Puas
merusak alam permukaan bumi dan angkasa, keduanya menggelopoh tercakung
dipuncak gunung. Segera melepaskan kesaktian triwikramanya tubuh keduanya
kembali mengecil keukuran manusia normal. Melihat kerusakan dahsyat dari hasil
perbuatan keduanya, ada rasa sesal di lubuk hati keduanya, walau bagaimanapun
mereka adalah dewa-dewa yang melindungi kehidupan makhluk-makhluk tribuana.
Maka dengan kesaktian keduanya pula meredakan kekacauan alam permukaan bumi.
Baru kemudian terbang kembali ke Kahyangan
Suralaya.
Sementara di Jonggring Salaka, Sang Hyang Tunggal yang sudah mengetahui peristiwa yang telah dialami kedua putranya hanya merenung. Ia pun menyesali atas kesalahannya dahulu, saat menyempurnakan wujud telur yang menjadi asal muasal mereka. Seharusnya mereka tidak disempurnakan secara bersamaan, sehingga bisa dibedakan mana yang lebih awal tercipta dan untuk dituakan. Namun yang lebih disesalkan lagi adalah mereka sudah tidak mau mendengarkan nasehatnya sebagai orang tua, apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur, dan mereka telah memilih jalannya masing-masing.
Alam
kembali menjadi tenang, burung-burung berkicau dikegelapan pagi, dan angin
berhembus semilir meniupkan nafasnya yang gemulai. Diantara basahnya embun pagi
di atas dedaunan, dua sosok mahluk berjalan gontai sambil menangis menyesali
semua yang sudah terjadi.
Mereka
berdua sadar bahwa mereka telah terkena kutukan orang tua mereka, Sang Hyang
Tunggal. Lalu mereka berdua menangis sejadi-jadinya sambil berangkulan seperti
anak kecil. Mereka memutuskan menghadap Sang Hyang Tunggal, untuk memohon
ampunannya.
Di
Jonggring Salaka, di hadapan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Ismaya
dan Sang Hyang Antaga masih terus menangis memohon ampunan, mereka
memohon ayahandanya untuk merubah kembali wujud mereka seperti semula.
Namun Sang Hyang Tunggal tidak dapat mengabulkan permohonan mereka. Menurutnya
ini sudah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa.
Sang
Hyang Tunggal bersemedi, karena merasa akan mendapat kabar Sang Hyang Esa.
Dalam semedinya berujar, saat itu kehidupan di bumi harus selalu berpasangan,
ada istilah Im-Yang, baik-buruk, panas-dingin, atas-bawah, jahat-baik,
keras-lunak, siang-malam dan seterusnya. Sang Hyang Esa melalui raga Sang Hyang
Tunggal, menurunkan perintah kepada Sang Hyang Ismaya untuk turun kedunia,
mengawal dan mengawasi sisi baik, Im, atas, malam, dan mengasuh para raja,
brahmana dan ksatria keturunan dewa hingga jagad pewayangan berakhir. Hidup
Sang Hyang Ismaya di dunia atau marcapada akan abadi, menjadi saksi kehidupan makhluk
hingga akhir jaman. Oleh sebab itu Hyang Ismaya harus menyamar dan merubah nama
menjadi SEMAR (Semar Badranaya).
Untuk
Sang Hyang Antaga, juga diperintahkan turun kedunia, mengawal dan mengawasi
sisi berlawanan dari Sang Hyang Ismaya. Mengawal dan mengasuh musuh-musuh
keturunan dewa, yaitu para-raksasa, siluman, denawa, buto-ijo, juga akan
menjadi saksi kehidupan makhluk hingga akhir jaman. Oleh sebab itu Hyang Antaga
harus menyamar dan merubah nama menjadi TOGOG (Togog Wijomantri). Juga keduanya
kelak harus mengabdi dan melindungi manusia pilihan Hyang Esa yang terakhir
terlahir ditanah
Arab.
