Thursday, March 31, 2016

LEGENDA RAMAYANA.




Dalam Legenda Ramayana Betara Wisnu kembali turun ke Marcapada (dunia manusia), untuk kembali menitis keraga manusia. Kali ini Betara itu memilih raga Putra Mahkota Ayodhya Kanda / Ayodhya Kala sebagai raga titisannya. Tetapi sebagai putra mahkota syah Kerajaan Ayodhya Kala, putramahkota bernama Sri Rama mendapat cobaan berat. Diusia remajanya, dia diharuskan mengembara selama 14 tahun atas tuntutan selir Raja Destarata yaitu Putri Kakiyi. Ditemani adiknya Lesmana, Sri Rama yang sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya, rela menunda penobatannya sebagai raja untuk mengembara. Dalam pengembaraan itulah terjadi hal-hal dahsyat pada diri dan kehidupan Sri Rama, yang memang sudah diatur dalam skenario kehidupan oleh para Dewa Suralaya. (Kisah etos pengembaraan Sri Rama dapat dibaca pada cergam apik RAMAYANA karya RA.Kosasih).

Riwayat pengembaraan Sri Rama dan Lesmana yang sedemikian melegenda itu menceritakan peristiwa-peristiwa dahsyat dan heroik penuh kepahitan perjuangan memburu penculik calon istrinya Dewi Shinta. Selain kisah-kisah heroik, legenda ini juga menitipkan suatu ‘pesan indah’, pesan tentang kisah indahnya semangat perjuangan yang dinaungi cinta suci, cinta sejati sepasang kekasih yang dipisahkan secara paksa.

Cinta Sri Rama itu adalah cinta yang berasal dari kasih sayang yang kuat dan keinginan berkorban, memiliki rasa empati, perhatian, ingin membantu dan mau mengikuti apapun  yang di inginkan oleh yang di cintainya. Cintanya yang murni, putih, tulus dan suci yang timbul tanpa adanya paksaan atau adanya sesuatu yang dibuat-buat, membuat motivasi untuk melakukan perubahan yang lebih baik, perjuangan dan memperjuangkannya walau dengan nyawa. Cintanya yang suci tidak dinodai dengan ke-egoisan yang hanya menginginkan enaknya, cintanya yang penuh pengertian, suatu perasaan terdalam yang membuatnya rela berkorban apa saja demi kebahagiaan orang yang dicintainya. Pengorbanan yang tulus, tidak mengharap balasan. Cintanya tidak terukur dengan materi ataupun yang berasal dari dunia fana. Bahagia, duka ataupun kepahitan, keindahan dan kehangatan adalah onak duri atau cobaan perjuangan cintanya Sri Rama demi sebuah keinginan suatu keindahan, keselarasan dan kebersamaan untuk menjalani hidup bersama.

Semua perasaan cintanya diwujudkan oleh Sri Rama dengan membentuk pasukan perang langsung dikomandoinya untuk menyerbu Kerajaan Alengka, menyerbu penculik calon istrinya. Dengan dibantu dan ditemani kawan seperjuangannya Wibiksana, Hanoman, Hanggada dan Sugriwa beserta ribuan pasukan keranya dan hulubalang-hulubalang ‘manusia berkepala hewan’, Sri Rama menyiapkan penyerbuan ke Kerajaan Alengka, walau harus menyeberangi lautan. Dengan bantuan dua panglimanya Hanoman dan Hanggada, ribuan laskar ‘prajurit kera’ dan ratusan hulubalang, mereka berhasil membuat jalan penyeberangan berupa tanggul tambak, yang memotong lautan menghubungi daratan dimana mereka berada dengan daratan Kerajaan Alengka. Tanggul tambak itu dibuat dengan cara menimbun lautan dengan jutaan kubik tanah dan bebatuan gunung. Halangan dan rintangan-rintangan yang dilakukan tentara dan pasukan siluman utusan Rahwana, tidak membuat mereka menjadi gentar. Teror dahsyat tersebut mereka lawan dengan perjuangan yang tidak kalah hebatnya. Tekad dan semangat juang Sri Rama beserta legiun pasukannya hampir membuat Rahwana dan saudara-saudaranya putus asa, sampai akhirnya diputuskan untuk membiarkan seluruh pasukan musuh menyeberang lautan memasuki kawasan Kerajaannya. Dengan pertimbangan, pasukan musuh akan lebih mudah dihancurkan dan dilumpuhkan jika berada di daratan luas. Maka Sri Rama dengan seluruh pasukannya bebas berjalan diatas tambak penyeberangan. Penasihat Sri Rama pernah mengutarakan usul untuk menghindari pertumpahan darah besar-besaran, dengan cara menantang duel tanding satu lawan satu antara ksatria-ksatria Sri Rama dan ksatria-ksatria Rahwana, dan pertarungan terakhir antara Sri Rama dengan Rahwana. Bahkan Hanoman mengajukan diri untuk bertarung dengan Rahwana, supaya lebih sedikit korban yang jatuh.

Pendapat itu tentu sudah terlintas dari awal di dalam benak Sri Rama, sebelum rencana penyerbuan mereka ke Alengka dilaksanakan. Namun sebagai seorang Ksatria sejati, Sri Rama tidak ingin mengabaikan tekad juang pembantu-pembatunya untuk menyumbang bela pati, walau akhirnya mereka bisa saja akan menjadi korban. Lagi pula dengan membentuk pasukan perang ini, Sri Rama ingin memperlihatkan kesungguhan tekadnya baik kepada Rahwana maupun kepada Dewi Shinta, untuk merebut cinta sejatinya dari kekuasaan Rahwana.

