Arjuna
Sasrabahu adalah Putra Mahkota Kerajaan Maespati merupakan titisan Batara
Wisnu. Batara Wisnu harus turun ke marcapada (dunia manusia) bertugas untuk menumpas
Dasamuka yang sudah membuat kerusakan amat parah bagi kehidupan manusia
diperbagai negara. Batara Wisnu harus menitis keraga manusia, untuk dapat
memimpin pasukan menumpas Kerajaan Alengka dan membunuh Dasamuka atau Rahwana.
Peristiwa itu merupakan rencana dari Sanghyang Otipati Jagatnata Batara
Guru.
Namun
ada yang luput dari pengamatan Sanghyang Otipati adalah kehadiran dua anak
manusia, putra Resi Suwandageni dari Pertapaan Jatisarana. Tetapi kehadiran dua
anak manusia ini sejak awal sudah terpantau oleh Semar dan Togog sebagai biang
gara-gara sumber kehancuran tatanan alam dunia sekaligus memporak porandakan
tatanan kehidupan manusia diseluruh Kerajaan manusia. Kedua anak manusia
tersebut adalah Bambang Sumantri kelak diberi gelar Patih Suwanda dan adiknya
Sukrasana. Secara kasat mata dan garis keturunan rasanya tidak mungkin keduanya
akan menjadi biang onar keseimbangan yang ditakuti Semar dan Togog. Maka supaya
bisa memantau perkembangan tindak tanduk keduanya, Semar berinisiatif untuk
melamar kerja di Kerajaan Maespati sebagai pengasuh Arjuna Sasrabahu kacil.
Karena Semar sudah tahu, kelak dua orang itu akan datang dan mengabdi di
Kerajaan Maespati ini. Kisahnya dimulai dengan uraian silsilah leluhur-leluhur
Kerajaan Maespati.
Syahdan
berdirilah Kerajaan besar di awal tahun Hindu Kuno, sekitar tahun 25 ribu BC
(25 ribu sebelum masehi), kira-kira awal zaman ‘perunggu’. Kerajaan itu bernama
Kerajaan Maespati. Adapun cerita Kerajaan Maespati yang terdapat dari salinan
naskah kuno (codex) Hindu itu ternyata agak berlainan bila dibandingkan dengan
tulisan ‘Purwacarita’. Tapi disini tidak akan membahas perbedaan itu, karena
prinsipnya Kerajaan Maespati adalah kerajaan yang luar biasa indah dan sangat
megahnya untuk taraf kebudayaan kuno saat itu. Keraton dengan dekorasi interior
dan struktur bangunan dengan konstruksi sangat menakjubkan, kuat, indah dan
dengan bentangan-bentangan ruangan yang sangat luas, menyerupai ruang aula pada
masa kini. Belum lagi langit-langit ruangan yang cukup tinggi untuk kebudayaan
kuno saat itu. Pilar-pilar dan balok-balok penopang bangunan, walau kelihatan
sangat besar, namun dibuat dari bebatuan granit yaitu material batu gunung yang
sangat kuat. Selain itu semua dinding dan tembok diukir dengan ukiran kualitas
prima. Lantai kerajaan didisain menakjubkan karena setiap ruang mempunyai
ketinggian lantai (leveling) berlain-lainan, disamping ditutup dengan batu
gunung (sekarang dikenal sebagai marmer) dengan kualitas teratas dan
warna-warna cerah menghiasi lantai setiap ruangan. Walau belum mengenal
teknologi jendela, namun setiap ruangan, lubang sirkulasi udara ditutup
kain-kain teranyam dengan hiasan dari emas dan perak. Memang belum dikenal
pintalan kain, maka tidak sehalus kain-kain sekarang, dan tentu jauh dari
kehalusan kain sutra. Tetapi sebagai kelambu penghias ruang kerajaan, kain
penutup jendela, singgasana raja, sudah cukup indah, karena anyaman hiasan dari
emas dan perak itu. Kursi singgasana raja dibuat dari bahan jati pilihan dengan
bentuk ukiran yang luarbiasa, apalagi dihiasi dengan batu-batu permata dengan
kombinasi warna-warna khas kebudayaan Hindu kuno. Semua ruang diberi pewangi
ruangan yang disimpan di setiap sudut ruang. Pewangi itu berasal dari bakaran
ramuan akar-akar, rerumputan dan dedaunan yang diolah sebagai jamu bakar, yang
selain memberikan bau asap yang harum, juga sebagai pengusir serangga. Jamu
pewangi ruangan disimpan pada cungkup terbuat dari emas. Dan semua perabot
rumah tangga, perabotan perjamuan tamu seperti gelas, piring dan pisau makan,
sendok garpu, semua terbuat dari emas berhiasan intan berlian. Dan jangan
dikata hiasan untuk pakaian raja dan mahkotanya. Karena jika tidak berhias
intan berlian, pakaian kebesaran berhiasan anyaman emas, maka raja pada saat
itu dianggap bukan raja terbesar.
