Thursday, September 8, 2016

IHYA ULUMIDDIN buku 2


KARAKTERISTIK MASYARAKAT ISLAM.

Perjalanan menembus ruang dan waktu sudah mempertemukan keduanya dengan pelbagai type orang dari berbagai karakteristik dalam kebudayaan setempatnya. Tentu yang paling berkesan ketika pertemuan dengan para Nabi dan Rasul Utusan Allah. Dari para utusan Allah itulah, mereka belajar berbagai kondisi dan karakteristik masyarakat dimasa kehidupan para utusan tersebut. Tentu banyak pembelajaran yang diperoleh mengenai tata cara kehidupan bermasyarakatnya, tata cara bersosial, beragama, berniaga atau berwaralaba, bertoleransi antar ummat agama maupun bertoleransi pada perbedaan status sosial, tingkat kebudayaan serta cara berpolitik demi mengurus kelangsungan kehidupan bernegara atau kerajaan saat itu.


Kesimpulan-kesimpulan yang mereka kumpulkan adalah sesungguhnya sesuatu dasar utama mengenai wujud kokohnya dan penggerak bermasyarakat pada zaman itu. Motivasi pengokohan bermasyarakat tersebut adalah berangkat dari kepercayaan dan penghayatan kepada sesuatu yang mereka percayai sebagai sumber kekuatan, sumber kehidupan dan sumber pelindung masyarakat saat itu. Seperti halnya riwayat Nabi Ibrahim as. ketika mencari sesuatu yang paling utama dan paling berkuasa, sehingga layak untuk disembah. Begitu juga masyarakat-masyarakat yang mereka temui setiap zaman, mereka selalu haus mencari akan sesuatu payung yang paling bisa melindungi dan menghidupi.

Tingkat terendah adalah melulu menggantungkan hidup dan nasib mereka pada alam sekitarnya. Dimana ditemukan yang terkuat, disitulah mereka menggantung hidupnya, secara naluriah menjadi sesembahan mereka. Tingkat kepercayaan yang lebih tinggi, dimulai dengan suatu anggapan bahwa ada kekuatan yang tidak kasat mata yang mengatur nasib dan hidup mereka, maka dicarilah bentuk-bentuk benda sebagai kiblat penyembahan, maka ditemuilah beberapa benda dengan ratusan macam dan bentuk sesuai tujuan dan kebutuhan. Mereka menamakan bentuk yang tidak kasatmata sebagai Dewa-dewa, yang bermukim disuatu tempat yang tinggi, yang mengatur hidup dan menghukum mereka jika membangkang. Saat itulah hadir beberapa sesepuh – orang yang dituakan - yang mulai mengatur tata-cara penyembahan, dan mulai dibentuklah agama-agama sebagai pedoman tata-cara penyembahan tersebut. Semar dan Togogpun maklum perilaku masyarakat seperti itu, karena mereka sudah merasakan dan mengetahui tata-cara penyembahan itu. Kebetulan saat itu mereka berada diposisi yang menjadi sesembahan kaum masyarakat dari suatu bangsa pada suatu zaman.

Pembutaan ternyata sudah berlangsung sekian lama, disatu pihak dibuai akan diberi kekuasaan dan kedudukan untuk menghukum dan memberkati. Di pihak seberang sebagai para penyembah, dibodohi dan diintimidasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan sesuai kehendak ‘si nasib’. Apa kehendak sinasib itu kepada para penyembah?. Suatu keharusan yang sungguh diluar akal sehat manusia, dan mungkin diluar kemampuan mereka juga, yang harus mereka lakukan tanpa tanya dan protes. Namun intimidasi melalui orang-orang tertentu yang dinamakan dukun, sesepuh atau yang dituakan, cukup mewujudkan kepatuhan para penyembah. Sanksi berupa penyakit, kerasukan dan lain-lain bentuk kegaiban, semakin mengikis keberanian dan akal sehat mereka.

Siapa si nasib itu. Ternyata sebuah rencana besar dari suatu makhluk yang dibakar dan dibutakan api dendam. Api-bara dendamnya kepada Nabi Adam as., telah membulatkan dan membatu dalam wujud sumpah dihadapan penciptanya, bahwa dia dan turunan-turunannya akan terus menyeret anak turun Nabi Adam sampai hari kiamat, kelembah kenistaan pendosa kepada tuhannya. Dia adalah Iblis bernama Azazil berikut kolega dan keturunannya. Adalah tugas Semar dan Togog sebagai Dewa ‘Pengasuh Pengayom dan Pelindung Alam Semesta’ untuk menampung dan memadamkan ‘akibat’ api dendam Iblis. Semar dan Togog sudah menerima pengajaran dari para Nabi dan Rasul setiap zamannya. Mereka juga dikaruniakan dapat berjumpa dengan Nabi terakhir junjungan alam, Muhammad saw. Sungguhpun dari beliau sudah sangat banyak pengajaran dan petunjuk-petunjuk, namun menurut Saidina Ali bin Abi Thalib ilmu itu akan berkembang setiap zamannya. Maka tidaklah salah perintah eyang mereka Nabi Adam as., agar mereka terus mengikuti perkembangan zaman dan bersilahturahim kepada para penerus Nabi terakhir Muhammad saw.

Demikian dalam pengarungan arul waktu dan penjelajahan zaman, mereka akhirnya berjumpa dengan salah satu cendekiawan Islam terkenal bernama Imam Ghazali. Dari Imam itulah mereka mendapat penjelasan, gambaran, uraian-ilmiah dan benang-merah dari pembelajaran tentang masyarakat yang mereka terima dan kumpulkan selama ini. Dan itu semua adalah sesungguhnya dasar utama tata-cara beragama demi membentuk kokohnya bentuk masyarakat Islam yang terangkum dalam akidah, dan tercermin serta berdasar pada iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, para Rasul dan hari akhir dan takdir Allah.

Sang Imam Besar Ghazali mulai membuka percakapan menuturkan buah pikirnya, apa yang disebut sebagai masyarakat islam dan semua bagian unsur pembentuknya. “Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : ‘Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan); Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, dan mereka mengatakan: Kami dengar dan kami taat. (mereka berdoa). Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. (QS. Al-Baqarah: 285). Bahwa akidah tersebut merupakan tanda dan syiar yang merupakan penjabaran dari kalimat singkat yaitu bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

Maksud dari akidah diatas adalah meng-Esakan Allah dalam hal kekuatan dan kekuasaan serta hakim meng-Esakannya yang terpatri dalam hati, ibadah dalam syiar-syiar dan syariat serta dalam praktek kehidupan. Keyakinan dan pengakuan yang telah difahami sejak awal oleh orang-orang musyrik dan kafir, mereka sangat khawatir dan takut semenjak Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam mempropagandakannya, hal tersebut bukan karena tidak faham, namun mereka takut keberadaan dan eksistensi mereka akan hilang, karena itu mereka berusaha keras menghalangi dan mencoba memberantasnya hingga akhir hayat mereka sehingga agama yang mereka anggap baru tersebut hilang dari muka bumi.