Sri Rama berhasil membuktikan tekad dan kesungguhan cintanya, dengan keberhasilan dia dan seluruh pasukannya menduduki Kerajaan Alengka, mengalahkan Rahwana dan seluruh ksatrianya. Saat itu Sri Rama tidak serta merta menyambut Dewi Shinta. Ada satu ujian yang harus dilakukan Dewi Shinta, mengingat sudah sekian lama dia berpisah dari Sri Rama. Sri Rama masih perlu bukti kesungguhan cinta suci Dewi Shinta pula. Dewi Shinta harus mampu mengalahkan ‘Sang Agni’ untuk membuktikan bahwa dia masih suci dan belum ‘terjamah’ oleh Rahwana. Dan Dewi Shintapun membuktikan, dia berani terjun ke dalam kobaran api ‘Sang Agni’ sebagai bukti tekad cintanya kepada Sri Rama sekaligus menunjukkan bahwa dia masih suci bersih. Dewi Shinta perlahan melayang keluar dari kobaran api dengan duduk di atas singgasana kerajaan. Sang Agnipun turut menjadi saksi atas kesucian dan ketulusan cinta Dewi Shinta. Dan Sri Ramapun menyambut calon istrinya dengan bahagia, diikuti sorak sorai seluruh bala tentara Sri Rama.

Perjuangan Sri Rama sebenarnya sudah dimulai saat mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Shinta, dengan mengharuskan menarik Busur Panah pusaka. Sudah belasan Ksatria dari beberapa Kerajaan sahabat jatuh, tidak satupun yang mampu menarik busur panah tersebut. Bahkan untuk mengangkatnyapun harus dengan menggunakan seluruh tenaganya. Ada yang berhasil mengangkat busur, dan siap merentangkannya, namun semua terpelanting tidak mampu menerima keuletan tali busur tersebut. Lain halnya dengan Sri Rama, setelah mendapatkan giliran untuk mencoba menaklukkan busur tersebut, selain Sri Rama mampu mengangkat batang busur, merentangkan selebar-lebarnya, bahkan dengan kekuatannya, dia mampu mematahkan batang busur menjadi lima potong. Maka secara otomatis Dewi Shinta akan jatuh menjadi jodoh Sri Rama. Namun itu yang tampak didepan mata dan pikiran manusia biasa. Sebenarnya itu adalah skenario dari Betara Wisnu dan istrinya Dewi Sri, yang berkeinginan bersatu diraga titisannya masing-masing di marcapada (dunia manusia). Selanjutnya penyatuan cinta antara Betara Wisnu dan Dewi Sri harus menempuh tebing terjal bebatuan tajam penuh onak-onak duri, terhalang oleh suatu sebab yang sudah diatur Sang Hyang Otipati Betara Guru, agar titisan Dewa Wisnu dapat bertemu, bertarung dan mengalahkan Rahwana.

Bentuk lakon cinta lain dalam babak Ramayana ini adalah cinta yang memberikan kasih sayang bukannya rantai ego dan keduniaan. Cinta yang juga tidak bisa dipaksakan dan datangnya pun kadang bisa secara tidak disengaja. Cinta indah namun kepedihan yang ditinggalkannya kadang berlangsung lebih lama dari cinta itu sendiri. Batas cinta dan benci juga amat tipis tapi dengan cinta itu dunia yang kita jalani akan serasa lebih ringan. Cinta itu perasaan seseorang terhadap lawan jenisnya karena ketertarikan terhadap sesuatu yang dimiliki oleh lawan jenisnya (misalnya sifat, wajah dan lain lain). Namun diperlukan pengertian dan saling memahami untuk dapat melanjutkan hubungan, haruslah saling menutupi kekurangan dan mau menerima pasangannya apa adanya, tanpa pemaksaan oleh salah satu pihak. Berbagi suka bersama dan berbagi kesedihan bersama.

Seorang makhluk sekejam bahkan terkejam didunia seperti Rahwana, bisa takluk oleh hembusan wewangian cinta. Sejak berhasil diculik dari tangan Sri Rama, Dewi Shinta  ditempatkan pada kamar terindah di seluruh Kerajaan Alengka. Namun tak sedikitpun Rahwana berani mengganggu Dewi Shinta walau seinci tubuhnya sekalipun. Rahwana Raja di Raja terkejam, yang mampu mendapatkan apapun yang dihendakinya hanya dengan sekali tunjuk, kini harus tunduk total tak berdaya. Dia benar-benar sangat jatuh cinta kepada Dewi Shinta. Dia tidak mau memaksakan cintanya terhadap Dewi Shinta, Rahwana ingin Dewi Shinta menerima cintanya dengan tulus. Maka yang terjadi adalah lolongan-lolongan rayuan gombal Rahwana didepan pintu kamar Dewi Shinta. Berhari-hari dia membujuk agar Dewi Shinta mau keluar dari kamar, mau menemuinya dan berkencan dengannya.

Berhari-hari Rahwana menyusun puisi-puisi cinta agar Dewi Shinta menerimanya, walau hanya sekedar menjawab puisi-puisi cintanya. Berhari-hari itu pula dia mengalami kekecewan, pintu kamar tetap tertutup. Puluhan pujangga diperintahkannya untuk mengarang dan menyusun puisi cinta, untuk dia bacakan di depan kamar Dewi Shinta, dan puluhan pujangga itu pula menjadi korban akibat kekejaman Rahwana, dibunuh karena puisi-puisi buatan mereka tidak ada satupun yang berhasil membujuk Dewi Shinta keluar kamar, atau sekedar menjawab sapaan Rahwana. Rahwana semakin melolong-lolong sudah bagai serigala layaknya, putus asa tidak juga mendapatkan cinta Dewi Shinta. Korban semakin banyak berjatuhan dibunuh Rahwana yang putus asa itu. Mendengar begitu banyaknya korban akibat ditolaknya rayuan Rahwana olehnya, Dewi Shintapun luluh hatinya, mau membuka pintu kamar menemui Rahwana, tapi hanya untuk memberikan persyaratan sebagai taktik agar Dewi Shinta bisa bertemu Sri Rama. 