Kerajaan
Maespati ini didirikan dan dibesarkan oleh seorang ksatria bijak, luas wawasan
pengetahuannya dan sangat arif, adil dalam memutuskan perkara-perkara hukum.
Sehingga dicintai semua rakyat Maespati. Semua lapisan masyarakat merasa aman
dan tenteram bernaung di bawah kepemimpinannya. Raja itu bernama Prabu
Dewangga. Prabu Dewangga ini kelak akan menurunkan orang-orang besar yang
menghiasi sejarah dengan tinta emas. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan disini
semua silsilah keturunan Prabu Dewangga.
Prabu
Dewangga berputra dua, yaitu:
1).
Putra sulung adalah Dewasana, Prabu ini berputra dua;
+1.1.
Putra sulung bernama Prabu Heria, berputra dua;
*1.1.1.
Putra sulung bernama Prabu Karta Wijaya, berputra satu;
#1.1.1.1.
Arjuna Sasrabahu.
*1.1.2. Putra bungsu bernama Resi Gautama berputra tiga;
#1.1.2.1.
Dewi Anjani.
#1.1.2.2.
Raden Subali.
#1.1.2.3.
Raden Sugriwa.
+1.2.
Putra bungsu bernama Prabu Wisanggeni, berputra dua;
*1.2.1.
Putra sulung bernama Resi Suwandageni, berputra dua;
#1.2.1.1
Sumantri
#1.2.1.2
Sukrasana
*1.2.2. Putra bungsu bernama Jamadagni disebut Ramabergawa.
2).
Putra bungsu adalah Dewatana, tidak ada catatan mengenai silsilah keluarganya.
Dari
ranting silsilah di atas, nampak bahwa antara Arjuna Sasrabahu, Dewi Anjani,
Subali, Sugriwa, Sumantri dan Sukrasana adalah satu angkatan bersaudara sepupu,
dengan urutan silsilah tertua adalah Arjuna Sasrabahu disusul Dewi Anjani dan
kedua adiknya dan silsilah termuda adalah Sumantri dan Sukrasana. Jadi sudah
dapat diperkirakan, peristiwa Ramayana akan terjadi setelah peristiwa Arjuna
Sasrabahu, atau titisan Batara Wisnu berpindah dari Arjuna Sasrabahu ke dalam
tubuh Sri Rama sekitar 20 sampai 30 tahun kemudian, atau setelah Dewi Anjani,
Raden Subali dan Raden Sugriwa selesai bertapa atas petunjuk ayahnya Resi
Gautama.
