Senja berganti malam
dan malam sirna berganti siang, waktu berputar menutup hari dan kemudian
berganti hari. Kini putra-putra Sang Hyang Tunggal telah tumbuh dewasa. Sang Hyang Antaga, Sang Hyang
Ismaya, dan Sang Hyang Manikmaya, mereka sama-sama mewarisi berbagai ilmu
pengetahuan dan kesaktian dari ayahnya sehingga mereka benar-benar menjadi kesatria dewa
yang pilih tanding.
Konon pada saat zaman
pertengahan, dizaman Wayang Purwa, Sang Hyang Tunggal bermaksud turun-tahta,
dan akan menyerahkan kekuasaannya kepada salah-seorang dari ketiga
putra-utamanya, yaitu Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Manikmaya.
Di istana Jonggring
Salaka, Kahyangan Suralaya. Sang hyang
Tunggal yang didampingi kedua permaisurinya memanggil ketiga putranya, Sang
Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Ia bermaksud ingin
menyerahkan tahta Suralaya kepada salah putranya, namun sebelumnya Sang Hyang Tunggal
mengisahkan perihal kelahiran mereka yang berasal dari sebutir telur hingga
tercipta menjadi sosok manusia dewa.
Hyang Tunggal kemudian meriwayatkan kelahiran ketiga putranya, sebagai berikut; Pada suatu ketika, Dewi Wirandi yang hamil besar itu melahirkan, namun yang dilahirkan oleh sang dewi bukanlah sesosok bayi, tapi ia melahirkan sebutir telur. Sang Hyang Tunggal bermuja-semedi mengheningkan cipta masuk ke Swargaloka Awang Uwung Kumitir, kepersemayaman ayahnya- Sang Hyang Wenang. Dihadapan Sang Hyang Wenang, ia menceritakan perihal telur yang dilahirkan oleh istrinya.
Sang Hyang Wenang
memberi petunjuk dan memberikan air kehidupan ‘Tirta Kamandalu’ kepada Sang
Hyang Tunggal. Sesuai petunjuk ayahnya, telur itu ia puja-semedi
cipta-rasa hingga meretak
dan pecah berserakan menjadi tiga bagian, kulit, putih dan merah telur.
Sang Hyang Tunggal
menyiramkan ‘air kehidupan’ Tirta Kamandalu secara bersamaan kepada bagian
telur yang tercerai berai. Secara ajaib, kulit, putih dan merah telur itu
berubah menjadi tiga sosok bayi. Sang Hyang Tunggal memberi nama masing-masing
bayi yang tercipta, dari kulit telur diberi nama Sang Hyang Antaga, sedangkan
bayi yang tercipta dari putih telur diberi nama Sang Hyang Ismaya, dan bayi
yang tercipta dari merah telur diberi nama Sang Hyang Manikmaya
Dan yang membuat Sang
Hyang Tunggal belum bisa menentukan siapa diantara putranya yang berhak
mewarisi Kahyangan Suralaya, adalah karena dulu Sang Hyang Tunggal menyirami
tiga bagian pecahan telur itu secara bersamaan sehingga tidak ada yang tercipta lebih dahulu dari
bagian lainnya,tidak ada istilah tertua diantara yang lainnya, besarnya pun
bersamaan.
Sebelum Sang Hyang
Tunggal selesai bersabda, tiba-tiba Sang Hyang Antaga berkata kepada Sang Hyang
Tunggal. Ia mengatakan bahwa kulit telur tentunya lebih awal dilahirkan, sebab
kulit berada diluar isi dan telah ditakdirkan menjadi pelindung, yaitu
melindungi isi telur yang lemah. Maka menurut Sang Hyang Antaga, kulit telurlah
yang dianggap lebih tua dibandingkan dengan isinya.
Sang Hyang Ismaya
menepis perkataan Sang Hyang Antaga. Menurutnya, bahwa kulit dan isi telur
adalah satu kesatuan yang terlahir bersamaan. Tanpa adanya putih dan merah
telur yang menjadi isi,
maka kulit telur pun tidak akan ada. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya
kulitnya saja tanpa ada isi yang telah ikut menyempurnakan keadaannya. Dan Sang
Hyang Ismaya mengingatkan kepada Sang Hyang Antaga, bahwa putih dan merah telur
yang menjadi isi adalah
cikal bakal yang menjadi adanya tanda-tanda kehidupan. Kulit hanya ragangan (bungkusnya) saja, tetapi isilah yang menjadi sumber dan keutamanya.
