Saturday, March 26, 2016

DEWA PENGASUH dan PENGAYOM ALAM SEMESTA.


       
Puas merusak alam permukaan bumi dan angkasa, keduanya menggelopoh tercakung dipuncak gunung. Segera melepaskan kesaktian triwikramanya tubuh keduanya kembali mengecil keukuran manusia normal. Melihat kerusakan dahsyat dari hasil perbuatan keduanya, ada rasa sesal di lubuk hati keduanya, walau bagaimanapun mereka adalah dewa-dewa yang melindungi kehidupan makhluk-makhluk tribuana. Maka dengan kesaktian keduanya pula meredakan kekacauan alam permukaan bumi. Baru kemudian terbang kembali ke Kahyangan Suralaya.              

Sementara di Jonggring Salaka, Sang Hyang Tunggal yang sudah mengetahui peristiwa yang telah dialami kedua putranya hanya merenung. Ia pun menyesali atas kesalahannya dahulu, saat menyempurnakan wujud telur yang menjadi asal muasal mereka. Seharusnya mereka tidak disempurnakan secara bersamaan, sehingga bisa dibedakan mana yang lebih awal tercipta dan untuk dituakan. Namun yang lebih disesalkan lagi adalah mereka sudah tidak mau mendengarkan nasehatnya sebagai orang tua, apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur, dan mereka telah memilih jalannya masing-masing.

Alam kembali menjadi tenang, burung-burung berkicau dikegelapan pagi, dan angin berhembus semilir meniupkan nafasnya yang gemulai. Diantara basahnya embun pagi di atas dedaunan, dua sosok mahluk berjalan gontai sambil menangis menyesali semua yang sudah terjadi.

Mereka berdua sadar bahwa mereka telah terkena kutukan orang tua mereka, Sang Hyang Tunggal. Lalu mereka berdua menangis sejadi-jadinya sambil berangkulan seperti anak kecil. Mereka memutuskan menghadap Sang Hyang Tunggal, untuk memohon ampunannya.

Di Jonggring Salaka, di hadapan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga masih terus menangis memohon ampunan, mereka memohon ayahandanya untuk merubah kembali wujud mereka seperti semula. Namun Sang Hyang Tunggal tidak dapat mengabulkan permohonan mereka. Menurutnya ini sudah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa.

Sang Hyang Tunggal bersemedi, karena merasa akan mendapat kabar Sang Hyang Esa. Dalam semedinya berujar, saat itu kehidupan di bumi harus selalu berpasangan, ada istilah Im-Yang, baik-buruk, panas-dingin, atas-bawah, jahat-baik, keras-lunak, siang-malam dan seterusnya. Sang Hyang Esa melalui raga Sang Hyang Tunggal, menurunkan perintah kepada Sang Hyang Ismaya untuk turun kedunia, mengawal dan mengawasi sisi baik, Im, atas, malam, dan mengasuh para raja, brahmana dan ksatria keturunan dewa hingga jagad pewayangan berakhir. Hidup Sang Hyang Ismaya di dunia atau marcapada akan abadi, menjadi saksi kehidupan makhluk hingga akhir jaman. Oleh sebab itu Hyang Ismaya harus menyamar dan merubah nama menjadi SEMAR (Semar Badranaya).

Untuk Sang Hyang Antaga, juga diperintahkan turun kedunia, mengawal dan mengawasi sisi berlawanan dari Sang Hyang Ismaya. Mengawal dan mengasuh musuh-musuh keturunan dewa, yaitu para-raksasa, siluman, denawa, buto-ijo, juga akan menjadi saksi kehidupan makhluk hingga akhir jaman. Oleh sebab itu Hyang Antaga harus menyamar dan merubah nama menjadi TOGOG (Togog Wijomantri). Juga keduanya kelak harus mengabdi dan melindungi manusia pilihan Hyang Esa yang terakhir terlahir ditanah Arab.          

