. Patih Godadarma tidak ambil pusing siapa yang telah menolong lawannya, dia segera memungut kerisnya dan langsung menyerang Sumantri. Pertarungan berlangsung seru, tetapi tidak berlangsung lama, Patih Godadarma terdesak hebat oleh sabetan-sabetan pedang Sumantri, hanya masalah waktu bagi kejatuhan Patih itu, ketika pedang Sumantri menyabet dada dan menembus pinggang sang patih. Patih Godadarma, narpati terakhir dari Kerajaan Widarba yang masih berdiripun akhirnya tumbang. Sejak saat itulah nama Sumantri mulai diperhitungkan dan mulai diperbincangkan diantara para perwira Kerajaan Maespati.

Bukan kepalang marahnya Prabu Darmawisesa ketika melihat adiknya, Patih Godadarma dan kelima raja kerabatnya tewas. Maka sambil menghunus sebilah keris Baginda bermaksud menyerang malam itu juga, jika tidak ditenangkan adiknya Dewi Darmawati, untuk maju perang pada hari berikutnya saja. Pada hari berikutnya Prabu Darmawisesa yang memimpin pasukannya langsung, dan kali ini Sumantri memimpin seluruh pasukan mewakili Narpati Soda yang terluka. Pertempuran antara kedua pasukan berlangsung seru dan ketat, tetapi Sumantri melihat semakin banyaknya korban berjatuhan, maka dia bersiap mengakhiri perang dengan caranya sendiri. Sumantri menghunus panah pusaka Cakrabeswara dan melepaskan kearah pasukan Widarba. Para panglima perang Widarba itu berguguran diamuk senjata itu. Bahkan tombak pusaka Prabu Darmawisesa yang dilontarkannya tidak mampu menahan laju melesatnya panah Cakrawisesa. Tombak pusaka hancur luluh. Prabu Darmawisesa masih memiliki senjata panah pusaka, bernama ‘Kresna Pujangga’. Dia segera menghunuskan untuk menahan laju terbang Cakrabeswara. Benturan kedua panah pusaka menimbulkan dentuman kuat di udara disertai semburatnya sinar. Akan tetapi senjata Kresna Pujangga nampak menghilang karena tidak sesakti Cakrabeswara. Dan panah Cakrabeswara masih berputar-putar di angkasa, lalu menukik ke arah Prabu Darmawisesa. Tubuh sang prabu meledak berkeping-keping disambar panah Cakrabeswara. Melihat peristiwa itu, balatentara Widarba nampak sangat ketakutan dan segeralah mundur. Diantaranya banyak tentara yang melarikan diri sambil membuang senjatanya dan adapula yang menyerah. Sebaliknya balatentara Magada bersorak-sorai sambil menyerbu mengejar bala tentara Widarba yang ketakutan. Sumantri dielu-elukan segenap prajurit dan dibopong sepanjang perjalanan kembali ke kerajaan Maespati. Narpati Soda yang terluka memaksakan diri menyambut di pintu gerbang, dia segera memeluk Sumantri, yang telah menyelamatkan seluruh balatentara Maespati dan Magada. Dia segera berniat melaporkan akan jasa-jasa Raden Sumantri kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, esok harinya.

Keesokan harinya Prabu Arjuna Sasrabahu mengadakan rapat lengkap, dihadiri semua Narpati yang merupakan Raja-raja yang berniat dengan suka rela bergabung dan takluk dengan Kerajaan Maespati. Rapat antar petinggi Maespati berlangsung di balairung kerajaan, nampak Sumantripun hadir disamping Narpati Soda. Rapat membahas hasil pertempuran yang berlangsung kemarin, semua Narpati melaporkan akan kehebatan dan jasa-jasa Sumantri yang bertempur dan membunuh Prabu Darmawisesa. Mereka serempak menyatakan jika tidak ada Sumantri, pasukan Widarba tentu akan mampu mengalahkan pasukan Magada, karena kesaktian dari Prabu Darmawisesa yang sangat tinggi. Tetapi berkat adanya Raden Sumantri yang meghalangi angkara murka Prabu Darmawisesa, semua Narpati prajurit dapat selamat. Bahkan lebih dari itu, Raden Sumantri mampu mengalahkan dan membunuh Raja Widarba tersebut. Demikian laporan para Narpati berebut saling mendahului dan saling melengkapi laporan dari lainnya. Sumatri hanya tertunduk malu dan jengah. Disinilah Sumantri mulai belajar mengendalikan emosi dan pikiran positifnya untuk bertindak lebih maju kearah pencapaian terbaik, mengabdi langsung kepada Baginda Prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri mulai bisa mengendalikan ambisinya, meskipun peluang bagi ‘si penjilat’ terbuka lebar untuk menunjukkan ke-akuannya. Tetapi tidak bagi Sumantri, dia tetap tertunduk khusu menunggu keputusan Sang Prabu.

Yang ditunggu-tunggupun tiba, Prabu Arjuna Sasrabahu memanggilnya. Beliau ingin lebih bertatap muka. Sumantri mendekat dengan posisi ‘abdi dalem’ yaitu bergeser mendekat dengan cara beringsut, tidak menegakkan kedua kakinya. Sang Prabu terpana karena usia merekapun hampir dan mungkin sebaya, dengan wajah ada kemiripan layaknya wajah seorang kakak beradik. Sumantri diam saja, tidak memperkenalkan diri bahwa dia dan Prabu masih saudara sepupu dekat. Dia ingin prestasi jabatannya berdasarkan hasil jerih payah dan keahliannya. Juga tatkala Sang Prabu menanyakan nama dan asalnya. Sumantri menjawab lengkap namanya sebagai Bambang Sumantri anak seorang resi dari pertapaan Jatisarana. Sang Prabu menanyakan maksud Sumantri mengabdi di Maespati. Sumantri sangat tertarik oleh kemuharan hati Prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri bersedia menyumbangkan tenaga untuk melakukan titah Sang Prabu. Sang Prabu menyampaikan pertanyaan sulit yang diwanti-wanti ayahnya, agar berhati-hati dan harus bisa membawa diri di hadapan Sang Prabu. “Bambang Sumantri, apakah yang kau harapkan dari tahtaku ini? Bila kau harapkan keutamaan tidaklah mungkin, karena diriku sendiri belum sempurna. Bila engkau mengharapkan kemuliaan engkau tak akan dapat bahagia. Apa gunanya engkau ingin menghambakan diri? Cita-citamu itu akan berganti dengan derita belaka. Adapun para raja yang cinta kepadaku itu, bukanlah mengharapkan kemuliaan. Mereka sekedar ingin persaudaraan, ingin berkumpul dan bersatu dengan daku yang kurang pengetahuan.” Sumantri yang cerdas menjawab diplomatis menyembunyikan ambisinya dengan menjawab: “Duh wahai Tuanku, ampunilah hamba. Bukanlah itu maksud hamba. Cita-cita hamba ialah ingin mengabdi kepada Tuangku Prabu.” Maka tertariklah Sang Prabu Arjuna Sasrabahu ketika mendengar jawaban Raden Sumantri. “Bambang Sumantri, keinginanmu itu akan kukabulkan. Bersediakah tenagamu untuk pergi Magada.” ujar Sang Prabu. Sumantri sudah mendengar dari Narpati Soda, bahwa Baginda Prabu akan meminang kakak raja Magada, yaitu Dewi Citrawati. Tapi pengetahuannya itu disimpannya dalam hati, hingga Sang Prabu sendiri yang mengutarakannya. Sumantri bertanya sopan: “Apakah kehendak Paduka Tuanku di Kerajaan Magada itu?.” “Aku bermaksud akan meminang Dewi Citrawati. Semula aku akan membantu Prabu Citragada Raja Magada, tetapi engkau telah menyelesaikan apa yang menjadi rencanaku. Maka baiklah Sumantri pergilah engkau ke Magada sebagai wakilku untuk meminang Sang Dewi. Segala tanggung jawabku, kuserahkan kepadamu. Tapi sebelum itu pergilah ke perbendaharaan dan gantilah pakaianmu dengan sesuka hatimu. Ikutilah penjaga itu, dia akan mengantar ke ruangan perbendaharaan. Dan ajaklah uwa Semar dan putera-puteranya.” Penjaga keraton mengajak Sumantri ketempat Semar dan anak-anaknya berkumpul, sebelum ke kamar perhiasan. Selama menunggu Sumantri dan Semar kembali dari kamar perhiasan, Prabu Arjuna Sasrabahu memanggil semua pejabat teras dan para Narpati. Beliau akan membuat keputusan penting.

Sementara di kamar perhiasan, Sumantri sibuk memilih-milih pakaian, sementara sepasang mata memandang tajam seakan menembus isi hati dan sanubari Sumantri, kemudian dia tersenyum maklum campur kecut. Sepasang mata itu adalah sepasang mata Semar yang sedang menilai jati diri Sumantri menembus hingga nasibnya hingga ke masa mendatang. Pantaslah Baginda Prabu meminta dirinya untuk menemani Sumantri, karena Prabu Arjuna Sasrabahu ingin mendapat gambaran lengkap tentang Sumantri. Dan dari pengamatan mata sakti Semar, akhirnya diambil kesimpulan bahwa anak muda ini mempunyai tekad baja terhadap kehidupan ini, kematian saja tidak dapat menghalangi tekadnya untuk menjalani kehidupan. Terbukti pada zaman Mahabrata 300 tahun mendatang, Sumantri akan berreinkarnasi pada Narasoma, kemudian berganti nama menjadi Prabu Salya dari Kerajaan Mandraka setelah menikahi putri tunggal Bagawan Bagaspati brahmana raksasa di pertapan Argabelah, bernama Dewi Setyawati. Karakter Sumantri yang sekarang tidak muncul, kelak di masa Prabu Salya, karakter terpendamnya muncul. Dia mempunyai sifat dan perwatakan tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Sedangkan Begawan Bagaspati adalah titisan Sukrasana yang tidak mau berpisah dengan kakaknya Sumantri. Begawan Bagaspati menikah dengan Dewi Darmastuti, seorang hapsari atau bidadari. Semar kelak akan mengarahkan nasib Begawan Bagaspati (titisan Sukrasana) untuk bertemu dengan Narasoma (titisan Sumantri), melalui puterinya Dewi Setyawati. Namun Sukrasana tidak akan kekal berkumpul dengan ‘arwah Sumantri’, karena Narasoma tidak menghendaki mempunyai mertua seorang raksasa, meskipun dia seorang Brahmana. Sifat congkak dan tinggi hatinya tidak hilang sejak masa Arjuna Sasrabahu. Sumantri atau Narasoma tidak mau cacat gengsi di hadapan masyarakat dan handai taulannya. Semua kesaktian Sukrasana ‘Belah Jiwa’, yang dahulu sudah matang, kelak akan dibungkus oleh Semar kedalam bentuk raksasa bernama Candrabirawa. Raksasa Candrabirawa ini tidak dapat mati, Aji ‘Belah Jiwa’ membuat raksasa ini, yang apabila dilukai musuh maka jumlahnya justru akan berlipat ganda. Karena Sukrasana tetap menyayangi ‘Sumantri’ dalam raga Narasoma, akhirnya ajian Candrabirawa diwariskannya kepada Narasoma, dan Begawan Bagaspatipun moksa hilang dari kehidupan manusia. Candrabirawa itu hanya dapat dikalahkan dengan kesabaran, seperti ketika ia melawan Yudistira, seorang yang tak pernah marah, Candrabirawa tak kuasa mendekatinya karena ia merasa panas seperti dibakar, hingga mengundurkan diri. Dalam perang itu, Prabu Salya akhirnya tewas oleh Yudistira.     

