WACANA KEEMPAT PULUH SATU
Tuan Syaikh berwejang:
Akan kami paparkan bagimu
sebuah misal tentang kelimpahan, dan kami berkata : “Tidakkah kau lihat seorang
raja yang menjadikan seorang biasa sebagai gubernur kota tertentu, memberinya
busana kehormatan, bendera, panji-panji dan tentara, sehingga ia merasa aman,
mulai yakin bahwa hal itu akan kekal, bangga dengannya, dan lupa akan keadaan
sebelumnya. Ia terseret oleh kebanggaan, kesombongan, dan kesia-siaan. Maka,
datanglah perintah pemecatan dari raja. Dan sang raja meminta penjelasan atas
kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya dan pelanggarannya atas perintah
dan larangannya. Lalu sang raja memenjarakannya di dalam sebuah penjara yang sempit
dan gelap serta memperlama pemenjaraanya, dan orang itu terus menderita,
terhinakan dan sengsara, akibar ketakaburan dan kesia-siaannya, dirinya hancur,
api kehendaknya padam, dan semua ini terjadi di depan mata sang raja dan
diketahuinya. Setelah itu ia menjadi kasihan terhadap orang itu, dan
memerintahkan agar ia dibebaskan dari penjara, disertai kelembutan terhadapnya,
dianugerahkan kembali busana kehormatan, dan dijadikannya kembali ia sebagai
gubernur. Ia menganugerahkan semua ini kepada orang itu sebagai karunia
cuma-cuma. Kemudain ia menjadi teguh, bersih, berkecukupan dan terahmati.
Beginilah keadaan seorang
beriman yang didekatkan dan dipilih-Nya. Ia bukakan di hadapan mata hatinya
pintu-pintu kasih sayang, kemurahan dan pahala. Maka, ia melihat dengan hatinya
yang mata tak pernah melihat, yang telinga tak pernah mendengar, yang hati
manusia tak tahu akan hal-hal gaib dari kerajaan lelangit dan bumi, akan
kedekatan dengan-Nya, akan kata manis, janji menyenangkan, limpahan kasih
sayang, akan diterimanya doa dan kebajikan, dan akan dipenuhinya janji serta
kata-kata bijak bagi hatinya, yang menyatakan sendiri melalui lidahnya, dan
dengan semua ini Ia sempurnakan bagi orang ini karunia-karunia-Nya pada
tubuhnya, berupa makanan, minuman, busana, isteri yang halal, hal-hal lain yang
halal dan pemerhatian terhadap hukum dan tindakan pengabdian. Lalu, Allah
memelihara keadaan ini bagi hamba beriman-Nya yang didekatkan kepada-Nya sampai
sang hamba merasa aman di dalamnya, terkecoh olehnya dan percaya bahwa hal itu
kekal. Maka, Allah membukakan baginya pintu-pintu musibah, aneka kesulitan
hidup, milikan, isteri, anak, dan mencabut darinya segala karunia, yang telah
dilimpahkan-Nya kepadanya sebelum ini, sehingga ia terkulai, hancur, dan
terputus dari masyarakatnya.
Bila ia melihat
keadaan-keadaan lahiriahnya, maka ia melihat hal-hal yang buruk baginya. Bila
ia melihat hati dan jiwanya, maka ia melihat hal-hal yang menyedihkannya. Jika
ia memohon kepada Allah untuk menjauhkan kesulitannya, maka permohonannya itu
tak diterima. Jika ia memohon janji baik,
ia tak segera mendapatkannya. Jika ia berjanji, ia tak tahu tentang
pemenuhannya. Bila ia bermimpi, ia tak bisa menafsirkannya dan tak tahu tentang
kebenarannya. Bila ia bermaksud kembali kepada manusia, ia tak mendapatkan
sarana untuk itu. Bila ada sesuatu pilihan baginya dan ia bertindak berdasarkan
pilihan itu, maka ia segera tersiksa, tangan-tangan orang memegang tubuhnya,
dan lidah-lidah mereka menyerang kehormatannya. Bila ia hendak melepaskan
dirinya dari keadaan ini, dan kembali kepada keadaan sebelumnya, ia gagal. Bila
ia memohon agar dikaruniai pengabdian, ketercerahan dan kebahagiaan di
tengah-tengah musibah yang dialaminya, permohonannya itu pun tak diterima.
Maka, dirinya mulai meleleh,
hawa nafsunya mulai sirna, maksud-maksud serta kerinduan-kerinduannya mulai
pupus, dan kemaujudan segala sesuatu menjadi tiada. Keadaannya ini diperpanjang
dan kian hebat, hingga sang hamba berlalu dari sifat-sifat manusia. Tinggalah
ia sebagai ruh. Ia mendengar panggilan jiwa kepadanya:
“Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.” (Qs.38:42).
“Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.” (Qs.38:42).
Sebagaimana panggilan kepada
Nabi Ayub as. Lalu Allah mengalirkan samudra kasih sayang dan kelembutan-Nya ke
dalam hatinya, menggelorakannya dengan kebahagiaan, aroma harum pengetahuan
tentang hakikat dan ketinggian pengetahuan-Nya, membukakan baginya pinti-pintu
nikmat dalam segala keadaan hidup, membuat orang memberi dan memujinya, membuat
para raja mengabdi kepadanya, menyempurnakan baginya nikmat-nikmat-Nya lahiriah
dan ruhaniah, menyempurnakan lahiriahnya melaui makhluk dan rahmat-rahmat
lain-Nya, menyempurnakan ruhaniah dengan kelembutan dan karunia-Nya, dan
membuat keadaan ini berkesinambungan baginya, hingga ia menghadap-Nya. Kemudian
ia memasukannya ke dalam yang mata tak mernah melihat, yang ditelinga tak
pernah mendengar dan yang tak pernah tersirat dalam hati manusia, sebagaimana
firmannya:
“Tiada jiwa yang tahu yang disembunyikan bagi mereka, yang akan mengenakan mata mereka, balasan bagi yang telah mereka perbuat.” (Qs. 32:17).
“Tiada jiwa yang tahu yang disembunyikan bagi mereka, yang akan mengenakan mata mereka, balasan bagi yang telah mereka perbuat.” (Qs. 32:17).
WACANA KEEMPAT PULUH DUA
Tuan Syaikh berwejang:
Keadaaan ruhani manusia itu;
bahagia dan duka. Bila duka, maka timbul kecemasan, keluhan, ketaksenangan,
pencomelan, penyalahan terhadap-Nya, dan ketaksabaran; pengabaian terhadap
perilaku buruk, dosa karena menyekutukan sang Pencipta dengan makhluk dan
sarana-sarana duniawi; dan akhirnya kekafiran. Bila bahagia, ia menjadi kurban
kerakusan, kehinaan hawa nafsu. Bila nafsu diperturutkan, ia pun menginginkan
yang lainnya dan meremehkan karunia yang dimilikinya; maka ia tak menghargai
karunia-karunia ini dan meminta karunia yang lebih baik lagi, sehingga hal ini
menempatkannya dalam rangkaian kesulitan yang tak berakhir di dunia ini atau di
akhirat, sebagaimana dikatakan:
“Sesungguhnya siksaan paling pedih yaitu bagi pengupayaan yang bukan bagiannya.”
“Sesungguhnya siksaan paling pedih yaitu bagi pengupayaan yang bukan bagiannya.”
Maka, bila ia dirundung
kesulitan, yang dikehendaki hanyalah sirnanya kesulitan itu. Ia menjadi lupa
akan segala karunia, dan tidak menghendaki sesuatu pun dari hal ini. Bila ia
dikaruniai kebahagiaan hidup, maka ia kembali menjadi sombong rakus,
membangkang terhadap Tuhannya dan tenggelam dalam dosa. Ia pun lupa akan
kesengsaraannya ini dan bencana, yang kurbannya adalah dia.
Maka segeralah ia menjadi
lebih buruk dari pada kala ia diharu-biru aneka musibah dan kesulitan sebagai
hukuman atas dosa-dosanya, agar ia terjauhkan dari hal-hal ini dan menahannya
dari perbuatan dosa di kemudian hari, setelah kemudahan dan kesenangan tak
mengubahnya, tetapi keselamatannya terletak dalam musibah dan kesulitan.
Andai ia berlaku baik, setelah bencana berlalu darinya, teguh dalam kepatuhan, bersyukur dan menerima nasibnya dengan senang hati, maka hal itu lebih baik baginya di dunia ini dan di akhirat. Maka hidupmu akan kian bahagia.
Andai ia berlaku baik, setelah bencana berlalu darinya, teguh dalam kepatuhan, bersyukur dan menerima nasibnya dengan senang hati, maka hal itu lebih baik baginya di dunia ini dan di akhirat. Maka hidupmu akan kian bahagia.
Nah, barangsiapa
menginginkan keselamatan hidup di dunia ini dan di akhirat, maka ia harus
senantiasa bersabar, pasrah, menghindar dari mengeluh kepada orang, dan
memperoleh kebutuhannya dari Tuhannya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, dan
membuatnya sebagai kewajiban untuk mematuhi-Nya, harus menantikan kemudahan dan
sepenuhnya mengabdi kepada-Nya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung. Ia betapa pun,
lebih baik ketimbang seluruh makhluk-Nya.