Kisah
Dewi Anjani, Subali dan Sugriwa akan dikisahkan terpisah, karena akan terkait
dengan penitisan Batara Wisnu
berikutnya. Sedangkan Sumantri dan Sukrasana akan terlibat pada kehidupan
Arjuna Sasrabahu. Saat itu keduanya terpisah jauh dengan jarak dan derajat
kedudukan sosial. Takdirlah yang akan mempertemukan mereka antara Sumantri dan
Arjuna Sasrabahu. Sumantri dan Sukrasana mendapatkan segala pelajaran ilmu
kesaktian dan kegagahan dari ayah mereka Resi Suwandageni di pertapaan
Jatisarana. Sehingga kedua putera resi ini benar-benar sama saktinya. Tentu
dalam olah tempur dan penguasaan pemakaian senjata, Sumantri lebih unggul daripada
Sukrasana. Sukrasana menguasai juga, tapi hanya terbatas teori tanpa latihan
fisik kanuragan. Namun dalam penguasaan olah kesaktian tenaga batin keduanya
sama-sama mumpuni.
Setelah
dewasa perbedaan ini semakin kelihatan nyata. Sumantri tumbuh menjadi pemuda
berpostur tinggi tegap dan tampan, profil ksatria pilih tanding. Sedangkan
Sukrasana memiliki penampilan raksasa mungil kurus dan berperut buncit, hingga
dewasa postur tubuh Sukrasana tidak berubah. Kalau Sumantri tumbuh dewasa
dengan keahlian tata kelahi kanuragan semakin matang, apalagi setelah
dianugerahi sejata sakti dari Hyang Otipati sebuah panah sakti bernama
‘Cakrabeswara’, Sumantri semakin meningkat kesaktiannya.
Sebaliknya
Sukrasana dengan postur kecil mungilnya, memiliki kelebihan dalam olah rasa
qolbu dan olah batin, menyatu dan berkomunikasi dengan ‘semua’ alam. Suatu
talenta gaib yang diturunkan alam. Masa sekarang orang jenis ini dinamakan
sebagai anak Indigo, paranormal, psychokinetic, extrasensory dan beyond
telepathic sences (diluar jangkauan indra telepati). Sukrasana bisa
memerintahkan benda-benda, semua jenis binatang dan mengendalikan iklim dan
cuaca. Semakin dewasa kemampuan indra ke enamnya semakin tajam menakjubkan
serta menakutkan.
Dari
Sukrasana inilah sumber marabahayanya kelak apabila dia sudah berumur. Karena
Sukrasana sejak bayi sudah dibuang ayahnya kehutan dan hanya ditanamkan ajian
‘Belah Jiwa’ semacam ajian adaptasi, tiruan atau malih-rupa (nemesis). Maka
selama hidup dihutan Sukrasana tidak pernah diganggu hewan buas manapun, karena
semua hewan buas melihat dan merasakan Sukrasana adalah makhluk dari
sejenisnya, bahkan semua hewan-hewan buas itu dengan senang hati memelihara dan
memberi makan sang bayi Sukrasana. Hebatnya pula berkat ajian itu, Sukrasana
mampu menyerap semua bahasa-hewan dihutan itu. Mampu berubah wujud menjadi
bentuk hewan apapun hanya dengan melihat saja. Dahsyatnya ajian ‘Belah Jiwa’
tidak sampai disitu saja, Sukrasana mampu meniru kepandaian semua orang dengan
cukup memandang saja, bahkan bisa menguasi walau hanya dengan ‘mendengar nama
orang sakti’ itu saja. Itulah sebabnya selama dilatih ayahnya Resi Suwandageni
bersama kakaknya Sumantri, Sukrasana sebenarnya ‘sudah menguasai’ semua
kesaktian ayahnya Resi Suwandageni, tanpa harus melatihnya, berbeda dengan
kakaknya Sumantri. Sumantri harus melatih baik dengan puasa, tapa brata dan
melatih aji-aji serta mantera-mantera ilmu kedigjayaan.