“Tapa’ Semar yang menerawang menembus ruang dan waktu, pudar seketika tatkala Cepot menanyakan siapakah sebenarnya Raden Sumantri. Semar menjawab yang menjadi rahasia mereka berempat. Sumantri sebenarnya masih saudara sepupu Prabu Arjuna Sasrabahu. Karena kakeknya Sumantri Raden Wisanggeni adalah adik kandung kakek Prabu Arjuna Sasrabahu yaitu Prabu Heria. Hanya Sumantri tidak mau mengutarakan siapa dia sebenarnya, karena takut Sang Prabu tidak tega untuk menyuruh-nyuruhnya. Sumantri ingin kedudukan dari pengabdiannya adalah hasil jerih payahnya. Jadi Semar menganjurkan agar mereka mengikuti Raden Sumantri. Sementara itu Bambang Sumantri sudah selesai berpakaian ksatria, tampak kini keagungan dan kewibawaan seorang senapati pilih tanding. Dengan diiringi Semar dan ketiga putranya, Sumantri kembali kebalairung diantar penjaga keraton. Tak lama setelah itu sampailah mereka ke hadapan Sang Prabu. Baginda Prabu bangkit dari singgasana dan bertitah agar Raden Sumantri duduk sejajar dengan Para Narpati. Semakin bertambah tertarik hati Sang Prabu. Maka setelah Raden Sumantri duduk di tempat yang telah disediakan, Sang Prabu mulai bersabda: “Para Narpati sekalian. Bahwa kita sudah mengadakan bantuan perang kepada Kerajaan Magada. Seperti yang sudah dilaporkan kita sudah memenangkan pertempuran. Dan itu semua berkat jasa-jasa Raden Bambang Sumantri, yang sudah membunuh Prabu Darmawisesa Raja Widarba. Maka berkat jasa-jasa, keberanian, keunggulan dan kesaktian Raden Sumantri, sejak hari ini dia kuangkat menjadi Patih Kerajaan Maespati ini.” Sejenak sunyilah keadaan di balairung itu. Sang Prabu mulai  bersabda lagi: “Maka sangatlah kuharapkan, pertama kepada Raden Sumantri, bertindaklah sebagai wakilku dengan kejujuran hati. Kedua, kepada segenap para Narpati, sudilah berunding dengan Raden Sumantri bila mendapat kesukaran selama di Magada. Dan umumkanlah kepada pasukannya masing-masing bahwa seluruh angkatan perangpun berada di bawah kekuasaan Raden Sumantri. Demikian pula kepada Uwa Semar sekeluarga. Temanilah patihku ini seakan-akan menghadapi daku.” Demikian sabda Prabu Arjuna Sasrabahu disambut dengan takjim oleh seluruh yang hadir di balairung.

Pada keesokan harinya keadaan di Maespati terlihat sibuk oleh rakyat dan balatentara yang menyediakan segala yang akan dibawa ke Magada. Raden Sumantri serta para Narpati nampak sibuk pula memerintahkan bermacam-macam pekerjaan. Dalam waktu beberapa hari saja persiapan selesailah. Laporan kepada Bagindapun telah disampaikan. Dan surat perintah untuk ketentuan hari keberangkatanpun telah diserahkan oleh Sang Prabu. Surat itu segera dibawa pesuruh ke alun-alun yang kemudian disampaikan ke hadapan Raden Sumantri. Raden Sumantri membaca sabda Baginda bahwa mereka semua berangkat esok hari.

Pagi-pagi benar Raden Sumantri serta para Narpati dan balatentara segera berangkat meninggalkan Maespati. Setelah beberapa hari berjalan maka sampailah ke tugu perbatasan Kerajaan Magada sebelah timur. Dua orang diantara penjaga-penjaga perbatasan itu segera bersiap. Sumantri memerintahkan seorang kepala pasukan menjelaskan bahwa mereka dari Kerajaan Maespati dan menjelaskan maksud kedatangannya. Penjaga perbatasan segera beranjak pergi ke pusat kerajaan Magada. Tak berapa lama penjaga tiba bersama Patih Sembada dari Magada. Raden Sumantri menjemput Patih Magada dan berbincang-bincang ramah tentang pesan dari Sang Prabu. Dan sementara itu pasukan membawa barang dan diijinkan berkemah, karena pinangan Sang Prabu belum resmi diterima oleh Sang Dewi, jadi ajakan Patih Sembada ditolak halus oleh Sumantri, begitu pesan Sang Prabu. Maka segeralah Raden Sumantri serta para Narpati memerintahkan bala tentara agar membuat perkemahan. Seketika itupun mulailah mereka bekerja dengan sibuk. Tampak Semar dan para putranya sibuk juga mendirikan tenda perkemahan. Dalam sehari selesailah perkemahan itu. Untuk Raden Sumantri dan para Narpati telah disediakan sebuah perkemahan yang besar. Kemudian diajaknya para Narpati itu berkumpul. Lalu disampaikan, bahwa Sumantri akan kepusat kerajaan bersama Patih Sembada untuk menyampaikan pinangan.  

Sumantri diantar Patih Sembada menghadap Raja Magada Prabu Citragada di gerbang balairung. Maka seakan-akan kedatangan Prabu Arjuna Sasrabahu sendirilah, Prabu Citragada itu menjemput Raden Sumantri. Kemudian dikatakannya pula maksud kedatangannya untuk mewakili Prabu Sasrabahu untuk meminang Dewi Citrawati. Keduanya bercakap-cakap mengakrabkan diri, sebelum Prabu Citragada mengantar Raden Sumantri ke keputren kakaknya Dewi Citrawati. Saat itulah selama Raden Sumantri tengah bercakap-cakap dengan Prabu Citragada, Batara Narada diutus Hyang Otipati untuk menemui Sang Dewi memberitahu sebentar lagi ada utusan Kerajaan Maespati datang menemuinya. Dia merupakan utusan Raja penjelmaan Batara Wisnu, yang datang untuk meminang Sang Dewi yang merupakan penjelmaan Dewi Sri Sekar.

Tak lama kemudian terlihatlah oleh Sang Dewi bahwa Prabu Citragada datang menuju ke kaputren mengiringi Raden Sumantri dan para pengawalnya para panakawan. Sang Dewi mengatakan bahwa sudah terbukti Sang Prabu Maespati mampu menundukkan raja-raja yang ditolak olehnya, terutama Raja Widarba. Maka tidak alasan lagi untuk menolak pinangan Sang Prabu Maespati. Semua yang hadir menjadi lega mendengarnya, terutama Raja Citragada, karena kakaknya selalu menolak lamaran dari raja-raja, dan yang terakhir menolak lamaran Raja Widarba yang berujung ancaman akan menundukkan Kerajaan Magada dan akan menculik kakaknya Dewi Citrawati. Satu yang mengejutkan adalah laporan dari Raden Sumantri; “Ada lagi yang perlu dilaporkan dari hasil peperangan sebagai bingkisan. Diantaranya ialah tawanan balatentara Widarba dan sekutunya Jonggarba yang benar-benar berminat hendak menghambakan diri kepada Baginda Prabu Magada. Kemudian akan kami sampaikan para janda permaisuri raja-raja bawahan Widarba dan seorang adik Prabu Darmawisesa ialah Dewi Darmawati. Dan sejumlah kekayaan Prabu Darmawisesa yang telah kami rampas dari perkemahannya.” Tapi Prabu Citraga dengan halus menolak, karena semua adalah hasil jerih payah Raden Sumantri senapati Kerajaan Maespati, maka yang berhak menerimanya adalah Prabu Arjuna Sasrabahu, sedangkan Prabu Citragada dan kerajaan Magada bermaksud hendak dipersatukan di bawah panji Kerajaan Maespati. Sang Prabu hendak berhidmat kepada Prabu Arjuna Sasrabahu. Banyak lagi yang diperbincangkan, akhirnya Prabu Citragada mengutus Patih Sembada untuk menjemput Dewi Citrawati. Sang Dewi pun menjawab bahwa tidak akan keberatan memenuhi panggilan dan segera turun dari tempat duduknya.

Bersamaan dengan hadirnya Sang Dewi, saat itu juga rombongan tandu yang membawa para janda raja-raja Widarbapun baru tiba memasuki gerbang Keraton Magada. Sang Dewi memasuki Keraton Magada dari pintu lain, sementara iring-iringan janda permaisuri raja-raja bawahan negara Widarba memasuki balairung. Diantaranya terlihat Dewi Darmawati datang bersembah ke hadapan Baginda dan Sang Dewi Citrawati. Sang Dewi bertanya apakah mereka tidak keberatan bila sementara berdiam di kaputren. Adapun Dewi Darmawati dan para permaisuri sangatlah bergembira ketika mendengar sambutan Dewi Citrawati. Baginda beserta Sang Dewi dan Raden Sumantri, kemudian membicarakan rencana perpisahan dan kepastian-kepastian hari keberangkatan Sang Dewi ke Maespati. Baginda memutuskan dua hari lagi sebelum berangkat akan diadakan hari perpisahan bagi Dewi Citrawati terhadap rakyat Magada. Maka perundingan selesai. Kemudian berangkatlah Dewi Citrawati diiringi Dewi Darmawati dan permaisuri-permaisuri meninggalkan balairung keraton Magada menuju kaputren sang Dewi. Dan Raden Sumantripun segera menyusul mohon diri untuk mempersiapkan tentara-tentara untuk menghadiri acara perpisahan.

Tak lama kemudian seluruh balatentara bekerja dengan sibuknya membereskan perkemahan, lalu dibongkar bersiap untuk memasuki Kawasan Alun-alun Keraton Magada. Setiba di alun-alun terlihat Patih Sembada menyambut kedatangan Raden Sumantri dan mempersilahkan masuk beserta seluruh balatentara pengiring ke halaman keraton dengan bebas. Maka pada hari itu pintu gerbangpun nampak selalu terbuka dan penuh sesaklah halaman yang luas itu. Di situlah seluruh balatentara Maespati dan Magada beserta seluruh rakyat Kerajaan Magada turut serta memeriahkan hari perpisahan. Terlihatlah kembali Keraton Magada yang dibanjiri oleh para tamu dan penonton itu. Hingga saat itu balatentara Maespati telah tiga hari tiga malam dijamu di keraton. Bermacam-macam tingkah laku mereka selama itu. Ada yang bersenda gurau duduk bercakap-cakap dipelataran tangga masuk lobi balairung, ada yang berjalan-jalan, tertawa-tawa, melamun dan ada juga diantaranya yang mengantuk. Semua orang memenuhi kesetiap pelosok alun-alun dan halaman luar keraton. Tidaklah heran lagi, karena mereka sangat merasa bebas yang kebiasaannya selalu terikat kewajiban peraturan keprajuritan yang serba kaku dan ketat.

Tibalah sekarang pada waktu dilangsungkannya upacara perpisahan. Terlihatlah Dewi Citrawati disertai adiknya Prabu Citraga dan Raden Sumantri berjalan menuju ke panggung diiringi oleh para emban dan patih. Maka ramailah suara tepuk tangan para hadirin yang menantikannya, ketika para petinggi melambaikan tangan memberi salam kepada ribuan hadirin. Kemudian berbicaralah Patih Sembada sebagai pembuka acara, disusul tampilah Prabu Citragada ke depan. Baginda bersabda bahwa sangatlah merasa gembiranya karena kunjungan rakyat dan tentara yang benar-benar mentaati titahnya. Baginda berpesan pula agar bertambah samangat dalam mengerjakan segala kepentingan Kerajaan disertai kejujuran dan keikhlasan hati. Sabda baginda yang terakhir ialah mengenai akan berpisahnya Dewi Citrawati dengan Kerajaan Pusaka itu dan rakyat berikut semua bala tentara. Dengan wajah berseri-seri baginda bersabda, bahwa sang dewi akan dibawa ke Maespati untuk dipersunting menjadi Permaisuri Prabu Arjuna Sasrabahu. Tak lupa baginda menyampaikan terimakasih atas jasa Raden Sumantri serta para senapati dan balatentaranya. Dan selesailah pesan-pesan Baginda itu dan disambut oleh tepuk tangan dengan riuhnya. Patih Sembada sebagai pembawa acara menyampaikan bahwa kini saatnya bagi Sang Dewi untuk tampil bertemu dengan rakyatnya. Dan beranjaklah Dewi Citrawati ke tepi panggung. Dengan anggun Sang Dewi menoleh ke kiri dan ke kanan sambil tersenyum. Banyaklah tentara Maespati yang baru pertama kali melihatnya, terpesona oleh kecantikan Sang Dewi. Maka bertambahlah serunya orang-orang itu bertepuk-tangan.