Oleh
karena mendapat tugas langsung dari Hyang Esa, kekuatan dan kesaktian yang
diberikan kepada Semar dan Togog tidak terlawan oleh siapapun dan oleh
pusaka apapun didunia, keduanya kebal terhadap semua jenis senjata pusaka
terhebat, ilmu-ilmu gaib, kesaktian-kesaktian dunia, termasuk kesaktian
dan pusaka-pusaka ayah mereka sendiri Sang Hyang Tunggal. Bahkan kesaktian
keduanya melebihi kesaktian kakek mereka Sang Hyang Wenang. Suatu kekuatan
Akherat yang tidak dikenal di dunia. Ruangan Jonggring-Salaka kemudian
menjadi sangat hening mencekam, ketika sabda Hyang Esa melalui raga Hyang Tunggal
menghilang, diiringi kabut wewangian seribu bunga-bunga sorga dan asap dupa
sejuta-setanggi. Seluruh leluhur dewapun hadir menyaksikan ba'iat terhadap Hyang
Ismaya dan Hyang Antaga. Menyaksikan kesaktian kedua-saudaranya, Sang Hyang
Manikmaya gemetar dan gentar karena membayangkan seberapa hebat dan tinggi
kekuatan Akherat itu. Terlebih lagi keduanya diangkat langsung oleh Hyang Esa
sebagai DEWA PENGASUH dan PENGAYOM ALAM SEMESTA.
Selanjutnya
Sang Hyang Tunggal bersabda kepada para putranya bahwa dirinya akan segera
mokswa ke alam sunyaruri, namun sebelumnya ia akan menunjuk salah satu dari
putranya untuk menggantikannya menjadi Raja Tribuana di Kahyangan Suralaya.
Lalu Sang Hyang Tunggal menunjuk dan menobatkan Sang Hyang Manikmaya menjadi
Raja Tribuana. Sebagai Raja Tribuana, Sang Hyang Manikmaya diberi tugas untuk
menentramkan marcapada. Diiringi para leluhur-dewa dan ayahnya-Sang Hyang
Wenang, Sang Hyang Tunggal mokswa ke alam sunyaruri.
Sebenarnya
yang paling berat adalah tugas Sang Hyang Antaga, sebab ia disuruh memberi
pelajaran budi pekerti, menasehati serta meluruskan para raja raksasa yang
kebanyakan sifat dan perwatakannya penuh dengan angkara murka.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Menurut versi pewayangan
sunda atau wayang golek, urutan persaudaraan sudah ditentukan. Sang Hyang Tunggal
beristrikan dua dewi. Dewi tertua bernama Dewi Darmani dan Dewi kedua bernama
Dewi Rekawati.
Dari Dewi Darmani, Sang
Hyang berputra empat orang, yang sulung bernama Sang Hyang Ludra, Sang Hyang
Dewanjali, Sang Hyang Darmastuti, putra bungsu Dewa Esa atau Sang Hyang
Rancasan.
Sedangkan dari Dewi
Rekawati, berputra tiga orang. Yang sulung bernama Sang Hyang Ismaya, kedua
Sang Hyang Antaga dan yang bungsu Sang Hyang Manikmaya.
Pada versi ini, Sang Hyang
Ismaya digambarkan sebagai orang yang sangat alim. Lebih banyak berdiam dan
bermeditasi dikahyangannya, menjauhi keduniawian dan kadewataan. Lebih banyak
berolah-rasa menyatu dengan penciptanya - Sang Hyang Esa. Sehingga memperoleh
keunggulan dewa mumpuni linuwih, cipta-rasa dan ilmu-ilmu kadewataan tingkat sangat tinggi. Sang Hyang Antaga tinggal dan menemani kakaknya berolah-rasa
kadewataan, namun tidak sedalam kakaknya Hyang Ismaya. Semua kegiatan
kedewataan diambil dan dikelola oleh Sang Hyang Manikmaya.
Adalah anak Sanghyang
Tunggal lainnya, bernama Dewa Esa lebih dikenal sebagai Sang Hyang Rancasan,
dari versi ini menjadi penyebab kegemparan Kahyangan. Sebagai anak dari
penguasa Kahyangan sudah jelas mempunyai ilmu dan kesaktian sangat tinggi.
Hampir seluruh kesaktian yang dimiliki oleh ayahnya dikuasainya, hanya saja
yang menjadi ganjalan selama ini adalah sikap dari ayah bundanya yang kelihatan
lebih memperhatikan dan menyayangi adik bungsunya Sang Hyang Manikmaya.
Terlebih lagi sikap Sang Hyang Manikmaya yang terkadang tidak terlalu
memperdulikannya sebagai kakaknya.