Maksud dari tegaknya masyarakat diatas dalam akidah Islam adalah berdiri dengan menghormati dan mensucikan akidahnya secara utuh, dan berusaha memasukkannya dalam akal dan hati mereka, membimbing pertumbuhan Islam diatasnya, dan berusaha menghadapi dan mempertimbangkan kebatilan yang direncarakan oleh musuh-musuhnya, dari syubhat-syubhat orang-orang yang tersesat, bahkan berusaha menampakkan kelebihan-kelebihannya dan pengaruhnya dalam setiap kehidupan, baik individu maupun sosial kemasyarakatan”.

Semar menyimpulkan akidah merupakan dasar utama yang kokoh pada setiap bangunan sosial yang kuat, dan merupakan unsur terpenting dalam menyatukan umat hingga berada dalam satu barisan dan satu anggota tubuh yang terpisah dan bebas dari masyarakat jahiliah yang berusaha menghancurkan Islam. Semar menilai akidah ini belumlah bisa terpatri dalam jiwa dan merasuk dalam hati jika sekedar memeluk agama Islam, atau dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, bersaksi tidak ada ilah selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah saja, bahkan tidak terwujudkan dengan hanya sekedar menegakkan kaidah-kaidah islam secara teori dalam jiwa setiap individunya, walaupun jumlah mereka begitu banyak, serta tidak hanya sekedar dalam kumpulan seperti satu anggota tubuh saling bergotong-royong dan tolong-menolong, kecuali dirinya memiliki wujud yang tersendiri, setiap anggotanya bergerak secara bersamaan seperti anggota tubuh yang hidup dalam rangka memurnikan eksistensi dan keberadaannya, bergerak dibawah pemimpin yang merdeka dari pemimpin masyarakat lainnya yaitu pemimpin yang baru, yang dipimpin oleh Rasulullah saw. dan yang setelahnya yang bertujuan mengembalikan manusia menuju pengakuan akan keesaan Allah, ketuhanan, kekuatan, hakim, kekuasaan dan syariat-Nya, melepas diri mereka yang telah berikrar bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah dari masyarakat jahiliyah.

Sang Imam sangat takjub dengan luasnya dan tajamnya wawasan kedua tamunya. Tentu dia maklum karena keduanya sudah menerima pengajaran dari semua Nabi Rasul di setiap zamannya. Maka merasa pembicaran mereka semakin hangat dan dalam, membuat sang Imam semakin bersemangat menuturkan pemikirannya yang terangkum dalam bukunya - Ihya Ulumiddinnya.

Imam Ghazali menuturkan bahwa ketika periode Mekkah, Al-Quran turun dalam kurun waktu 13 tahun, pokok pembahasan yang diberikan adalah akidah, bahkan menjadi permasalahan yang mendasar pada saat itu, karena akidah merupakan rukun pertama dan terpenting bagi manusia secara individu dan sosial, dan dalam mendirikan masyarakat secara keseluruhan hingga dapat membekas dan memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat lainnya. Namun setelah datang perintah untuk hijrah ke Madinah sebagian ayat-ayat Al-Quran tentang akidah tidak begitu banyak kecuali hanya pada batasan yang normal tidak seperti pada periode Mekkah, karena pada periode Mekkah adalah sebagai basis (peletakan batu pertama) yang tentunya sudah tegak berdiri, sementara pada periode Madinah masyarakat Islam pada hakekatnya telah berdiri dan bahkan negara Islam, namun masih membutuhkan akan system dan undang-undang yang mengaturnya, serta jihad di jalan Allah dalam rangka mempertahankan dan menghadang serangan dari pihak musuh, dan juga sebagai sarana menyebarkan Islam dimuka bumi.

Berdasarkan pengalaman berada dan hidup bermasyarakat di zaman itu, Semar dan Togog tahu demikian hal-awal dari terbentuknya mujtama Islam, sebuah masyarakat yang memiliki ciri khas dan berbeda dengan masyarakat lainnya, merdeka dari ikatan dan system serta undang-undang yang lain, masyarakat yang terpancar dari satu prinsip yaitu akidah Islamiyah. Dan darinya mampu mengalahkan kebatilan yang dibuat oleh masyarakat jahiliyah, sebagaimana darinya juga menghasilkan realitas kehidupan yang mengagumkan dalam penegakan masyarakat Islam tanpa ada perbedaan suku dan ras, perbedaan tempat tinggal dan warna, dan perbedaan jarak baik yang dekat maupun yang jauh bahkan menjadi masyarakat yang terbuka bagi semua suku, ras, bahasa dan warna.

Togog menambahkan hal diatas akan menjadi masyarakat yang mendunia mencakup segala lapisan masyarakat, tanpa ada perbedaan suku, ras dan tempat tinggal. Seperti yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Wahai sekalian manusia sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan wanita, dan Kami jadikan berbangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar”. (Al-Hujurat : 13)
Dalam hadits nabi juga disebutkan, dari Abi Nadroh, berkata, Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian manusia ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu, ketahuilah tidak kelebihan bagi orang arab atas orang ajam, dan orang ajam atas orang arab, dan tidak orang berkulit merah dan hitam dan hitam atas merah kecuali taqwa”. (HR. Imam Ahmad bin Hanbal)
Islam yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah berskala mendunia, yang di dalamnya diutus Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa kabar gembira bagi siapa yang mengikuti risalahnya dan beriman kepadanya dan pembawa peringatan kepada mereka yang ingkar dan kufur kepadanya, dan bukanlah Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam tidaklah diutus untuk suku Quraisy, bukan untuk jazirah arab dan bangsa Sam saja namun untuk umat manusia seluruhnya. Sebagaimana Allah berfirman : “Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk seluruh umat manusia untuk memberi kabar gembira dan peringatan”. (QS. Saba: 28)

Sang Imam semakin berbinar melihat wawasan kedua tamunya, dan pembicaran mereka sudah menggiring mereka keluar tenda, beliau bermaksud menunjukkan kepada tamunya bukti sekaligus gambaran dari pemahaman-pemahaman yang dipahami kedua tamunya. “Dari sini jelas bahwa tugas utama yang diamanahkan Allah kepada umat Islam sebagai masyarakat yang memiliki keistimewaan tidak lain kecuali memberikan petunjuk kepada manusia menuju kebaikan yang dibawa oleh Islam dan memelihara akidah Islam para-pengikutnya, kemudian membersihkan masyarakat dari kedzaliman masyarakat lainnya melalui suatu invasi yang bersih mengangkat manusia melalui system dan prilakunya dan dalam segala aspek kehidupan menuju puncak kemuliaan yang hal tersebut bisa diangkat sesudahnya dan sebelumnya melalui naungan Islam, karena Islam merupakan agama yang sempurna dan komprehensip, mampu mendisiplinkan kehidupan umat manusia secara keseluruhan; baik dari segi-ekonomi, politik, sosial dan system-sistem yang lainnya yang selalu ditemui dalam kehidupan sehari-hari, karena Islam tidak menyelesaikan segala urusan yang beragam ini secara serampangan dan menguasainya secara parsial dan berpecah-pecah, namun semuanya telah ada dalam syariat Islam dengan manhaj (jalan yang jelas dan terang), yang satu dan sumber yang satu yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tidak ada dalam akidah yang terpisah, system dan syariat yang berpencar-pencar, tidak juga ibadah dan muamalah namun semua adalah satu dan semuanya adalah ibadah, papar sang Imam dengan khusyu.