Sang Hyang Antaga
tersinggung mendengar kata-kata Sang Hyang Ismaya. Ia yang tercipta dari kulit
telur merasa dihina, tidak dianggap memiliki keutamaan, hanya ragangan yang
berarti benda kosong yang tidak memiliki arti. Sang Hyang Antaga pun berjumawa,
ia menganggap kulit telur adalah yang terkuat dengan wujud keras bagaimana bisa
disebut kuat kalau kulit telur bisa retak dan pecah. Adu mulut antara Sang
Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kian memanas, mereka berdua sama-sama telah
terbakar amarah.
Adigang, adigung, adiguna. Sang Hyang Antaga
menunjukan perwatakannya yang secara lahir tercipta dari kulit telur, keras,
jumawa dan selalu merasa dirinya yang paling hebat. Sang Hyang Ismaya yang sudah merasa
jengah dengan segala perkataan dan sikap saudaranya, menanggapi tantangan. Bagi
Sang Hyang Ismaya menolak tantangan adalah tindakan seorang pengecut. Sekaligus
akan memberi pelajaran kepada Hyang Antaga bahwa di atas langit
masih ada langit, jangan menganggap diri paling sakti di atas muka bumi.
Melihat perselisihan yang kian memanas
diantara kedua putranya, Sang Hyang Tunggal segera melerai. Ia menasehati
putra-putranya agar bisa lebih berpikir secara jernih dan terbuka, sebab semua
masalah akan ada jalan keluarnya bila ditanggapi dengan jiwa yang bersih. Tapi sudah terlanjur,
keduanya sudah merasa saling dihinakan satu sama lainnya, maka keduanya pun
sudah tidak menghiraukan lagi nasehat ayahandanya.
Bertikai dengan saudara sendiri, apakah
kalian tidak akan menyesal nantinya? Guntur menggelegar dan kilat menyambar. Awan
hitam berarak berkejaran menutupi langit, bumi pun bergetar. Candradimuka bergolak
menyemburkan lahar api yang sangat panas. Sabda Sang Hyang Tunggal telah menjadi
kutukan bagi mereka, namun karena keduanya sudah sama dirasuki nafsu angkara
murka, maka keduanya sudah tidak mampu berfikir dengan hati nuraninya. Hyang
Antaga segera melesat meninggalkan Jonggring Salaka, dan kemudian disusul oleh
Sang Hyang Ismaya.
Adu mulut dan pertengkaran berlanjut menjadi
adu kesaktian dan kanuraganpun berlangsung dengan sengit dan membuta.
Di lain
pihak Sang Hyang Manikmaya hanya diam membisu. Dia tidak mau melibatkan diri
dalam pertikaian kedua saudaranya, terkesan tidak ingin ikut campur. Akan
tetapi ‘diam’ yang dilakukan Sang Hyang Manikmaya bukanlah sebab halus budi
pekertinya. Di sinilah perbedaan perwatakan diantara mereka. Sang Hyang Manikmaya
lebih cerdik dibandingkan kedua saudaranya, ia licik dan otaknya mampu bekerja
dengan baik dibandingkan nafsunya. Sang Hyang Manikmaya akan membiarkan kedua saudaranya yang bertikai. Ia
tahu bahwa diantara mereka mempunyai kesaktian yang berimbang, jadi untuk apa
harus membuang tenaga ikut mengadu kesaktian dengan mereka. Yang terlintas
dalam pikirannya adalah, ini kesempatan baik untuk bisa merebut hati
ayahandanya dan mengincar singgasana Suralaya.
Sementara itu, jauh di luar gerbang gaib
Selamatangkep, dua kesatria dewa telah saling beradu kesaktian. Masing-masing
dari keduanya menunjukan keluhuran ilmunya. Saling mengeluarkan aji jaya
kawijaya dan saling menghunus pusaka kadewatan. Mereka saling serang, saling pukul,
saling tusuk dan saling banting, Candradimuka tidak henti-hentinya mengeluarkan
semburan api panas yang menyala, asap hitamnya menggumpal melingkupi puncak
Himalaya (Kahyangan Suralaya).