Maka Pencabutan oleh-Nya
menjadi karunia, Penghukuman-Nya menjadi rahmat, musibah dari-Nya menjadi obat,
janji-Nya terpenuhi. Kemurahan-Nya merupakan kenyataan yang ada. Kata-Nya
merupakan suatu Kebajikan. Tentu, firman-Nya, di kala Ia menghendaki sesuatu,
hanyalah ucapan terhadapnya “Jadilah”, maka jadilah ia. Maka, seluruh
tindakan-Nya baik, bijak dan tepat, kecuali bahwa Ia menyembunyikan pengetahuan
tentang ketepatan-Nya dari hamba-hamba-Nya, padahal Ia sendiri begini. Maka,
lebih baik dan layak bagi para hamba untuk berpasrah dan mengabdi kepada-Nya,
yaitu dengan menunaikan perintah-perintah-Nya, menghindari
larangan-larangan-Nya, menerima ketentuan-Nya dan mencampakkan belaian makhluk
– sebab hal ini merupakan sumber segala ketentuan, menguatnya mereka dan dasar
mereka; dan berdiamlah atas sebab dan masa (kejadian-kejadian), dan jangan
menyalahkan gerak dan diam-Nya. Pernyataan ini berdasarkan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, yang dikutip oleh Ata bin Abbas. Katanya:
“Ketika aku berada di
belakang Rasululllah (saw), beliau berkata kepadaku, ‘Anakku, jagalah kewajiban-kewajiban
terhadap Allah, maka Allah akan menjagamu; jagalah kewajiban-kewajiban terhadap
Allah, maka kau akan mendapati-Nya di depanmu.’ ”
Nah, jika kau membutuhkan pertolongan, mintalah kepada-Nya. Pena menjadi kering setelah menuliskan segala yang akan terjadi. Dan jika hamba-hamba Allah berupaya keras memberimu sesuatu yang tak Allah tentukan bagimu, maka mereka takkan mampu melakukannya. Jika hamba-hamba Allah berupaya keras merugikanmu, padahal Allah tak menghendakinya, maka mereka takkan berhasil. Nah, jika kau bisa bertindak berdasarkan perintah-perintah Allah dengan sepenuh iman, lakukanlah. Tapi, jika kau tak mampu melakukan yang demikian, maka, tentu, lebih baik bersabar atas apa yang tak kau sukai, sembari mengingat bahwa di dalamnya banyak kebaikan. Ketahuilah, bahwa pertolongan Allah datang melalui kesabaran dan keridhaan, dan dalam kesulitan itu ada kemudahan. Maka, hendaklah para mukmin menjadikan hadis ini sebagai cermin bagi hatinya, sebagai busana lahiriah dan ruhaniah, sebagai slogannya, dan hendaklah berlaku dengannya dalam segala gerak dan diamnya, agar selamat di dunia ini dan di akhirat, dan semoga mendapatkan kemuliaan darinya, dengan kasih sayang Allah, Yang Mahamulia.
WACANA KEEMPAT PULUH TIGA
Tuan Syaikh berwejang:
Barangsiapa meminta sesuatu
dari manusia, berarti ia tak tahu akan Allah, lemah iman, lemah pengetahuan
tentang hakikat, dan tak sabar, sedang barangsiapa tak meminta, berarti ia amat
tahu akan Allah, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, kuat imannya, kian bertambah pengetahuannya
tentang-Nya dan ketakwaan kepada-Nya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung.
WACANA KEEMPAT PULUH EMPAT
Tuan Syaikh berwejang:
Sesungguhnya doa orang yang
berpengetahuan ruhani kepada Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, tak
dikabulkan, dan setiap janji yang dibuat kepadanya tak dipenuhi, agar ia tak
hancur karena keterlalu-optimisan. Sebab setiap keadaan atau maqam ruhani
mempunyai ketakutan dan harap. Dengan demikian, orang yang berpengetahuan
ruhani mengalami kedekatan dengan-Nya, sehingga ia tak menghendaki sesuatu pun
selain Allah. Maka permohonan (sang pengabdi) agar doanya diterima dan janji
kepadanya dipenuhi, bertentangan dengan jalan dan keadaannya.
Ada dua sebab untuk ini.
Pertama ia tak diatasi oleh harapan dan khayal diri melalui rencana tinggi
Allah, dan lupa akan kebaikannya dalam penghampirannya kepada Allah, sehingga
ia hancur. Kedua, hal itu sama dengan menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Sebab
tak satu pun di dunia ini yang sepenuhnya bebas dari dosa, kecuali para Nabi.
Karena inilah, Ia tak selalu mengabulkan doanya dan tak memenuhi janji kepada
sang pengabdi, agar ia tak meminta sesuatu pun atas dorongan hawa nafsunya
tanpa mematuhi perintah-perintah-Nya, yang di dalamnya terletak kemungkinan
kesyirikan, dan dalam setiap keadaan, langkah dan maqam sang salik banyak
kemungkinan berbuat kesyirikan. Tetapi bila doanya selaras dengan perintah,
maka hal itu mendekatkan manusia kepada Allah, semisal shalat, puasa,
kewajiban-kewajiban lainnya, sunnah serta kewajiban tambahan, sebab dalam hal-hal
ini ada kepatuhan kepada perintah.
WACANA KEEMPAT PULUH LIMA
Tuan Syaikh berwejang:
Ketahuilah bahwa ada dua
macam manusia. Yang pertama ialah manusia yang dikaruniai kebaikan-kebaikan
duniawi. Yang kedua ialah manusia yang diuji dengan ketentuan-Nya. Manusia yang
mendapatkan kebaikan duniawi, tak bebas dari noda dosa dan kegelapan dalam
menikmati yang mereka dapatkan itu. Manusia semacam itu bermewah-mewah dengan
karunia duniawi ini. Bila ketentuan Allah datang, yang menggelapi sekitarnya
melalui aneka musibah yang berupa penyakit, penderitaan, kesulitan hidup,
sehingga ia hidup sengsara, dan tampak seolah-olah ia tak pernah menikmati
sesuatu pun. Ia lupa akan kesenangan dan kelezatannya. Dan jika kecerahan
menimpanya, maka seolah-olah ia tak pernah mengalami musibah. Sedang jika ia
mengalami musibah, maka seolah-olah tiada kebahagiaan. Semua ini disebabkan
oleh pengabdian terhadap Tuhannya.
Nah, jika ia telah tahu
bahwa Tuhannya sepenuhnya bebas bertindak sekehendak-Nya, mengubah, memaniskan,
memahitkan, memuliakan, menghinakan, menghidupkan, mematikan, memajukan dan
memundurkan – Jika ia telah tahu semua ini, maka ia tak merasa bahagia di
tengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tak merasa bangga karenanya, juga tak
berputus asa akan kebahagiaan di kala duka.
Perilaku salahnya ini disebabkan juga oleh ketaktahuannya akan dunia ini, yang sebenarnya tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan dan kegelapan. Jadi kehidupan duniawi itu bak pohon gaharu, yang rasa pertamanya pahit, sedang rasa akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat merasakan manisnya, sebelum ia merasakan pahitnya. Tak seorang pun dapat mengecap madunya, sebelum ia tabah atas kepahitannya. Maka, barang siapa tabah atas cobaan-cobaan duniawi, maka ia berhak mengecap rahmat-Nya.
Tentu seorang pekerja mesti diberi upah setelah keningnya berkeringat, tubuh dan jiwanya letih. Maka, bila orang telah mereguk semua kepahitan ini, maka datang kepadanya makanan dan minuman lezat, busana yang bagus dan kesenangan meski sedikit. Jadi, dunia adalah sesuatu, yang bagian pertamanya ialah kepahitan, bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan, sehingga si pemakan tak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya hanyalah madu murninya sampai ia mengecap pucuknya.
Perilaku salahnya ini disebabkan juga oleh ketaktahuannya akan dunia ini, yang sebenarnya tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan dan kegelapan. Jadi kehidupan duniawi itu bak pohon gaharu, yang rasa pertamanya pahit, sedang rasa akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat merasakan manisnya, sebelum ia merasakan pahitnya. Tak seorang pun dapat mengecap madunya, sebelum ia tabah atas kepahitannya. Maka, barang siapa tabah atas cobaan-cobaan duniawi, maka ia berhak mengecap rahmat-Nya.
Tentu seorang pekerja mesti diberi upah setelah keningnya berkeringat, tubuh dan jiwanya letih. Maka, bila orang telah mereguk semua kepahitan ini, maka datang kepadanya makanan dan minuman lezat, busana yang bagus dan kesenangan meski sedikit. Jadi, dunia adalah sesuatu, yang bagian pertamanya ialah kepahitan, bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan, sehingga si pemakan tak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya hanyalah madu murninya sampai ia mengecap pucuknya.
Nah, bila hamba Allah telah
berupaya keras menunaikan perintah Allah, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung,
menjauh dari larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, maka bila ia telah mereguk
kepahitannya, menahan bebannya, berupaya melawan kehendaknya sendiri dan
mencampakkan maksud-maksud pribadinya, maka Allah mengaruniainya, sebagai hasil
dari ini, kehidupan yang baik, kesenangan, kasih sayang dan kemuliaan. Maka
menjadilah Ia walinya dan menyuapinya persis seperti seorang bayi yang siuapi,
yang tak berdaya, yang tak berupaya keras di dunia ini dan di akhirat, yang
juga seperti pemakan pucuk pahit madu yang mengecap dengan lahapnya bagian
bawah isi bejana.
Nah, patutlah bagi sang
hamba yang telah dikaruniai oleh Allah, untuk tak merasa aman dari cobaan-Nya,
untuk tak merasa yakin akan kekekalannya, agar tak lupa bersyukur atasnya. Nabi
Suci saw. berkata:
“Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu yag ganas; maka jinakkanlah ia dengan kebersyukuran.”
“Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu yag ganas; maka jinakkanlah ia dengan kebersyukuran.”