Ringkasnya adalah bahwa masyarakat yang hidup pada periode pertama adalah merupakan masyarakat yang istimewa yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembangunan masyarakat setelahnya. Masyarakat sangat istimewa dari masyarakat yang lainnya seperti masyarakat jahili pada saat itu dan masyarakat lainnya, karena masyarakat ini tumbuh pada prinsip yang satu, manhaj yang satu, pemimpin yang satu, yaitu akidah Islam yang tertuang dalam dua kalimat syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan manhajnya adalah Al-Quran, sementara pemimpinnya adalah Nabi Muhammad Shallallahu alaihiwa sallam. Namun disamping itu ada juga ciri khas lain; yaitu penafian akan perpecahan antar-sesama anggota masyarakat, semuanya adalah satu, berada dalam satu tubuh yaitu Al-Islam, tidak ada yang saling memiliki kelebihan atau lebih baik antara perbedaan warna kulit, kaum (suku), individu atau jenis kelamin atau yang lainnya, yang membedakan mereka antara satu dengan yang lainnya adalah taqwa”, sambung Sang Imam.

Semar mencoba merajut benang-benang merah pengajaran Sang Imam Ghazali dengan berpendapat; “masyarakat islam tidak tumbuh dengan tangan hampa tanpa ada system dan syariat karena hal tersebut merupakan keharusan guna memberikan batasan dalam geraknya agar tidak mengalami penyimpangan kepada jalan yang lain saat akan membentuk masyarakat yang baik, karena syariah merupakan fenomena yang penting dalam perkembangan suatu masyarakat, dan akan terus sejalan dengan perkembangan zaman dan berada disampingnya yang akan selalu memenuhi panggilan, sehingga Islam terus mengalami perkembangan dan pembaharuan. Kerenanya bukanlah masyarakat Islam yang membentuk dan merekayasa undang-undang (syariah) namun syariahlah yang membentuk masyarakat Islam. Syariahlah yang memberikan batasan-batasan baik ciri dan karakteristiknya, dialah yang mengarahkan dan menunjuki jalan, dan syariah juga tidak hanya menjawab setiap peristiwa yang sifatnya sementara saja seperti layaknya yang terjadi pada undang-undang konvensional, namun dia merupakan jalan terang ilahi yang selalu mengikuti perkembangan kehidupan manusia secara keseluruhan, mencelupkannya dengan racikan yang tertentu, serta mendorongnya kepada kondisi menuju kesempurnaan dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang diidam-idamkan”.

Sang Imam membenarkan pendapat tamunya itu. “Terakhir, dapat kami sebutkan tentang kebangkitan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mewujudkan tujuan peribadatan dan membangun individu menuju pribadi yang baik dan masyarakat yang salih. Lihatlah sejenak apa yang dilakukan oleh Nabi dari fase-fase dan kedisiplinan untuk mencapai kapada tujuan ini, beliau telah mendakwahkan manusia pada permulaan dan sebelum sesuatunya kepada iman dan hikmah dalam hati mereka, lalu dikuatkan kembali dalam kaidah-kaidah yang lebih luas dan lapang, lalu ditumbuhkan dan dibina pada mereka yang beriman kepadanya dengan ajaran dan pembinaan sesuai dengan kondisi keimanan mereka secara bertahap melalui ketaatan yang nyata Islam dan kebersihan akhlak taqwa-cinta kepada Allah dan loyal kepadaNya Ihsan. Kemudian disyariatkan kepada mereka yang beriman dengan ikhlas dan disiplin secara berkelanjutan untuk berusaha menghancurkan system yang jahiliyah yang merusak dan menggantinya dengan system yang baru yaitu Islam, berdiri diatas kaidah akhlak dan madani yang diambil dari undang-undang yang telah diturunkan oleh Allah, Tuhan semesta alam.
Kemudian setelah dengan nyata mereka beriman dan mau menerima seruannya dalam berbagai aspeknya dengan hati dan akal, jiwa dan akhlak, bahkan dengan ideology dan perbuatan mereka, sehingga mereka menjadi kaum muslimin yang bertaqwa dan muhsinin secara benar, lalu mereka berjalan menuju perbuatan yang selayaknya dilakukan oleh hamba-hamba yang muklis untuk dilakukan, demikian itulah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, yang telah berhasil mengarahkan mereka menuju kehidupan yang dihiasi dengan ketaqwaan, muhsin dalam etika, adab yang sopan, baik dalam bergerak, berpakaian, makan dan minum, kehidupan sehari-hari, berdiri dan duduk, dan lain sebagainya dari urusan-urusan yang tampak dalam kehidupan sehari-hari”.

Imam Ghazali melanjutkan, “karakteristik masyarakat Islam ada empat bentuk sebagai berikut :
Pertama Rabbani, pada sebelumnya kami telah sebutkan bahwa yang pertama kali diletakkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam membangun individu umat dan pembentukan masyarakat Islam adalah pengokohan akidah Islam dalam sanubari umat dan yang menjadi pengarah utama pada ideology, suluk, prilaku dan perbuatan mereka.