Oleh karena mendapat tugas langsung dari Hyang Esa, kekuatan dan kesaktian yang diberikan kepada Semar dan Togog tidak terlawan oleh siapapun dan oleh pusaka apapun didunia, keduanya kebal terhadap semua jenis senjata pusaka terhebat, ilmu-ilmu  gaib, kesaktian-kesaktian dunia, termasuk kesaktian dan pusaka-pusaka ayah mereka sendiri Sang Hyang Tunggal. Bahkan kesaktian keduanya melebihi kesaktian kakek mereka Sang Hyang Wenang. Suatu kekuatan Akherat yang tidak dikenal di dunia. Ruangan Jonggring-Salaka kemudian menjadi sangat hening mencekam, ketika sabda Hyang Esa melalui raga Hyang Tunggal menghilang, diiringi kabut wewangian seribu bunga-bunga sorga dan asap dupa sejuta-setanggi. Seluruh leluhur dewapun hadir menyaksikan ba'iat terhadap Hyang Ismaya dan Hyang Antaga. Menyaksikan kesaktian kedua-saudaranya, Sang Hyang Manikmaya gemetar dan gentar karena membayangkan seberapa hebat dan tinggi kekuatan Akherat itu. Terlebih lagi keduanya diangkat langsung oleh Hyang Esa sebagai DEWA PENGASUH dan PENGAYOM ALAM SEMESTA.

Selanjutnya Sang Hyang Tunggal bersabda kepada para putranya bahwa dirinya akan segera mokswa ke alam sunyaruri, namun sebelumnya ia akan menunjuk salah satu dari putranya untuk menggantikannya menjadi Raja Tribuana di Kahyangan Suralaya. Lalu Sang Hyang Tunggal menunjuk dan menobatkan Sang Hyang Manikmaya menjadi Raja Tribuana. Sebagai Raja Tribuana, Sang Hyang Manikmaya diberi tugas untuk menentramkan marcapada. Diiringi para leluhur-dewa dan ayahnya-Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal mokswa ke alam sunyaruri.

Sebenarnya yang paling berat adalah tugas Sang Hyang Antaga, sebab ia disuruh memberi pelajaran budi pekerti, menasehati serta meluruskan para raja raksasa yang kebanyakan sifat dan perwatakannya penuh dengan angkara murka.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Menurut versi pewayangan sunda atau wayang golek, urutan persaudaraan sudah ditentukan. Sang Hyang Tunggal beristrikan dua dewi. Dewi tertua bernama Dewi Darmani dan Dewi kedua bernama Dewi Rekawati.

Dari Dewi Darmani, Sang Hyang berputra empat orang, yang sulung bernama Sang Hyang Ludra, Sang Hyang Dewanjali, Sang Hyang Darmastuti, putra bungsu Dewa Esa atau Sang Hyang Rancasan.

Sedangkan dari Dewi Rekawati, berputra tiga orang. Yang sulung bernama Sang Hyang Ismaya, kedua Sang Hyang Antaga dan yang bungsu Sang Hyang Manikmaya.

Pada versi ini, Sang Hyang Ismaya digambarkan sebagai orang yang sangat alim. Lebih banyak berdiam dan bermeditasi dikahyangannya, menjauhi keduniawian dan kadewataan. Lebih banyak berolah-rasa menyatu dengan penciptanya - Sang Hyang Esa. Sehingga memperoleh keunggulan dewa mumpuni linuwih, cipta-rasa dan ilmu-ilmu kadewataan tingkat sangat tinggi. Sang Hyang Antaga tinggal dan menemani kakaknya berolah-rasa kadewataan, namun tidak sedalam kakaknya Hyang Ismaya. Semua kegiatan kedewataan diambil dan dikelola oleh Sang Hyang Manikmaya.

Adalah anak Sanghyang Tunggal lainnya, bernama Dewa Esa lebih dikenal sebagai Sang Hyang Rancasan, dari versi ini menjadi penyebab kegemparan Kahyangan. Sebagai anak dari penguasa Kahyangan sudah jelas mempunyai ilmu dan kesaktian sangat tinggi. Hampir seluruh kesaktian yang dimiliki oleh ayahnya dikuasainya, hanya saja yang menjadi ganjalan selama ini adalah sikap dari ayah bundanya yang kelihatan lebih memperhatikan dan menyayangi adik bungsunya Sang Hyang Manikmaya. Terlebih lagi sikap Sang Hyang Manikmaya yang terkadang tidak terlalu memperdulikannya sebagai kakaknya.