Jadi, menyukuri rahmat
berarti mengakui sang Pemberinya. Yang Mahapemurah, yaitu Allah, senantiasa
mengingatnya, tak mengklaim atas-Nya, tak mengabaikan perintah-Nya, dan
diiringi dengan penunaian kewajiban terhadap-Nya, yakni mengeluarkan zakat,
membersihkan diri, bersedekah, berkorban sebagai nazar, meringankan beban
penderitaan kaum lemah dan membantu mereka yang membutuhkan, yang mengalami
kesulitan dan yang keadaannya berubah dari baik menjadi buruk, yaitu, masa-masa
bahagia dan harapannya telah berubah menjadi kedukaan. Bersyukurnya anasir
tubuh atas rahmat berupa digunakannya anasir tubuh itu untuk menunaikan
perintah-perintah Allah dan mencegah diri dari hal-hal yang haram, dari
kekejian dan dosa.
Inilah cara melestarikan
rahmat, mengairi tanamannya dan memacu tumbuhnya dedahanan dan dedaunannya,
mempercantik buahnya, memaniskan rasanya, memudahkan penelanannya, mengenakan
pemetikannya dan membuat rahmatnya mewujud di seluruh organ tubuh lewat
berbagai tindak kepatuhan kepada-Nya, seperti lebih mendekatkan diri kepada-Nya
dan senantiasa mengingat-Nya, yang kemudian memasukkan sang hamba, di akhirat,
ke dalam kasih-sayang-Nya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, dan mengaruniainya
kehidupan abadi di taman-taman surga bersama dengan para Nabi Suci, shiddiq, syahid dan shalih – inilah suatu kebersamaan yang indah.
Namun, jika tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah kehidupan semacam itu, asyik menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya fatamorgananya, yang kesemuanya bagai embusan sepoi angin dingin di pagi musim panas, dan bagai lembutnya kulit naga dan kalajengking, dan menjadi lupa akan bisa mautnya dan tipuannya – kesemuanya ini akan menghancurkannya – orang seperti itu mesti diberi kabar-kabar gembira tentang penolakan, kehancuran yang segera, kehinaan di dunia ini dan siksaan kelak dalam api neraka nan abadi.
Namun, jika tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah kehidupan semacam itu, asyik menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya fatamorgananya, yang kesemuanya bagai embusan sepoi angin dingin di pagi musim panas, dan bagai lembutnya kulit naga dan kalajengking, dan menjadi lupa akan bisa mautnya dan tipuannya – kesemuanya ini akan menghancurkannya – orang seperti itu mesti diberi kabar-kabar gembira tentang penolakan, kehancuran yang segera, kehinaan di dunia ini dan siksaan kelak dalam api neraka nan abadi.
Cobaan atas manusia – kadang
berupa hukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan atas dosa yang telah
diperbuatannya. Kadang berupa pembersihan noda, dan kadang pula berupa
pemuliaan maqam ruhani manusia, yang baginya rahmat Tuhan semesta terkaruniakan
sebelumnya, yang melakukannya dari bencana dengan kelembutan, sebab cobaan
semacam itu tak dimaksudkan untuk
menghacurkan dan mencampakkan ke dasar neraka, tapi, dengan begini,
Allah mengujinya untuk dipilih dan mewujudkan darinya hakikat iman, mensucikannya
dan bersih dari kesyirikan, kebanggaan diri, kemunafikan, dan membuat karunia
cuma-cuma sebagai pahala baginya, dari berbagai pengetahuan, rahasia dan nur.
Nah. Bila orang ini menjadi bersih ruhani dan jasmani, dan hatinya menjadi tersucikan, berarti Ia telah memilihnya di dunia ini dan diakhirat – di dunia ini yakni melalui hatinya, sedang di akhirat yakni melalui jasmaninya. Maka segala bencana menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, sarana duniawi dan dambaan-dambaan dan menjadi pelebur kesombongan, ketamakan dan harapan akan imbalan surga atas penunaian perintah-perintah.
Nah. Bila orang ini menjadi bersih ruhani dan jasmani, dan hatinya menjadi tersucikan, berarti Ia telah memilihnya di dunia ini dan diakhirat – di dunia ini yakni melalui hatinya, sedang di akhirat yakni melalui jasmaninya. Maka segala bencana menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, sarana duniawi dan dambaan-dambaan dan menjadi pelebur kesombongan, ketamakan dan harapan akan imbalan surga atas penunaian perintah-perintah.
Cobaan yang berupa hukuman
menunjukkan adanya kekurangsabaran atas cobaan-cobaan ini, dengan mangaduh dan
mengeluh kepada orang. Cobaan yang berupa pencucian dan penyirnaan kelemahan
menunjukkan maujudnya kesabaran, ketakmengeluhan kepada sahabat dan tetangga,
penunaian perintah-perintah, ketakengganan dan kepatuhan. Cobaan yang berupa
pemuliaan maqam menunjukkan adanya keridhaan, kedamaian dengan kehendak Allah,
Tuhan bumi dan lelangit, dan penafian diri sepenuhnya dalam cobaan ini, hingga
saat berlalunya.
WACANA KEEMPAT PULUH ENAM
Tuan Syaikh berwejang:
Nabi Suci saw. bersabda dari
Rabnya:
“Barangsiapa senantiasa
mengingat-Ku dan tak sempat minta sesuatu pun dari-Ku, maka akan Kuberikan
kepadanya yang lebih baik daripada yang Kuberikan kepada mereka yang meminta.”
Hal ini dikarenakan bila Allah menghendaki seorang mukmin bagi maksud-maksud-Nya sendiri, maka Ia melakukannya melalui aneka keadaan ruhani, dan mengujinya dengan aneka upaya dan musibah. Lalu Ia membuatnya sedih setelah senang, dan membuatnya hampir meminta kepada orang, sedang tiada jalan terbuka baginya: Lalu menyelamatkannya dari meminjam, dan membuatnya bekerja mencari nafkah dan memudahkan baginya. Maka hiduplah ia dengan perolehannya, dan hal ini selaras dengan sunnah Nabi.
Hal ini dikarenakan bila Allah menghendaki seorang mukmin bagi maksud-maksud-Nya sendiri, maka Ia melakukannya melalui aneka keadaan ruhani, dan mengujinya dengan aneka upaya dan musibah. Lalu Ia membuatnya sedih setelah senang, dan membuatnya hampir meminta kepada orang, sedang tiada jalan terbuka baginya: Lalu menyelamatkannya dari meminjam, dan membuatnya bekerja mencari nafkah dan memudahkan baginya. Maka hiduplah ia dengan perolehannya, dan hal ini selaras dengan sunnah Nabi.
Tapi, kemudian, Ia
membuatnya sulit mendapatkan rizki dan memerintahkannya, lewat ilham, untuk
meminta kepada manusia. Inilah sebuah perintah tersembunyi yang hanya diketahui
oleh orang yang bersangkutan. Dan Ia membuat permintaan ini sebagai
pengabdiannya dan berdoa melecehkannya, sehingga keangkuhannya pupus,
kediriannya hancur, dan inilah pembinaan ruhani. Permintaannya karena dipaksa
oleh Allah, bukan karena kesyirikan. Lalu Ia menyelamatkannya dari keadaan
begini, dan memerintahkannya untuk meminjam kepada orang, dengan perintah yang
kuat yang tak mungkin lagi dielakkan, sebagaimana halnya denga keadaan meminta.
Lalu Ia mengubahnya dari keadaan ini, menjauhkannya dari orang dan hanya bertumpu pada permintaanya kepada-Nya. Maka ia meminta kepada Allah segala yang dibutuhkannya. Ia memberinya, dan tak memberinya jika ia tak memintanya.
Lalu Ia mengubahnya dari meminta lewat lidah menjadi meminta lewat hati. Maka ia meminta kepadanya segala yang dibutuhkannya. Sehingga bila ia memintanya dengan lidah, Ia tak memberinya, atau bila ia meminta kepada orang, mereka juga tak memberinya.
Lalu Ia menafikannya dari dirinya dan dari meminta baik secara terbuka maupun tersembunyi. Maka Ia mengaruniainya segala yang membuat orang menjadi baik – segala yang dimakan, diminum, dipakai dan keperluan hidup tanpa upayanya atau tanpa diduganya. Maka menjadilah Ia walinya, dan ini sesuai dengan ayat:
Lalu Ia mengubahnya dari keadaan ini, menjauhkannya dari orang dan hanya bertumpu pada permintaanya kepada-Nya. Maka ia meminta kepada Allah segala yang dibutuhkannya. Ia memberinya, dan tak memberinya jika ia tak memintanya.
Lalu Ia mengubahnya dari meminta lewat lidah menjadi meminta lewat hati. Maka ia meminta kepadanya segala yang dibutuhkannya. Sehingga bila ia memintanya dengan lidah, Ia tak memberinya, atau bila ia meminta kepada orang, mereka juga tak memberinya.
Lalu Ia menafikannya dari dirinya dan dari meminta baik secara terbuka maupun tersembunyi. Maka Ia mengaruniainya segala yang membuat orang menjadi baik – segala yang dimakan, diminum, dipakai dan keperluan hidup tanpa upayanya atau tanpa diduganya. Maka menjadilah Ia walinya, dan ini sesuai dengan ayat:
“Sesungguhnya waliku adalah
Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dan Ia adalah wali para saleh.” (Qs.
7:196).
Maka Firman Allah yang
diterima oleh Nabi saw. menjadi kenyataan, yakni : “Barangsiapa tak sempat
meminta sesuatu dari-Ku, maka Aku akan memberinya lebih dari yang Ku berikan
kepada mereka yang meminta.” Dan inilah keadaan fana dalam Tuhan, suatu keadaan
yang dimiliki oleh para wali dan badal. Pada peringkat ini, ia dikaruniai daya
cipta, dan segala yang dibutuhkannya mewujud atas izin Allah, sebagaimana
firman-Nya di dalam Kitab-Nya.