Bagai mendapat perhiasan intan sebesar gunung, Rahwana menari-nari di depan petinggi-tinggi Alengka. Dia sampai menangis tak kuasa menahan air matanya, bahagia Dewi Shinta mau menemui dan menyapanya. Walau hanya sekedar mendengar persyaratan yang disampaikan Dewi Shinta, bahwa Dewi Shinta mau menerima cinta Rahwana apabila Rahwana bisa membawa dua kepala, yaitu kepala  Sri Rama dan adiknya Laksamana. Rahwanapun cancut-taliwanda tendang-sana tendang-sini kepada semua orang, memaksa agar pasukannya secepat mungkin berangkat untuk menculik Sri Rama dan Laksamana. Dan selanjutnya adalah pertarungan besar antara pasukan Rahwana dan pasukan Sri Rama yang dimenangkan pihak Sri Rama, kehancuran total Kerajaan Alengka, dikalahkannya Rahwana oleh Sri Rama dan terbunuhnya dia oleh Hanoman.

Lonceng cinta masih terus bergema dalam irama lainnya. Kali ini cinta dinyatakan sebagai perasaan hangat yang mampu membuat kita menyadari betapa berharganya kita, dan adanya seseorang yang begitu berharga untuk kita lindungi. Cinta tidaklah sebatas kata-kata saja, karena cinta jauh lebih berharga daripada harta karun termahal di dunia pun. Saat seseorang memegang tanganmu dan mengatakan: ”Aku cinta kamu…” pasti tumbuh perasaan hangat yang istimewa. Karena itu, saat sudah menemukan seseorang yang begitu berharga, ada keengganan kuat untuk melepaskannya. Namun adakalanya cinta begitu menyakitkan, dan satu-satunya jalan untuk menunjukkan cintamu hanyalah merelakan dia pergi.

Atau cinta digambarkan sebagai sebuah perasaan yang tidak ada seorangpun bisa mengetahui kapan datangnya, bahkan sang pemilik perasaan sekalipun. Jika kita sudah mengenal cinta, kita akan menjadi orang yang paling berbahagia di dunia ini. Akan tetapi, bila cinta kita tak terbalas, kita akan merasa bahwa kita adalah orang paling malang dan kita akan kehilangan gairah hidup. Dengan cinta, kita bisa belajar untuk menghargai sesama, serta berusaha untuk melindungi orang yang kita cintai, apapun yang akan terjadi pada kita. Fenomena gema lonceng cinta diatas terjadi pada konflik perseteruan dua bersaudara Subali dan Sugriwa.

Syahdan Kahyangan Suralaya mendapat serbuan dari dua raja Jin, Maesasura, jin  berkepala macan dan saudaranya Lembusura yang berkepala sapi jantan. Kedua raja tersebut berasal dari Goa Kiskenda. Mereka bermaksud melamar Dewi Tara, bidadari putri Betara Indra. Karena lamaran mereka tidak mendapat sambutan baik, kedua raja jin itu nekat untuk menyerbu Kahyangan untuk menculik Dewi Tara. Pertempuran dahsyat tidak dapat dihindarkan lagi. Meskipun pasukan Dewa dapat memukul mundur, dan Betara Indra mampu menundukkan Maesasura, tapi Dewi Tara berhasil diculik Lembusura. Maka dengan berhasilnya Lembusura menggondol Dewi Tara, Maesasura memerintahkan pasukannya untuk mundur yang memang sudah tidak mungkin mampu memenangkan pertempuran dengan pasukan Para Dewa Suralaya. Untuk menyelamatkan Dewi Tara dari tangan dua penculiknya, Sanghyang Otipati memerintahkan Betara Narada untuk pergi ke hutan Sunyapringga, untuk menemui kedua putra Resi Gautama, yang saat itu sedang bertapa sebagai penebus dosa terhadap tingkah-laku tidak patut mereka terhadap ayahnya mereka, Resi Gautama.

Resi Gautama berputra tiga orang, yang sulung adalah seorang putri bernama Dewi Anjani, disusul adiknya Raden Subali dan yang bungsu Raden Sugriwa. Kehidupan mereka awalnya aman tenteram bersama ayah dan ibunya Dewi Indradi di pertapaan Grastina di lereng gunung Sukendra. Kehebohan keluarga Resi Gautama dimulai dari sebuah cupu yang dimiliki Dewi Anjani pemberian ibunya sebagai anugerah dari Betara Surya. Dahulu ketika Dewi Anjani masih kanak-kanak, cupu itu sangat berguna untuk menghiburnya bila ia rewel dan menangis. Karena keajaibannya maka hingga kinipun sang Dewi masih tetap menggemarinya sehingga tiap hari cupu itu selalu dipermainkannya. Keajaiban cupu itu ialah bila dibuka dan dilihat tutupnya, maka akan terlihat seluruh keadaan di angkasa. Adapun bagian dalamnya dapat memperlihatkan seluruh keadaan bumi.

Melihat kakaknya selalu mempermainkan cupu itu, kedua adiknya Raden Subali dan Raden Sugriwa penasaran dan ingin melihatnya. Takjub akan isinya, timbul keinginan keduanya untuk memilikinya, karena merasa ayah mereka tidak adil, kenapa hanya Dewi Anjani yang dianugerahkan benda pusaka. Maka menghadaplah mereka berdua ke hadapan ayahnya. Tentu Resi Gautama terperangah menerima pertanyaan-pertanyaan kedua putranya, karena selama ini ia tidak merasa memberi benda pusaka apapun kepada putrinya Dewi Anjani. Saat itu juga Resi Gautama mengumpulkan seluruh anggota keluarganya. Cupu yang menjadi barang keributan dimintanya. Dewi Anjani menjelaskan, bahwa cupu itu adalah milik ibunya Dewi Indradi. Sang Resi bertanya kepada istrinya, dapat darimana benda ini. Alangkah sukarnya Dewi Indradi menjawab, karena hubungan cinta sang Dewi dengan Betara Surya sangat dia rahasiakan. Meski didesak terus oleh suaminya, sang Dewi tetap bungkam, sehingga timbul amarahnya, dalam amarahnya keluar kutuk dari perkataannya. Sang Dewi yang terus bungkam, dikatakan oleh Sang Resi bagai pilar tugu. Perkataan Sang Resi linuwih akan selalu menjadi kenyataan, maka Sang Dewipun berubah menjadi tugu batu. Tugu itupun dilempar Resi Gautama jauh keangkasa dan jatuh di kerajaan Alengka. Kelak pada pertempuran dahsyat antara Sri Rama dengan Rahwana, Dewi Indradi dapat terbebas dari kutuk suaminya, jika turunannya menggunakan tugu itu sebagai alat perang. Tugu itu memang dipakai untuk memukul kepala Patih Prahasta oleh Hanoman cucunya sendiri.