Maka tidak diragukan lagi bagi pondasi ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan suatu masyarakat disepanjang masa dan setiap tempat. Karena ketika pondasi ini telah merasuk dalam jiwa setiap individu masyarakat dan dibentangkan manhaj-manhaj yang harus dijalaninya, serta syariat yang memberikan jaminan terhadap jiwa, kehormatan dan harta mereka. Memberikan batasan terhadap ibadah, pemahaman dan syiar-syiar mereka dibawah satu naungan yaitu Al-Quran yang datang dari yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji, dan sunnah Nabi sebagai penjelas dari hukum-hukum dan syariat yang dibawa oleh Al-Quran.
Dan masyarakat yang dibangun diatas pondasi-pondasi ini dan menyatu dalam setiap individunya akidah yang bersih maka disebut dengan masyarakat rabbani yang selalu menjadi jalan Allah yang telah diambil oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan manhajnya sebagai tauladan dan cerminan dalam perjalanan hidupnya demi menggapai ridlo Allah.
Komunitas muslim pada masa awal masa nabi dan sahabatnya, merupakan komunitas masyarakat percontohan dan tauladan yang baik, karena mereka dibangun diatas pondasi yang rabbani yang diimplementasikan dalam akidah Islam dan diaktualisasikan dalam segala aspek kehidupan; baik sosial, ekonomi, politik, muamalah dan lain sebagainya. Para ulama menganggap mereka sebagai Penunggang Kuda disiang hari dan ahli ibadah dimalam harinya, karena mereka menjadikan siang untuk mencari nafkah dan menyebarkan dakwah islam demi mencari ridla Allah, dan menjadikan malamnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, beribadah dan membaca Al-Quran, shalat sunnah, bersimpuh ditengah malam dengan penuh perasaan lemah dan butuh dihadapan yang Maha Kuasa.

Karena itu diantara karakteristik komunitas Islam adalah mujtama rabbani yaitu komunitas yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar dan pondasi utama dalam pembangunan dan pendiriannya, menjadikan syariat sebagai manhaj hidupnya. Jadi jika masyarakat kontemporer ingin membentuk masyarakat yang islami dan menjadi taudalan bagi masyarakat lainnya, maka hendaknya mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para sahabatnya.

Kedua Berperadaban, Sesungguhnya ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah motivasi kepada umatnya untuk belajar dan membaca serta menelaah dari beberapa kejadian alam. Karena Islam pada hakekatnya telah memberikan kesadaran kepada umatnya untuk belajar dan menjadikan akal sebagai kunci menyelesaikan berbagai masalah, menjadikan ilmu sebagai jalan untuk memahami sisi-sisi kehidupan dan sarana membangun peradaban dan kemajuan jaman dan bahkan untuk membimbing umat kejalan yang lurus dan jalan kebenaran.

Karena itu jelas sudah bahwa Islam adalah risalah yang membawa pada pembangunan dan kemuliaan, kekuatan dan kharisma, membawa pada peradaban dan kemajuan. Dimana suatu peradaban tidaklah akan maju kecuali dengan ilmu dan akal, sementara mundurnya suatu umat dan terancam pada kebangkrutan dan kehancuran karena kejahilan dan mendisposisikan kekuatan akal.
Karena itu Islam dan Al-Quran merupakan pintu revolusi dan pencerah ilmu dan pengetahuan, penggamblangan secara nyata yang mengajak untuk memfungsikan akal dan ideology, kehidupan untuk beramal dan berbuat, dan pengekplorasian sumber daya alam.
Dengan demikian Islam selalu menekankan untuk menuntut ilmu dan memfungsikan akalnya dan mengajaknya dengan seruan yang nyata, karena ilmu dan akal merupakan perangkat dan sarana untuk mencipta dan berkarya, dengannya kehidupan manusia menjadi maju hingga pada titik peradaban yang pasti.

Dan tidak cukup hanya disini, Islam juga mewajibkan kepada umat untuk menuntut ilmu yang tidak kalah dengan kewajiban lainnya, sebagaimana ilmu dijadikan sebagai tolok-ukur yang utama diterimanya keimanan seseorang, karena Allah dalam banyak ayat-ayat-Nya sangat mencela taqlid dalam akidah dan tidak boleh taklid diwariskan dalam masalah keyakinan.

Sebagaiman ilmu yang diperintahkan Islam untuk dipelajari tidak hanya sebatas pada bidang keagamaan saja, tapi mencakup berbagai bidang keilmuan; baik perundang-undangan, perdagangan, adab (sastra), ilmu-alam, ilmu-ilmu terapan dalam bidang perdagangan, industri dan pertanian, penggunaan ilmu-pengetahuan (teknologi), sarana pengembang-biakan, produksi dan impor, semua itu merupakan fardlu kifayah bagi setiap umat agar dapat mencapai kemajuan baik kedalam maupun keluar.

Lingkungan muslim adalah kumpulan yang berperadaban, yang memandang ilmu sebagai sarana memakmurkan bumi dan jalan menuju kemajuan, sebagaimana juga ilmu menjadi sarana pembersih jiwa yaitu dengan menyatukan antara ilmu duniawi dan ukhrawi, antara materi dan ruh, antara fenomena kehidupan dunia dan akhirat. Mereka memandang bahwa berbagai ciri khusus sosial, agama, akhlak, tekhnologi dan seni yang terbentang dibelahan dunia bukanlah satu-satunya jalan menuju kemajuan peradaban dunia belaka namun juga sebagai sarana peningkatan kehidupan individu dan kesuciannya, jalan untuk berta’ammul (berinteraksi dengan islam dalam upaya membentuk kondisi dan sikap yang islami) dan tafakkur terhadap berbagai kenikmatan yang telah Allah anugrahkan kepada mereka; baik yang hissiyah (mukjijat yang kasat mata) atau maknawiyyah (mukjijat yang tidak dapat dilihat), sehingga dirasakan akan ke-Esaan dan ke-Kuasaan Allah.
Islam sangat memperhatikan ruh dan meteri, menjaga keseimbangan keduanya, tidak melulu mengejar salah satunya. Ideology yang membangun, akhlak yang baik dan mulia, akidah yang bersih, dan tidak mengenyampingkan satu sisi terhadap sisi yang lainnya, sehingga perjalanan hidup manusia menuju peradaban tidak sia-sia namun mampu lestari dan kontinyu demi kebaikan umat manusia secara keseluruhan.
Dan diantara keistimewaan peradaban Islam adalah tidak mengenal akan adanya malas dan tertutup, fanatik, ras dan suku, namun peradaban yang terbuka untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya, sebagaimana Allah berfirman dalam menjelaskan tugas Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : ‘Tidaklah Kami utus kamu kecuali sebagai pemberi rahmat untuk sekalian alam’. (Al-Anbiya : 107).