Kemudian mulailah Sang Dewi berkata dengan suaranya yang sangat merdu dan lembut. Mula-mula Dewi Citrawati mengucapkan terima kasih kepada segenap pengunjung. Setelah itu Sang Dewi menyampaikan terima kasihnya pula kepada Raden Sumantri dan para senapati serta tentara Maespati. Lalu disampaikan olehnya kepada seluruh rakyat Magada bahwa Sang Dewi akan meninggalkan mereka. Tatkala berkata demikian, air mata Sang Dewipun berlinang-linang dan suaranya agak tersendat haru. Maka seluruh rakyat yang hadir sangatlah merasa sedihnya ketika melihat keadaan demikian itu. Tidak sedikit rakyat yang tiada dapat menahan rasa pilu hatinya, nampak menundukkan kepala dan banyaklah para wanita yang menangis tersedu-sedu. Kemudian Sang Dewipun segera mengakhiri pertemuannya dengan mengucapkan selamat berpisah dan mengharapkan doa mereka. Lalu mundurlah Dewi Citrawati ke tempat duduknya. Patih Sembada hadir maju ke tepi panggung untuk menyampaikan bahwa Raden Sumantri akan mengucapkan sepatah dua patah kata. Raden Sumantri disambut oleh rakyat dan tentara Magada dengan bertepuk tangan yang seru. Sambutan mereka itu dibalasnya dengan senyuman. Mula-mula ia mengatakan sangat berterimakasih atas kunjungan seluruh rakyat. Bergembira bahwa mereka benar-benar mentaati titah serta mencintai Prabu Citragada dan saudarinya itu. Disampaikannya ucapan terimakasih atas sambutan dan jamuan dari baginda. Adapun hal mengenai hari perpisahan, Raden Sumantri mengharapkan keikhlasan hati rakyat Magada agar bergembira menerimanya. Bahwasanya raja yang akan meminang Dewi Citrawati itu ialah seorang Raja yang berbudi luhur dan sakti. Banyak pula saran-saran yang diajukan oleh Raden Sumantri, dan rakyat serta tentara Magadapun sangatlah merasa tertarik oleh ucapan-ucapannya itu. Raden Sumantri berseru agar bersatulah tujuan mereka didalam persaudaraan, yang disambut dengan meriah dan tepuk tangan yang gegap gempita. Dan Raden Sumantripun segera mengakhiri acaranya, tetapi tepuk tangan Rakyat Magada masih terus menggema seakan tak rela Raden Sumantri meninggalkan panggung. Patih Sembada segera maju ke muka untuk menutup acara. Dan mengatakan kepada para pengunjung semuanya tidak ada kekecualian dapat menemui Sang Dewi di balairung nanti untuk memberi salam menyampaikan doa selamat dan bahagia. Sang Dewipun segera menuju ke balairung, dan segera duduk di singgasana. Adapun sang patih nampak sibuk memerintah penjaga-penjaga keraton untuk serta mengatur rakyat yang akan menghadap kepada Sang Dewi. Maka acara terakhir itupun akan dimulai. Dengan berbaris satu persatu berturut-turut rakyat Magada yang ingin bertemu dengan Sang Dewi masuk ke balairung. Acara sungkeman itu dimeriahkan alunan gamelan di atas menara keraton, menambah khusu suasana sembah hormat perpisahan dari rakyat Magada kepada Sang Dewi. Acara sungkeman dan doa dari rakyat berlangsung hingga malam, dan dilanjutkan dengan pesta persahabatan antar balatentara Magada dan Maespati.

Pada keesokan harinya seluruh penjaga keraton bersiap dengan tugasnya masing-masing. Patih Sembada tampak yang paling sibuk memerintah kesana-kemari. Hingga kereta yang akan membawa keluarga raja siap di depan alun-alun. Dewi Citrawati serta para permaisuri raja-raja taklukan nampak berkumpul disertai Prabu Citragada di muka tangga keraton. Tak lama kemudian terdengarlah meriam berdentum tujuh kali sebagai tanda waktu keberangkatan. Prabu Citragada bersama kakaknya Dewi Citrawati dan Raden Sumantri duduk dalam satu kereta kerajaan. Sedangkan para pemaisuri raja-raja taklukan dan Dewi Darwati beserta emban-emban dibawa dengan tandu-tandu yang sudah dipersiapkan. Sepanjang perjalanan rakyat bergemuruh di tepi jalan yang dilalui rombongan. Sang Dewipun tidaklah henti-hentinya melambaikan tangannya menyambut seruan rakyat yang berjejal-jejal di sepanjang jalan. Rombongan yang membawa kereta dan tandu-tandu bertambah panjang ketika rombongan kuda pengawal mulai mengikuti di belakang. Dan berisan terakhir adalah balatentara Maespati.

Dan tidaklah terasa oleh barisan itu bahwa perbatasan kerajaan tengah mereka lalui. Akan tetapi sepanjang perjalanan itu Sumantri nampak bermuram saja. Pandangannya selalu di tujukan keluar kereta, memandangi daerah-daerah yang dilaluinya tetapi dengan pikiran berada di tempat lain. Dia selalu bertopang dagu, hampir sepanjang perjalanan, tidak mengindahkan orang-orang yang duduk satu kereta dengannya, yaitu Prabu Citragada dan Dewi Citrawati. Sumantri sedang berpikir bagaimana dia pernah berujar kepada ayahnya saat akan meninggalkan pertapaan ayahnya. Dia berujar akan mengabdi kepada raja yang lebih sakti daripada dirinya. Saat ini dia sudah mengabdi kepada Sang Prabu Arjuna Sasrabahu sekian lama, membunuh Raja Sakti yang menyerbu kerajaan wanita pujaan hatinya. Dia sudah mengingkari ucapannya sendiri di hadapan ayahnya. Salahkah dia. Mungkin dia bersalah, mungkin juga tidak. Yang jelas kini Sumantri menghadapi dilemanya sendiri, seandainya Sang Prabu tidak lebih sakti daripada dirinya dan terbunuh dalam adu tanding, akankah dia akan menggantikan Sang Prabu untuk meminang Dewi Citrawati atau menguasai singgasana tahta Maespati. Semuanya sungguh diluar perkiraannya, akan tetapi bagaimana jika semua terjadi. Sumantri sungguh-sungguh tidak menghendaki Sang Dewi dan tahta Maespati, dia hanya ingin memenuhi apa yang sudah terucapkan di hadapan ayahnya, dia tidak ingin terkena karma kutuk Dewata karena menyalahi janji di hadapan seorang resi mumpuni seperti ayahnya. Tetapi lamunannya buyar, dia terkejut tatkala Prabu Citragada bertanya heran, karena sejak dari alun-alun Kerajaan Magada, Sumantri hanya bermuram durja saja. Selain itu Sang Dewipun hanya tersenyum-senyum kecil, tentu mentertawakan kelakuannya. Ingin rasanya dia menampar kepalanya sendiri karena kebodohannya, tetapi yang terjadi adalah ucapan sebuah usul agar rombongan sebaiknya istirahat dulu, kebetulan pemandangan sekitarnya sangat indah dan hari juga sudah menjelang petang. Prabu Citragada sangat setuju. Kemudian segeralah Raden Sumantri mengisyaratkan kepala pasukan penuntun agar berhenti disitu. Maka seluruh barisan itu berhenti dan seluruh balatentara mulai sibuk bekerja bersiap mendirikan tenda-tenda dan keperluan-keperluan lainnya bagi Raja, Sang Dewi, dan para petinggi kerajaan serta para permaisuri.

Namun malam pada pertemuan dengan petinggi Kerajaan Magada, Sumantri selalu nampak bermuram saja. Maka segeralah ia bermohon diri kepada Prabu Citragada hendak melepaskan lelah dalam ruangannya. Sang Prabu menduga bahwa Raden Sumantri itu agak merasa pening dan Bagindapun mengijinkannya. Di dalam tendanya ia disambut oleh Semar dan putra-putra. Tapi ia hanya mengatakan ingin beristirahat. Dalam kesendiriannya dia merenung mempertimbangkan masak-masak rencana yang akan dilakukannya. Demi ucapan yang dia sampaikan kepada ayahnya, akhirnya dibulatkan niatnya itu, dia membuka peti dan mengambil alat-alat tulis. Dia menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Prabu Arjuna Sasrabahu.

Keesokan harinya diperkemahan utama tempat Sang Prabu bermalam, sudah berkumpul para Narpati. Mereka sedang bercakap-cakap sambil menantikan kedatangan Raden Sumantri. Tak lama kemudian Raden Sumantripun hadir ke perkemahan. Dan iapun berkumpul disitu disamping Sang Prabu. Sang Prabu menanyakan rencana Sumantri berikutnya, dan Sumantri menyampaikan agar sebaiknya rombongan menetap di situ beberapa hari lagi. Dan agar Prabu Arjuna Sasrabahu tidak menanti-nanti, dia sudah menulis surat yang akan dikirimkan ke Maespati saat itu juga. Prabu Citragada setuju dan akan menunggu kunjungan Sang Prabu Maespati keperkemahan mereka. Surat akan dibawa oleh Narpati Soda dan Narpati Kalinggapati. Dengan berkuda mereka membawa surat dan dengan cepat sebelum siang sudah tiba di Kerajaan Maespati.

Sang Parabu Sasrabahu sedang duduk di singgasana balairung. Beliaupun segera berdiri menyambut kedua Narpatinya, menerima surat yang dipersembahkan kepadanya. Sebelum membacanya surat itu, beliau menanyakan perkembangan penjemputan Dewi Citrawati. Beliau sangat puas mendengar laporan kedua Narpatinya, kekaguman beliau semakin kuat saja mendengar laporan hasil kepepimpinan Raden Sumantri. Sang Prabu merasa tidak salah mengangkatnya menjadi Mahapati di Maespati. Tetapi bisikan gaib dari pembantu khususnya yaitu Semar, membuatnya tetap waspada. Dan kewaspadaan itu terbukti setelah beliau membuka gulungan surat dari Raden Sumantri dan membacanya isinya. Adapun isi surat antara lain;

“Bila seorang raja hendak memiliki seorang putri dengan resmi, haruslah mengalami perang yang dahsyat terlebih dahulu. Maka untuk memenuhi syarat-syarat demikian itu, saya Bambang Sumantri bersedia untuk melayani berperang dengan Prabu Arjuna Sasrabahu. Agar Dewi Citrawati benar-benar menjadi hak Baginda.
Hormat saya.

Bambang Sumantri.”


Demikianlah isi dan maksud surat itu. Mula-mula bagindapun merasa heranlah akan maksud Raden Sumantri demikian itu. Namun sungguhlah Baginda waspada, terlebih lagi Semar sudah membisikkan bagaimana karakter Patihnya itu. Maka Bagindapun tersenyum. Kedua Narpati beliau terheran-heran melihat Rajanya setelah membaca surat. Bagindapun memberikan surat kepada keduanya, dan meminta pendapat mereka. Setelah membaca surat itu, keduanya berpandang-pandangan dengan kening berkerut. Ada ketidak yakinan mereka, bahwa Raden Sumantripun menghendaki Sang Dewi. Dengan bijaksana Sang Prabu menjelaskan, bahwa: “Raden Sumantri seorang ksatria yang menjunjung tinggi norma-norma kepatutan keprajuritan, yang selalu bela-pati demi titah junjungannya. Dia bermaksud ingin menguji kemampuanku, sekedar untuk menetapkan dirinya kepada siapa ia harus mengabdi. Cita-citanya itu ialah kepada siapapun, asal kesaktiannya melebihi dia. Maka maksud yang demikian itu harus aku turutkan.” Kedua Narpati kagum akan kebijaksanaan Rajanya. Karena tidak ada lagi yang harus dilaporkan, keduanya minta diri. Sepeninggal kedua Narpati itu, Sang Prabu segera memanggil penjaga keraton. Sang Prabu bertitah agar pada keesokan harinya di alun-alun harus disediakan dua kereta perang lengkap dengan senjata.