Cupu yang menjadi barang sengketa keluarga Resi Gautama, dilempar beliau ke angkasa, karena masing-masing ketiga putra-putrinya masih berebut untuk memilikinya. Sang Resi berpesan siapa saja dapat meraihnya, maka dia yang akan memilikinya. Di udara cupu itu terbelah menjadi dua, badan cupu jatuh dan menjelma menjadi Sungai Sumala dan tutupnya yang lebih ringan, terjatuh lebih jauh dan menjelma menjadi Sungai Nirmala. Kedua Raden itu hanya melihat cupu jatuh kedalam sungai, serta merta keduanya beserta kedua pengasuhnya, langsung terjun kedalam sungai terdekat yaitu Sungai Sumala. Adapun Dewi Anjani yang tidak dapat berlari secepat kedua adiknya, dia tertinggal jauh, dia berlari dengan ditemani pengasuhnya Aria Saraba. Sungai Sumala mempunyai keajaiban mampu merubah ujud setiap makhluk yang terkena airnya. Sedangkan Sungai Nirmala mempunyai khasiat untuk memulihkan kutuk akibat air Sungai Sumala.

Singkat cerita Subali, Sugriwa dan kedua pengasuhnya Aria Menda dan Aria Jembawan, yang terjun ke dalam Sungai Sumala, mendapat kutuk berubah wujud seketika menjadi seekor kera. Dewi Anjani dan pengasuhnya yang hanya membasuh muka dengan tangannya, hanya berubah wujud menjadi kera pada wajah dan kedua tangannya. Mereka segera melapor kepada ayahnya, untuk memperoleh pengampunan. Dan Sang Resipun memerintahkan mereka bertiga untuk bertapa. Pertama Dewi Anjani bertapa merendamkan diri ke dalam air danau Madirda yang mengalir di bawah pohon asam yang rindang. Hanya kepalanya yang muncul sebatas mulut. Mulut sang Dewi selalu terbuka menantikan makanan yang terbawa air masuk ke dalamnya. Demikianlah sang Dewi itu bertapa menantikan nasib selanjutnya dengan dijaga oleh Aria Saraba dengan setia. 

Adapun Raden Subali dan Raden Sugriwa bertapa di hutan Sunyapringga. Raden Subali bertapa dengan cara bergelantungan di dahan pohon seperti seekor kelelawar. Dan Raden Sugriwa bertapa ‘Ngidang’di padang rumput, mengambil posisi seperti seekor kijang sedang makan rumput. Mereka berdua bertapa bertahun-tahun dengan dijaga kedua pengasuh setianya, yaitu Aria Menda dan Aria Jembawan. Termasuk Dewi Anjani yang ditemani Aria Saraba. Hingga saat itu tiba turun Sang Hyang Otipati dan Betara Narada menghadap ketiganya. Dewi Anjani dipulihkan oleh Sang Hyang Otipati Betara Guru dan dibawa ke Suralaya untuk dipersunting. Dari perkawinan keduanya dianugerahi seorang putra berwujud kera putih, yang kemudian diberi Hanoman. Sedang Raden Subali dan Raden Sugriwa dianugerahi oleh Betara Narada berbagai kesaktian, kemudian diberikan tugas dari Hyang Guru untuk membantu Para Dewa. Demikianlah sekelumit riwayat asal-usul Hanoman putra Dewi Anjani, Raden Subali, Raden Sugriwa.

Kembali kepada tugas yang diemban kedua putra Resi Gautama dari Betara Narada. Beberapa lamanya mereka berjalan mencari Goa Kiskenda. Hutan dan gunung telah mereka lalui. Tiba-tiba bertemulah mereka dengan penjaga goa, yang menerangkan bahwa dia adalah penjaga Goa Kiskenda. Kedua putra Resi Gautama mengutarakan maksudnya untuk menjemput Dewi Tara. Keruan saja penjaga itu menjadi naik pitam. Tetapi dengan sekali tampar penjaga itu tewas. Beberapa orang Kiskenda melihat kejadian segera memanggil pasukan perangnya. Namun amukan kedua ksatria dan dua pengasuhnya benar-benar tiada tertahankan oleh pasukan Kiskenda. Mereka mengamuk sehingga seluruh pasukan Kiskenda menjadi kacau balau. Pasukan Kiskenda dikejar kesana kemari dan mencoba hendak bersembunyi ke dalam goa. Tetapi Sugriwa dan dua pengasuhnya sudah menunggu menghadang, sehingga membuat pasukan Kiskenda berlari-lari kesana kemari mencari tempat persembunyian. Setelah keadaan sepi, Subali dan Sugriwa beranjak memasuki goa, kedua pengasuhnya berjaga-jaga di mulut goa. Ternyata lorong goa itu sangat dalam, setelah berjalan agak jauh, mereka menemukan sinar terang gemilang, rupanya itulah ujung goa, yang ternyata dibangun suatu keraton yang indah mewah. Mereka mendapati Maesasura dan Lembusura sedang tertidur lelap. Maka dengan mengendap-endap keduanya mencari tempat Dewi Tara disembunyikan. Sebelum mencari, Subali berpesan, bahwa Sugriwa yang membawa bidadari itu keluar goa, dan menunggu Subali di luar goa. Dan Sugriwa harus memperhatikan tanda-tanda yang akan diberikan Subali. Jika mengalir darah bercampur otak, artinya Subali kalah bertempur dengan kepala pecah. Maka untuk menjaga keselamatan Dewi Tara, Sugriwa harus menutup pintu goa dengan batu gunung. Dengan perasaan masgul Sugriwa menerima perintah kakaknya. Sugriwa segera bergerak mencari tempat Dewi Tara disembunyikan, sementara Subali berjaga-jaga. Setelah Sugriwa mendapatkan bidadari itu disembunyikan, segera Dewi Tara dipanggul keluar. Terkejut karena tiba-tiba seorang berwujud kera memasuki kamarnya dan dengan cepat menyambar tubuhnya, Dewi Tara tak kuasa menahan jeritannya. Jeritannya itu yang membangunkan Maesasura dan Lembusura. Tetapi Subali yang sejak tadi berjaga-jaga langsung menerjang. Perkelahian dua lawan satu berlangsung seru. Sugriwa terus berlari keluar goa. Diluar goa dia menjelaskan tujuan mereka kepada Dewi Tara, yaitu atas perintah Hyang Otipati Betara Guru.