Ketiga Mutawazin (Seimbang), Jika al-hadlarah (kemajuan) yang dibangun Islam tegak diatas kesadaran fitrah antara materi dan ruh, dan ikatan yang erat antara bumi dan langit, antara perbaikan jasmani dan rohani, dan penyatuan tujuan antara kehidupan dunia dan akhirat, maka disitulah letak keseimbangan antara berbagai perkara kehidupan dunia.
Islam pada dasarnya memiliki ciri khas tersendiri dan memiliki tonggak yang kuat yaitu keseimbangan, keseimbangan dalam arahan-arahannya, yang dilestarikan dalam berbagai tekanan dari berbagai arah, tidak berlebih-lebihan, dan mengalami bentrokan dengan yang lainnya.
Dari sini umat Islam juga dikenal dengan umat yang seimbang, yaitu umat yang tidak mengenal akan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah atau berlebihan dalam berbuat untuk memakmurkan bumi. Tidak memandang materi hanya untuk kesenangan duniawi saja, tapi juga untuk memakmurkan dunia dan peradabannya, membersihkan diri dari kotoran dan penindasan, melalui pembersihan hati setiap individu dari pandangan sebelah mata terhadap kehidupan dunia. Al-Quran telah memperingatkan kepada manusia untuk tidak melupakan kehidupan dunia dalam rangka mencari kebahagiaan di akhirat, sebagaiman firman Allah : ‘Dan carilah kamu terhadap apa yang telah Allah berikan untuk kebahagiaan di akhirat dan jangan kau lupakan terhadap kehidupan dunia’. (Al-Qashash : 77).
Allah juga berfirman : ‘Dan katakanlah (wahai Muhammad) bekerjalah kalian, semoga Allah akan melihat perbuatan kalian, dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, dan kalian akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Tahu akan yang ghaib dan nyata lalu mengabarkan kalian apa-apa yang telah kalian lakukan’. (At-Taubah : 105).

Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bersikap seimbang dalam segala hal, baik akidah, ibadah, muamalah, interaksi atau yang lainnya, karena fitrah manusia menunjukkan akan hal tersebut. Akidah misalnya, adalah merupakan pengejawantahan antara fitrah basyariyah dengan akalnya, antara yang menjadi seruan di dalamnya dan kerinduan. Tidaklah dianggap akidah yang benar terhadap sesuatu yang tidak dikenal dan diketahui, antara yang menentramkan hati dan akal. Seperti keyakinan terhadap dzat Allah; Wujud, Wahdaniyah, Qudrah, Iradah dan lain sebagainya atau keberadaan dunia dengan hakekatnya, sumbernya dan penciptaannya, serta hubungannya dengan sang-pencipta, dan peribadatannya kepada-Nya, dan lain sebagainya atau tentang kehidupan dengan berbagai macam bentuknya, jenisnya, dan tingkatannya serta hubungannya dengan Penciptanya atau tentang manusia itu sendiri dari hakikatnya, karakteristiknya, sumbernya dan tujuan diciptakan serta manhaj hidupnya semuanya mesti menggunakan akal untuk mengenalnya, dan kembali pada logika yang jelas dan gamblang, menentramkan akal dan hati. Ditopang dengan bukti-bukti yang berkesesuaian dengan fitrah dengan penuh penerimaan dan ketundukan, sehingga membawa pada apa yang dilakukan oleh manusia yaitu beribadah kepada yang menciptakan manusia dan bumi ini.
Adapun keseimbangan masyarakat muslim dalam ibadahnya adalah bahwa disaat setiap individu melaksanakan perintah Allah yang berhubungan dengan ibadah mahdoh tidak dengan berlebih-lebihan, atau kurang dan melampui batas, tidak ditambah dan tidak dikurangi. Karena Allah tidak pernah memerintahkan suatu kewajiban kecuali atas dasar kemampuan mereka itu sendiri, seperti firman-Nya : ‘Allah tidak membebani diri seseorang kecuali karena kemampuannya’. (Al-Baqarah : 276).
Apa yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam mereka ambil dan mereka laksanakan dan apa yang dilarang mereka tinggalkan tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi.

Keempat, Tidak apartheid, Masyarakat Islam juga dibangun atas dasar agama dalam segala aspeknya, baik dalam pandangannya, geraknya, tujuan dan misinya, masyarakat yang tidak mengenal perbedaan ras atau suku, tidak terbatas hanya pada satu negara tertentu dan warna kulit, tapi merupakan masyarakat yang luas yang hanya bersumber pada satu titik perbedaan yaitu taqwa dan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Masyarakat Islam adalah kumpulan yang bebas dan terbuka, yang dapat dimiliki oleh individu, kelompok dan bangsa sekalipun, semuanya bisa masuk dan bergabung didalamnya tanpa harus ada rekomendasi atau izin, ikatan dan syarat tertentu, tidak ada batas dalam jenis kelamin, warna kulit, bahasa dan batas territorial.
Manusia dalam pandangan Al-Quran adalah sama, tidak ada perbedaan darah, keturunan, ras dan bahasa kecuali taqwa dan amal salih, seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya : ‘Wahai sekalian manusia sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan wanita, dan Kami jadikan berbangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal, sesungguhnya yang peling mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar’. (Al-Hujurat : 13).”.

Togog menitikkan air mata seusai mendengar penjelasan uraian sang Iman Agung Ghazali, ingatannya hanyut pada ingatan akan masyarat dimana sang Nabi Agung Muhammad dan para Sahabat hidup dan bersosialisasi. Penjelasan Sang Imam tidak jauh berbeda dengan yang pernah disaksikan pada masa Nabi saw. masih hidup. Togog tidak dapat menahan gejolak perasaan yang berkecamuk dalam dadanya, dia segera berujar: “Pernahkah kita mengamati teman, saudara atau kenalan yang memiliki latar belakang sangat berbeda? Seringkali kita menemui orang-orang yang berbeda latar belakang dari segi keturunan, kemampuan ekonomi, dan tempat tinggal bisa tumbuh menjadi orang yang sangat berbeda satu sama lain. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh sistem stratifikasi sosial yang ada di masyarakat.

Masyarakat saat dibatasi pelapisan yang berdasarkan pada kriteria sosial, yaitu masyarakat terdiri atas beberapa pelapisan berupa kelas sosial atau kasta. Istilah kelas sosial antara lain digunakan untuk pelapisan berdasarkan kriteria ekonomi maupun sosial. Tipe kasta memiliki sistem stratifikasi dengan garis pemisah yang kaku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat berkasta dan hampir tidak memungkinkan tiap individu untuk bergerak secara vertikal untuk naik kasta. Di tatanan paling atas ditempati penguasa tertinggi seperti raja. Di lingkup sekitarnya terdapat kaum bangsawan, tentara, dan para pemuka agama. Pelapisan kedua ditempati oleh kalangan pekerja seperti petani, dan pelapisan terendah terdiri atas para budak.

Tipe oligarki memiliki tipe stratifikasi yang menggambarkan garis pemisah yang sangat tegas di antara strata. Akan tetapi, perbedaan antar strata satu dengan strata lain tidak begitu mencolok. Walaupun kedudukan para warga masyarakat masih banyak didasarkan kepada aspek keturunan, akan tetapi individu masih diberikan kesempatan untuk naik ke strata yang lebih atas. Contohnya bisa dilihat dari kelas menengah yang mempunyai warga paling banyak, seperti masyarakat di industri, perdagangan dan keuangan yang memegang peranan lebih penting di masyarakat. Ada bermacam-macam cara warga dari strata bawah naik ke strata yang lebih atas dan juga ada kesempatan bagi warga kelas menengah  untuk menjadi penguasa.