Pada keesokan harinya, di alun-alun sudah tersedia dua kereta perang lengkap dengan persenjataan perangnya. Baginda segera membawa salah satunya, dan satunya lagi dibawa kedua Narpatinya Soda dan Kalinggapati. Dengan kencangnya sepasang kereta itu dibawa lari oleh kedua ekor kuda pilihan. Maka tiada berapa lama kemudian sampailah kedua kereta itu ke perkemahan rombongan Prabu Citragada dan Raden Sumantri. Tentu kedatangan Sang Prabu sangatlah mengherankan seluruh balatentara. Mereka yang berada disitu tidaklah mengerti akan maksud Baginda mengapa berkereta perang dan bersenjata lengkap. Maka Prabu Citragadapun segera menjemputnya dengan penuh pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya. Setelah semua masuk dan berkumpul bersama Prabu Arjuna Sasrabahu dan Prabu Citragada, Raden Sumantri, para Patih dan Narpati kedua kerajaan itu, Prabu Citragada membuka pembicaraan dengan mengutarakan kesenangannya akan kesudian Sang Prabu Arjuna Sasrabahu untuk hadir di perkemahan mereka. Dan juga menyampaikan keheranannya Paduka Prabu hadir dengan dua kereta perang lengkap. Dengan bijak Sang Prabu menjelaskan, beliau membawa kereta perang untuk memenuhi persyaratan meminang seorang puteri. Tetapi Prabu Citragada semakin heran, karena dia tidak merasa memberikan syarat harus membuktikan berperang dahulu untuk meminang kakaknya Dewi Citrawati. Sang Prabu Arjuna Sasrabahu bijak menjelaskan bahwa menurut adat kebiasaan, bila seorang raja hendak memiliki seorang puteri harus mengalami dan menundukkan suatu pertempuran pada perang yang dahsyat dahulu. Maka untuk memenuhi syarat-syarat itu Prabu Maespati hendak berperang dahulu dengan Raden Sumantri. Beberapa saat lamanya setelah Baginda bersabda demikian maka sunyilah keadaan dalam ruangan itu. Semuanya terhenyak bingung bercampur ketidak-percayaan dengan yang mereka dengar. Kecuali Raden Sumantri dan kedua Narpati pembawa surat itu. Dan selanjutnya Sang Prabu mengajak Raden Sumantri untuk mempersiapkan seluruh persenjataannya, dan menunggangi kereta yang sudah disiapkan untuknya. Sumantri segera berdatang sembah dan siap menjalani titah Sang Prabu.

Sebelum menaiki kereta perangnya, Sang Prabu berpesan kepada para Narpati untuk memerintahkan kepada seluruh balatentara agar mereka bersorak-sorai dan jangan memihak kepada siapapun karena peperangan ini bukan berdasarkan perselisihan. Tentu para Narpati yang tidak mengetahui hal-ihwalnya, mengira titah Baginda sebagai berolok-olok. Namun titah itupun segera ditaatilah. Disamping tepik sorak tentara dengan riuhnya itu, balatentara gembira juga karena akan disuguhi tontonan pertempuran yang dahsyat tentunya. Kebanyakan balatentara belum pernah melihat Sang Prabu turun ke medan laga bertempur dengan musuh, jadi mereka belum pernah melihat kesaktian Prabu Arjuna Sasrabahu. Lain halnya dengan Raden Sumantri, mereka sudah pernah menyaksikan dia mengalahkan Raja Widarba Prabu Darmawisesa yang sangat sakti. Mereka juga pernah menyaksikan kemampuan permainan pedang dan tombak yang tidak lumrah dilakukan manusia biasa. Seratus prajurit dan tamtama Widarba berpentalan dan buyar disambar sabetan-sabetan pedangnya, lemparan tombaknya tidak pernah tertahankan oleh tameng apapun, mereka pernah menyaksikan belasan tubuh manusia tewas terpanggang tombak sekaligus. Maka kini balatentara Maespati dan Magada sangat mengkhawatirkan keselamatan Prabu Arjuna Sasrabahu.

Kemudian Sang Prabu menunjukkan salah satu tempat yang datar dan luas kepada Raden Sumantri. Semua barisan tentara Magada dan Maespati mengikuti dengan terus-menerus bersorak-sorai. Prabu Citragada dan Dewi Citrawati dengan ditandu, juga tidak mau ketinggalan untuk melihat ‘perang persahabatan’. Sebelum balatentara yang akan menyaksikan itu berkumpul seluruhnya, perang itupun belumlah dimulai. Selesai semua berkumpul, maka Baginda Arjuna Sasrabahu memberi isyarat bahwa perang akan dimulai. Masing-masing sudah menghela keras tali kekang kuda kuat-kuat, sehingga kereta perang tersentak berlari saling mengitari lawan, dan masing-masing sudah mempersiapkan senjatanya masing-masing, saling intai-mengintai mencari momen tepat untuk menyerang. Sang Prabu tampak menyerang terlebih dahulu dengan tombak, meluncur dahsyat menimbulkan suara bersiutan, namun Sumantri berhasil menepis dengan tamengnya. Begitu kerasnya lemparan Sang Prabu sehingga menyebabkan tameng Sumantri robek tergaruk ujung tombak. Sumantripun tidak kalah menyerang dengan pedangnya, dia menyabet-nyabetkan pedangnya, suara sabetan pedang bersiutan mengerikan, dahan-dahan pohon di dalam radius 10 sampai 15 meter terpotong-potong dan daun-daun bertaburan seperti diserang angin tornado. Tetapi Sang Prabu tidak kalah gesitnya menyabetkan pedang dan tombak di tangan kiri beliau. Suara benturan kedua pedang berdenting belasan kali seakan ada puluhan orang sedang bertarung disaat bersamaan. Dan angin pukulan dari sabetan dan benturan pedang menyebabkan pohon-pohon bertumbangan terpotong-potong disertai bertebaran dedaunan keangkasa, seakan ada tornado di tengah arena pertarungan. Percikan api benturan-benturan senjata menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat dalam radius 15 meter. Di dalam radius inipula terjadi pusaran-pusaran angin yang menerbangkan debu, pasir atau kerikil. Suara-suara mengaung-ngaung bagai ribuan tawon bercampur deru pusaran angin akibat sabetan-sabetan pedang menambah pemandangan pertarungan menjadi lebih menyeramkan. Suasana arena pertarungan sudah tidak nyaman untuk ditonton  Keruan saja balatentara yang menonton lari berhamburan menjauhi arena untuk menyelamatkan diri, ada yang bertiarap, ada yang bersembunyi dibalik bukit-bukit batu. Suara sorak-sorai berganti dengan suara-suara teriakan-teriakan ketakutan. Keadaan menjadi kacau ricuh dan menakutkan. Prabu Citragada dan para Narpati segera memerintahkan semua orang untuk menjauhi mengambil jarak lebih jauh. Tandu-tandu para Permaisuri dan Dewi Citrawati dibawa ke atas bukit-bukit batu. Baik Sang Prabu dan Raden Sumantri belum bertempur dalam jarak dekat atau tidak saling mendekati. Keduanya saling menyabet pedangnya dari jauh, akan tetapi angin sabetan pedang berkelebatan disekitar arena, bergemerincing dan berdenting mengerikan seakan disitu sedang bertarung seratus orang yang saling beradu pedang. Kereta perang mereka tetap berputar-putar cepat dan lincah, saling mengisi celah-celah peluang di tempat-tempat kosong lawan. Maka saat itulah mereka menyerang dengan sabetan-sabetan pedang, lemparan-lemparan tombak atau desingan puluhan anak-panah. Suasana arena begitu hiruk pikuk, debu-debu bercampur percikan api atau dentuman-dentuman ledakan yang membongkar tanah atau merontokkan bebatuan berbaur menjadi satu. Waktu baru berjalan 5 menit, namun pecahan senjata sudah menumpuk di lapangan.

Terkadang Sang Prabu sekali waktu meninggalkan kereta perangmya dengan cara melompat di udara, bersalto mendekati kereta Sumantri seraya menyabet-nyabetkan pedangnya, sambil bertumpu pada sebilah tombak, dan melompat lagi menyerang Sumantri mendesak dahsyat, sehingga membuat kereta Sumantri rusak parah tercacah sabetan-sabetan pedang. Sang Prabu tidak pernah berpijak pada tanah, hanya tombak itu sebagai pengganti kedua kaki beliau, kemudian beliau bersalto kembali mendarat di kereta perang beliau. Begitu berulang kembali demontrasi kelincahan Sang Prabu dipertontonkan. Sumantri kagum sekali akan kelihaian Sang Prabu, dia sempat gelagapan dibuatnya, namun sabetan-sabetan pedang yang dilambari aji-aji kesaktian sempat menyelamatkan dirinya. Untuk mengatasi taktik serangan Sang Prabu yang aneh itu (sekarang taktik perang itu dikenal dengan nama kungfu), Sumantri memakai taktik panahan, mulai kontinyu memainkan anak panahnya, dia mulai bermain jarak jauh. Maka perang anak panahpun ramai dilakukan, berdesingan di angkasa arena tarung tersebut, sampai semua anak panah dalam kereta perang itu habis dilepaskan. Sampai akhirnya terpegang oleh Sumantri Panah Cakrabeswara. Namun Sumantri ragu-ragu untuk melepaskannya dan urung direntang dalam busur panah. Melihat Raden Sumantri ragu-ragu melepas panah saktinya, Prabu Arjuna Sasrabahu membulatkan tekadnya untuk jangan ragu-ragu agar tidak timbul kepenasaran lagi. Lamalah Sumantri berpikir sebelum melepaskan senjatanya. Kemudian niatnya itupun dibulatkannya, busurpun direntang dan panah Cakrabeswara siap ditembakkan ke arah Sang Prabu. Sang Prabu segera menghela tali kekang keretanya, berlari kencang berkelok-kelok untuk mempersulit fokus tembak Sumantri. Sumantripun menghela keretanya berputar-putar mengikuti arah putaran kereta Sang Prabu mencari posisi tepat untuk melepas panahnya. 

Dan terlepaslah senjata Cakrabeswara itu. Sesungguhnya tindakan Sumantri itu sangatlah dilarang oleh Dewa, bahwasanya tindakan Raden Sumantri memang tidak layak untuk dilakukan terhadap seorang penjelmaan Batara Wisnu. Namun karena petempuran itu bukanlah karena perselisihan melainkan sekedar menetapkan niat Raden Sumantri, yang bercita-cita apakah benar ia harus menghambakan diri kepada Prabu Arjuna Sasrabahu. Sementara panah itu mulai mengejar kemana kereta Sang Prabu lari, seakan seekor elang yang mengejar seekor tikus. Bersamaan dengan jerit Dewi Citrawati, maka kereta Baginda terpanah. Bagai ledakan dinamit TNT, kereta dan tanah sekitarnya meledak hancur sehingga sukar dikenali lagi. Melihat kesaktian senjatanya itu Raden Sumantri sangat merasa bangga. Tetapi kebanggaannya itu lenyap ketika melihat Prabu Arjuna Sasrabahu keluar dari asap ledakan dalam keadaan selamat. Melihat Sang Prabu selamat, semua penonton bersorak-sorai disertai pekik teriakan kekaguman. Tetapi sorak-sorai balatentara dan semua penonton berubah menjadi pekik kengerian. Sebagian besar penonton di baris depan meloncat kebelakang menerjang orang-orang dibelakangnya, saling bertindihan dan terus berlarian menjauh, menginjak-nginjak penonton-penonton yang belum sempat berdiri. Sebagian lagi terkesima melongo berlutut menyembah-nyembah sambil melotot memandang ketengah arena pertarungan meracau ucapan-ucapan yang tidak beraturan dan tidak jelas. Ada juga yang terduduk tidak kuasa menahan air seninya yang membanjiri celananya. Para permaisuri dan emban-embannya tergeletak tidak sadarkan diri. Sang Dewi melotot tidak percaya dengan pandangannya, termasuk Prabu Citragada terlompat dari kereta kencananya. Para Narpatipun tidak luput dari keterkejutan ini, mereka banyak yang terjatuh dari pelana kudanya.