Karena yang bertempur adalah dua Maha-Dewa
yang Maha-Sakti, adu kesaktian itu menyebabkan permukaan bumi dibuat tidak
menentu. Tercipta badai-topan tornado selebar pulau Jawa, samudra diaduk
menciptakan tsunami setinggi gunung, gunung-gunung diremas mengkerut meledakkan
lava panas, daratan-bumi dicabik-cabik terbelah-belah menjadi pecahan-pecahan
kepulauan dan patahan-patahan benua. Maka sejak saat itulah permukaan bumi
terbagi-bagi beberapa benua dan pulau-pulau.
Tidak disangsikan lagi kedua putra Sang Hyang
Tunggal itu, keduanya sama-sama sakti, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang
menang. Palagan yuda tempat bertarung mereka tidak hanya di atas lapisan bumi,
tapi juga masuk ke dalam perut bumi, bertarung di dasar samudera dan bahkan
berdirgantara di angkasa.
Pertempuran dua kesatria dewa yang
berlangsung dahsyat ini mengundang rasa keprihatinan bagi kakek-kakek mereka,
baik Sang Hyang Wenang yang bersemayam di alam ‘sunyaruri’, ataupun Sang Hyang Rekatama (Sang
Hyang Yuyut) yang bersemayam di Samudralaya. Telah banyak yang menjadi korban karena
dampak dari pertarungan kedua cucunya. Rusaknya gunung, hutan dan lautan, juga
mahluk-mahluk lain baik yang berada di alam maya ataupun di alam nyata.
Pertarungan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang
Hyang Antaga telah memakan waktu yang cukup lama, tanpa berhenti dan tanpa mengenal
rasa lelah. Dan saat pertarungan menginjak waktu yang ke-empat puluh hari, Sang
Hyang Tunggal memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan dengan
mengajukan syarat sayembara kepada kedua putranya. Barang siapa yang mampu
menelan gunung Jamurdipa dan lalu memuntahkannya kembali, maka dialah yang akan
diakui sebagai yang tertua dan dinobatkan sebagai Raja Tribuana, mewarisi
seluruh Kahyangan Suralaya.
Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya
menyanggupi sayembara tersebut. Keduanya lalu mempersiapkan diri. Didahului oleh
Sang Hyang Antaga, ia bertiwikrama tubuhnya membesar melebihi gunung. Dan lalu
gunung Jamurdipa dicabut dan dimasukan ke dalam mulutnya. Ia memaksa untuk
menelan, namun ia merasa sangat kesusahan untuk menelannya, Gunung Jamurdipa
itu masih berukuran lebih besar dari mulutnya, tapi karena nafsunya yang besar, maka
ia terus mencoba memasukan gunung itu ke dalam mulutnya hingga mulutnya robek
besar. Kepala dan matanyanya membesar, sebaliknya tubuhnya menyusut, meramping,
suaranya menjadi serak mengerikan. Pengerahan kesaktian hingga kepuncak-pamungkasnya,
membuat suara serak Antaga menjadi senjata mematikan yang amat mengerikan. Jika
Antaga murka dan berteriak, suara hypersonicnya mampu meratakan pegunungan
himalaya menjadi padang-pasir.
Sang Hyang Ismaya terkejut melihat perubahan
tubuh dan wajah saudaranya namun dia tidak berpikir lebih lanjut, dia tidak mau
kalah, segera melakukan triwikrama. Tubuhnya seketika meninggi dan membesar.
Akan tetapi wujud triwikrama Sang Hyang Ismaya ternyata lebih tinggi besar
dibandingkan dengan wujud triwikrama jelmaan Sang Hyang Antaga. Tingginya melebihi tujuh kali
puncak Himalaya. Kemudian raksasa perwujudan dari Sang Hyang Ismaya dengan
cepat merebut gunung yang hendak ditelan oleh Sang Hyang Antaga.