Lama-kelamaan perasaan iri yang tersimpan dalam hatinya semakin membesar dan menyelimuti akal sehatnya. Sebagai anak lebih tua sudah sewajarnya jika Sang Hyang Rancasan memendam hasrat untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya di Kahyangan. Hanya saja melihat sikap adik bungsunya yang terlihat ingin menjadi raja di Kahyangan dan curahan kasih sayang yang dirasakan olehnya kurang adil. Maka rasa resah dan gundah selalu saja menyelimuti hatinya.                                

Suatu hari Sang Hyang Rancasan merenung dan akhirnya berpikir jika seandainya tahta tersebut tidak didapatkannya, maka dia tidak akan mempunyai kedudukan yang dirasakan sudah menjadi haknya. Oleh karena itu menurutnya dia harus mempunyai tempat yang sama dengan Kahyangan yang didiaminya saat ini. Selanjutnya tanpa pamit kepada kedua orang tuanya apalagi kepada adik-adiknya, dia pergi meninggalkan Kahyangan, mengembara mengikuti suara hatinya. Setelah menempuh perjalanan beberapa lama akhirnya dia menemukan tempat yang dianggapnya cocok, tempat itu letaknya ditengah-tengah antara Kahyangan dengan dunia tengah atau marcapada. Dengan kesaktiannya maka Sang Hyang Rancasan menciptakan sebuah tempat sebagai tandingan Kahyangan tempat tinggal ayah dan saudara-saudaranya. Bahkan bisa dikatakan lebih indah dari Kahyangan yang menjadi tempat lahirnya, Kahyangan tempat para dewa bersemayam. Kahyangan ciptaannya diberi nama  Kahyangan Tunjung Biru.

Sang Hyang Manikmaya diangkat menjadi Penguasa Suralaya oleh Sang Hyang Tunggal, dengan gelar Sang Hyang Jagatnata. Pada suatu ketika Sang Hyang Jagatnata berkata kepada Sang Hyang Narada, bahwa semua ahli waris Kahyangan, semua telah menyatakan kesetiaan dan tunduk kepadanya, seperti semua anak-anak dari Sang Hyang Darmajaka, yaitu Sang Hyang Darmanasidi, Sang Hyang Trijata, Sang Hyang Caturkanaka dan Sang Hyang Pancaresi, ayah Sang Hyang Narada.

Juga anak-anak Sang Hyang Toya, yaitu Sang Hyang Parma beserta anak-anaknya Sang Hyang Winata, Sang Hyang Adli, Sang Hyang Kapa dan Sang Hyang Kuwera. Selain itu semua putra Sang Hyang Hening yang menjadi empu, putra Dewi Yati, bangsa Naga. Bahkan semua Putra Sang Hyang Tunggal dari dari Dewi Rekatawati yang merupakan kakak Sang Hyang Jagatnata yaitu Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya, keduanya tinggal di Kahyangan Sunyaruri, semua putra Sang Hyang Tunggal dari Dewi Darmani yaitu Sang Hyang Ludra, Sang Hyang Dewanjali dan Sang Hyang Darmastuti, kecuali putra bungsunya Sang Hyang Rancasan yang tidak mau tunduk. Sang Hyang Rancasan diajak bergabung di Suralaya, namun selalu menolak.

Sang Hyang Jagatnata mengutus Sang Hyang Narada bersama tentara kadewaan yaitu Dorandhaka dipimpin Dewa Indra dan Dewa Bayu, ke Kahyangan Tunjungbiru, meminta agar Sang Hyang Rancasan tunduk. Namun jawaban Sang Hyang Rancasan, menyatakan bahwa ia lebih tua, sebagai putra Sang Hyang Tunggal dari Dewi Darmani – istri pertama Sang Hyang Tunggal dan juga turunan dari Sang Hyang NurRasa, sedangkan Sang Hyang Manikmaya adalah putra dari Dewi Rakatawati keturunan Sang Hyang Yuyut.