Apa sebenarnya yang terjadi. Prabu Arjuna Sasrabahu tiba-tiba lenyap digantikan sosok raksasa maha dahsyat, sebesar gunung, yang menutupi cahaya matahari, menggapai awan. Sang Prabu ber ‘triwikrama’ (berubah wujud menjadi raksasa apabila sudah marah). Konon kepala raksasa itu bisa berubah-ubah. Bisa ia berkepala raksasa ganas, bisa berkepala banteng, bisa berkepala naga dengan lima tanduk dan berwajah singa, atau bisa berkepala api. Kali ini Sang Prabu mengambil wujud kepala medusa yaitu semua rambutnya berwujud ular dan berwajah singa. Sekujur raksasa itu kekar dan bersisik seperti ikan dengan cakar-cakar di setiap kuku tangan dan kakinya. Raksasa itu menggeram-geram dengan pandangan mata memerah melotot ke arah Raden Sumantri. Sumantri sempat terkesima melihat kesaktian yang belum pernah didengar dan dilihatnya. Tapi dia segera menghela kudanya melarikan diri menghindar dari amukan ‘raksasa baginda prabu’. Tapi kemanapun kereta itu berlari Sang Prabu selalu mengintainya. Keadaan lapangan sudah semakin kacau, balatentara sudah berlarian dengan tidak tentu arah, asal dapat menghindari dari injakan kaki sang Prabu. Para Narpati dan Prabu Citragada segera bersemedi, memohon kepada Dewa agar amarah Baginda tidak terlanjur memakan korban.
  
Sumantri menghela keretanya ke arah hutan, jika dia bertahan di daerah terbuka dia akan mudah terlihat dan terjangkau, sebab panjang tangan ‘raksasa Sang Prabu’ tidak akan terkejar oleh lari kudanya. Untuk sementara Sumantri merasa aman berlindung di balik rimbunnya hutan. Sang Prabupun kelihatan kesulitan mencarinya, dia seperti seorang petani yang hendak menangkap katak di padang ilalang yang lebat. Maka kesabarannyapun mulai habis, hutan-hutan itupun dicabuti dengan kasar, akhirnya sampai pada rimbunan hutan tempat persembunyian Sumantri. Sang Prabupun kini bisa melihat Sumantri, dan menjulurkan lengannya untuk menangkapnya. Maka Sumantripun lekas-lekas berlutut, lalu bersembah memohon ampun. Seketika itupun kembalilah ujud Baginda seperti sediakala. Baginda berujar lembut, tidak terlihat bekas-bekas dari amarah raksasa jelmaannya. Dia bersabda apapun cita-cita yang dikehendaki Sumantri, paduka akan kabulkan, karena Baginda merasa bangga dengan keberanian dan kesaktian Sumantri. Sumantri berujar bahwa hanya ingin mengabdi kepada Raja yang lebih sakti darinya, lain itu Sumantri tidak ada keinginan apapun, dia bersumpah akan sungguh-sungguh menaati segala titah Baginda. Dan Baginda Prabupun berterimakasih atas kesungguhan pengabdian Sumantri, dan Baginda mengutarakan yang menjadi keinginannya demi kesempurnaan Kerajaan Maespati. Keinginan yang mengganjal pikirannya sejak lama, maka dengan adanya Raden Sumantri dapatlah membantu memecahkannya. Keinginan Sang Prabu adalah agar memindahkan Taman Sriwedari dari Gunung Utara ke Pedalaman Maespati. Baginda ingin agar pemindahan taman itu tetap dalam keadaan utuh, tidak berubah sedikitpun. Bunga setangkaipun jangan ketinggalan. Sumantri termenung sejenak, tetapi kemudian disanggupilah permintaan Sang Prabu.

Kemudian keduanya bangkit dan berangkat menuju keperkemahan. Sepanjang perjalanan ke perkemahan Sumantri menceritakan hasil-hasil dari peperangan di Magada dengan Kerajaan Widarba lebih rinci. Tampak Prabu Citragada dan Para Narpati yang gelisah menunggu, menjadi tenang ketika melihat Sang Prabu berjalan akab dengan Patih Sumantri. Mereka berlarian menjemputnya. Cepot bersama saudara-saudaranya dan Semar ikut pula menjemput, Cepot datang menyerahkan senjata Panah Cakrabeswara kepada Raden Sumantri, yang terjatuh saat pertempuran. Malam itu Sang Prabu berkemah bersama-sama Patih Sumantri, Prabu Citragada dan Para Narpati. Esok siang Patih Sumantri dan Para Narpati mempersiapkan balatentara. Sang Prabupun hadir memeriksa semua persiapan untuk perjalanan ke Kerajaan Maespati. Bagindapun memeriksa tenda-tenda yang dihuni permaisuri-permaisuri negara taklukan. Sebelum rombongan berangkat Patih Sumantri mohon ijin Baginda untuk berbicara di hadapan balatentara dan Para Narpati. Raden Sumantri mengatakan pertempuran kemarin adalah bukanlah perselisihan, tetapi bermaksud untuk menguji kesaktian semata-mata. Diterangkan bahwa Baginda sungguh seorang raja yang sangat sakti serta luhur budinya. Sehingga iapun berkepastianlah bahwa akan menaati segala perintahnya sekalipun harus mati. Untuk membuktikan kesanggupannya itu, maka berkatalah Raden Sumantri bahwa ia tak kan ikut serta pulang ke Maespati. Karena hendak melakukan tugas yang lain bagi kepentingan Prabu Arjuna Sasrabahu. Dan akhirnya berkatalah ia bahwa seluruh balatentara harus segera bersiap untuk menyertai Baginda ke Maespati. Maka selesailah acara itu. Setelah itu terlihatlah seluruh balatentara mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Barisan rombonganpun mulai berangkat, Sang Prabu satu kereta dengan Prabu Citagada dan Dewi Citrawati. Raden Sumantri ikut mengantar sampai batas hutan. Barisanpun itupun lenyaplah sudah dari pandangan Raden Sumantri. Namun dia masih berdiri di tepi hutan. Raden Sumantri terpaku, galau dan tak tahu kemana harus pergi. Kakinya terasa berat untuk berjalan. Sumantri mulai masuk hutan, terbayanglah wajah ayahnya Resi Suwandageni. Apakah dia akan kembali ke pertapaan untuk meminta tolong ayahnya. Akan tetapi niatnya itu segera ia urungkan karena ia merasa malu untuk melakukannya. Tidak terasa olehnya bahwa perjalanannyapun ternyata sudah jauh, melalui hutan, bukit dan gunung. Setelah beberapa hari ia berjalan, maka sampailah pada tempat dataran tinggi. Kemudian berpikirlah Sumantri. Daripada tidak berhasil dan malu kepada Baginda Prabu, ia lebih memilih mati, apakah dilahap binatang buas atau terjun kejurang. Tapi ia memilih mati tanpa jejak, jadi dimakan binatang buaslah yang dipilih.

Ambisi adalah gairah yang menggebu-gebu untuk meraih sesuatu. Dan, sesuatu itu adalah kekuatan. Sesuatu itu adalah kekuasaan. Ambisi bisa jadi api pendorong lajunya suatu langkah. Ambisi muncul sebagai konsekuensi wajar dari adanya tongkat kekuasaan, celah kesempatan, serta energi keyakinan akan kemampuan diri. Tentu saja setiap peniti karier berhak memompakan ambisinya. Tanpa itu, betapa tak semaraknya perjalanan ini. Maka, tak salah bila ada orang yang berkata bahwa untuk maju seseorang harus punya ambisi. Hal itu benar adanya, namun tak selalu benar. Semestinya tidaklah terlalu mengejutkan bila banyak juga orang berhasil justru dengan melepaskan kepalan ambisinya. Ambisi mudah sekali dipadamkan oleh kenyataan sederhana; bahwa tubuh anda takkan mampu mengalahkan waktu. Oleh karena itu, sedini mungkin kita pupuk yang lain yang tak terkalahkan oleh masa dan tak terusangkan oleh jaman: yaitu cahaya kebijaksanaan.

Ambisi Sumantri sudah dihadapkan kepada persimpangan, apakah untuk maju dengan konsekuensi ketidak mampuan fisiknya menerima titah Sang Prabu, apakah berterus terang untuk menyerah dan menerima hukuman, menerima malu atau meletakkan jabatannya. Dan pilihan lainnya, meninggalkan kehidupan ini dengan kematian, karena melarikan diri, bagi seorang ksatria semacam Raden Sumantri, bukanlah pilihan, justru jalan itu akan terus membayangi dan menghantui seumur hidupnya. Sumantri sudah menentukan pilihannya, dia akan mengakhiri hidupnya saat itu juga. Dia segera menghunus Panah Cakrabeswara untuk dihunjamkan ke jantungnya, tetapi diurungkanya, karena jasadnya pasti akan ditemukan orang, maka ia memilih mati dengan ditelan hewan buas. Ketika ia sedang menimbang-nimbang kematiannya, saat itulah sebuah suara yang dikenalnya dan sangat dirinduinya juga, memanggil-manggil namanya dari balik semak-semak. Sukrasana sang adik yang ditinggalkan di pertapaan bersama ayahnya, rupanya menyusulnya, entah bagaimana dia dapat sampai di tempat itu. Sumantri dan ayahnya sepakat tidak memberitahu Sukrasana kemana dia pergi. Memang semula Sang Resi bertahan tidak memberitahu, akan tetapi ia sadar akan predikatnya sebagai resi yang pantang berbohong, apalagi kepada putranya. Sukrasanapun kabur dengan berbekal informasi kakaknya berada di Kerajaan Maespati. Akan tetapi dimana letak Kerajaan Maespati sangatlah tidak diketahui dengan pasti oleh Sukrasana, apakah harus ke utara, selatan, ke barat atau ke timur, hanya kehendak Dewatalah yang akhirnya mempertemukan mereka disana.

Demikianlah seperti diceritakan di awal, Sumantri menceritakan kepada Sukrasana akan tugas dari Sang Prabu, untuk memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Rupanya Sukrasana mampu melakukannya dan bersedia menolong Sumantri. Dengan kesaktian ‘Belah Jiwa’ milik Sukrasana, dia bisa membantu kakaknya Sumantri untuk memindahkan Taman Sriwedari itu. Jadi suatu skenario besar mulai berjalan untuk melenyapkan Sukrasana, melalui Sumantri, melalui keserakahannya akan pujian dan jenjang karir dari Prabu Arjuna Sasrabahu, bahwa taman Sriwedari adalah hasil upayanya sendiri. Dia harus mengusir adiknya Sukrasana untuk pergi agar tidak nampak dimata Sang Prabu. Sukrasana tidak mau pisah lagi dengan kakaknya walau diancam akan dipanah. Melihat Sumantri marah sudah menghunus panah, Sukrasana menubruk Sumantri, namun malang ujung anak panah malah menusuk jantung Sukrasana. Mayat Sukrasana raib, sambil meninggalkan suara gaib bertutur kutukan untuk Sumantri bahwa kelak dia akan menemui ajalnya saat bertarung melawan Raja raksasa, karena pada saat itu juga, Sukrasana akan menitis pada tangan kanan raja itu untuk menebas leher Sumantri. Jadi skenario utama Semar telah berhasil dilaksanakan, Sukrasana telah tewas terbunuh. Keseimbangan alam sudah aman dari ancaman di masa depan yang mengerikan.

Sang Prabu terheran-heran melihat pemandangan di depannya. Suatu taman yang sangat indah, yang tidak akan ditemui di seluruh dunia manusia. Memang Taman Sriwedari ini adalah taman milik Batara Wisnu yang terletak di Utara Segara di Suralaya. Maka tentu keindahannya tidak terbandingkan. Atas jasanya, Patih Bambang Sumantri diberi gelar Patih Suwanda. Patih Suwanda akan menjadi wakil Sang Prabu mengurus Kerajaan dengan kebijaksanaan dan kecakapannya agar rakyat dan tentaranya bertambah maju. Demikian sabda Sang Prabu. Patih Suwandapun dengan bergembira mengatakan sangat berterima kasih atas kepercayaan Baginda yang tinggi. Sejak saat itu seluruh rakyat Maespati dan Kerajaan-kerajaan bawahannya percaya akan kesaktian Patih Suwanda.