Lama-kelamaan perasaan iri
yang tersimpan dalam hatinya semakin membesar dan menyelimuti akal sehatnya.
Sebagai anak lebih tua sudah sewajarnya jika Sang Hyang Rancasan memendam
hasrat untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya di Kahyangan. Hanya saja melihat
sikap adik bungsunya yang terlihat ingin menjadi raja di Kahyangan dan curahan
kasih sayang yang dirasakan olehnya kurang adil. Maka rasa resah dan gundah
selalu saja menyelimuti hatinya.
Suatu hari Sang Hyang
Rancasan merenung dan akhirnya berpikir jika seandainya tahta tersebut tidak
didapatkannya, maka dia tidak akan mempunyai kedudukan yang dirasakan sudah
menjadi haknya. Oleh karena itu menurutnya dia harus mempunyai tempat yang sama
dengan Kahyangan yang didiaminya saat ini. Selanjutnya tanpa pamit kepada kedua
orang tuanya apalagi kepada adik-adiknya, dia pergi meninggalkan Kahyangan,
mengembara mengikuti suara hatinya. Setelah menempuh perjalanan beberapa lama
akhirnya dia menemukan tempat yang dianggapnya cocok, tempat itu letaknya
ditengah-tengah antara Kahyangan dengan dunia tengah atau marcapada. Dengan
kesaktiannya maka Sang Hyang Rancasan menciptakan sebuah tempat sebagai
tandingan Kahyangan tempat tinggal ayah dan saudara-saudaranya. Bahkan bisa
dikatakan lebih indah dari Kahyangan yang menjadi tempat lahirnya, Kahyangan
tempat para dewa bersemayam. Kahyangan ciptaannya diberi nama Kahyangan Tunjung Biru.
Sang Hyang Manikmaya
diangkat menjadi Penguasa Suralaya oleh Sang Hyang Tunggal, dengan gelar Sang
Hyang Jagatnata. Pada suatu ketika Sang Hyang Jagatnata berkata kepada Sang
Hyang Narada, bahwa semua ahli waris Kahyangan, semua telah menyatakan
kesetiaan dan tunduk kepadanya, seperti semua anak-anak dari Sang Hyang
Darmajaka, yaitu Sang Hyang Darmanasidi, Sang Hyang Trijata, Sang Hyang
Caturkanaka dan Sang Hyang Pancaresi, ayah Sang Hyang Narada.
Juga anak-anak Sang Hyang
Toya, yaitu Sang Hyang Parma beserta anak-anaknya Sang Hyang Winata, Sang Hyang
Adli, Sang Hyang Kapa dan Sang Hyang Kuwera. Selain itu semua putra Sang Hyang
Hening yang menjadi empu, putra Dewi Yati, bangsa Naga. Bahkan semua Putra Sang
Hyang Tunggal dari dari Dewi Rekatawati yang merupakan kakak Sang Hyang
Jagatnata yaitu Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya, keduanya tinggal di
Kahyangan Sunyaruri, semua putra Sang Hyang Tunggal dari Dewi Darmani yaitu
Sang Hyang Ludra, Sang Hyang Dewanjali dan Sang Hyang Darmastuti, kecuali putra
bungsunya Sang Hyang Rancasan yang tidak mau tunduk. Sang Hyang Rancasan diajak
bergabung di Suralaya, namun selalu menolak.
Sang Hyang Jagatnata
mengutus Sang Hyang Narada bersama tentara kadewaan yaitu Dorandhaka dipimpin Dewa Indra
dan Dewa Bayu, ke Kahyangan Tunjungbiru, meminta agar Sang Hyang Rancasan
tunduk. Namun jawaban Sang Hyang Rancasan, menyatakan bahwa ia lebih tua,
sebagai putra Sang Hyang Tunggal dari Dewi Darmani – istri pertama Sang Hyang
Tunggal dan juga turunan dari Sang Hyang NurRasa, sedangkan Sang Hyang
Manikmaya adalah putra dari Dewi Rakatawati keturunan Sang Hyang Yuyut.