“Wahai anak Adam! Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan selain-Ku, bila Kukatakan kepada sesuatu ‘Jadilah’, maka jadilah ia, Patuhilah Aku, sehingga bila kau berkata kepada sesuatu ‘Jadilah’, maka juga, jadilah sesuatu itu.”
“Wahai anak Adam! Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan selain-Ku, bila Kukatakan kepada sesuatu ‘Jadilah’, maka jadilah ia, Patuhilah Aku, sehingga bila kau berkata kepada sesuatu ‘Jadilah’, maka juga, jadilah sesuatu itu.”
WACANA KEEMPAT PULUH TUJUH
Tuan Syaikh berwejang:
Seorang tua bertanya
kepadaku dalam mimpiku: “Apakah yang membuat seorang hamba Allah dekat kepada
Allah?” Aku berkata: “Proses ini berawal dan berakhir, awalnya yaitu kesalehan
dan akhirnya yaitu keridhaan kepada Allah dan kepasrahan diri sepenuhnya
kepada-Nya.”
WACANA KEEMPAT PULUH DELAPAN
Tuan Syaikh berwejang:
Seorang mukmin,
pertama-tama, menunaikan yang wajib. Bila ia telah menunaikan yang wajib, maka
ia menunaikan yang sunnah. Bila ia telah menuniakan keduanya, maka ia
menunaikan yang tambahan. Nah, bila seseorang belum melaksanakan yang wajib,
sedang ia melaksanakan yang sunnah, maka hal itu merupakan kebodohan, takkan
diterima dan ia akan hina. Ia seperti orang yang diminta untuk mengabdi kepada
raja, namun ia tak mengabdi kepadanya, tapi ia mengabdi kepada hamba sang raja
yang berada di bawah kekuasaannya. Diriwayatkan oleh Ali, putra Abu Thalib
(as), bahwa Nabi Suci saw. berkata:
“Ibarat orang yang
menunaikan yang sunnah padahal ia belum menunaikan yang wajib, ialah seperti
wanita hamil yang keguguran di kala akan
melahirkan. Dengan demikian, ia tak hamil lagi dan tak jadi menjadi
Ibu.”
Begitu pula dengan orang yang beribadah, yang Allah tak menerima penunaiannya akan yang sunnah, sebelum ia menunaikan yang wajib. Hal ini juga seperti usahawan yang takkan mendapatkan keuntungan apa pun sebelum ia mengelola modalnya. Begitu pula dengan orang yang menunaikan yang sunnah, yang takkan diterima jerih payahnya itu, sebelum ia menunaikan yang wajib, Begitu pula dengan orang yang mengabaikan yang sunnah, dan menunaikan hal-hal yang tak ditentukan oleh aturan apa pun. Nah, di antara kewajiban-kewajiban itu ialah penjauhan dari yang haram, dan menyekutukan Allah dengan sesuatu, dari mengabaikan ketentuan-Nya, dari menimpali suara manusia, dari mengikuti kehendak mereka, dari berpaling dari perintah Allah, dan dari ketakpatuhan kepada-Nya. Nabi saw. bersabda: “Tiada kepatuhan, selagi masih berbuat dosa terhadap Allah.”
WACANA KEEMPAT PULUH
SEMBILAN
Tuan Syaikh berwejang:
Barangsiapa lebih menyukai
tidur daripada shalat malam, yang membawa ke arah ketakwaan, berarti ia memilih
sesuatu yang buruk, sesuatu yang mematikannya dan membuatnya acuh tak acuh
terhadap segala keadaan. Sebab, tidur adalah saudara kematian. Karenanya, Allah
tak tidur, sebab Ia bersih dari segala kecacatan. Begitu pula dengan para
malaikat, sebab mereka senantiasa amat dekat dengan Allah Yang Mahakuasa lagi
Mahaagung. Begitu pula dengan penghuni langit, sebab mereka sangat mulia dan
suci, sebab tidur akan menghancurkan keadaan hidup mereka. Jadi, kebaikan
terletak pada keberjagaan, sedang keburukan terletak pada ke-tidur-an dan
ketakacuhan terhadap upaya.
Nah, barang siapa makan, minum dan tidur
berlebihan, maka lenyaplah kebaikan dari dirinya. Barangsiapa makan sedikit
dari yang haram, maka ia serupa dengan orang yang makan banyak dari yang halal.
Sebab sesuatu yang haram menggelapi iman. Bila iman tergelapi, maka doa, ibadah
dan jihad tak maujud. Barangsiapa makan banyak dari yang halal berdasarkan perintah
Allah maka ia menjadi seperti orang yang makan sedikit dengan penuh pengabdian.
Jadi, sesuatu yang halal ialah cahaya yang ditambahkan pada cahaya, sedang
sesuatu yang haram ialah kegelapan yang ditambahkan pada kegelapan, yang di
dalamnya tiada kebaikan; maka makan sesuatu yang halal dengan berlebihan, tak
merujuk kepada perintah, adalah seperti makan sesuatu yang haram, dan hal itu
menyebabkan tidur, yang di dalamnya tiada kebaikan.
WACANA KELIMA PULUH
Tuan Syaikh berwejang:
Kau mungkin dekat kepada
Allah atau jauh dari-Nya.
Jika kau jauh dari-Nya, kenapa berlengah diri, tak berupaya mendapatkan rahmat, kemuliaanmu, keamanan dan kecukupan diri di dunia ini dan di akhirat. Segeralah terbang kepada-Nya dengan dua sayap. Sayap pertama berupa penolakan akan kesenangan, keinginan-keinginan tak halal, sayap kedua berupa penanggungan kepedihan, hal-hal tak menyenangkan dan menjauh dari keinginan duniawi dan ukhrawi, agar bisa menyatu dengan-Nya dan dekat kepada-Nya. Maka kau peroleh segala yang diidamkan dan diraih orang. Kau menjadi demikian terhormat dan mulia. Jika kau termuliakan dengan kelembutan-Nya, menerima cinta-Nya, dan menerima kasihsayang-Nya, maka tunjukkanlah perilaku terbaik dan jangan berbangga diri dengan semua itu, agar kau tak lalai mengabdi, tak angkuh, tak zalim dan tak tergesa-gesa. Allah berfirman:
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.” (Qs.33:72).
Jika kau jauh dari-Nya, kenapa berlengah diri, tak berupaya mendapatkan rahmat, kemuliaanmu, keamanan dan kecukupan diri di dunia ini dan di akhirat. Segeralah terbang kepada-Nya dengan dua sayap. Sayap pertama berupa penolakan akan kesenangan, keinginan-keinginan tak halal, sayap kedua berupa penanggungan kepedihan, hal-hal tak menyenangkan dan menjauh dari keinginan duniawi dan ukhrawi, agar bisa menyatu dengan-Nya dan dekat kepada-Nya. Maka kau peroleh segala yang diidamkan dan diraih orang. Kau menjadi demikian terhormat dan mulia. Jika kau termuliakan dengan kelembutan-Nya, menerima cinta-Nya, dan menerima kasihsayang-Nya, maka tunjukkanlah perilaku terbaik dan jangan berbangga diri dengan semua itu, agar kau tak lalai mengabdi, tak angkuh, tak zalim dan tak tergesa-gesa. Allah berfirman:
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.” (Qs.33:72).
“Dan manusia bersifat
tergesa-gesa.” (Qs. 17:11).
Lindungilah hatimu dari
kecondongan kepada orang dan keinginan-keinginan yang telah kau campakkan, dari
ketaksabaran, dari ketak-selarasan dan dari ketak-ridhaan kepada Allah di kala
ditimpa musibah. Campakkanlah dirimu ke hadapan-Nya dengan sikap seperti bola
di kaki pemain polo yang menggulirkannya dengan stiknya. Bagai jasad mati di hadapan
orang yang memandikannya, dan bagai bayi di pangkuan ibu. Butalah terhadap
segala selain-Nya agar tak kau lihat sesuatupun selain-Nya, tiada kemaujudan,
kemudharatan, manfaat, karunia dan penahanan karunia. Anggaplah orang dan
sarana duniawi di kala menderita dan ditimpa musibah sebagai cambuk-cambuk-Nya
yang dengan keduanya Ia mencambukmu. Dan anggaplah keduanya di kala suka
sebagai tangan-Nya yang menyuapimu.
WACANA KELIMA PULUH SATU
Tuan Syaikh berwejang:
Orang saleh menerima pahala
dua kali lipat, Pertama, karena penolakannya akan dunia, sehingga ia tak
terpesona olehnya, bertentangan dengan kedirian, dan memenuhi perintah Allah,
sehingga ia terpilahkan darinya. Bila ia menjadi musuh diri, maka ia menjadi
pentahkik kebenaran., pilihan Allah, badal dan arif (yang tahu kebenaran). Maka
ia diperintahkan untuk berhubungan dengan dunia, sebab kini dalam dirinya
maujud sesuatu yang tak dapat dibuang dan tak tercipta dalam orang lain.
Setelah hal itu tertulis, pena takdir menjadi kering, dan tentangnya Allah
telah tahu sebelumnya. Bila perintah telah ditulis, maka ia mengambil bagian
duniawinya atau, dengan menerima ma’rifat, ia berhubungan dengan dunia dengan
berlaku sebagai wahana takdir dan tindakan-Nya, tanpa keterlibatannya, tanpa
keinginannya dan tanpa upayanya – ia dipahalai karena hal ini untuk kedua
kalinya, karena ia melakukan semua ini demi mematuhi perintah Allah.