Tiba-tiba mengalir darah bercampur otak dari dalam goa Kiskenda. Maka teringatlah Sugriwa akan pesan kakaknya, dan dengan tak berpikir panjang lagi, batu gunung yang disediakan itu segera ditutupkan kepintu goa sambil meratap dengan sedihnya. Sugriwa tak henti-hentinya menangisi kakaknya. Aria Jembawan pengasuhnya, segera menghampiri agar segera membawa sang Dewi ke Suralaya. Dewi Tara yang semenjak tadi merasa takut oleh mereka, manusia tapi berwujud kera, barulah percaya akan kejujuran dan kesopanan mereka. Singkat kata, Dewi Tara dibawa menghadap Hyang Pramesti Jagatnata atau Hyang Otipati Betara Guru. Hyang Otipati bertanya kepada Sugriwa, siapa yang paling berjasa membebaskan Dewi Tara. Dengan sedih Sugriwa menceritakan sejujurnya bahwa kakaknyalah yang paling berjasa, ia hanya dipesankan kakaknya jika melihat pertanda kejadian mengalirnya darah bercampur otak keluar goa, berarti kakaknya kalah berperang, dan dia harus segera mengantarkan Dewi Tara ke Suralaya. Atas usul Betara Narada, maka Raden Sugriwa dinikahkan dengan Dewi Tara, dan mereka menetap di kerajaan kera Pancawati.

Menengok kedalam goa untuk melihat kejadian sebenarnya, Raden Subali berhasil mengalahkan Maesasura dan Lembusura, dengan memecahkan kepala keduanya. Tak urung darah bercampur otak memancar deras mengalir sepanjang goa ke arah pintu goa. Subali mengikuti arah aliran darah dan otak itu hingga ke ujung goa. Alangkah terkejutnya dia, sebuah batu gunung menyumbat lobang goa. Darah memuncak kekepalanya pertanda amarah yang hebat disusul makian dan sumpah serapah kepada adiknya Sugriwa. Tidak sepatah katapun ia teringat akan pesannya kepada Sugriwa, semua tenggelam dalam api amarah. Dengan penuh nafsu didorong-dorongnya batu itu, namun tidak sejengkalpun bergeser, hingga beberapa hari dan malam Subali terkurung dalam goa. Ia menangis seorang diri, maka putuslah harapan Subali untuk mendekati bidadari Dewi Tara. Tiba-tiba teringatlah olehnya akan aji baru pemberian Dewata, Aji Pancasona. Maka aji tersebutpun dirapalnya, dan batu besar yang menutup lobang goa itupun meledak hancur berkeping-keping diterjang Subali. Subali segera melompat keluar. Di luar goa dia terus berteriak-teriak memanggil Sugriwa dengan ancaman akan membuat perhitungan dengan Sugriwa. Subali segera berlari cepat ‘sipat kuping’ langkahnya tidak menapak tanah dan rumput, dia bagaikan terbang saja layaknya. Dari kejauhan hanya tampak bayangan tubuhnya saja yang berkelebat cepat menerobos hutan, lembah semak-semak, ngarai bebatuan dan sungai. Maka dalam waktu singkat dia sudah tiba di dataran Gunung Mahameru yang misterius. Yah dia sudah tiba di lereng gunung tempat para Dewa bermukim yaitu Suralaya. Di lereng gunung itu dia masih saja berteriak-teriak memaki-maki Sugriwa, dengan didorong Aji Pancasona, maka teriakan Subali laksana ledakan petir dimusim penghujan.

Hyang Otipati segera mengutus Betara Narada. Karena beliau sudah waspada ada peristiwa yang tidak beres dan kesalah pahaman antar dua saudara kandung. Dihadapan Betara Narada, Subali masih saja menyesalkan tindakan saudaranya, dan menepuk dada menunjukkan siapa sebenarnya yang paling berjasa. Betara Narada dengan bijak menenangkan emosi Subali, sambil mengingatkan pesan Subali terhadap Sugriwa. Dewata sama sekali tidak menduga akan akhir pertempuran Subali dengan dua raja jin itu. Sesuai pesan Subali, dan apa yang dipesankan memang terjadi, maka Sugriwa menutup goa dengan batu, dan membawa Dewi Tara ke Suralaya. Dan sebagai jasanya, karena Subali dianggap sudah tewas, Dewi Tara dinikahkan dengan Raden Sugriwa dan dianugerahi kerajaan kera Pancawati. Mendengar penjelasan Dewata, Subali termenung, tenggelam dalam keputus asaan. Maka dengan diliputi rasa sedih berangkatlah dia meninggal Gunung Mahameru. Ditengah perjalanan, rasa cinta terhadap sang dewi, mengobarkan api amarahnya kembali. Dia berteriak-teriak memaki-maki Sugriwa, mengancam akan membuat perhitungan. Dengan Aji ‘Sipat Kuping’ nya, kembali Subali berlari melesat secepat angin menuju lereng gunung Pancawati, tempat Sugriwa dan Dewi Tara bermukim.