Sang Hyang Narada
menjelaskan bahwa yang seharusnya merajai Kayangan adalah dia yang menerima
Tirta Kamandanu, Latamaosandi, Sosotya Retnadumilah serta Pustaka Darya, dan
itu sudah dikuasai oleh Sang Hyang Manikmaya. Sang Hyang Rancasan menjelaskan
bahwa selain keempat pusaka yang menjadi syarat raja Tribuana, ada satu pusaka
yang dikuasainya yang lebih hebat dari dari keempat pusaka itu, yaitu Layang
Kalimasada yang diwariskan kepada Sang Hyang Rancasan dari Sang Hyang Wenang.
Layang Kalimasada ini jika dibaca oleh manusia, akan menjadi mulia hidupnya
malah segala kesaktian Dewa itupun tak dapat menandingi kesaktian Jamus Layang
Kalimasada.
Sang Hyang Narada meminta
Sang Hyang Rancasan memperlihatkan pusaka Layang Kalimasada. Sang Hyang
Rancasan mengangkat tangan-kanan memperlihatkan segulungan kulit beraksara emas
tulisan Hyang Esa, diwadahi dalam tabung emas. Seketika alam terang benderang
bercahaya pelangi menyilaukan namun malah memberi kedamaian hati, ditambah
wewangian bunga yang asing lebih wangi dari bunga-bunga di Swargaloka, menebar
kepelosok area Kahyangan Tunjung Biru, juga memancarkan hawa dingin dan panas
bergantian namun memberi perasaan tentram yang aneh yang belum dikenal para
dewa.
Sang Hyang Narada bertanya:
"Apakah Sang Hyang Rancasan sudah membaca dan mengamalkan isi pusaka
Layang Kalimasada.?". "Aku memang tidak dapat membacanya dan
mengamalkan isi pusaka ini, namun berkah dan keramat yang dipancarkan pusaka
meningkatkan kesaktianku puluhan kali lipat dan sudah cukup untuk menaklukkan
keempat pusaka Sang Hyang Jagatnata." Semua Dewa pasukan Dorandhaka,
Batara Indra, Batara Bayu dan Hyang Narada, terlongong-longong melihat pusaka
dan penjelasan Sang Hyang Rancasan. Tapi kecerdikan Sang Hyang Narada sebagai
diplomat Swargaloka tidak mau memperlihatkan ekspresi kelemahan dan kegalauan
dihadapan musuh.
Sang Hyang Narada
mempersilakan Sang Hyang Rancasan tidak tunduk kepada Sang Hyang Jagatnata,
tetapi agar Jamus Layang Kalimasada dapat diserahkan kepada Sang Hyang
Jagatnata. Namun Sang Hyang Rancasan tetap tidak mau menyerahkan apapun dan
tidak mau tunduk.
Maka digempurlah sanghyang
Rancasan oleh tentara kadewan Dorandaka diikuti Betara Bayu disisi kiri dengan
topan tornadonya dan disisi kanan Betara Indra dengan disertai kilat-guntur,
tetapi sang Hyang Rancasan tetap tidak dapat dikalahkan. Akhirnya Sanghyang
Narada dan dewa-dewa lainnya mundur dan kembali ke Suralaya.
Dari laporan Sang Hyang
Narada serta melihat kesaktian Pusaka Jamus Layang Kalimasada, maka Sang Hyang
Jagatnata menggunakan Ajian Pustaka Darya, untuk mencari tahu cara mengalahkan
Sang Hyang Rancasan, dan dari wahyu yang didapatnya, yang bisa mengalahkan dan
mendapatkan Pusaka Jamus Layang Kalimasada itu hanyalah dua kakaknya Sang Hyang
Antaga dan Sang Hyang Ismaya. Sang Hyang Jagatnata merandek memang kesaktian
kedua kakaknya sudah tidak diragukan lagi. Maka Sang Hyang Manikmaya mengutus
Sang Hyang Narada ke Kahyangan Sunyaruri meminta agar Sang Hyang Antaga dan
Sang Hyang Ismaya untuk menangkap Sang Hyang Rancasan dan merebut Pusaka itu.
Di Kahyangan Sunyaruri Sang
Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya tengah berbincang perihal mimpi mereka yaitu
hilangnya Kahyangan Sunyaruri, menjadi gelap dan tidak terlihat lagi. Sang Hyang
Antaga menyatakan mimpi dirinya menjadi mirip anjing sedangkan Sang Hyang
Ismaya menjadi binatang mirip kucing tanpa bulu. Yang ditakwilkan bahwa mereka
akan bersalin rupa dan perilaku serta tidak akan tinggal lagi di Kahyangan.