Bila dikatakan – bagaimana
mungkin kau menyatakan tentang pahala orang yang telah berada pada maqam ruhani
yang sangat tinggi dan yang, menurutmu, telah menjadi badal dan arif, telah
diterima oleh Allah, dan telah lepas dari orang, kedirian, kesenangan, kehendak
dan harapan akan pahala atas kebajikannya, orang yang hanya melihat di dalam
semua kepatuhan dan penyembahannya kehendak Allah, kasih-Nya, rahmat-Nya,
pemudahan-Nya dan pertolongan-Nya, dan
orang yang percaya bahwa ia hanyalah hamba hina Allah, tak berhak
menentang-Nya, dan melihat bahwa dirinya, gerak-geriknya dan upaya-upayanya
sebagai milik-Nya. Bisakah dikatakan, tentang orang semacam itu bahwa ia
dipahalai, mengingat ia tak meminta upah atau sesuatu yang lain sebagai balasan
bagi tindakannya, dan tidak melihat sesuatu tindakan sebagai berasal darinya,
tapi memandang dirinya sebagai orang yang hina dan miskin akan kebajikan? Jika
dikatakan demikian, maka jawabnya adalah : “Kamu telah berkata benar, tapi
Allah menganugerahkan rahmat-Nya baginya, membelainya dengan rahmat-Nya dan
membesarkannya dengan kasih, kelembutan dan karunia-Nya; bila ia telah menahan
tangannya dari hal-hal, dari dirinya, dari meminta kenikmatan-kenikmatan yang
disisihkan bagi kehidupan dan dari menepis kemudharatan yang timbul darinya,
maka ia menjadi seperti bayi yang tak berdaya dalam hal-hal dirinya, yang
diasuh dengan kelembutan rahmat-Nya dan rizki dari-Nya lewat tangan kedua orang
tuanya, yang menjadi pembimbing dan penjaminnya.”
Bila telah Dia jauhkan
darinya segala ketertarikan dalam hal-halnya, maka Ia membuat hati orang
condong kepadanya dan melimpahkan kasih dan sayang-Nya di hati orang, sehingga
mereka lembut terhadapnya, condong kepadanya dan memperlakukannya dengan baik.
Dengan begini segala selain Allah menjadi tak berdaya kecuali dengan
kehendak-Nya dan, menimpali rahmat-Nya, menghamba kepada-Nya di dunia ini dan
akhirat untuk menjaganya dari segala musibah. Nabi saw. bersabda:
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang saleh.” (Qs.7:196).
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang saleh.” (Qs.7:196).
WACANA KELIMA PULUH DUA
Tuan Syaikh berwejang:
Allah menguji sekelompok
mukmin yang menjadi khalifah-khalifah-Nya dan yang memiliki ilmu ruhani, agar
mereka berdoa kepada-Nya, dan Dia senang menerima doa-doa mereka. Bila mereka
berdoa, Ia senang menerima doa mereka, agar bisa Ia anugerahi kemurahan haknya,
sebab ia memohon kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung di kala mereka
berdoa untuk menerima doa mereka, dan kadang-kadang tidak segera diterima,
bukan karena ditolak. Maka sang hamba Allah mesti menunjukkan sikap baik di
kala ditimpa musibah, dan menelaah apakah ia telah mengabaikan perintah atau
melanggar ha-hal terlarang, secara nyata atau tersembunyi, atau menyalahkan
ketentuan-Nya, karena lebih sering ia diuji sebagai hukuman atas dosa-dosa
semacam itu. Bila musibah berlalu, dia mesti selalu berdoa, berendah diri,
meminta maaf dan memohon kepada Allah, karena mungkin ujian itu dimaksudkan
untuk membuatnya terus berdoa dan memohon; dan ia tak boleh menyalahkan Allah
karena penundaan pengabulan doa-nya sebagaimana telah kami bicarakan.
WACANA KELIMA PULUH TIGA
Tuan Syaikh berwejang:
Mintalah kepada Allah
keridhaan akan ketentuan-Nya, atau kemampuan meluruh dalam kehendak-Nya. Sebab
di dalam hal ini terletak kesenangan dan keunikan besar di dunia ini, dan juga
gerbang besar Allah dan sarana untuk dicintai-Nya. Barangsiapa dicintai-Nya,
maka Ia tak menyiksanya di dunia ini dan di akhirat. Dalam dua kebajikan ini
terletak hubungan dengan Allah, kebersatuan dengan-Nya dan keintiman
dengan-Nya. Jangan bernafsu berupaya meraih kenikmatan hidup ini, karena hal
ini tak dimaksudkan bagimu. Bila hal itu tak dimaksudkan, maka bodohlah bila
berupaya mendapatkannya, dan hal itu juga sangat dikutuk, sebagaimana
dikatakan:
“Di antara siksa paling besar ialah berupaya meraih yang tak ditentukan oleh-Nya.”
“Di antara siksa paling besar ialah berupaya meraih yang tak ditentukan oleh-Nya.”
Dan bila hal itu
dimaksudkan, hal itu hanyalah kesetiaan yang dibolehkan dan tersendiri dalam
pengabdian, cinta dan kebenaran. Berupaya keras meraih segala selain Allah Yang
Maha Perkasa lagi Mahaagung adalah syirik. Orang yang berupaya mendapatkan
kenikmatan duniwi, tak tulus dalam cinta dan persahabatannya dengan Allah,
siapa pun yang menyekutukan-Nya, maka ia pendusta.
Begitu pula, orang yang mengharapkan balasan bagi tindakannya adalah tak ikhlas. Keikhlasan ialah mengabdi kepada Allah hanya untuk memberi Rabubiyyah, yaitu sifat Allah yang mengatur alam semesta, pembuluhnya. Orang seperti itu mengabdi kepada-Nya karena Ia adalah Tuhannya dan patut diabdi. Dan wajib baginya berbuat kebajikan dan patuh kepada-Nya, mengingat bahwa ia sepenuhnya milik-Nya, begitu pula gerak-geriknya, dan upayanya. Hamba dan segala miliknya milik Tuannya. Bukankah harus begitu? Sebagaimana telah kami nyatakan, semua pengabdian merupakan rahmat Allah dan karunia-Nya atas hamba-Nya, karena Dialah yang memberinya daya bertindak dan daya mengatasinya.
Begitu pula, orang yang mengharapkan balasan bagi tindakannya adalah tak ikhlas. Keikhlasan ialah mengabdi kepada Allah hanya untuk memberi Rabubiyyah, yaitu sifat Allah yang mengatur alam semesta, pembuluhnya. Orang seperti itu mengabdi kepada-Nya karena Ia adalah Tuhannya dan patut diabdi. Dan wajib baginya berbuat kebajikan dan patuh kepada-Nya, mengingat bahwa ia sepenuhnya milik-Nya, begitu pula gerak-geriknya, dan upayanya. Hamba dan segala miliknya milik Tuannya. Bukankah harus begitu? Sebagaimana telah kami nyatakan, semua pengabdian merupakan rahmat Allah dan karunia-Nya atas hamba-Nya, karena Dialah yang memberinya daya bertindak dan daya mengatasinya.
Maka, senantiasa bersyukur
kepada-Nya lebih baik daripada meminta balasan dari-Nya atas kebajikannya.
Kenapa kau berupaya keras meraih kenikmatan duniawi, bila telah kau lihat
sejumlah besar orang, bila kenikmatan duniawi berlimpah tak berkeputusan, mereka
kian keji dan tak bersyukur kepada Tuhan; mereka kian sedih, cemas dan haus
akan hal-hal yang tak dimaksudkan bagi mereka? Bagian duniawi mereka tampak
timpang, kecil dan menjijikan, dan bagian duniawi yang lain tampak indah dan
agung bagi hati dan mata mereka, dan mulailah mereka berupaya meraih meski hal
itu bukan hak mereka. Dengan begini, kehidupan mereka berlalu dan daya mereka
menjadi sirna, dan mereka menjadi tua, kekayaan mereka menjadi habis, tubuh
mereka menjadi renta, kening mereka berkeringat, dan catatan kehidupan mereka
menjadi gelap oleh dosa-dosa mereka, upaya keras mereka dalam meraih hak orang
lain, dan oleh pengabaian mereka terhadap perintah-Nya. Mereka gagal
mendapatkannya, menjadi miskin dan merugi dalam kehidupan ini dan di akhirat, karena
itu, mereka berupaya mendapatkan pertolongan-Nya untuk mengabdi kepada-Nya.
Mereka tak mendapatkan yang mereka upayakan, tapi hanya memubazirkan kehidupan
duniawi dan akhirat mereka; merekalah seburuk-buruk orang, sebodoh-bodoh orang,
sekeji-keji orang dalam nalar dan batin.
Mereka menjadi ridha kepada
takdir-Nya, puas dengan karunia-Nya dan patuh kepada-Nya. Bagian duniawi mereka
datang kepada mereka tanpa diupayakan dan dicemaskan; mereka menjadi dekat
dengan Allah yang Mahamulia, dan menerima dari-Nya segala yang mereka dambakan.
Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang ridha dengan ketentuan-Nya, yang
meluruh dalam kehendak-Nya dan yang mendapatkan kesehatan dan kekuatan ruhani
untuk melakukan yang dikehendaki-Nya.