Di Pancawati Subali yang sudah kesetanan oleh cinta buta, berteriak-teriak menantang Sugriwa. Kedatangannya tentu mengejutkan kedua pengasuhnya, terutama Aria Menda pengasuh Subali. Sugriwa yang diberitahu kedua pengasuhnya tentu terkejut senang, tetapi mendengar Subali datang dengan amarah dan memaki-maki dirinya, sebagai adik pengkhianat dan tidak tahu diri. Tentu saja kesabaran Sugriwa pudar dicaci maki dengan kata-kata pedas itu. Ia pun melompat kelapangan dimana Subali berdiri menantang. Kedua pengasuhnya, Aria Menda dan Aria Jembawan, berusaha menenangkan asuhannya masing-masing, namun tidak berhasil, ketika kedua bersaudara itu saling melompat keudara untuk mengadu pukulan. Kemudian pergulatanpun terjadi, saling terjang, pukul, cakar, tendang. Kelihatan benar kedua putra Resi Gautama adalah benar-benar ksatria pilih tanding, sukar dicari lawannya saat itu. Maka pertarungan dua bersaudara itu amatlah dahsyat, memporak-poranda sekitar pertarungan. Tapi selang beberapa lama, tampaklah keunggulan Sugriwa, kelincahan dan kecepatan gerak tubuhnya melebihi dari kakaknya. Maka sudah beberapa kali Subali dirobohkan, terluka dan pingsan. Dan beberapa kali pula dia bangkit, karena keampuhan Aji Pancasona. Selama Subali dapat menyentuh tanah dia dapat sembuh dan hidup kembali, itulah watak Aji Pancasona. Hingga akhirnya Sugriwa kepayahan dan menyerah, bersimpuh di hadapan kakaknya. Seketika itupun Subali memboyong Dewi Tara ketempatnya bermukim. Tempat yang dia dipilih adalah Goa Kiskenda. Subali kembali memanggil seluruh pasukan Maesasura untuk menjadi pasukannya.

Tinggal Sugriwa melolong-lolong kesedihan, berhari-hari tidak enak makan dan tidur tidak nyenyak, selalu mengingat istrinya. Aria Jembawan berusaha menghibur asuhannya. Tetapi rupanya gagal, api kerinduan amat sangat menyesakkan dadanya. Sugriwapun tampil berdiri, berteriak memanggil-manggil Subali untuk menantang perang tanding lagi. Dihimpunnya pasukan keranya, kemudian berangkat ke Goa Kiskenda. Dan terjadilah pertempuran antara pasukan kera Pancawati dengan pasukan mutan Kiskenda. Pasukan Kiskenda memang unik, berpenampakan tubuh manusia namun berkepala semua binatang baik binatang buas atau binatang ternak. Aria Jembawan memimpin pasukan Pancawati terus menggempur penjaga-penjaga goa yang nampaknya sibuk mempertahankannya. Sedang Sugriwa menerobos masuk kedalam goa untuk menemui Subali. Kembali kedua bersaudara saling tantang dan dilanjutkan saling terjang. Pertarungan mereka kali ini lebih dahsyat dari pertarungan mereka yang pertama kali. Karena kali ini mereka bertempur dengan kebencian antara dua musuh bebuyutan, bukan lagi antara saudara kandung. Sugriwa terus didesak hingga menjauh dari Goa Kiskenda ke hutan di lereng Gunung Reksamuka. Tetapi memang Subali sukar ditaklukkan, sukar dilukai apalagi dibunuh, karena ageman Aji Pancasonanya. Dan Sugriwa yang sudah kepayahan itu ditundukkan dan dibelenggu antara dahan pohon di hutan lereng Gunung Reksamuka. Aria Jembawan hanya dapat meratap menangisi asuhannya yang pingsan terjepit dahan pohon besar, dan dia terus menjaganya dengan setia. Saat itu Dewi Tarapun sudah melahirkan seorang putra, disambut Subali seakan sebagai trofi kemenangan perang.

Nasib Sugriwa kemudian ditentukan oleh dua petualang bernama Sri Rama dan Laksamana, yang sedang mencari Kerajaan Alengka. Dengan bantuan Sri Rama, Sugriwa berhasil dibebaskan dari jepitan dahan pohon. Lepas dari jepitan, Sugriwa yang mempunyai tabiat keras kepala, kembali akan menyambangi kediaman kakaknya, untuk menantang perang tanding ketiga kalinya. Kali ini dia tidak mengerahkan bala tentara keranya. Dia hanya datang seorang diri. Diapun mengerahkan Aji Sipat Kuping, dan melesatlah dia berlari secepat angin menuju goa Kiskenda. Tidak berapa lama, dia sudah berada di hadapan goa, kedua pengawal goa sudah paham akan maksud kedatangannya dan juga sudah jerih akan kesaktian saudara muda majikannya. Segera mereka lapor kepada Subali. Subali tentu sangat kesal akan kebandelan adiknya, kenapa tidak bisa belajar dari pengalaman. Dia mengepal tinju kuat-kuat, kali ini dia tidak akan memberi ampun Sugriwa, ya Subali kali ini akan membunuh adiknya Sugriwa, tidak perduli dia akan mendapat murka ayahnya Resi Gautama.