Tipe demokratis adalah tipe ketiga dengan garis pemisah antar lapisan yang sifatnya fleksibel. Faktor keturunan tidak menentukan kedudukan atau tinggi-rendahnya status seseorang, namun yang diutamakan adalah kemampuannya dan kadang-kadang juga ditambah dengan faktor keberuntungan”.

“Saudaraku Togog ingin menguraikan, bahwa pengelompokkan sosial juga tetap dapat terjadi adanya perubahan sosial kearah kemajuan. Ruang lingkup perubahan sosial terdiri dari unsur-unsur kebudayaan baik material dan immaterial. Fokusnya ialah pengaruh besar unsur material terharap unsur immaterial”, Semar menambahkan penuturan Togog.
“Perubahan sosial itu sebagai wujud perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu masyarakat. Perubahan sosial merujuk pada modifikasi dalam pola kehidupan manusia. Modifikasi tersebut bisa terjadi karena sebab dari internal dan eksternal yang mengakibatkan perubahan. Definisi perubahan sosial merujuk pada perubahan lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang berpengaruh pada sistem sosialnya. Perubahan ini mencakup nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku. Perubahan sosial merupakan wujud perubahan dalam struktur sosial dan pola hubungan sosial. Termasuk didalamnya ialah sistem politik, sistem kekuasaan, hubungan keluarga, dan kependudukan. Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi baik kemunculan, perkembangan, bahkan kemunduran, dalam kurun waktu tertentu terhadap tatanan yang meliputi struktur sosial. Perubahan sosial ialah suatu hal yang tetap dan selalu ada dalam alam semesta. Masyarakat generasi baru tidak mungkin meniru atau mengambil-alih kebudayaan generasi sebelumnya. Generasi baru pasti selalu menginginkan perubahan.

Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu. Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan dirinya dalam urusan bidang spiritual seperti sulinggih, pandita dan rohaniawan. Selain itu disandang oleh para pribumi.
Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang menyandang gelar ini tidak memiliki harta pribadi semua harta milik negara.
Kasta Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta benda sendiri petani, nelayan, pedagang, dan lain-lain.
Kasta Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya.
Sedangkan di luar sistem kasta disebut Kaum Paria, golongan orang rendahan yang tugasnya melayani para Brahmana dan Ksatria. Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Warna, bangsa asing.

Agama diartikan suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang ‘moralitas sehari-hari’ yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Agama saat cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam. Agama mengenal ‘darma abadi’ atau ‘jalan abadi’ yang melampaui asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban ‘kekal’ untuk diikuti oleh seluruh umatnya, tanpa memandang strata, kasta, atau sekte, seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.

Seakan agama itu upaya peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya meliputi agama-agama masa peradaban suatu lokasi tempat, dan tradisi lokal yang populer. Atau dipercaya sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen, yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi.
Sedangkan praktik keagamaan meliputi ritus sehari-hari (puja atau sembahyang dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut orang suci memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.

Budaya sastra yang dipakai sebagai sarana penyampaian dan perwujudan praktik ritual, dikelompokkan ke dalam dua kelompok: apa yang ‘terdengar’ dan apa yang ‘diingat’. Sastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, kurban, prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur agama”, sambung Semar.

“Jelaslah hampir banyak kemiripan dalam bersosialisasi secara agama, kembali bergantung kepada kita, bagaimana cara melaksanakan hidup beragama yang benar menurut ajaran dan aturan-aturan yang tertulis dalam kitab-kitab suci agama tersebut. Tuan-tuan berdua sudah begitu dalam membandingkan agama dimasa tuan-tuan dengan agama Islam, apalagi dalam bimbingan Nabi Agung Muhammad saw. dan para sahabatnya. Jadi beberapa pemahaman dapat dengan cepat kita bandingkan dan dikomentari untuk koreksi”, tutur sang Imam kagum.

Ijinkan saya melanjutkan, kata Imam Ghazali ramah. “Kita banyak berbicara tentang masyarakat Islam. Bahkan dengan penuh keyakinan kita bercita-cita ingin membentuk masyarakat itu, Tapi sungguh tragis kadang-kadang kita tidak tahu seperti apa masyarakat dimaksud dan seperti apa wujud masyarakat Islam itu?. Masyarakat adalah kelompok manusia yang tetap cukup lama hidup dan bekerja bersama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir mengenai dirinya sebagai kesatuan sosial, yang mempunyai batas-batas tertentu. Pada masyarakat, ada semangat yang sama yang berfungsi menyatukan. Jadi yang dimaksud masyarakat Islam adalah masyarakat dengan semangat Islam sebagai penyatunya. Masyarakat Islam mempunyai sebutan khusus yaitu ‘ummat’.
Ummat adalah kata yang sarat dengan semangat progresif serta menyandang pandangan yang dinamis, komited dan ideologis. Kerangka dasar ummat adalah ekonomi, kemakmuran, karena miliki semangat kerja yang prima, yang tidak menghayati kehidupan duniawi, maka iapun tidak akan menikmati kehidupan bath ini. Ke arah sana langkah kita ayunkan mulai dari pembinaan diri, keluarga, masyarakat dan selanjutnya membentuk ummat yang kita idam-idamkan.

Seperti apa wujud Masyarakat Islam itu. Kalau melihat pengertian masyarakat Islam di atas, ternyata masyarakat Islam bukan sekedar masyarakat orang-orang Islam. Tapi masyarakat dengan semangat Islam membentuk tatanan-tatanan yang bersumber dari hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tatanan-tatanan tersebut minimal bersendikan : Tauhidullah, Ukhuwah Islamiyyah, Persamaan dan kesetiakawanan, Musyawarah dan Tasamuh, Jihad dan amal shaleh dan Istiqamah.