WACANA KELIMA PULUH EMPAT
Tuan Syaikh berwejang:
Barangsiapa menghendaki
kehidupan akhirat, maka wajib baginya mengabaikan dunia. Barangsiapa
menghendaki Allah, maka wajib baginya mengabaikan kehidupan akhirat. Ia harus
mencampakkan kehidupan duniawinya demi Tuhannya. Selama keinginan, kesenangan
dan upaya duniawi dan di dalam hatinya seperti makan, minum, berbusana,
menikah, tempat tinggal, kendaraan, jabatan, ketinggian dalam pengetahuan
tentang lima pilar ibadah dan hadits dan penghafalan Al-Qur’an dengan segala
bacaan, bahasa dan retorikanya, begitu pula keinginan akan lenyapnya
kemiskinan, maujudnya kekayaan, berlalunya musibah, datangnya kesenangan,
hilangnya kesulitan dan datangnya kemudahan – jika keinginan semacam itu masih
bersemayam di dalam benak orang, maka ia tentu bukan seorang saleh. Karena
dalam segala hal ini ada kenikmatan bagi diri manusia dan keselarasan dengan
kehendak jasmani, kesenangan jiwa dan kecintaannya. Hal-hal ini merupakan
kehidupan duniawi, yang di dalamnya orang senang kebaikan, dan dengannya orang
mencoba mendapatkan kepuasan dan ketenteraman jiwa.
Orang harus berupaya
meniadakan hal-hal ini dari hatinya, dan mempersiapkan diri untuk meniadakan
semua ini dan mensirnakannya dari jiwa, dan berupaya bersenang dalam peluruhan
dan kemiskinan, sehingga tiada lagi di dalam hatinya kesenangan mengisap biji
korma, sehingga pemantangannya dari kehidupan duniawi menjadi suci.
Bila ia telah menyempurnakannya, segala duka cita hatiya dan kecemasan benaknya akan sirna, dan datanglah kepadanya kesenangan, kehidupan yang baik dan keintiman dengan Allah, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw.:
“Mengabaikan dunia menimbulkan kebahagiaan hati dan jasmani.”
Tapi selama masih ada di dalam hatinya kesenangan kepada dunia ini, maka dukacita dan ketakutan tetap bersemayam di dalam hatinya, dan kehinaan mengiringinya, begitu pula keterhijaban dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung, oleh tabir tebal yang berlipat-lipat. Semua ini tak beranjak, kecuali melalui sirnanya kecintaan akan dunia ini dan pemutusan darinya.
Ia harus mengabaikan
kehidupan akhirat, agar tak menghendaki kedudukan dan derajat tinggi,
pembantu-pembantu cantik, rumah-rumah, kendaraan, busana, hiasan, makanan,
minuman, dan hal-hal lain sejenisnya, yang disediakan oleh Allah Yang Mahabesar
bagi hamba-hamba beriman-Nya.
Maka janganlah mencoba
mendapatkan balasan, atas sesuatu tindakan, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi
Mahaagung di dunia ini atau di akhirat. Dengan demikian Allah akan memberi
balasan sebagai rahmat dan kemurahan-Nya. Maka Ia akan mendekatkan kepada-Nya
dan melimpahkan kelembutan-Nya, dan Ia mempekenalkan diri-Nya dengan berbagai
karunia dan kebajikan, sebagaimana Ia berlaku terhadap para Nabi dan
utusan-Nya, terhadap kekasih-kekasih-Nya. Maka setiap hari, dalam hidupnya,
urusannya kian sempurna, dan dibawalah ia ke akhirat untuk mengecap yang tak
terlihat oleh mata, yang tak terdengar oleh telinga, dan yang tak terpikirkan
oleh manusia, yang sungguh tak dapat dipahami dan tak dapat dijelaskan.
WACANA KELIMA PULUH LIMA
Tuan Syaikh berwejang:
Kesenangan hidup dicampakkan
tiga kali. Pada awalnya sang hamba Allah berada dalam kegelapan, kejahilan dan
kekacauan, bertindak berdasarkan dorongan-dorongan alaminya, dalam segala
keadaan, tanpa sikap pengabdian terhadap Tuhannya dan tanpa memperhatikan hukum
agama. Dalam keadaan begini, Allah memandangnya penuh kasih, maka
dianugerahkan-Nya kepadanya pengingat dari sesamanya, seorang hamba saleh-Nya.
Dan kawan pengingat ini juga terdapat dalam dirinya sendiri. Kedua pengingat
ini jaya atas dirinya, dan peringatan menimbulkan pengaruh pada jiwanya. Maka
noda yang ada padanya, seperti memperturutkan kehendak dirinya dan
penentangannya terhadap kebenaran, sirna. Maka condonglah ia kepada hukum Allah
dalam segala gerak-geriknya.
Menjadilah sang hamba Allah itu seorang Muslim di hadapan hukum-Nya, lepas dari alaminya, membuang hal-hal haram duniawi, begitu pula hal-hal yang meragukan dan pertolongan orang. Maka ia melakukan hal-hal yang halal dalam makan, minum, berpakaian, menikah, bertempat tinggal dan lain-lain; dan semua ini sangat muhim bagi kesehatan jasmani dan bagi mendapatkan kekuatan untuk mengabdi kepada-Nya, agar ia bisa memperoleh bagian dan orang tak bisa melampauinya – takkan luput dari kehidupan duniawi ini sebelum meraih dan menyempurnakannya.
Maka ia berjalan di atas
jalur kebenaran dalam segala keadaan hidupnya, sehingga hal ini membawanya ke
maqam tertinggi wilayat dan menjadikannya pembuktian kebenaran dan orang
pilihan, yang memiliki pernyataan yang kukuh, yang haus akan hakikat, yaitu
Allah. Maka ia makan dengan perintah-Nya, dan (sang salik) mendengar suara
Allah di dalam dirinya berkata: “Campakkanlah dirimu dan campakkanlah
kesenangan dan ciptaan, jika kau mengehendaki sang Pencipta. Lepaskanlah sepatu
dunia dan akhiratmu. Nafilah dari segala kemaujudan, hal-hal yang akan maujud
dan segala dambaan. Lepaskanlah dari segala sesuatu. Berbahagialah dengan
Allah, campakkanlah kesyirikan dan ikhlaslah dalam kehendak. Mendekatlah
kepada-Nya dengan hormat, dan jangan memandang kehidupan akhirat, kehidupan duniawi,
orang-orang dan kesenangan.”
Bila ia meraih maqam ini,
maka ia menerima busana kemuliaan dari Allah, tersinari kemuliaan dan aneka
karunia. Dikatakan kepadanya, busanailah dirimu dengan rahmat dan karunia,
jangan berburuk laku menolak dan menampik keinginan-keinginan, karena penolakan
terhadap karunia raja sama dengan menekannya dan meremehkan kekuasaannya. Maka
ia terselimuti karunia dan anugerah-Nya tanpa berupaya. Sebelumnya ia terkuasai
oleh keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan dirinya. Maka dikatakan
kepadanya: “Selimutilah dirimu dengan rahmat dan karunia Allah.”
Maka baginya empat keadaan,
dalam meraih kenikmatan dan karunia. Yang pertama ialah dorongan alami, ini tak
halal. Yang kedua ialah hukum, ini diperbolehkan dan absah. Yang ketiga adalah
perintah batin, ini adalah keadaan para Wali dan pencampakan keinginan. Yang
keempat ialah karunia Allah, ini adalah keadaan lenyapnya tujuan dan
tercapainya badaliyya dan keadaan menjadi obyek-Nya, yang berdiri di atas
ketentuan-Nya, ini adalah keadaan tahu dan keadaan memiliki kesalehan, dan tak
seorang pun bisa disebut saleh, jika ia belum meraih maqam ini.
Hal ini sesuai dengan firman
Allah:
“Sesungghuhnya Waliku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab dan Ia adalah Wali orang-orang saleh (bajik).” (Qs.12:196).
Menjadilah ia seorang hamba yang tertahan dari menggunakan sesuatu, memanfaatkan diri dan dari menolak sesuatu yang mudharat baginya. Ia menjadi seperti bayi di tangan perawat dan seperti jasad mati yang sedang dimandikan orang. Maka Allah membesarkannya tanpa kehendaknya dan tanpa upayanya, ia lepas dari segala hal ini, tak berkeadaan atau bermaqam, tak berkehendak melainkan berada di atas ketentuan-Nya, yang kadang menahan, kadang memudahkannya, kadang membuatnya kaya dan kadang membuatnya miskin. Ia tak punya pilihan, dan tak menghendaki berlalunya keadaan dan perubahannya. Sebaliknya, ia menunjukkan keridhaan abadi. Inilah keadaan ruhani terakhir yang dicapai oleh para badal dan wali.
“Sesungghuhnya Waliku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab dan Ia adalah Wali orang-orang saleh (bajik).” (Qs.12:196).
Menjadilah ia seorang hamba yang tertahan dari menggunakan sesuatu, memanfaatkan diri dan dari menolak sesuatu yang mudharat baginya. Ia menjadi seperti bayi di tangan perawat dan seperti jasad mati yang sedang dimandikan orang. Maka Allah membesarkannya tanpa kehendaknya dan tanpa upayanya, ia lepas dari segala hal ini, tak berkeadaan atau bermaqam, tak berkehendak melainkan berada di atas ketentuan-Nya, yang kadang menahan, kadang memudahkannya, kadang membuatnya kaya dan kadang membuatnya miskin. Ia tak punya pilihan, dan tak menghendaki berlalunya keadaan dan perubahannya. Sebaliknya, ia menunjukkan keridhaan abadi. Inilah keadaan ruhani terakhir yang dicapai oleh para badal dan wali.
WACANA KELIMA PULUH ENAM
Tuan Syaikh berwejang:
Bila hamba Allah telah lepas
dari ciptaan, keinginan, diri, tujuan dan kehendak akan dunia dan akhirat, maka
ia tak menghendaki sesuatu pun selain Allah yang Mahaperkasa lagi Mahaagung,
dan segala sesuatu sirna dari hatinya. Maka ia menjadi pilihan-Nya, dicintai
oleh ciptaan, dekat kepada-Nya dan menerima karunia-Nya melalui rahmat-Nya.