Sang Hyang Narada menjelaskan bahwa yang seharusnya merajai Kayangan adalah dia yang menerima Tirta Kamandanu, Latamaosandi, Sosotya Retnadumilah serta Pustaka Darya, dan itu sudah dikuasai oleh Sang Hyang Manikmaya. Sang Hyang Rancasan menjelaskan bahwa selain keempat pusaka yang menjadi syarat raja Tribuana, ada satu pusaka yang dikuasainya yang lebih hebat dari dari keempat pusaka itu, yaitu Layang Kalimasada yang diwariskan kepada Sang Hyang Rancasan dari Sang Hyang Wenang. Layang Kalimasada ini jika dibaca oleh manusia, akan menjadi mulia hidupnya malah segala kesaktian Dewa itupun tak dapat menandingi kesaktian Jamus Layang Kalimasada.

Sang Hyang Narada meminta Sang Hyang Rancasan memperlihatkan pusaka Layang Kalimasada. Sang Hyang Rancasan mengangkat tangan-kanan memperlihatkan segulungan kulit beraksara emas tulisan Hyang Esa, diwadahi dalam tabung emas. Seketika alam terang benderang bercahaya pelangi menyilaukan namun malah memberi kedamaian hati, ditambah wewangian bunga yang asing lebih wangi dari bunga-bunga di Swargaloka, menebar kepelosok area Kahyangan Tunjung Biru, juga memancarkan hawa dingin dan panas bergantian namun memberi perasaan tentram yang aneh yang belum dikenal para dewa.

Sang Hyang Narada bertanya: "Apakah Sang Hyang Rancasan sudah membaca dan mengamalkan isi pusaka Layang Kalimasada.?". "Aku memang tidak dapat membacanya dan mengamalkan isi pusaka ini, namun berkah dan keramat yang dipancarkan pusaka meningkatkan kesaktianku puluhan kali lipat dan sudah cukup untuk menaklukkan keempat pusaka Sang Hyang Jagatnata." Semua Dewa pasukan Dorandhaka, Batara Indra, Batara Bayu dan Hyang Narada, terlongong-longong melihat pusaka dan penjelasan Sang Hyang Rancasan. Tapi kecerdikan Sang Hyang Narada sebagai diplomat Swargaloka tidak mau memperlihatkan ekspresi kelemahan dan kegalauan dihadapan musuh.

Sang Hyang Narada mempersilakan Sang Hyang Rancasan tidak tunduk kepada Sang Hyang Jagatnata, tetapi agar Jamus Layang Kalimasada dapat diserahkan kepada Sang Hyang Jagatnata. Namun Sang Hyang Rancasan tetap tidak mau menyerahkan apapun dan tidak mau tunduk.

Maka digempurlah sanghyang Rancasan oleh tentara kadewan Dorandaka diikuti Betara Bayu disisi kiri dengan topan tornadonya dan disisi kanan Betara Indra dengan disertai kilat-guntur, tetapi sang Hyang Rancasan tetap tidak dapat dikalahkan. Akhirnya Sanghyang Narada dan dewa-dewa lainnya mundur dan kembali ke Suralaya.

Dari laporan Sang Hyang Narada serta melihat kesaktian Pusaka Jamus Layang Kalimasada, maka Sang Hyang Jagatnata menggunakan Ajian Pustaka Darya, untuk mencari tahu cara mengalahkan Sang Hyang Rancasan, dan dari wahyu yang didapatnya, yang bisa mengalahkan dan mendapatkan Pusaka Jamus Layang Kalimasada itu hanyalah dua kakaknya Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya. Sang Hyang Jagatnata merandek memang kesaktian kedua kakaknya sudah tidak diragukan lagi. Maka Sang Hyang Manikmaya mengutus Sang Hyang Narada ke Kahyangan Sunyaruri meminta agar Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya untuk menangkap Sang Hyang Rancasan dan merebut Pusaka itu.