Dan dua saudara kandung itu kini sudah berhadapan kembali, tidak ada cakap diantaranya, karena terbakar api dendam amarah, hanya terdengar dengus nafas dan gemeletuk gigi karena getaran otot geraham. Dan keduanya melompat ke udara mengadu pukulan dan tendangan, masing-masing mengerahkan aji-aji pukulan pamungkas. Dan pada dasarnya keduanya belajar dari sumber yang sama, kesaktiannya mereka didapat dari ajaran dan wejangan ayahnya, maka perkelahian berjalan seimbang. Faktor bakat tempur, stamina dan wawasan ilmu menjadi faktor penentu kemenangan. Sugriwa menang pada bakat tempur, dia sangat gesit dan terampil melancarkan jurus-jurus pukulan pamungkasnya, namun Subali lebih pada wawasan keilmuan, stamina dan dia juga memiliki Aji Pancasona, yang membuatnya tidak dapat terluka dan terbunuh. Maka hasil akhir pertempuran sudah dapat diperkirakan, Sugriwa kembali kepayahan, lemas, nafas memburu habis daya, dengan pandangan berkunang-kunang dia hanya dapat melihat Subali siap membantingnya. Sugriwa sudah diambang ajalnya.

Sri Rama dan Laksamana yang membebaskan Sugriwa, tidak diam dihutan itu. Mereka segera mengerahkan Aji Kidang Mas, ilmu berlari bersama angin, keduanyapun berkelebat sangat cepat, dan tiba saat pertempuran kedua bersaudara masih berlangsung. Saat kritis bagi Sugriwa dipatahkan Sri Rama dengan melepaskan panah Goawijaya ke arah Subali. Subali berhasil menangkap panah itu, namun panah itu tidak berhenti meluncur, terus melesat kearah dada Subali, akibatnya Subali terbawa panah itu. Walau tangannya sudah memegang erat-erat, panah itu masih bergerak perlahan, sedikit-demi-sedikit mendekati dada kemudian perlahan mulai menusuk dan mengebor dada Subali. Semua kesaktian dikerahkan Subali, tetapi sia-sia, panah itu menyerap semua kesaktian dan kekuatan Subali. Maka dia hanya dapat terbelalak tidak percaya ketika panah itu menusuk jantungnya menembus badannya keluar melalui punggungnya. Subali mendekati ajalnya. Dia tersengal-sengal dengan nafas satu-satu. Saat itulah ia memandang orang yang memanahnya. Sri Rama menghampiri Subali, menjelaskan watak Panah Goawijaya, dia akan berbalik kembali kepada pemiliknya apabila korbannya seorang yang suci bersih dan tidak bersalah. Barulah Subali sadar akan keserakahannya, ambisi, jahat pada adiknya, melupakan semua ajaran ayahnya. Dia memanggil Sugriwa, menyerahkan kerajaan Kiskenda, istrinya Dewi Tara dan menitipkan anaknya yang masih bayi agar dididik dengan baik tidak seperti ayahnya. Kemudian dia merangkul adiknya menangis meminta maaf. Sugriwapun merangkul kakaknya, menangis menyesali pada nasib kenapa sampai ini terjadi. Mereka sudah dibutakan oleh cinta. Mendengar Sugriwa memaafkan dan merangkul Subali erat-erat menangisi takdir keduanya, Subali menjadi tenang untuk berpulang ke alam keabadian.

Memang cinta adalah perasaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri. Cinta dalam pengertian seperti ini merupakan perasaan mendasar dalam diri manusia, yang tidak bisa terlepas kodratnya, dan merupakan sesuatu yang esensial. Dalam banyak hal, cinta muncul untuk mengontrol keinginan ke arah yang lebih baik dan positif. Hal ini dapat terjadi jika orang yang mencintai menjadikan cintanya sebagai sarana untuk meraih hasil yang baik dan mulia guna meraih kehidupan sebagaimana kehidupan orang-orang pilihan dan suci serta orang-orang yang bertaqwa dan selalu berbuat baik.

Cinta juga merupakan anugerah yang tak ternilai harganya dan itu di berikan kepada makhluk yang paling sempurna, manusia. Cinta tidak dapat diucapkan dengan kata-kata, tidak dapat dideskripsikan dengan bahasa apapun. Cinta hanya bisa dibaca dengan bahasa cinta dan juga dengan perasaan. Cinta adalah perasaan yang universal, tak mengenal gender, usia, suku ataupun ras. Tak perduli cinta dengan sesama manusia, dengan tumbuhan, binatang, roh halus ataupun dengan Sang Pencipta. Lagi pula, cinta itu buta. Buta sama dengan meraba-raba. Jadi… cinta itu meraba-raba.

Cinta itu bisa membuat orang buta akan segalanya hanya demi rasa sayang terhadap sang kekasih. Kita juga tahu apa maknanya cinta itu. Cinta pasti bisa membuat orang merasakan suka dan duka pada waktu yang sama ketika kita berusaha mendapat kebahagiaan bersama. Jadi bukanlah kebahagiaan untuk kita sendiri. Meskipun demikian kita jangan sampai salah langkah agar tidak menuju kesengsaraan. Lakukanlah demi orang yang kamu kasihi agar kau tidak merasa sia-sia tanpa guna. Karena hal itulah yang membuat hidup menjadi lebih bahagia.

Lakon cinta diatas akan digambarkan kepada cinta segitiga antara Hanoman, Dewi Trijata putri Wibiksana atau keponakan Rahwana, dan Aria Jembawan, pengasuhnya paman Hanoman yaitu Sugriwa.

Atas jasa-jasanya terhadap perjuangan dan sifat ksatria dari Hanoman, Wibiksana adik kandung Rahwana, berniat mengambil mantu dirinya. Lebih lagi memang putrinya sudah jatuh hati sejak diselamatkan dari kebakaran besar di keraton Alengka. Maka pintu pernikahan keduanya hanya tinggal penetapan waktu saja. Sri Rama yang menetapkan waktu pernikahan Hanoman dan Dewi Trijata, sebelum dia kembali ke Kerajaan Ayodhya Kala. Tibalah saat yang dinanti-nantikan oleh kedua mempelai itu. Pernikahan dilangsungkan sangat meriah. Sri Ramapun lalu mengangkat Pangeran Wibiksana menjadi raja di Negeri Alengka. Setelah selesai segala upacara itu Sri Rama berangkat pulang ke Negeri leluhurnya, Ayodhya Kala diiringi oleh seluruh punggawanya. Prabu Sugriwa tetap menjadi raja di goa Kiskenda dan Pancawati. Hanoman dan Trijata menetap bersama ayah mertuanya di Alengka.