Syahdan suatu hari Sang Prabu berniat bertamasya meninjau gunung-gunung dan pertapaan-pertapaan. Patih Suwanda bersama para Narpati mempersiapkan selain regu pekerja pembuka jalan dan lahan juga mempersiapkan balatentara dengan persenjataan lengkap untuk menghindari hal-hal yang tidak diingini. Esok harinya keadaan alun-alun Maespati mulai ramai disibukkan tentara-tentara dan rakyat untuk menyediakan alat-alat kerja dan perbekalan. Siang dan malam mereka bekerja tak mengenal lelah mempersiapkan untuk kepergian tamasya Baginda. Suatu bukti kebaktian dan cintanya kepada rajanya. Esok hari pagi-pagi buta, sebentar saja seluruh pasukan nampak berbaris dengan teratur. Patih Suwanda melaporkan segala keperluan sudah diatur dan pasukan serta barisan pekerja sudah siap berangkat. Maka Bagindapun memberi perintah untuk berangkat. Di alun-alun Baginda dan Permaisuri segera masuk kedalam kereta disertai Prabu Citragada. Para emban dan Para Permaisuri itupun tidaklah ketinggalan, mereka diangkut dalam tandu-tandu di belakang barisan kereta Sang Prabu. Barisan pekerja sebagai pembuka lahan berbaris paling depan, disusul balatentara dan kereta perang serta barisan Para Narpati. 

Setelah perjalanan itu agak jauh dari Kerajaan Maespati, maka barisanpun menemui kesukaran. Dan barisan pekerja pembuka hutan, pembuat jalan mulai melaksanakan tugasnya. Segala yang merintangi perjalanan rombongan segera disingkirkan. Semak dan belukar, hutan-hutan dan bukit-bukit ditempuh rombongan dengan gigih. Terkadang pembuka jalan oleh rombongan pekerja membutuhkan waktu agak lama. Maka sambil menunggu mereka menyelesaikan pekerjaannya, Bagindapun tak henti-hentinya melihat-lihat keindahan pemandangan. Demikianlah perjalanan Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati dalam tamasyanya. Lembah dan gunung mereka lalui. Akhirnya sampailah Baginda dan balatentara pada sebuah sungai di tepi pantai. Sampai di tepi sungai itu bertitahlah Sang Prabu kepada Patih Suwanda agar barisan berhenti disitu. Baginda Prabu ingin menikmati pemandangan di tepi sungai. Sampai di suatu tempat di pertengahan alur sungai, Sang Prabu berhenti sejenak, memperhatikan disekitarnya, kemudian berujar pada Patih Suwanda, bahwa Baginda akan ‘tidur’, diminta semua rombongan agar membuka perkemahan di tempat dataran yang lebih tinggi. Sepeninggal Patih Suwanda dan Para Narpati, Sang Prabu terdiam dengan mata terpejam khusu dalam semedi. Isyarat akan tidur, memberi arti sudah saatnya bagi Sang Dewata untuk mencapai tugas dari Sang Hyang Pramesti Jagatnata, yaitu membasmi kemurkaan di marcapada.

Esok harinya semua rakyat dalam rombongan duduk berlutut berdoa menengadah kepada Dewa, ketika melihat Baginda bertriwikrama menjadi raksasa yang tidur telentang membendung alur sungai. Bertambah lama permukaan air itu bertambahlah tingginya. Sehingga membentuk danau yang luas dan dalam. Banyaklah bukit-bukit dan hutan-hutan terendam air. Kian lama kian meluap danau itu, hingga sampai ke kaki Gunung Nusamanik. Dimana di kaki gunung itu sedang dibuka perkemahan. Melihat datangnya luapan air, para penghuni perkemahan menjadi gelisah dan panik, siap-siap menyelamatkan apa saja yang berharga agar tidak terendam air banjir tersebut. Adapun yang berkemah disitu adalah Raja Alengka yaitu Prabu Dasamuka serta balatentaranya, yang sedang bersiap-siap untuk menyerbu ke kerajaan-kerajaan yang belum takluk. Melihat air banjir dengan cepat menggenangi wilayah perkemahan, Prabu Dasamuka menjadi murka. Dari laporan para penyelidiknya, Prabu Dasamuka mendapat info banjir muncul diakibatkan alur sungai ke laut terbendung oleh sesosok tubuh raksasa yang sedang tidur telentang. Kontan Dasamuka memaki-maki sambil mengayunkan gadanya, mengira ini adalah bentuk tantangan perang. Maka disiapkanlah balatentara perangnya dan mulai bergerak ke arah raksasa yang tidur itu. Barisan Alengka itu rupanya terlihat oleh sepasukan penjaga dari pihak Maespati. Patih Suwandapun segera bertitah agar balatentara untuk bersiap membentuk pasukan tempur. Bersamaan dengan itu datanglah kurir dari Alengka membawa sepucuk surat yang berisi tantangan terhadap Prabu Arjuna Sasrabahu. Patih Suwanda memberi jawaban kepada utusan Alengka, bahwa tantangan diterima dan pertempuran dilakukan di dataran luas yang dipilihnya.

Tidak lama, balatentara dari kedua belah pihak itupun sudah berhadap-hadapan. Barisan tentara dengan teratur melintang bukit. Dan mulailah pertempuran jarak dekat. Saling serang menyerang. Terdengarlah sorak sorai gegap gempita disela oleh pekik jeritan tentara yang tewas. Kedua belah pihak nampak sama gagah dan beraninya. Darah mengalir berceceran dimana-mana dan mayat-mayat bergelimpangan berkaparan. Balatentara Maespati sungguh-sungguh kuat sehingga dapat mendesak dan menghalau musuh hingga senja tiba. Esok harinya perang itupun dimulailah kembali dan ternyata tentara Maespati bertambah kuat. Balatentara Alengka terpaksa mundur. Balatentara Alengka yang melarikan diri dari medan pertempuran itu terlihat oleh Prabu Dasamuka dari atas gajah tumpangannya. Dengan marahnya maka turunlah dia, langsung maju ke tengah laga sambil memutar-mutar gadanya. Seorang diri Prabu Dasamuka (Prabu Rahwana) mengamuk ditengah-tengah balatentara Maespati. Banyak tentara Maespati yang menjadi korban. Ketika Para Narpati melihatnya, mereka segera menyerbu Prabu Dasamuka. Dikeroyok enam Narpati Maespati, Prabu Dasamuka tak bergeming, dia tetap kokoh tangguh tak tergoyahkan. Semua tusukan-tusukan dan sabetan-sabetan pedang tidak ada yang dapat melukai kulit Prabu Dasamuka. Berulang-ulang Para Narpati mencoba melukai Dasamuka, tetapi hasilnya sia-sia. Malah mereka harus menelan pil pahit, menerima serangan balasan Dasamuka yang teramat ganas. Satu persatu Narpati Maespati gugur dimedan laga dengan tubuh remuk atau hancur dihantam gada Dasamuka. Prabu Citragada yang mencoba menghalangi keganasan amukan Dasamukapun gugur. 

Semua laga pertempuran dilapangan tidak lepas dari pengamatan Patih Suwanda, keganasan Dasamuka harus segera dihentikan. Maka ditariknya tali kekang kereta perangnya, Patih Suwandapun meluncur cepat ke arah laga Dasamuka dengan para Narpati. Patih Suwanda segera melemparkan tombak-tombak, menyabetkan pedang dan merentangkan ratusan panah dalam rentang waktu yang cepat. Namun semua dapat dihalau dengan gada Dasamuka. Pertempuran keduanya menimbulkan kerusuhan karena terjadi ledakan-ledakan amat keras setiap tombak, pedang atau panah beradu dengan gada Dasamuka. Hampir semua persenjataan di dalam kereta perang Patih Suwanda habis. Maka terpeganglah panah pusaka Cakrabeswara. Panah itupun dilepas, gada Dasamuka meledak tidak mampu menahan desingan panah pusaka itu, dan laju panah itu tak tertahankan lagi dan terus menghantam dada Dasamuka. Kontan dada Dasamuka meledak, sehingga tubuhnya terbelah dua, termasuk kedua tangan dan kepalanya putus terlempar terpisah dari badannya, saking dahsyatnya ledakan. Tetapi tatkala tubuh yang sudah tidak bernyawa itu menyentuh tanah, Prabu Dasamuka bangkit kembali, memancarkan hawa amat panas menebar dan membakar sekitarnya disertai hembusan angin kencang. Itulah kehebatan Ajian Pancasona. Patih Suwanda tercekat melihatnya, maka sekali-lagi dipanahnya Dasamuka dengan Panah Cakrabeswara, tubuh Dasamukapun hancur, dan bangkit lagi dengan menebarkan angin pukulan dari Ajian Pancasona. Demikian kejadian itu berulang beberapa kali, membuat Patih Suwanda kecewa dan kurang waspada. Tetapi Patih Suwanda tidak merasa jemu untuk terus melepaskan panah saktinya, dan sekian kali itu pula Prabu Dasamuka terkapar dengan tubuh hancur dan sekian kali itu pula tubuh Dasamuka bangkit hidup lagi.

Saat itulah sesosok bayangan arwah menitis ketangan kanan Prabu Dasamuka. Arwah itu diketahui sebagai arwah Sukrasana, yang pernah berujar bahwa Sumantri akan tewas jika melawan raja raksasa. Rupanya raja raksasa yang dimaksud adalah Prabu Dasamuka. Maka tatkala tubuh Dasamuka pulih setelah hacur, namun dia tidak lekas bangkit. Arwah Sukrasana membantunya menyusun taktik untuk mengalahkan Sumantri atau Patih Suwanda. Ketika dilihat tubuh Dasamuka yang sudah utuh lagi tetapi tidak langsung bangkit seperti yang sudah-sudah, Patih Suwanda dibuat lengah. Dia perlahan-lahan menghampiri tubuh Dasamuka yang tertelungkup di tanah. Setelah cukup dekat dalam jangkauan tangan Dasamuka, sekonyong-konyong Dasamuka bangkit melompat menerkam tubuh Patih Suwandi, meringkus kedua tangannya dan merebut panah pusaka Cakrabeswara dengan tangan kanannya, dan dengan senjata itu dipenggallah leher Sang Patih hingga putus. Namun tubuh Patih Suwanda yang sudah tak berkepala masih bisa mengamuk melepas ajian-ajian pembunuh dan membantai pasukan Alengka hingga tercatat saat itu hampir separuh balatentara dan tamtama Alengka terbunuh. Dasamuka yang masih menggenggam kepala Patih Suwanda, segera melemparkannya ketubuh Sang Patih yang mengamuk itu beserta senjata Cakrabeswara, dan meniupkan topan melempar tubuh dan kepala Patih Suwanda ke angkasa. Dari angkasa turun rombongan Dewa-Dewi dari Suralaya dipimpin Batara Narada dan Batara Indra, menjemput jasad Patih Suwanda. Seketika tubuh Patih Suwanda utuh seperti sediakala dan dibawa ke Kahyangan Suralaya sebagai penghargaan atas jasa-jasa, kesetiaan dan keberaniannya. Arwah Sukrasanapun ikut raib dari tangan kanan Prabu Dasamuka, mengiringi arwah kakaknya ke Suralaya.

Harapan. Seseorang harus hidup dengan harapan, tetapi kita tidak bisa hidup menggantung semata pada harapan. Adalah baik untuk berharap yang terbaik. Tetapi hal itu tidak cukup. Seseorang tidak bisa hanya berharap - kita harus bertindak. Sangat menyedihkan, bahwa banyak hal digantung berlebihan pada harapan demi perbaikan nasib. Berharap yang terbaik belum menghasilkan apa-apa. Bekerja dan bertindak - disertai dengan harapan di dalam hati - adalah hal yang membawa hasil. Kombinasi yang sempurna. Harapan tidak akan mengecewakan - selama hal itu disertai dengan tindakan dan komitmen. Harapan tidak bisa mengganti tindakan. Kerjakan apa yang harus dikerjakan ada atau tidak ada harapan. Harapkan yang terbaik dan kerjakan apa saja yang memungkinkan harapan itu terwujud.