Di Kahyangan Sunyaruri Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya tengah berbincang perihal mimpi mereka yaitu hilangnya Kahyangan Sunyaruri, menjadi gelap dan tidak terlihat lagi. Sang Hyang Antaga menyatakan mimpi dirinya menjadi mirip anjing sedangkan Sang Hyang Ismaya menjadi binatang mirip kucing tanpa bulu. Yang ditakwilkan bahwa mereka akan bersalin rupa dan perilaku serta tidak akan tinggal lagi di Kahyangan. Tidak lama muncullah Sang Hyang Narada meminta bantuan untuk menaklukan Sang Hyang Rancasan.

Dihadapan adiknya Sang Hyang Jagatnata, Sang Hyang Ismaya kurang sependapat dan ingin menanyakannya terlebih dahulu langsung kepada Sang Hyang Rancasan, hanya saja Sang Hyang Manikmaya terus-menerus mengatakan bahwa sudah tidak mungkin untuk berdialog lagi dengan Sang Hyang Rancasan, apalagi setelah Sang Hyang Antaga sudah terpengaruh. Maka mereka bertiga langsung menuju ke tempat Sang Hyang Rancasan. Setibanya ditempat Sanghyang Rancasan di Kahyangan Tunjung Biru, terjadi perang mulut diantara Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Antaga dengan Sang Hyang Rancasan. Sang Hyang Ismaya lebih sabar dari kedua adiknya dan berusaha menengahi pertengkaran itu. Akhirnya terjadilah pembicaraan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Rancasan.

“Mengapa sebabnya Pusaka Jamus Layang Kalimasada tidak mau diserahkan?” tanya Sang Hyang Ismaya. “Pusaka ini lebih sakti daripada pusaka-pusaka yang dimiliki Sang Hyang Manikmaya, serta pusaka ini tidak dapat dimiliki Sang Hyang Manikmaya, serta hanya manusia yang bersih dan suci hatinya yang bisa memiliki pusaka ini”, jawab Sang Hyang Rancasan. "Bukankah sudah ditetapkan yang menjadi penguasa Tribuana adalah adik kita, Sang Hyang Manikmaya atau Sang Hyang Jagatnata?", sambung Sang Hyang Ismaya. "Itulah kekhilafan ayah kita, tidak melihat siapa yang lebih pantas dari urutan keluarga dan kesaktian yang dimilikinya", sergah Sang Hyang Rancasan takabur.

Mendengar keangkuhan Sang Hyang Rancasan, Sang Hyang Manikmaya tidak dapat menahan diri lagi, segera menerjang dan menggempur Sang Hyang Rancasan, diikuti Sang Hyang Antaga dan Ismaya dari sisi berbeda.

Bumi gonjang-ganjing, marcapada kembali diguncang oleh nafsu angkara murka putra-putra Sang Hyang Tunggal. Gunung-gunung menggelegar mengeluarkan laharnya, bukit-bukit longsor berguguran. Sang Hyang Antaga dan Ismaya lebih banyak menahan diri.

Maka pertarungan terjadi antara Hyang Manikmaya dengan Sang Hyang Rancasan. Keduanya saling mengadu kedigjayaan dan saling memamerkan aji-aji kesaktian. Namun dalam perang tanding itu, terlihat Sang Hyang Rancasan lebih unggul dibandingkan Sang Hyang Manikmaya. Beberapa kesaktian dan pusaka-pusaka kadewataan milik Manikmaya tidak mampu menghadapi kesaktian dan kedigjayaan Sang Hyang Rancasan. Saat Sang Hyang Manikmaya bertiwikrama menjadi berhala sewu, Hyang Rancasan tidak kalah hebat, ia bertiwikrama lebih besar dari raksasa jelmaan Hyang Manikmaya. Begitu seterusnya, setiap Manikmaya masuk ke dalam perut bumi, Hyang Rancasan ada di belakangnya. Dan setiap Manikmaya berdirgantara di angkasa, Rancasan pun selalu ada di belakangnya. Manikmaya keteteran menghadapi kesaktian Hyang Rancasan, maka Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kembali terjun ke palagan yuda demi membantu Manikmaya, keduanya langsung menerjang Sang Hyang Rancasan. Mereka menyerang secara serempak dari segala penjuru, ada yang menyerang dari arah depan saling berhadapan, ada yang menyerang dari belakang, dari angkasa dan dari bawah bumi. Setelah bertarung beberapa lama terlihat kesaktian Sanghyang Rancasan tetap lebih tinggi dari Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Manikmaya. Kesaktiannya hanya bisa diimbangi oleh Sang Hyang Ismaya.
            