Dan kisah cinta terlarang dimulai saat Aria Jembawan diminta memberikan bingkisan dari Raja Wibiksana untuk putrinya Dewi Trijata. Entah bagaimana kejadiannya, panah asmara tiba-tiba saja melesat menusuk jantung Aria Jembawan, ketika bersentuhan tangan dengan Trijata, yang secara usia lebih pantas menjadi anaknya. Dari ketertarikan tumbuh perasaan birahi. Karena tidak bisa menanggung perasaan ini, timbul niat jahat dari dirinya. Mengetahui Hanoman sedang tidak ada ditempat, kesempatan itu dipergunakan Jembawan untuk melaksanakan niatnya. Dia merubah dirinya menyerupai Hanoman dengan Ajian Malih Rupa. Maka kejadian selanjutnya adalah terjadi hubungan akrab suami istri. Kejadian tersebut berulang hingga beberapa kali. Selama berhari-hari mereka akrab laksana keluarga suami istri. Tetapi perselingkuhan itu cepat diketahui Hanoman, ketika secara tiba-tiba dia menerobos masuk kamar melalui jendela. Hanoman menghardik dan mencengkeram pundak Aria Jembawan. Ajiannya luntur, diapun kembali pada rupanya semula. Jembawan meratap-ratap meminta ampun. Hanoman cepat sadar, ia seorang yang berbudi, luas pandangannya, kuat mengendalikan diri dan menahan nafsunya. Dia berujar, karena Aria Jembawan sudah mengotori dirinya sendiri, tobat terbaik adalah mau bertanggung jawab mengawini Dewi Trijata. Dewi Trijata hanya menangis meratap-ratap meminta ampun. Hanoman dengan bijak menjelaskan Dewi Trijata tidak bersalah sedikitpun, namun nasi sudah menjadi bubur, dia sudah mengandung benih Aria Jembawan, harus disyahkan di atas kursi pelaminan. Hanoman rela menyerahkan Dewi Trijata dan pergi ke Gunung Kandalisada, menetap disana bersama ibunya Dewi Anjani, bersemedi untuk keselamatan dunia ini, hingga mendapat gelar Resi seperti kakeknya, Resi Gautama.

Skenario Hyang Otipati Betara Guru sesuai dengan rencananya, yaitu tewasnya Rahwana oleh titisan Betara Wisnu, dan hancurnya kebatilan angkara murka Kerajaan Alengka dimana Rahwana atau Dasamuka dan saudara-saudaranya bertahta. Tapi tidak demikian dengan rencana dari Semar dan Togog dua Dewa yang menyamar.

Keduanya melihat kedalam cakrawala yang lebih luas, bahwa Rahwana jangan dibiarkan mati. Memang secara jasad dia sudah tewas, tapi kedua dewa penyamaran itu membangkitkan roh Rahwana dan memecahnya menjadi ratusan-juta buih-buih kecil sebesar kelereng disebar keseluruh dunia. Buih-buih itu adalah nafsu angkara-murka Rahwana selama hidupnya. Buih-buih itu akan hinggap pada setiap manusia menjadi godaan hati berupa penyakit hati yaitu; dendam, serakah, rakus, loba, tamak, benci, buas, kikir, malas, pengecut, curiga, cemburu, iri dan seterusnya. Hanya manusia yang bersih hatinya dan dekat dengan Tuhannya yang akan terbebas dari sisipan buih itu.

Kenapa sedemikian jahatnya Semar dan Togog berlaku melebihi tindakan Dewa-dewa Suralaya?. Semar dan Togog yang mempunyai tugas menjaga keseimbangan jagat raya, butuh sesuatu untuk keseimbangan antara baik dan buruk perilaku manusia. Keduanya tahu sekian ribu tahun lagi akan dihadirkan manusia termulia oleh Hyang Esa ditanah Arab, yang akan membawa ajaran mulia dan kitab suci hasil sabda-sabda Hyang Esa yang saat itu masih tergantung di alam Arasy kerajaan Hyang Esa. Dengan hadirnya ajaran mulia itu, maka perilaku manusia akan semakin halus oleh karena itu perlu indikator pengukur iman, dengan cara disusupi gelembung nafsu dunia Rahwana.

Keseimbangan alam lainnya yang dikontrol keduanya adalah, mengurangi populasi kera, monyet, orang utan, gorila yang merupakan Rakyat Subali dan Sugriwa, yang entah bagaimana konon populasi mahluk-makhluk itu sebanyak tiga kali penduduk Jakarta sekarang ini (kl. 37 juta makhluk). Selanjutnya memusnahkan makhluk-makhluk buto, genderuwo, raksasa-raksasa buas yang merupakan rakyat Kerajaan Alengka Dasamuka. Sisa-sisa yang masih hidup dibuang kealam jin dan tidak bisa berkeliaran sesuka dan semudah seperti sebelumnya. Keseimbangan lainnya adalah memusnahkan seluruh makhluk-makhluk mutan, paduan manusia dan hewan, tubuh manusia kepala hewan. Jadi untuk selanjutnya yang ada adalah makhluk-makhluk sejenis manusia dan sejenis hewan.

Tugas Semar dan Togog kali ini demikian lancar untuk satu segi, tapi akibat gelembung-gelambung buih ciptaan mereka menimbulkan masalah-masalah gara-gara dan kasus-kasus baru bagi kehidupan manusia, jin maupun para Dewa Suralaya. Masalah ini akan menimbulkan huru-hara maha dahsyat yang akan membuat konsekuensi bagi semua pihak, sehingga memaksa turunnya Bapak Manusia Hyang Adam ke Swargaloka dan Dunia untuk mengambil jalan terbaik sebelum Nabi-nabi diturunkan Tuhan, dan sebelum manusia termulia lahir sekian belasan ribu tahun lagi.

(Bersambung ke Perang Bratayuda Kurusetra).

=============================================


No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.