Artinya setiap individu yang merasa menjadi anggota masyarakat Islam semestinya mendasarkan hidupnya pada perinsip tauhid – mengesakan Allah – Dan tercermin dalam seluruh segi kehidupannya. Tauhid dalam mencari nafkah dan berekonomi, yaitu keyakinan tidak ada Zat yang memberi rizki dan pemilik mutlak dari seluruh alam semesta kecuali Allah (QS. Al Baqarah 204 dan QS. An Nur 33). Tauhid dalam kegiatan dakwah dan pendidikan, yaitu keyakinan tidak ada  zat yang dapat memberi petunjuk kecuali Allah (QS. Al Qasas 56 dan QS. An Nahl 37). Kegiatan berpolitik, yaitu suatu keyakinan tidak ada penguasa yang paling mutlak dan maha adil kecuali Allah, juga kekuasaan dan kemulyaan yang diperoleh semata-mata hanya datang dari Allah. (QS. Ali Imran 26 dan QS. Yunus 65). Pelaksanaan hukum, yaitu keyakinan bahwa hukum yang mutlak benar dan adil adalah hukum yang datang dari Allah (QS. Yusuf 40 dan 67). Sikap hidup secara keseluruhan, termasuk ucapan-ucapan sebagai ungkapan hati dalam menerima peristiwa sehari-hari. Tidak ada yang patut ditakuti kecuali Allah. (QS. At Taubah l8, QS. Al Baqarah 150). Tidak ada yang patut dicintai secara mutlak kecuali Allah (QS. At Taubah 24). Tidak ada yang dapat menghilangkan kemadharatan dan tidak ada yang dapat memberikan karunia kecuali Allah (QS. Yunus 107, QS. Ali Imran73). Bahkan tidak ada yang dapat menghilangkan nyawa kecuali Allah (QS. Ali Imran 145). Seorang anggota masyarakat Islam, akan senantiasa mengihlaskan seluruh hidupnya untuk beribadah kepadaNya serta tetap menjaga kesucian amaliahnya baik lahir maupun bathin (QS.  Al An’am 162-163,  QS. Al Bayyinah 5).

Dengan sendi Tauhidullah, anggota-anggota masyarakat Islam berpandangan hidup yang sama, sehingga terjelmalah pertautan hati satu sama lain yang melahirkan ikatan persaudaraan di atas budi pekerti, akhlak yang mulia. Terkikis penyakit egoisme, individualisme serta materialisme yang hanya mementingkan diri sendiri, Firman Allah menegaskan dalam Al Qur’an : ‘Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara’. (QS. Al Hujurat 10). ‘Dan Allah mempersatu-padukan di antara hati mereka, yang andai kata engkau belanjakan seluruh isi bumi tidaklah engkau mampu mempersatukan di antara mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana’. (QS. Al Anfal 63).

Lebih jauh Islam mengajarkan, berbeda bangsa, berbeda kulit, berbeda bahasa dan berbeda budaya diupayakan untuk saling mengenal dan memperkaya batin masing-masing. Ibadah-ibadah khusus dalam Islam, bila kita simak secara teliti ternyata ujungnya adalah kebaikan bermasyarakat.

Bila hidup menyadari sebagai hamba Allah, maka hanya Allahlah Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia, dirinya hanya sebagai hamba, tidak akan terbetik dari hatinya perasaan lebih mulia dari sesamanya. Perasaan ini akan menumbuhkan persamaan dan kebersamaan, menumbuhkan kesetiakawanan yang bersumber dari kedalaman lubuk hati yang diteduhi iman. Cintanya kepada sesama manusia merupakan wujud kecintaan pada Allah, yang didorong oleh sabda Nabi : ‘Sayangi apa-apa yang ada di bumi, engkau akan disayangi oleh yang menaungi di langit’. Hadits. Perbedaan-perbedaan yang tampak, akan dijadikan sarana untuk saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan, bukan untuk saling menghancurkan.

Selanjutnya apabila persamaan dan persaudaraan yang berdasar keimanan telah tumbuh dengan subur, maka segala usaha serta tindakan-tindakan dalam masyarakat senantiasa akan dilihat dari segi kepentingan umum dan untuk kepentingan bersama. Berbagai pendapat mungkin terjadi, bahkan pasti terjadi, tetapi semua itu tidak akan menimbulkan konflik yang akan menjadi gangguan ketentraman bersama. Musyawarah menjadi tradisinya, saling menghormati menjadi hiasan pergaulannya, Firman Allah dalam Al Qur’an : ‘Mereka menyambut ajaran yang datang dari Tuhannya, mendirikan shalat, musyawarah dalam urusan-urusannya, dan mereka menginfakkan sebahagian dari rizkinya’. (QS. Asy Syura 38). Seorang mukmin tidak bakalan merasa benar sendiri, ia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin sempurna, ia akan senantiasa mencari kebenaran serta mempertimbangkan nasihat dan pendapat orang lain.

Lebih dalam kepada sikap dan pengalaman beragama, contoh jihad, mengandung arti bekerja dengan kesungguhan hati, berusaha mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Itulah yang merupakan karakter seorang mukmin. Ia terus bekerja dan berusaha menciptakan kesejahteraan untuk dirinya, keluarganya dan masyarakatnya serta bangsa dan negaranya sebagai wujud amal shalehnya. Tepatlah ungkapan Nabi bahwa Mukmin itu seperti lebah, energik, disiplin, memberi manfaat dan tidak merusak lingkungan.

Dan pendirian dalam beragama (Istiqomah), artinya lurus terus, tetap memegang dan memperjuangkan kebenaran yang datang dari Allah. Ia tidak akan meleleh karena panas, tidak akan beku karena dingin, tidak akan lapuk karena hujan dan tak akan lekang di terik sinar matahari. ‘Katakan aku beriman kepada Allah, kemudian luruslah senantiasa’, demikian jawab Nabi kepada sahabatnya yang meminta nasihat. Jiwa orang yang istiqomah akan senantiasa  tenang, tidak ragu, tidak gentar apalagi takut menghadapi berbagai tantangan. Keteguhan hati serta kepercayaan diri yang mantap merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan dalam mengayuh serta meniti hidup yang penuh rintangan.

Insya Allah masyarakat yang bersendikan enam pokok tersebut di atas. Akan mewujudkan masyarakat yang makmur dalam keadilan yang adil dalam kemakmuran. Serta rahmah, berkah dan keridlaan Allah senantiasa tercurah di atasnya. Terhadap mereka yang berlainan keyakinan, Islampun melalui Nabinya memberi teladan yang baik. Islam dapat hidup berdampingan dengan damai bersama siapa saja asal mereka tidak beritikad jelek. Sebagai khalifah di muka bumi Islampun mengamanatkan agar kita mampu menciptakan surga yang dahulu ditinggalkan Adam dan Hawa di dunia ini, untuk selanjutnya menggapai surga yang dijanjikan Allah di Akhirat nanti.

Bagaimana mewujudkan Masyarakat Islam yang Ideal.
Masyarakat Islam yang ideal sudah pernah terwujud pada masa Rasulullah saw. di Madinah. Mereka mendapat predikat khaeru-ummah, masyarakat terbaik atau utama. Gelar ini diperoleh, karena umat Islam pada periode awal di bawah kepemimpinan Nabi saw mampu memadukan keshalehan ritual dengan memperkokoh keimanan di dalam masjid dan keshalehan sosial dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebajikan dan melarang dari kemunkaran) di tengah-tengah masyarakat.