Dibukakan-Nya baginya pintu-pintu kasih dan janji-Nya, dan Ia tak pernah
menutup pintu-pintu itu terhadapnya. Maka sang hamba memilih Allah Yang
Mahakuasa lagi Mahaagung, berkehendak melalui kehendak-Nya, ridha dengan
keridhaan-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan tak melihat suatu kemaujudan pun
selain kemaujudan-Nya yang Mahakuasa lagi Mahaagung. Maka Allah menjanjikan
kepadanya dan tak memenuhi hamba-Nya, dan yang didambakan sang hamba dalam hal
ini tak datang kepadanya, karena keterpisahan lenyap dengan lenyapnya kehendak,
tujuan dan pengupayaan kenikmatan. Maka keseluruhan dirinya menjadi kehendak
Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaagung. Maka tiada janji ataupun pengingkaran janji dalam hal ini, karena hal
ini ada pada orang yang berkeinginan. Pada maqam ini, janji Allah Yang
Mahakuasa lagi Mahaagung terhadap orang semacam itu, dapat digambarkan dengan
contoh seorang yang berkehendak di dalam dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu,
lalu berubah kehendak terhadap sesuatu yang lain. Begitu pula, Allah Yang
Mahakuasa lagi Mahaagung telah menurunkan kepada Nabi Muhammad saw. wahyu-wahyu
yang membatalkan dan yang terbatalkan, sebagaimana firman-Nya:
“Wahyu yang Kami hapuskan atau jadikan terlupakan, Kami gantikan dengan yang lebih baik. Tidakkah kau tahu bahwa Allah kuasa atas segalanya?” (Qs.2:106).
“Wahyu yang Kami hapuskan atau jadikan terlupakan, Kami gantikan dengan yang lebih baik. Tidakkah kau tahu bahwa Allah kuasa atas segalanya?” (Qs.2:106).
Ketika Nabi saw. lepas dari
keinginan dan kehendak, kecuali pada saat-saat tertentu, sebagaimana telah
disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an Suci, sehubungan dengan tawanan perang
Badar, sebagai berikut: “Kamu menginginkan barang-barang lemah dunia ini,
sedang Allah menghendaki bagimu akhirat; dan Ia Mahakuasa lagi Mahabijaksana.
Andaikan bukan karena hukum Allah yang telah berlaku, sesungguhnya akan
menimpamu siksaan yang besar atas yang kau lakukan.” (Qs.8 : 67-68).
Nabi saw. adalah kekasih Allah, yang Ia senantiasa menempatkannya pada ketentuan-Nya dan memberikan kendali-Nya kepadanya, maka Ia menggerakkannya di tengah-tengah ketentuan-Nya dan senantiasa memperingatkannya dengan firman-firmannya: “Tidaklah kau tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segalanya?” (Qs. 2:106).
Dengan kata lain, kamu berada di samudra ketentuan-Nya, yang gelombangnya mengombang-ambingkan kamu, kadang kesini, kadang ke sana. Dengan demikian setelah wali ialah Nabi. Tiada maqam setelah wali dan badal selain maqam Nabi.
Nabi saw. adalah kekasih Allah, yang Ia senantiasa menempatkannya pada ketentuan-Nya dan memberikan kendali-Nya kepadanya, maka Ia menggerakkannya di tengah-tengah ketentuan-Nya dan senantiasa memperingatkannya dengan firman-firmannya: “Tidaklah kau tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segalanya?” (Qs. 2:106).
Dengan kata lain, kamu berada di samudra ketentuan-Nya, yang gelombangnya mengombang-ambingkan kamu, kadang kesini, kadang ke sana. Dengan demikian setelah wali ialah Nabi. Tiada maqam setelah wali dan badal selain maqam Nabi.
WACANA KELIMA PULUH TUJUH
Tuan Syaikh berwejang:
Segala pengalaman spiritual
merupakan pengekangan, sebab sang wali diperintahkan untuk menjaga hal-hal itu.
Segala yang diperintahkan untuk dijaga menimbulkan pengekangan. Berada dalam
ketentuan Allah merupakan kemudahan, sebab yang diperintahkan hanyalah
memaujudkan diri dalam ketentuan-Nya. Sang Wali tak boleh bersitegang dalam
masalah ketentuan-Nya. Ia harus selaras dan tak boleh bertentangan dengan
segala yang terjadi pada dirinya, entah manis atau pahit. Pengalaman itu
terbatas, maka dari itu diperintahkan untuk menjaga pengalaman itu. Di lain
pihak, kehendak Allah, yang merupakan ketentuan, tak terbatas.
Isyarat bahwa hamba Allah
telah mencapai kehendak-Nya dan kemudahan ialah diperintahkan-Nya ia untuk
meminta kenikmatan-kenikmatan setelah diperintahkan untuk mencampakkannya dan
menjauh darinya, sebab bila ruhaninya hampa akan kenikmatan, dan yang tinggal
dalam dirinya hanyalah Tuhan, maka ia dimudahkan dan diperintahkan untuk meminta,
mendambakan dan menginginkan hal-hal yang menjadi haknya dan yang bisa ia
peroleh melalui permintaannya akan hal-hal itu, sehingga harga dirinya di mata
Allah, kedudukannya dan karunia Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung, dengan
diterimanya doanya, menjadi kenyataan. Menggunakan lidah untuk meminta
kenikmatan sangat menunjukkan hal setelah pengekangan dan keluar dari segala
pengalaman, kedudukan dan dari upaya keras menjaga batas.
Bila ditolak bahwa lenyapnya kesulitan dalam menjaga hukum ini menyebabkan ateisme dan keluar dari Islam sebagaimana firman-Nya:
“Abdilah Tuhanmu sampai kematian datang kepadamu.” (Qs.15:99).
Bila ditolak bahwa lenyapnya kesulitan dalam menjaga hukum ini menyebabkan ateisme dan keluar dari Islam sebagaimana firman-Nya:
“Abdilah Tuhanmu sampai kematian datang kepadamu.” (Qs.15:99).
Jawabku ialah bahwa hal ini
tak berarti begitu dan takkan begitu, tetapi bahwa Allah amat pemurah dan
Wali-Nya amat dicintai-Nya, sehingga Dia tak dapat mengizinkan untuk menduduki
suatu kedudukan hina di mata hukum dan agama-Nya. Sebaliknya, Dia
menyelamatkannya dari semua itu, menjauhkannya dari semua itu, melindunginya
dan menjaganya di dalam batas-batas hukum. Maka ia terlindungi dari dosa dan
senantiasa berada di dalam batas-batas hukum tanpa upaya dan perjuangan dari
dirinya, sedang ia tak sadar akan keadaan ini dikarenakan oleh kedekatannya
kepada Tuhannya. Allah berfirman:
“Demikianlah, agar Kami
palingkan darinya kemungkaran dan kekejian, sesungguhnya ia adalah salah satu
dari hamba-hamba terpilih kami.” (Qs. 12:24).
“Sesungguhnya terhadap
hamba-hamba-Ku kau tak berkuasa.” (Qs.15:42).
“Kecuali hamba-hamba Allah
yang dibersihkan.” (Qs.37:40).
Duhai orang yang malang!
Orang semacam itu dijauhkan oleh Allah dan ia adalah curahan-Nya. Dia
memeliharanya dalam pangkuan kedekatan dan kasih sayang-Nya. Bagaimana bisa si
iblis mendekatinya. Bagaimana bisa kekejian mendekatinya. Semoga kekejian
terhancurkan oleh daya dan kelembutan sempurnanya! Semoga Dia melindungi kita
dengan perlindungan dan kasih sayang sempurna sehingga kita senantiasa mampu
menjauhkan diri dari dosa-dosa. Semoga Dia memelihara kita dengan rahmat-rahmat
dan karunia-karunia sempurna-Nya melalui tindak kasih sayang-Nya!.
WACANA KELIMA PULUH DELAPAN
Tuan Syaikh berwejang:
Butalah terhadap segala hal.
Tutuplah matamu terhadap sesuatu pun dari hal-hal itu. Bila kau lihat sesuatu
pun dari hal-hal itu, maka karunia dan kedekatan Allah SWT akan tertutup
bagimu. Oleh karena itu, tutuplah segala hal dengan kesadaranmu akan keesaan
Allah dan dengan peniadaan diri. Maka akan tampak oleh mata hatimu hal Allah
SWT, dan kau akan melihatnya dengan kedua mata hatimu ketika hal itu tersinari
oleh nur hatimu, nur imanmu dan nur keyakinan teguhmu. Pada saat itu cahaya
ruhanimu akan mewujud pada lahiriahmu bak cahaya sebuah lampu di malam pekat
yang mencuat melalui lubang-lubangnya sehingga sisi luar rumah menjadi
tercerahkan oleh cahaya dari dalam. Maka diri dan anasir tubuh akan merasa ridha
dengan janji Allah dan karunia-Nya.
Maka dari itu, kasihanilah
diri kita. Jangan berbuat aniaya terhadapnya. Jangan campakkan ia di kegelapan
ketakacuhan dan kebodohanmu, agar ia tak melihat ciptaan, daya, perolehan,
sarana dan tak bertumpu pada hal-hal itu. Sebab jika kau lakukan hal itu, maka
segala hal akan tertutup bagimu dan karunia Allah akan tertutup pula bagimu
lantaran kesyirikanmu. Nah, bila telah kau sadari keesaan-Nya, telah kau lihat
karunia-Nya, kau hanya berharap kepada-Nya dan telah kau butakan dirimu
terhadap segalanya selain-Nya, maka Dia akan membuatmu dekat dengan Diri-Nya,
akan mengasihimu, akan menjagamu, akan memberimu makanan, minuman dan
perawatan, akan membuatmu bahagia, akan menganugerahimu karunia-karunia, akan
menolongmu, akan menjadikan kau penguasa, akan menafikanmu dari ciptaan serta
dari dirimu sendiri, dan akan membuatmu tiada, sehingga kau takkan melihat baik
kemiskinanmu maupun kekayaanmu.