Tidak lama muncullah Sang Hyang Narada meminta bantuan untuk menaklukan Sang
Hyang Rancasan.
Dihadapan adiknya Sang Hyang
Jagatnata, Sang Hyang Ismaya kurang sependapat dan ingin menanyakannya terlebih
dahulu langsung kepada Sang Hyang Rancasan, hanya saja Sang Hyang Manikmaya
terus-menerus mengatakan bahwa sudah tidak mungkin untuk berdialog lagi dengan
Sang Hyang Rancasan, apalagi setelah Sang Hyang Antaga sudah terpengaruh. Maka mereka
bertiga langsung menuju ke tempat Sang Hyang Rancasan. Setibanya ditempat
Sanghyang Rancasan di Kahyangan Tunjung Biru, terjadi perang mulut diantara
Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Antaga dengan Sang Hyang Rancasan. Sang Hyang
Ismaya lebih sabar dari kedua adiknya dan berusaha menengahi pertengkaran itu.
Akhirnya terjadilah pembicaraan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang
Rancasan.
“Mengapa sebabnya Pusaka
Jamus Layang Kalimasada tidak mau diserahkan?” tanya Sang Hyang Ismaya. “Pusaka
ini lebih sakti daripada pusaka-pusaka yang dimiliki Sang Hyang Manikmaya,
serta pusaka ini tidak dapat dimiliki Sang Hyang Manikmaya, serta hanya manusia
yang bersih dan suci hatinya yang bisa memiliki pusaka ini”, jawab Sang Hyang
Rancasan. "Bukankah sudah ditetapkan yang menjadi penguasa Tribuana adalah
adik kita, Sang Hyang Manikmaya atau Sang Hyang Jagatnata?", sambung Sang
Hyang Ismaya. "Itulah kekhilafan ayah kita, tidak melihat siapa yang lebih
pantas dari urutan keluarga dan kesaktian yang dimilikinya", sergah Sang
Hyang Rancasan takabur.
Mendengar keangkuhan Sang
Hyang Rancasan, Sang Hyang Manikmaya tidak dapat menahan diri lagi, segera
menerjang dan menggempur Sang Hyang Rancasan, diikuti Sang Hyang Antaga dan
Ismaya dari sisi berbeda.
Bumi gonjang-ganjing,
marcapada kembali diguncang oleh nafsu angkara murka putra-putra Sang Hyang
Tunggal. Gunung-gunung menggelegar mengeluarkan laharnya, bukit-bukit longsor
berguguran. Sang Hyang Antaga dan Ismaya lebih banyak menahan diri.
Maka pertarungan terjadi
antara Hyang Manikmaya dengan Sang Hyang Rancasan. Keduanya saling mengadu
kedigjayaan dan saling memamerkan aji-aji kesaktian. Namun dalam perang tanding
itu, terlihat Sang Hyang Rancasan lebih unggul dibandingkan Sang Hyang
Manikmaya. Beberapa kesaktian dan pusaka-pusaka kadewataan milik Manikmaya
tidak mampu menghadapi kesaktian dan kedigjayaan Sang Hyang Rancasan. Saat Sang
Hyang Manikmaya bertiwikrama menjadi berhala sewu, Hyang Rancasan tidak kalah
hebat, ia bertiwikrama lebih besar dari raksasa jelmaan Hyang Manikmaya. Begitu
seterusnya, setiap Manikmaya masuk ke dalam perut bumi, Hyang Rancasan ada
di belakangnya. Dan setiap Manikmaya berdirgantara di angkasa, Rancasan pun
selalu ada di belakangnya. Manikmaya keteteran menghadapi kesaktian Hyang
Rancasan, maka Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kembali terjun ke
palagan yuda demi membantu Manikmaya, keduanya langsung menerjang Sang Hyang
Rancasan. Mereka menyerang secara serempak dari segala penjuru, ada yang
menyerang dari arah depan saling berhadapan, ada yang menyerang dari belakang,
dari angkasa dan dari bawah bumi. Setelah bertarung beberapa lama terlihat kesaktian
Sanghyang Rancasan tetap lebih tinggi dari Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang
Manikmaya. Kesaktiannya hanya bisa diimbangi oleh Sang Hyang Ismaya.