Dengan kekuatan luar biasa Sang Hyang Ismaya
memaksakan gunung Jamurdipa masuk ke dalam mulutnya. Oleh sebab tubuhnya lebih
besar dari raksasa jelmaan Sang Hyang Antaga, maka dengan kekuatannya Sang
Hyang Ismaya berhasil menelan gunung Jamurdipa ke dalam mulutnya, dan dia
merasa seperti tercekik dan sulit bernafas saat gunung Jamurdipa tertelan masuk
di kerongkongannya. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya hingga
gunung itu pun langsung amblas ke dalam perutnya. Dalam adu triwikrama dan
telan gunung, walau tidak mampu dimuntahkan, membuktikan bahwa Sang Hyang
Ismaya lebih sakti dari Sang Hyang Antaga.
Seperti juga Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya
sudah kehabisan seluruh tenaganya, ia merasa sudah tidak mampu lagi untuk
mencoba memuntahkan kembali gunung Jamurdipa. Pengerahan kekuatan sepenuhnya
menyebabkan bentuk tubuh dan wajah Hyang Ismaya berubah. Karena pengaruh
gunung yang tertelan, tubuh Hyang Ismaya seketika membesar, menungging
kebelakang, rambut rontok, mulut dan wajah melebar keriput-menua. Hilang sudah
tubuh dan wajah rupawannya. Seperti-halnya Hyang Antaga, pengerahan kesaktian
Hyang Ismaya hingga kepuncak pamungkasnya, dan ujung gunung yang menyundul pantatnya, memberikan kekuatan
baru baginya, yaitu - kentutnya. Jika Hyang Ismaya mengerahkan kekuatan
kentutnya, daya rusaknya mampu meratakan pegunungan Himalaya menjadi padang
pasir. Konon tidak ada kekuasaan dan kesaktian dimuka-bumi yang mampu menahan
daya hancurnya.
Keduanya menyadari perubahan wajah dan
fisiknya. Hyang Ismaya melihat Sang Hyang Antaga yang berpenampilan buruk rupa.
Penampilan dan mukanya sangat jauh dari Sang Hyang Antaga yang sangat ia kenal.
Sang Hyang Antaga yang ia kenali adalah sosok kesatria perkasa, sedangkan yang
dihadapinya bisa dibilang lebih mirip dengan mahluk jadi-jadian sebangsa Jin
atau Dedemit. Tubuhnya pendek kurus dan buncit, mukanya tidak seimbang dengan
mulutnya yang sangat lebar menyerupai mulut angsa.
Sang Hyang Antaga pun terkejut bukan kepalang
melihat rupa saudaranya. Sang Hyang Ismaya seharusnya berwajah elok dan
bersinar seperti matahari, tapi bentuk-rupa Ismaya ini bertubuh gemuk berpantat
besar, wajahnya pun sama sekali tidak mirip, sangat tua.
Dengan kesaktian keduanya, mereka berupaya
merubah bentuk buruk rupa kebentuk aslinya. Berbagai ilmu-ilmu gaib sudah
mereka kerahkan, tapi tak kunjung berhasil, menyadari kegagalan itu apalagi
menyadari harus menanggung malu memiliki bentuk dan rupa ganjil dan memalukan
itu selamanya. Keduanya menjadi frustasi dan kalap akhirnya menjadi gelap mata.
Dalam luapan amarahnya, Sang Hyang Ismaya
menembak barisan gunung-gunung dengan 'kentutnya', meledakan gunung dan
memuntahkan lava dengan sangat mengerikan, menciptakan badai petir lalu kembali
mengaduk lautan manjadi stunami setinggi gunung dan melibasnya. Aksinya yang
lebih dahsyat adalah merobek lapisan atmosphir menciptakan badai-kosmik yang
super dingin, membekukan gelombang lautan menjadi benua es. (sekarang kutub es utara bumi.)
Sang Hyang Antagapun tidak mau kalah, dia
mengeluarkan kekuatan suara hypersonicnya meledakkan pegunungan, mengaduk lautan dan menciptakan
topan tordano raksasa.
Aksi amarah keduanya sungguh meresahkan
leluhur dewa-dewa, menewaskan makhluk-makhluk astral, jin-siluman-denawa dan lainnya. Jangan
dibayangkan bagaimana
dengan manusia. Mereka juga telah merusak tatanan kosmik, iklim dan cuaca,
merubah arah arus lautan, seakan permukaan bumi saat itu baru saja diciptakan
dan ditata-ulang.
----------- ( BERSAMBUNG ) ------------
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.