Allah SWT berfirman: Artinya: ‘Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik’. (QS. Ali-‘Imran - 110). Mengacu kepada ayat di atas, ada tiga upaya atau gerakan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang ideal. Pertama, gerakan humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia. Ini tercermin dari gerakan amar ma’ruf, memerintahkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Karena pada hakikatnya, manusia itu sangat mencintai dan menginginkan kebaikan. Maka untuk mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna, manusia harus bisa menanamkan dan mengimplementasikan kebaikan-kebaikan demi kemaslahatan hidupnya.

Kedua, gerakan liberasi, yakni upaya membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kejahatan dan kemunkaran. Derajat manusia dapat terdegrasi ke lembah yang paling hina, karena perbuatan-perbuatan jahat dan maksiatnya. Oleh karena itu, demi mempertahankan derajat kemanusiaannya, manusia harus dapat membebaskan kehidupannya dari berbagai perbuatan jahat dan maksiat yang dapat  mengundang kehinaan dan kemurkaan dari Allah SWT.

Ketiga, gerakan transendensi, yakni upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT, melalui ibadah-ibadah yang dilakukan. Untuk memelihara kesempurnaannya sebagai insan kamil, manusia tidak bisa lepas dari melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang diperintahkan. Keimanan bukan hanya tersimpan di dalam hati, tetapi harus dingejawantahkan dalam sikap dan perbuatan sehari-hari. Di sinilah pentingnya manusia memperkokoh keimanannya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban ibadah kepada Allah SWT.
Mudah-mudahan dengan melakukan ketiga upaya ini secara terus menerus dalam kehidupan, dapat mewujudkan masyarakat Islam yang ideal di bumi nusantara ini. Aamin…. Wallaahu A’lam Bish-Shawwab”.

Semar mencoba menyimpulkan, “Yang terpenting untuk kita perhatikan adalah bahwa masyarakat itu terbentuk tidak hanya dari kumpulan individu-individu saja. Kalau hanya individu-individu berkumpul, apakah mungkin kehidupan masyarakat itu dapat hidup terus menerus? Cobalah kita lihat orang yang berkumpul bersama untuk berlayar dengan sebuah kapal, apakah kumpulan orang tersebut bisa disebut sebagai masyarakat? Begitu meraka sampai tujuan, mereka akan berpisah, menuju tempatnya masing-masing. Begitu juga dengan kumpulan orang dari berbagai daerah yang pertandingan olah-raga, apakah mereka dapat disebut masyarakat? Tentu saja tidak. Dengan demikian ada unsur paling penting untuk membentuk sebuah masyarakat daripada sekedar kumpulan individu-individu saja. Apa unsur yang paling penting tersebut?

Ternyata unsur terpenting tersebut ialah ikatan. Ikatan yang bagaimana? Ikatan yang dapat menjamin hubungan interaksi antar anggota masyarakat tesebut agar dapat berjalan terus menerus. Bila ikatan itu tidak bisa menjamin hubungan interaksi masyarakat berlangsung secara terus menerus, maka kumpulan masyarakat itu akan pecah, bubar dan berantakan. Yang menjadi pertanyaan berikutnya ialah apakah unsur-unsur yang membentuk ikatan masyarakat itu? Unsur pengikatnya ialah kesamaan pemikiran, perasaan dan peraturan dari segenap anggota masyarakatnya. Artinya, jika dalam masyarakat tidak ada kesamaan pemikiran, perasaan dan peraturan dari segenap masyarakatnya, maka dijamin masyaratkat itu akan cepat bubar, dan kemungkinan besar akan terjadi kekacauan.

Jadi definisi masyarakat dengan lebih komprehensip, adalah masyarakat adalah sekumpulan individu-individu manusia di suatu wilayah tertentu, yang memiliki hubungan interaksi secara terus menerus, karena mempunyai kesatuan pemikiran, perasaan dan peraturan. Mengapa unsurnya adalah adanya kesatuan pemikiran, perasaan dan peraturaan? Mungkinkah unsur-unsur tersebut dapat disatukan atau disamakan?.

Maka penjelasannya begini, yang dimaksud dengan kesatuan pemikiran ialah adanya kesamaan dalam menilai tentang baik atau buruknya sesuatu hal. Kesatuan perasaaan terkait dengan hal suka atau tidak suka. Jika pemikirannya sudah memiliki standar baik buruk maka perasaan tinggal mengikuti. Selanjutnya bagaimana dengan aspek kesatuan peraturan? Jika seluruh standar penilaian dari segenap anggota masyarakatnya dilegalisasikan dalam bentuk peraturan, maka ikatan yang terjadi akan menjadi lebih kuat lagi. Karena hal ini akan memunculkan unsur sangsi di dalamnya.

Harus terjadi interaksi secara terus menerus dengan adanya sebuah ikatan, ikatan tersebut terwujud dengan adanya: kesatuan pemikiran, perasaan dan peraturan. Dengan demikian, maka masyarakat tuan Imam sebagai masyarakat Islam, dapat dimaknai sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam ikatan Islam yakni memiliki pemikiran Islam, perasaan Islam, dan peraturan Islam, sehingga mereka dapat dan mau mengamalkan nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam melalui ajaran dari Al-Qur’an dan as-sunah”.

Imam Ghazali mendekap kedua tangan Semar dan Togog erat-erat, seakan-akan tidak ingin terjadi perpisahan diantara mereka saat itu. Sang Iman memandang kedua tamunya seakan memandang cermin yang memantulkan semua pemahaman Ihya Ulumiddin kepada permukaan bidang datar luas tak bertepi putih seputih langit diatas mega. Karena beliau seperti memandang kembali dirinya yang terpantul dari tulisan-tulisannya akan kebenaran agung Islam warisan dari Nabi Agung Muhammad saw.

Sebaliknya Semar dan Togog yang mendapat pencerahan dari penjelasan Imam Ghazali, merasa wangsit dan Catatan Akhasic alam semesta yang sudah mereka telaah dan miliki serta dipahami, sebagai catatan konsep yang perlu penyempurnaan. Upaya membedah Catatan Akhasic adalah upaya untuk mengikuti jejak upaya Azazil selama bersama Para Malaikat di alam Sidratul Muntaha, dimana dia mendapat pengetahuan Akhasic tsb. Kini mereka mendapat kenyataan bahwa pengetahuan makro kosmos dari Akhasic adalah tidaklah cukup memenuhi untuk keseimbangan alam. Diperlukan pengetahuan mikro kosmos untuk menyeimbangan tatanan alam yang sudah terbentuk, yang disebut ‘Akidah”. Maka keduanya mempersilahkan Sang Imam Agung untuk melanjutkan membedah Ihya Ulumiddin buku-2.

1 comment:

Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.