Ketika kedua adiknya
terdesak hebat, Sang Hyang Ismaya maju menghadang Hyang Rancasan. Maka
terjadilah pertarungan dahsyat satu-lawan-satu antara Sang Hyang Ismaya dengan
Sang Hyang Rancasan disaksikan kedua adiknya. Perang kejayaan diantara
mereka menggemparkan marcapada. Terjadi
hujan badai, angin prahara, halilintar, kobaran api dan amukan gelombang-samudera
yang menelan gunung-gunung disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib mereka dan
akhirnya menghancurkan dan meluluh lantakan bumi Kahyangan Tunjung Biru.
Sebenarnya Sang Hyang Ismaya
tidak ingin mencelakai kakaknya tersebut, hanya ingin melumpuhkannya untuk
seterusnya dibawa ke Kahyangan untuk diinterogasi lebih lanjut. Sang Hyang
Manikmaya tidak sabar dan berbisik kepada Sang Hyang Antaga untuk membatu Sang
Hyang Ismaya.
Saat itu Sang Hyang Ismaya
sedang menarik tangan kanan Sang Hyang Rancasan, dia sedang mempersiapkan
pukulan untuk melumpuhkan Sang Hyang Rancasan, namun sebelum Sang Hyang Ismaya
menyerang, sekelebat bayangan menyambar Rancasan. Ternyata Sang Hyang Antaga
yang menyambar tubuh Sang Hyang Rancasan. Setelah mendapat bisikan dari Sang
Hyang Manikmaya, Sang Hyang Antaga melompat dan menyambar tangan kiri Sang
Hyang Rancasan. Sang Hyang Ismaya kaget bukan kepalang melihat hal tersebut,
tetapi terlambat Sang Hyang Antaga sudah menarik tangan kiri Sang Hyang Rancasan
dengan kekuatan sangat dahsyat dan amat kencang. Pada sisi lain, Sang Hyang Ismaya
juga sedang menarik hebat tangan kanan Sang Hyang Rancasan. Akibat adu tarik dari
dua arah yang berlawanan, yang disertai dengan ilmu yang dimilikinya
menyebabkan tubuh Sang Hyang Rancasan terbelah menjadi dua.
Sebelum menghembuskan nafas
terakhirnya Sang Hyang Rancasan berujar mengutuk Sang Hyang Ismaya dan Sang
Hyang Antaga, bahwa keduanya akan kehilangan kesaktiannya karena keduanya akan
berubah wujud, mereka hanya dapat menggunakan kesaktian hanya-jika diperlukan
untuk membantu ummat-manusia, tidak bisa digunakan untuk diri-sendiri.
Sang Hyang Ismaya dan Sang
Hyang Antaga tertegun dan menyesali kejadian yang baru saja berlalu, Sang Hyang
Manikmaya tidak menggubris penyesalan kedua kakaknya, segera meninggalkan medan
palagan, setelah memungut Pusaka Jamus Layang Kalimusada yang terlempar dari
tangan Sang Hyang Rancasan.
Kejadian pertempuran antara
keempat Maha-Dewa itu tak luput dari pantauan ayah mereka Sang Hyang Tunggal,
dia menyesali perbuatan Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga sehingga
menewaskan Sang Hyang Rancasan yang masih terhitung kakak sendiri. Sang Hyang
Tunggal memurkai sikap anak-anaknya yang terlalu terbawa nafsu dan tidak bisa
berpikir jernih.