Rendah hati. Semua hal diatas tiada akan berarti, bila semua itu diselimuti dengan kecongkakan, kesombongan, iri hati dan dengki. Ada pepatah Tiongkok kuno yang berbunyi, “Orang yang Rendah Hati akan Mendapat Manfaat, yang Terbuai oleh Rasa Puas Diri akan Mendapatkan Kerugian”. Filsuf Tao terkenal Tiongkok, Lao Zi berkata, “Seseorang bisa mengambil keputusan yang bijak saat dia tidak menanggap dirinya serba pintar. Seseorang bisa dihormati atas jasa-jasanya saat dia tidak membesar-besarkan dirinya. Seseorang bisa mengukir prestasi besar apabila dia tidak sombong. Seorang yang penuh toleransi pasti sarat dengan nasib baik. Seseorang yang tidak punya toleransi pasti minim dengan nasib baik. Menjadi seorang yang rendah hati atau sombong, menentukan takdir dan nasib seseorang. Orang yang rendah hati dengan karakter yang luhur, moralitasnya akan semakin menonjol. Oleh sebab itu, rendah hati adalah sebuah nilai moral positif yang harus dipertahankan setiap orang. Sekali manusia menjadi congkak, dia akan terhalang dalam peningkatan moralitasnya. Terbuai dengan perasaan puas diri adalah halangan terbesar dalam peningkatan. Seseorang dapat memikul tanggungjawab yang penting hanya apabila dia gigih mencari kebenaran dan meningkatkan moralitasnya. Seseorang dapat mengajarkan orang lain menjadi baik dan menghancurkan elemen yang tidak baik hanya apabila dia bertoleransi pada yang lain.

Selama pertempuran antara Patih Suwanda dan Prabu Dasamuka, secara diam-diam tiga Narpati Maespati menyelinap pergi untuk melaporkan situasi yang genting. Mendapat kemenangan terhadap Patih Maespati, Prabu Dasamuka memerintahkan pasukannya untuk maju mendesak pihak lawan. Tetapi pasukan Maespati bertahan kemudian menyerang dengan gagah berani. Gemuruh suara tempik sorak mereka, kadang-kadang terdengar pekik tentara-tentara yang tewas dengan mengharukan. Tikam menikam, gada menggada, darah mengalir dan mayatpun menumpuk bertimbun-timbun. Suara senjata bergemerincing, bercampur baur dengan suara teriakan-teriakan pekik peperangan dan teriakan-teriakan kematian. Karena sebagian besar Narpati Maespati sudah banyak yang tewas, sisanya tengah menghadap Sang Prabu Arjuna Sasrabahu, maka penyerangan balatentara Maespati tidak terpimpin baik, maka terdesaklah tentara Maespati hingga ke garis belakang.

Terlihat ketiga Narpati yang hendak melapor, sedang duduk berlutut dekat telapak kaki Baginda sambil membakar dupa yang menyebarkan bau harum. Mencium harumnya dupa, maka Bagindapun bangun dari tidurnya. Beliau menatap heran kepada ketiga Narpatinya yang diperintahkan berjaga-jaga membantu Patih Suwanda. Dilaporkan oleh ketiga Narpati, Maespati yang sedang berkemah mendapat serbuan tentara dari Kerajaan Alengka dipimpin oleh raja raksasa bernama Prabu Dasamuka. Balatentara Maespati terdesak hebat, sementara Patih Suwanda belum bisa mengalahkan Raja Alengka itu. Mendengar ujar para Narpati itu bagindapun bangkit, menyusun tentara Maespati yang ada. Tiba-tiba datang seorang prajurit melaporkan bahwa Patih Suwanda sudah gugur dan tentara Maespati hampir tiada kuat menahan serangan tentara Alengka. Karena kehilangan Patih yang disayanginya, baginda menggeram laksana harimau luka. Sehingga geramannya menimbulkan gempa dan goncangan-goncangan di area Gunung Nusamanik. Wajah baginda yang semula berwujud wajah raksasa seketika berubah menjadi wajah Naga dengan lima-tanduk dikepalanya dan berambut untaian api yang menyala-nyala, karena Baginda sedang teramat marah. Saat itulah hadirlah Batara Narada dari Suralaya bermaksud mencegah nafsu membunuh Baginda. Beliau menyabarkan Sang Prabu, karena saat ini Dasamuka tidak dapat dibunuh, kecuali kelak pada penitisan Batara Wisnu kepada Putra Mahkota Kerajaan Ayodhya Kanda. Sang Betara Wisnu berkeras untuk maju ke medan laga dengan alasan kekejaman Dasamuka terhadap Patihnya, dan dia tidak akan membunuhnya, melainkan akan menghukumnya saja. Batara Narada menyetujui maksud Batara Wisnu itu, dan menjelaskan jangan menyesalkan akan nasib Patih Suwanda, karena sekarang sudah dijemput dan berada di Suralaya sebagai penghargaan atas dirinya. Setelah mendapat restu dari Batara Narada, raksasa penjelmaan Prabu Arjuna Sasrabahu segera melompat kemedan laga langsung menghadapi Dasamuka. Bagai terjadi gempa bumi ketika tubuh raksasa Sang Prabu menginjakkan kakinya ke bumi. Melihat raksasa buas bersisik berwajah naga dan bertanduk lima serta berambut api, Dasamuka takjub juga, tetapi tidak mau kalah, diapun ber-triwikrama, membesarkan diri namun hanya mencapai sepertiga tinggi raksasa Sang Prabu.

Tentara Maespati yang masih segar itu dikerahkan Sang Prabu agar maju membantu berperang. Maka semangat tempur tentara Maespati tumbuh kembali. Sang Prabu tampaknya tidak mau membuang waktu, melihat Dasamuka juga sudah bersiap dengan juga ber-triwikrama, Sang Prabu segera menyerbu Dasamuka. Semburan kobaran api dari setiap helai rambutnya laksana tembakan-tembakan peluru berdesing cepat setiap menitnya memberondong tubuh Dasamuka sehingga tubuhnya penuh bercak-bercak luka, dan belum hilang keterkejutan Dasamuka, Sang Prabu sudah menembak semburan ‘api neraka’ dari mulut naga beliau. Tubuh Dasamuka saat itu senyata-nyatanya hancur hangus berkeping-keping. Dan pengalaman Sumantri atau Patih Suwandapun kini dialami Sang Prabu. Tubuh Dasamuka bangkit kembali utuh seperti sediakala, bahkan menyerang ganas dengan ajian Pancasonanya, yang membuat sipemiliknya mempunyai tenaga berlipat-lipat. Sang Prabu tidak tinggal diam, dengan ganas juga mendorongkan kedua telapak tangannya menyambut pukulan Dasamuka. Pertemuan kedua pukulan itu menimbulkan dentuman dahsyat, laksana 1000 dinamit TNT. Sang Prabu segera menyusul dengan pukulan topan yang berputar-putar merobek-robek setiap yang dilewatinya, namun Dasamuka menyambutnya dengan kesaktian panas matahari. Gagal dengan kesaktian tadi, Sang Prabu menghidupkan batu-batu gunung menjadi makhluk-makhluk raksasa mengepung, menghimpit dan menghantam. Namun tidak bertahan lama, sebab raksasa batu-batu itu hancur luluh dengan petir ciptaan Dasamuka. Sang Prabupun tidak mau kalah menciptakan petir dahsyat, adu petir sungguh menggetarkan area perbukitan, suara-suara menggelegar berkali-kali terdengar, tampak selang berapa lama petir Dasamuka terdesak habat, dan akhirnya dia tersambar petir Sang Prabu hingga gosong dan hancur. Dan kembali dia bangkit lagi hidup siap menyerang Sang Prabu. Kali ini dia menciptakan cahaya-cahaya matahari yang menyilaukan dan membakar, dan Sang Prabu menciptakan awan gelap yang menutupi langit, sehingga Dasamuka terhalang pandangannya. Saat itu pukulan Sang Prabu dengan dilambari ajian ‘Karang Sewu’ menghantam dan melumatkan tubuh Dasamuka. Lagi-lagi Dasamuka hidup lagi dan siap untuk bertarung lagi. Sang Prabu menjadi kesal, dia segera menciptakan rantai selain beracun juga setiap mata rantai dipasangi paku-paku. Rantai itu dilepas Sang Prabu dan mengejar Dasamuka. Dasamuka berusaha menghindar, terbang berbelok-belok meliuk-liuk, namun rantai terus mengejarnya, hingga pada suatu saat tubuh Dasamuka tertangkap, rantai itu terus melibat, menekan dan meremas tubuhnya, laksana ular pithon raksasa meremas seluruh tulang-tulang mangsanya. Begitu juga dengan tubuh Dasamuka, bergemeretak terdengar suara tulang yang hancur, ditambah dengan tusukan ribuan paku-paku beracun yang meracuni setiap inchi tubuhnya. Sungguh penderitaan yang teramat dahsyat. Dasamuka melolong hebat melebihi auman seratus singa menggetarkan sekeliling kaki Gunung Nusamanik. Namun rantai itu semakin kuat menjepit tubuhnya, hingga tubuh Dasamuka kembali keukuran aslinya, bergulingan masih meraung-raung, membanting-banting atau membentur-bentukan tubuhnya ke batu-batu karang untuk menghancurkan rantai ajaib itu, namun sia-sia malah semakin menyiksanya karena resapan racun yang tertoreh di ribuan paku-paku yang terpasang di setiap mata rantai itu. Dasamuka meminta tolong kepada Dewata tapi tidak ada jawaban. Akhirnya dia berlutut lemas dengan tubuh bersimbah keringat dan darah. Memang dari segi kualitas daya tempur kanuragan, Sang Prabu Arjuna Sasrabahu sangat jauh diatas daya tempur Dasamuka, bahkan dibandingkan dengan Patih Suwanda atau Raden Sumantripun, Dasamuka masih dibawahnya. Dia terlalu ‘dimanjakan’ oleh ajian Rawarontek dan Pancasonanya. Kurang mengupayakan pertahanan dan menjaga tubuhnya untuk tidak terluka dengan fokus pada pencarian kelemahan-kelemahan jurus tempur lawannya. Dia hanya mengandalkan adu ketahanan stamina. Dengan kemampuan tidak dapat dibunuhnya, dia berharap lawan menjadi lelah, kesal, kecewa dan putus asa. Saat itulah Dasamuka akan menyerang balik dengan ganas tanpa ampun, seperti yang dialami Patih Suwanda. Maka menghadapi strategi perang Sang Prabu seperti ini, dia sungguh tidak siap diri dan roboh tanpa perlawanan sedikitpun.

Sang Prabu yang sudah berubah ke wujud asli beliau sebagai Raja Maespati menghampiri Dasamuka. Melihat Prabu Maespati, Dasamuka merintih-rintih memohon ampun, membentur-benturkan keningnya ke tanah, menyembah agar dikasihani. Namun Sang Prabu tak bergeming. Patih Prahasta paman, pengasuh Dasamuka sekaligus penasehatnya juga menyembah memohonkan ampun bagi keponakannya, tetapi tidak digubrisnya, malah Sang Prabu bersabda tidak akan memberi ampun dan akan menyiksanya seumur hidup sesuai dengan kejahatannya. Sang Prabu memanggil seorang Narpatinya untuk mengikat leher Dasamuka dan dikaitkan kepada kuda untuk diseret sepanjang jalan menuju Kerajaan Maespati. Leher Dasamukapun diikat dan diseret kuda yang ditunggangi Narpati itu. Sepanjang jalan penderitaan Dasamuka bertambah bukan main, selain luka-luka akibat tusukan ribuan paku beracun pada rantai itu, juga luka tersayat-sayat sepanjang jalan. Sang Prabu menitahkan Narpati itu untuk memilih jalan-jalan berbatu berkerikil tajam. Sepanjang jalan itu pula Patih Prahasta terus meminta-minta ampun bagi keponakannya.