WACANA KELIMA PULUH SEMBILAN
Tuan Syaikh berwejang:
Jika kau ditimpa musibah,
berupayalah bersabar – ini merupakan hal yang rendah – dan bersabarlah, ini
merupakan hal yang lebih tinggi dari yang lain. Mintalah agar kau bisa ridha
dengan takdir-Nya, bersesuaianlah dengan kehendak-Nya, dan akhirnya luruhkan di
dalam kehendak-Nya; inilah keadaan para badal dan ruhaniawan, orang yang tahu
perihal Allah yang Mahakuasa lagi Mahaagung. Bilakau terahmati, bersyukurlah,
baik melalui lidah, hati maupun anasir tubuh.
Bersyukurnya lidah berupa
pengakuan bahwa rahmat berasal dari Allah dan penghindaran dari menisbahkannya
kepada orang, kepada diri sendiri, kepada upaya sendiri, kepada sesuatu atau
orang lain, yang melalui tangan-tangan mereka rahmat sampai. Sebab kau sendiri
dan mereka hanyalah sarana-sarana sampainya rahmat. Pemberi dan pencipta sejati
rahmat yaitu Allah, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung. Maka Dia lebih patut
disyukuri daripada yang lain. Misal, orang tak memandang budak yang membawa
sebuah hadiah, sebagai pengirim hadiah itu, tetapi orang memandang pengirimnya
adalah tuannya. Allah berfirman tentang orang yang tak bersikap selayaknya: “Mereka mengetahui lahiriah
kehidupan duniawi, sedang mengenal akhirat, mereka sungguh lalai.” (Qs.30:7).
Barangsiapa memandang
lahiriah dan penyebab, sedang pengetahuannya tak melebihi ini, adalah jahil dan
rusak pikiran. Istilah pikiran digunakan untuk orang yang memahami akhir
sesuatu. Bersyukurnya hati terletak pada keyakinan kukuh bahwa segala rahmat,
kesenangan dan milikan yang kau punyai, berasal dari Allah Yang Mahakuasa lagi
Mahaagung, bukan dari selain-Nya. Dan rasa syukurmu melalui lidah menyatakan
isi hatimu, sebagaimana firman-Nya:
“Dan apapun nikmat yang ada padamu, berasal dari Allah.” (Qs.16:53).
“Dan (Ia) telah menyempurnakan nikmat-Nya padamu lahir dan batin.” (Qs.31:20).
“Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, kamu takkan mampu menghinggakannya.” (Qs.14:34).
“Dan apapun nikmat yang ada padamu, berasal dari Allah.” (Qs.16:53).
“Dan (Ia) telah menyempurnakan nikmat-Nya padamu lahir dan batin.” (Qs.31:20).
“Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, kamu takkan mampu menghinggakannya.” (Qs.14:34).
Nah, dengan semua pernyataan
ini, maka tiada pemberi karunia selain Allah. Dan bersyukurnya anasir tubuh
terletak pada penggunaan anasir tubuh untuk mematuhi perintah-perintah-Nya,
guna menjauh dari ciptaan-Nya. Maka janganlah menimpali makhluk, sebab di situ
terdapat penentangan terhadap Allah, ciptaan termasuk dirimu sendiri,
keinginanmu, maksudmu, kehendakmu, dan segalanya. Patuhlah kepada Allah
sepatuh-patuhnya. Jika kau bertindak lain, berarti kau menyimpang dari jalan
lurus, menjadi aniaya, berperilaku tanpa perintah Allah yang diturunkan bagi
hamba-hamba beriman-Nya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan para saleh. Allah Yang Mahakuasa lagi
Mahaagung berfirman:
“Barangsiapa tak menentukan dengan yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.” (Qs.5:45).
“Barangsiapa tak menentukan dengan yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.” (Qs.5:45).
“Mereka adalah orang-orang
yang fasik.” (Qs.5.47).
Dengan begitu, kau menuju
neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu. Bila kau tak tahan demam, untuk
satu jam, di dunia ini, maka bagaimana kau bisa tahan, untuk selamanya, neraka
bersama penghuni-penghuninya? Menjauhlah, menjauhlah; segeralah, segeralah,
berlindunglah kepada Allah, berlindunglah kepada Allah.
Jagalah keadaan-keadaan di atas
dengan segala kondisinya, sebab kau tak bisa lepas dari keduanya sepanjang
hayat – baik keadaan ditimpa musibah maupun keadaan bahagia. Bersabarlah dan
bersyukurlah dalam kedua keadaan itu, sesuai dengan yang telah kuterangkan
kepadamu. Nah, jangan mengeluh, bila ditimpa musibah, kepada sesamamu, jangan
menunjukkan kegundahanmu kepada siapapun, jangan salahkan Tuhanmu di dalam
benakmu, dan jangan ragukan kebijaksanaan dan pilihan-Nya akan yang terbaik
bagimu di dalam kehidupanmu di dunia dan di akhirat. Dan jangan lari kepada
orang guna mendapatkan jalan keluar, sebab, dengan begitu, kau berarti
menyekutukan-Nya.
Tak satu pun berhak atas
milikan-Nya, tak satu pun mampu memberikan mudharat, manfaat, atau menjauhkan
kesulitan, menyebabkan sakit dan bencana, menyembuhkan dan memberi sesuatu
kebaikan, kecuali Dia. Jangan terjerat oleh ciptaan, baik secara lahiriah
maupun batiniah, sebab mereka takkan menguntungkanmu. Bersabar dan ridhalah
selalu kepada Allah, dan luruhlah ke dalam kehendak-Nya.
Jika rahmat tercabut darimu,
maka wajib bagimu minta tolong kepada-Nya, menunjukkan kerendahdirian, mengakui
dosa-dosamu, mengeluh kepada-Nya akan kejahatan dirimu dan akan menjauhkanmu
dari kebenaran, mengesakan-Nya, mengakui rahmat-rahmat-Nya dan menyatakan
keselarasanmu, sampai berakhirnya musibah dan berganti dengan karunia-Nya,
Kemudahan dan kebahagiaan, sebagaimana hal itu terjadi pada diri Nabi Ayub; bak
berlalunya gelapnya malam dan datangnya cerahnya siang, dan berlalunya
dinginnya musim dingin, diganti sepoi musim semi dengan aroma harumnya. Sebab
bagi segalanya ada pertentangan dan akhir. Maka, kesabaran adalah kuncinya,
awalnya, akhirnya dan jaminan kebahagiaannya. Inilah yang terungkap dalan
Sunnah Nabi saw.: “Kesabaran adalah keseluruhan Iman.”
Ambillah pelajaran dari yang telah kusebutkan kepadamu, jika Allah Yang Mahamulia menghendaki, maka kau akan terbimbing.
Ambillah pelajaran dari yang telah kusebutkan kepadamu, jika Allah Yang Mahamulia menghendaki, maka kau akan terbimbing.
WACANA KEENAM PULUH
Tuan Syaikh berwejang:
Awal kehidupan ruhani berupa
keterlepasan dari kedirian, keberadaan dalam arena hukum, dan kembali kepada
kedirian setelah mampu menjaga hukum. Lepaslah dari kedirian, semisal makan,
minum, berbusana, menikah, tempat tinggal, dan kecenderungan-kecenderungan dan
masuklah ke dalam hukum. Ikutilah Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, sebagaimana
Allah berfirman:
“Ambillah yang dibawa Nabi kepadamu, dan hindarilah yang dilarangnya.” “
Katakanlah jika kau mencintai Allah, ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu.” (Qs. 3:31).
“Ambillah yang dibawa Nabi kepadamu, dan hindarilah yang dilarangnya.” “
Katakanlah jika kau mencintai Allah, ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu.” (Qs. 3:31).
Bila telah terlepas dari
kedirian dan ketakpatuhan, baik lahiriah maupun batiniah, maka yang ada padamu
hanyalah keesaan Allah, dan yang ada pada lahiriahmu hanyalah kepatuhan dan
pengabdian kepada Allah. Hal ini kemudian menjadi sikap, busana, gerak dan
diammu, di kala malam, siang, dalam perjalanan, di rumah, dalam kesulitan,
dalam kemudahan, dan dalam segala keadaan.
Maka dibawalah kau ke lembah-Nya, dan dikendalikan oleh-Nya.
Maka dibawalah kau ke lembah-Nya, dan dikendalikan oleh-Nya.
Berlepaslah dari segala
upaya, perjuangan dan dayamu, maka dibawa kepadamu yang pena tak kuasa
menuliskannya, dan kamu menjadi begini, terlindungi dan terselamatkan di tengah-tengahnya.
Hukum terlestarikan padanya, kesesuaian dengan kehendak-Nya diperoleh di
dalamnya, dan hukum takkan dilanggar. Allah berfirman:
“Sesungguhnya, telah Kami
turunkan pengingat, dan sesungguhnya Kami yang menjaganya.” (Qs.15:90).
“Demikianlah, agar Kami
palingkan darinya kemungkaran dan kekejian, sesungguhnya dia termasuk
hamba-hamba pilihan kami.” (Qs.12:24).
Maka perlindungan Allah menyertaimu, hingga kau menghadap-Nya dengan kasih-Nya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.