Sang Hyang Tunggal dalam
wujud suara tanpa rupa memerintahkan kepada Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang
Antaga supaya meninggalkan kahyangan menuju marcapada dan menitipkan Pusaka
Layang Kalimusada kepada Sang Hyang Ismaya. Kepada Hyang Jagatnata karena sudah
menghasut saudara-saudaranya, akan menerima karmanya, yaitu kakinya akan
menjadi kecil dan lemah, maka dengan begitu ia akan mendapat julukan sebagai
Sang Hyang Lengin. Giginya akan bertaring sebesar buah randu dan dinamakan Sang
Hyang Randuana. Tangannya akan bertambah menjadi empat dan akan mendapat nama
Syiwa, dan yang terakhir dalam perjalanannya nanti lehernya akan terbakar oleh
racun ganas sehingga menjadi biru, maka namanya pun bertambah menjadi Sang
Hyang Nilakanta. Sang Hyang Manikmaya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya
pasrah menerima kutukan dari ayandanya,
Sang Hyang Ismaya dan Sang
Hyang Antaga sudah meninggalkan Kahyangan. Mereka tiba di lembah gunung
Mahendra di tepi telaga Wasania, kemudian berdiam bertapa meminta supaya
diampuni atas dosa-dosanya, mereka bersama meminta lewat pusaka Jamus Layang
Kalimasada, namun pada saat itu pula Sang Hyang Ismaya yang tadinya sangat
tampan berubah menjadi buruk rupa dengan tubuh bulat dan wajah bulat pula
seperti wajah kucing.
Sanghyang Antaga juga
kehilangan ketampanannya dan mempunyai muka yang panjang serta bibirnya sobek
memanjang seperti wajah anjing. Mereka terus menangis sejadi-jadinya, namun
tidak ada gunanya. Sang Hyang Antaga berganti nama menjadi Togog dan Sang Hang
Ismaya menjadi Semar. Sang Hyang Antaga menyatakan bahwa ia tidak sanggup
memelihara Pusaka Jamus Layang Kalimasada, serta menyerahkannya kepada Semar,
hanya meminta teman. Togog memuja serta meminta dari pusaka, muncullah seorang
yang mirip Togog, hanya agak kurus, dan dinamai Sarawita. Togog dan Sarawita
meninggalkan Semar, menuju ke arah barat.
Semar menangis sendiri
beserta pusaka Layang Jamus Kalimasada, tiba-tiba datang hujan yang deras,
Semar mencari tempat berteduh, dan menemukan dangau dan masuk ke dangau.
Tiba-tiba hujan berhenti dan seketika terang benderang. Semar sangat gembira
dan merasa ditolong oleh dangau, lalu meminta kepada pusaka agar dangau itu
dijadikan teman. Seketika muncullah orang yang mirip Semar namun agak kecil,
dan dinamai Astra (Asta) Jingga, asta artinya lengan – jingga jenis warna, yang
berarti bibit kehidupan.
Dalam perjalanannya Semar
dan Astrajingga menemukan patok, yang di”puja” oleh Semar, yang menjelma
menjadi manusia jangkung berhidung panjang dan dinamai Petruk yang artinya
patok dijalan. Ketiganya terus berjalan memasuki tempat perlindungan sehingga
semua binatang buas tak mampu mengganggu, yang kemudian tempat perlindungan itu
di”puja” dan menjelma menjadi orang pendek, bertangan bengkok dan berperut
buncit dan dinamai Nalagareng, artinya hati yang kering.
Sang Hyang Ismaya atau Semar
dan Sang Hyang Antaga alias Togog, diturunkan ke marcapada untuk tugas
tertentu, Sang Hyang Ismaya akan menjadi pengikut dan pengasuh keturuan dari
raja-raja yang baik. Sedangkan Togog akan berada dipihak yang berseberangan
dengan Semar alias Sang Hyang Ismaya.
Perihal pusaka Jamus Layang
Kalimasada itu dikembalikan kepada ayah mereka - Sang Hyang Tunggal dan pada
saatnya nanti pusaka itu akan diwariskan kepada para kesatria marcapada yang
sanggup mengembannya.
1. Beberapa catatan mengenai
pengembaraan Semar dan Togog. Dipercaya keduanya adalah pembantu-pembantu terdekat Nabi Chaidir (Nabi
yang hidup abadi hingga akhir jaman).
2. Semar dan Togog setelah
zaman pewayangan berakhir, selalu muncul setiap 500 tahun sekali. Pada masa
wali-sanga saat runtuhnya Majapahit saat Islam berkembang atau saat berdirinya
Demak, keduanya muncul dikenal dengan nama Sabda-Palon (semar) dan
Naya-Genggong (togog).
3. Dipercaya bahwa kedua
Maha Dewa yang menyamar akan menjadi pengayom dan pelindung Alam Semesta, hidup
tersembunyi dan tersamar di antara manusia-manusia di seluruh dunia dan Jagat raya hingga akhir
jaman.
==============================================
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.