Ketika kedua adiknya terdesak hebat, Sang Hyang Ismaya maju menghadang Hyang Rancasan. Maka terjadilah pertarungan dahsyat satu-lawan-satu antara Sang Hyang Ismaya dengan Sang Hyang Rancasan disaksikan kedua adiknya. Perang kejayaan diantara mereka  menggemparkan marcapada. Terjadi hujan badai, angin prahara, halilintar, kobaran api dan amukan gelombang-samudera yang menelan gunung-gunung disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib mereka dan akhirnya menghancurkan dan meluluh lantakan bumi Kahyangan Tunjung Biru.

Sebenarnya Sang Hyang Ismaya tidak ingin mencelakai kakaknya tersebut, hanya ingin melumpuhkannya untuk seterusnya dibawa ke Kahyangan untuk diinterogasi lebih lanjut. Sang Hyang Manikmaya tidak sabar dan berbisik kepada Sang Hyang Antaga untuk membatu Sang Hyang Ismaya.

Saat itu Sang Hyang Ismaya sedang menarik tangan kanan Sang Hyang Rancasan, dia sedang mempersiapkan pukulan untuk melumpuhkan Sang Hyang Rancasan, namun sebelum Sang Hyang Ismaya menyerang, sekelebat bayangan menyambar Rancasan. Ternyata Sang Hyang Antaga yang menyambar tubuh Sang Hyang Rancasan. Setelah mendapat bisikan dari Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Antaga melompat dan menyambar tangan kiri Sang Hyang Rancasan. Sang Hyang Ismaya kaget bukan kepalang melihat hal tersebut, tetapi terlambat Sang Hyang Antaga sudah menarik tangan kiri Sang Hyang Rancasan dengan kekuatan sangat dahsyat dan amat kencang. Pada sisi lain, Sang Hyang Ismaya juga sedang menarik hebat tangan kanan Sang Hyang Rancasan. Akibat adu tarik dari dua arah yang berlawanan, yang disertai dengan ilmu yang dimilikinya menyebabkan tubuh Sang Hyang Rancasan terbelah menjadi dua.

Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Sang Hyang Rancasan berujar mengutuk Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga, bahwa keduanya akan kehilangan kesaktiannya karena keduanya akan berubah wujud, mereka hanya dapat menggunakan kesaktian hanya-jika diperlukan untuk membantu ummat-manusia, tidak bisa digunakan untuk diri-sendiri.

Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga tertegun dan menyesali kejadian yang baru saja berlalu, Sang Hyang Manikmaya tidak menggubris penyesalan kedua kakaknya, segera meninggalkan medan palagan, setelah memungut Pusaka Jamus Layang Kalimusada yang terlempar dari tangan Sang Hyang Rancasan.

Kejadian pertempuran antara keempat Maha-Dewa itu tak luput dari pantauan ayah mereka Sang Hyang Tunggal, dia menyesali perbuatan Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga sehingga menewaskan Sang Hyang Rancasan yang masih terhitung kakak sendiri. Sang Hyang Tunggal memurkai sikap anak-anaknya yang terlalu terbawa nafsu dan tidak bisa berpikir jernih.

Sang Hyang Tunggal dalam wujud suara tanpa rupa memerintahkan kepada Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga supaya meninggalkan kahyangan menuju marcapada dan menitipkan Pusaka Layang Kalimusada kepada Sang Hyang Ismaya. Kepada Hyang Jagatnata karena sudah menghasut saudara-saudaranya, akan menerima karmanya, yaitu kakinya akan menjadi kecil dan lemah, maka dengan begitu ia akan mendapat julukan sebagai Sang Hyang Lengin. Giginya akan bertaring sebesar buah randu dan dinamakan Sang Hyang Randuana. Tangannya akan bertambah menjadi empat dan akan mendapat nama Syiwa, dan yang terakhir dalam perjalanannya nanti lehernya akan terbakar oleh racun ganas sehingga menjadi biru, maka namanya pun bertambah menjadi Sang Hyang Nilakanta. Sang Hyang Manikmaya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya pasrah menerima kutukan dari ayandanya,

Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga sudah meninggalkan Kahyangan. Mereka tiba di lembah gunung Mahendra di tepi telaga Wasania, kemudian berdiam bertapa meminta supaya diampuni atas dosa-dosanya, mereka bersama meminta lewat pusaka Jamus Layang Kalimasada, namun pada saat itu pula Sang Hyang Ismaya yang tadinya sangat tampan berubah menjadi buruk rupa dengan tubuh bulat dan wajah bulat pula seperti wajah kucing.

Sanghyang Antaga juga kehilangan ketampanannya dan mempunyai muka yang panjang serta bibirnya sobek memanjang seperti wajah anjing. Mereka terus menangis sejadi-jadinya, namun tidak ada gunanya. Sang Hyang Antaga berganti nama menjadi Togog dan Sang Hang Ismaya menjadi Semar. Sang Hyang Antaga menyatakan bahwa ia tidak sanggup memelihara Pusaka Jamus Layang Kalimasada, serta menyerahkannya kepada Semar, hanya meminta teman. Togog memuja serta meminta dari pusaka, muncullah seorang yang mirip Togog, hanya agak kurus, dan dinamai Sarawita. Togog dan Sarawita meninggalkan Semar, menuju ke arah barat.

Semar menangis sendiri beserta pusaka Layang Jamus Kalimasada, tiba-tiba datang hujan yang deras, Semar mencari tempat berteduh, dan menemukan dangau dan masuk ke dangau. Tiba-tiba hujan berhenti dan seketika terang benderang. Semar sangat gembira dan merasa ditolong oleh dangau, lalu meminta kepada pusaka agar dangau itu dijadikan teman. Seketika muncullah orang yang mirip Semar namun agak kecil, dan dinamai Astra (Asta) Jingga, asta artinya lengan – jingga jenis warna, yang berarti bibit kehidupan.

Dalam perjalanannya Semar dan Astrajingga menemukan patok, yang di”puja” oleh Semar, yang menjelma menjadi manusia jangkung berhidung panjang dan dinamai Petruk yang artinya patok dijalan. Ketiganya terus berjalan memasuki tempat perlindungan sehingga semua binatang buas tak mampu mengganggu, yang kemudian tempat perlindungan itu di”puja” dan menjelma menjadi orang pendek, bertangan bengkok dan berperut buncit dan dinamai Nalagareng, artinya hati yang kering.

Sang Hyang Ismaya atau Semar dan Sang Hyang Antaga alias Togog, diturunkan ke marcapada untuk tugas tertentu, Sang Hyang Ismaya akan menjadi pengikut dan pengasuh keturuan dari raja-raja yang baik. Sedangkan Togog akan berada dipihak yang berseberangan dengan Semar alias Sang Hyang Ismaya.

Perihal pusaka Jamus Layang Kalimasada itu dikembalikan kepada ayah mereka - Sang Hyang Tunggal dan pada saatnya nanti pusaka itu akan diwariskan kepada para kesatria marcapada yang sanggup mengembannya.   

1. Beberapa catatan mengenai pengembaraan Semar dan Togog. Dipercaya keduanya adalah  pembantu-pembantu terdekat Nabi Chaidir (Nabi yang hidup abadi hingga akhir jaman).
2. Semar dan Togog setelah zaman pewayangan berakhir, selalu muncul setiap 500 tahun sekali. Pada masa wali-sanga saat runtuhnya Majapahit saat Islam berkembang atau saat berdirinya Demak, keduanya muncul dikenal dengan nama Sabda-Palon (semar) dan Naya-Genggong (togog).
3. Dipercaya bahwa kedua Maha Dewa yang menyamar akan menjadi pengayom dan pelindung Alam Semesta, hidup tersembunyi dan tersamar di antara manusia-manusia  di seluruh dunia dan Jagat raya hingga akhir jaman.

==============================================



No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.