Perjalanan ke Maespati akan melalui perkemahan di tepi pantai untuk menjemput Dewi Citrawati, Para Permaisuri, para emban dan bala tentara pengawal. Namun apa yang terjadi, di dalam kemah Sang Prabu melihat Istrinya Dewi Citrawati beserta seluruh Permaisuri dan para emban termasuk bala tentara, sudah tergolek kaku, mereka rupanya bunuh diri. Sang Prabu menoleh kepada Dasamuka. Patih Prahasta sudah habis daya untuk dapat membela keponakannya. Sang Prabu paham akan maksud Dasamuka, dengan taktik itu ia berharap pikiran Sang Prabu akan menjadi kacau dan mudah dikalahkan. Sang Prabu segera menghunus keris untuk memutilasi dan mencacah tubuh Dasamuka untuk dibiarkan membusuk selama-lamanya. Karena Dasamuka tidak dapat mati, maka dia akan merasakan terus siksaan yang sungguh amat mengerikan itu. Saat itulah laut tersibak dan muncul berjalan di atas gelombang laut sesosok manusia bersisik dan berwajah ikan. Sang Prabu mengenal dia seorang Dewa Samudera bernama Sang Hyang Baruna. Jelaslah Sang Prabu sangat dikenal dan dihormati sampai kepada kalangan Jin dan Dewa. Sehingga Dewa Samudera Barunapun menyempatkan diri membantunya untuk menghidupkan istri berikut para pengikut Sang Dewi. Sang Dewa Baruna berujar, bahwa Sang Dewi dan lainnya belum saatnya meninggal, karena Sang Dewi Citrawati akan perlaya bersama-sama dengan Sang Prabu. Tampak Sang Prabu bersuka hati dan mempersilahkan Dewa Baruna menghidupkan semua kerabat Sang Prabu yang berada di perkemahan. Sang Hyang Baruna menghidupkan Sang Dewi dengan pusaka ‘Tirtamaya Maosandi’ air kehidupan yang dapat menghidupkan semua makhluk yang mati belum saatnya.

Dewa Baruna bersemedi memohon kepada Sang Pramesti Jagatnata. Seketika itupun Dewi Citrawati serta para putri dan para emban hidup kembali. Mayat penjaga dan pasukan pengawal itupun bangunlah semuanya, lalu berdatang sembah ke hadapan Baginda. Dewi Citrawati juga datang menghadap dan bersembahlah kepada Baginda. Diantara tentara-tentara yang baru itu terlihat seorang Narpati. Dia menceritakan setelah baginda maju ke medan laga, datang seorang prajurit Maespati yang menceritakan, bahwa Baginda telah gugur ditangan Dasamuka. Sang Dewa Baruna membenarkan cerita Narpati itu, bahwa prajurit yang datang melapor adalah prajurit Alengka utusan Dasamuka bernama Sokasana, dengan aji ‘Malih Rupa’ dia menyamar menjadi tentara yang sudah tewas. Karena semua sudah pulih kembali, Dewa Baruna mohon diri untuk kembali ke kahyangannya. Mendengar penjelasan Narpati itu, melihat kenyataan Patih Suwanda yang sangat disayanginya tidak hadir bersembah, maka keputusan Baginda untuk memutilasi dan mencacah seluruh tubuh Dasamuka tidak berubah. Dewi Citrawati dan seluruh Permaisuri Raja taklukan beserta para emban, minta diijinkan untuk menyaksikan eksekusi itu. Sang Prabu segera mencabut keris pusakanya. Menurut Sang Prabu eksekusi hukuman tidak berlangsung lama. Dapat dibayangkan kengerian yang terbayang dibenak Dasamuka. Prabu Dasamuka itupun tak henti-hentinya meratap dan memohon pertolongan Dewa. Begitu Sang Prabu Maespati mengangkat tangannya untuk disabetkan ketubuh Dasamuka, datanglah dari angkasa seorang Brahmana, yaitu Resi Pulasta yang telah lama menjadi Dewa, datang dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana itu adalah kakek buyut Dasamuka dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjuna Sasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Dasamuka. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Dasamuka untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya.

Sebagai balasannya Sang Prabu boleh memperbudak Dasamuka, mengambil kerajaan Alengka dan seluruh kekayaannya. Serta Resi Pulasta mampu menghidupkan semua prajurit yang telah gugur di medan laga. Seketika suka citalah hati Baginda Prabu. Kemudian Sang Resi bersiap dan bersemedi. Saat itu turunlah hujan gerimis, disinari matahari kemerah-merahan dari sebelah barat. Daun semak dan pohon-pohon nampak segar terkena air hujan. Syahdan keadaan mayat-mayat yang berkaparan di medan perang mulai basah tersiram hujan gerimis tersebut. Perlahan-lahan sosok mayat dari balatentara Maespati, tentara raksasa Alengka berikut semua kuda tunggangan yang tewas mulai bangkit hidup kembali. Balatentara kedua belah pihak segera berkumpul pada kelompoknya masing-masing. Pihak Alengka berkumpul kebingungan karena kehilangan rajanya. Disitu terdapat Senapati Alengka seperti Mintragna, Wirupaksa, Dumraksa dan Kampana yang segera berunding sambil menunggu khabar rajanya. Lain halnya dengan pihak Maespati, disana terdapat Narpati Soda dan Raja Magada Prabu Citragada yang memutuskan segala hal. Prabu Citragada bersabda kepada kedua belah pihak, karena hari sudah petang, maka masing-masing hendaknya kembali keperkemahannya masing-masing.

Patih Prahasta bergegas menuju ke area medan tempur untuk menjemput para senapati sebagai titah Sang Prabu Maespati untuk mendengarkan sabda Prabu Dasamuka. Bahwasanya Baginda sudah takluk kepada Raja Maespati, dan meminta semua prajurit untuk datang ke perkemahan Maespati. Setelah berkumpul di perkemahan Maespati, seluruh prajurit Alengka segera berlutut dan bersembah di hadapan Raja Maespati. Akan tetapi Prabu Arjuna Sasrabahu masih bermuram durja juga. Rupanya dia masih terkenang dengan Patih Suwanda yang tidak datang bersembah. Resi Pulasta menjelaskan ia tidak sanggup menghidupkan Patih Suwanda karena dia sudah dijemput oleh Para Dewa ke Suralaya, dan gugurnya Patih Suwanda itu bukanlah khusus karena dibunuh oleh Dasamuka, akan tetapi memang ia harus menjalani takdir. Menebus kesalahannya terhadap adiknya yang bernama Sukrasana yang menitis kepada Dasamuka. Maka Baginda itupun termenunglah. Resi Pulasta menghibur, pada penitisan Sang Prabu berikutnya, yakinlah Patih Suwanda akan menitis juga di Ayodhya, dan permaisuri Dewi Citrawati akan menitis menjadi putri Mantili. Dan mungkin semua akan berjumpa lagi. Maka bersuka citalah hati Sang Prabu mendengar penjelasan Resi Pulasta. Kemudian rantai belengggu Prabu Dasamuka itupun terurai dan menghilang. Resi Pulasta banyak memberi nasehat kepada Dasamuka, setelah cukup memberi nasehat, sang Resi mohon diri kepada Sang Prabu. Prabu Dasamuka dan seluruh tentaranya diperkenankan Sang Prabu untuk kembali ke Alengka.

Tinggi diatas gunung, dua pasang mata mengawasi semua kejadian yang terjadi di bawahnya. “Semua sesuai dengan rencanamu bukan kakang. Adi Guru sudah mengutus Narada untuk membujuk Wisnu menunda membunuh Dasamuka.” “Hhe..ehm!”, jawab seseorang lagi. “Baruna yang muncul tiba-tiba juga upayamukah dan Pulasta juga kau panggil, keduanya kakang panggil untuk membujuk Wisnu agar tidak membunuh Dasamuka.” “Hhe..ehm!, jawabnya singkat. “Jika tidak kau beritahu, aku pertama menduga kalau Resi Suwandagenilah yang telah mewarisi anaknya Sukrasana dengan ilmu teramat keji, ilmu hitam ‘Belah Jiwa’ yang mengancam kehidupan manusia dimasa depan. Dan aku mengira Resi itu punya niat jahat terhadap kehidupan manusia. Dan kakang menduga Sumantri mempunyai ambisi terpendam, dia akan diperalat untuk menjadi Raja manusia setengah hewan di Kerajaan Kiskenda dan miliaran populasi kera di Pancawati itu.” “Hmm yaah”, masih belum mau menjawab, tampak orang itu sedang berpikir keras. “Berarti ada makhluk lain yang mempunyai kesaktian melebihi para Dewa Suralaya, yang tidak terlacak Kaca Lopian Adi Guru, yang mengancam keseimbangan Alam Semesta kakang. Untuk itukah kita ditugaskan oleh Hyang Esa Allah Azza wa jalla?.”

“Tidakkah kau lihat hubungan semua ini, kesaktian, kanuragan, para Dewa, jutaan manusia setengah hewan, jutaan makhluk kera, Ilmu Belah Jiwa Sukrasana dan Sumantri. Kita harus menelaahnya bertahap. Kita mulai saja dari yang akan terjadi di barat, membantu anak muda mengusir tentara denawa dan pasukan jin dari Alengka untuk menyelamatkan kerajaan bernama Ayodhya Kanda atau Ayodhya Kala. Anak muda itu bernama Destarata. Destarata akan mewarisi tahta kerajaan dari mertuanya, Prabu Banaputra yang tewas dibunuh Prabu Dasamuka, raja Alengka. Perjumpaannya dengan Dewi Sukasalya terjadi di Hutan Dandaka, tatkala putri Ayodhya itu sedang melarikan diri dari kejaran Dasamuka. Destarata seorang pertapa muda dan berkelana di hutan-hutan, dan akan menyelamatkan Sukasalya dengan menciptakan Dewi Sukasalya palsu yang berasal dari tusuk konde Sang Dewi. Prabu Dasamuka akan dikecohkannya dan dengan demikian selamatlah Dewi Sukasalya. Dia meminang Dewi Sukasalya alias Dewi Kusalya alias Dewi Raghu. Tapi tidak juga mendapat putra. Dewi Sukasalya akan menganjurkan agar Destarata kawin lagi. Destarata akan menikah lagi dengan Dewi Kekayi dan Dewi Sumitrawati. Tapi ketiganya tidak akan rukun, hubungan ketiganya sungguh jauh dari anggapan itu. Terlebih Dewi Kekayi yang memang memiliki watak kurang terpuji. Meski Destarata sudah beristri tiga orang, putra yang mereka rindukan tidak kunjung lahir. Nah di Ayodhya itu kau menjelma menjadi seorang Patih bernama Patih Tamenggita, dan aku akan menjelma menjadi Resi Wasista. Kita bantu Destarata dengan mengadakan upacara sesaji Aswameda, yakni sesaji kurban kuda. Dari situ kedua istri Destarata yaitu Dewi Sukasalya atau Dewi Ragu akan mengandung. Pada waktunya lahir sang bayi laki-laki, diberi nama Raden Regawa atau Raden Rama. Dari isteri ketiganya yaitu Dewi Sumitra juga akan melahirkan bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Laksmana Widagda atau Raden Sumitra Tanaya. Tak hanya itu, dua tahun kemudia Dewi Sumitra akan melahirkan lagi seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Satrugena.

Dewi Kekeyi akan merasa tidak suka atas kelahiran Regawa. Dia yang pada dasarnya memiliki watak iri dan dengki merasa tidak mendapatkan perhatian dari Sang Prabu atas lahirnya bayi yang lahir dari rahim Dewi Ragu dan Dewi Sumitra. Dia berupaya sekuat tenaga senantiasa untuk mendekati Destarata dan memohon agar jika pada saatnya dia berhasil mengandung putera Destarata, nantinya diangkat menjadi Raja Ayodya. Terbawa rasa cintanya yang begitu besar kepada Dewi Kekayi, Destarata mengabulkan permohonan permaisuri yang iri hati ini. Keputusan Destarata inilah yang nantinya akan memicu permasalahan besar di Ayodhya karena tak lama setelah itu Dewi Kekeyi mengandung. Pada saatnya dari rahimnya lahir bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Barata.

Keempat putera Destarata setelah dewasa, mereka akan tumbuh menjadi anak yang cerdas, sakti dan berbudi pekerti luhur. Nah! kita harus mengabdi kepada putra sulung Destarata dengan wujud asli kita. Karena dialah yang mejadi titisan Batara Wisnu”, jawab sipendiam. Yang satu lagi hanya manggut-manggut saja. Kemudian keduanya lenyap pergi ke tempat yang dituju. Mereka adalah Dewa pengasuh dan pengayom alam semesta bernama Semar Kudapawana dan Togog Tejamantri.


( Berlanjut pada kisah - LEGENDA  RAMAYANA - ).

==============================================

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.