Saat
Sumantri pergi untuk mengabdi kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, Sukrasana tidak
diberitahu ayahnya Resi Suwandageni kemana Sumantri pergi. Namun Sukrasana
minggat pergi tanpa pamit untuk mencari tahu pengembaraan Sumantri. Singkatnya
Sukrasana berhasil menemui Sumantri dihutan kawasan Negara Maespati, sedang
menyendiri, masgul akan tugas dari Prabu Arjuna Sasrabahu untuk memindahkan
Taman Sriwedari dari Kahyangan Utarasegara di Suralaya ke Kerajaan Maespati.
Karena Sumantri bercerita tentang tugas beratnya dari Prabu Arjuna Sasrabahu.
Tanpa sadar Sumantri menyebut-nyebut nama Sang Prabu yang didengar Sukrasana dengan
cara yang ganjil, saat itu juga Sukrasana menyerap atau meniru kesaktian sang
prabu itu, diantaranya kesaktian memindahkan taman Sriwedari tsb.
Dahsyatnya
ajian itu akan semakin menjadi-jadi apabila pemiliknya dibiarkan tumbuh dewasa
dan hidup lama. Ajian itu akan mampu menyerap habis ilmu-ilmu orang
sejagat-raya, bahkan kehidupan seseorang akan dikendalikannya. Orang yang
mempunyai kemampuan seperti itu akan cenderung menjadi lalim dan diktator,
lupa-daratan karena memiliki segalanya. Semar dan Togog yang mempuyai tugas
menjaga keseimbangan alam raya hanya diperbolehkan bertindak melalui tangan
orang lain, dan tidak bisa bertindak langsung. Maka Semar segera mengirim telik
wangsit melalui kaca Lopian Hyang Otipati akan bahaya masa depan manusia dimasa
kehidupan Sukrasana. Jadi Sukrasana harus dibunuh sebelum tumbuh dewasa.
Sang
Prabu memberikan ujian kepada Sumantri, karena tampaknya Sumantri terlalu cepat
menepukkan dada untuk menyatakan siap menerima segala tugas-tugas berat yang
diberikan. Sikap percaya diri berlebihan itu karena dia memiliki andalan
senjata anugerah Dewa, yaitu senjata sakti ‘Cakrabeswara’. Sumantri yang sangat
menyayangi adiknya Sukrasana dapat tega mengancam dengan panah yang disusul
tewasnya Sukrasana. Peristiwa tewasnya Sukrasana sungguh diluar kehendak
Sumantri. Seakan ada campur tangan lain yang mengatur kejadian itu. Untuk jelasnya lebih baik kita kilas balik dengan mundur sejenak kebelakang, setelah Sumantri mendapat anugerah pusaka
dari Dewa.
Di
pertapaan ayahnya, Sumantri gelisah, sering duduk melamun, sifat petualangannya
bergejolak menyeruak. Dia ingin turun gunung, ingin mencari pengalaman luas,
ingin mencari pengakuan dari orang-orang di luar akan jati dirinya. Dia ingin
mengabdi pada suatu kerajaan besar, tapi Sumantri mematok syarat, sang raja
harus lebih sakti dari dirinya. Maka kehidupan di pertapaan yang sunyi sanyap
semakin menyiksa batinnya. Hiburan satu-satunya adalah bercengkerama dengan
adiknya Sukrasana, berburu ke hutan bersama, namun waktu terus berjalan, rasa bosan
dan keinginan mengembara semakin mencekiknya.
Sang
resi ayahnya melihat perobahan perilaku putra sulungnya, walau Sumantri
berusaha menutup-nutupinya. Akhirnya suatu malam Sumantri dipanggil ayahnya setelah Sukrasana terlelap dengan tidurnya. Terlihat sang resi sekarang telah
berumur lanjut. Sang resi sudah menduga keinginan anaknya, mengembara mencari
pengalaman hidup, dan sang resi tahu pula bahwa selain mengembara, Sumantri
ingin mengabdi pada sesuatu kerajaan, tetapi dengan syarat sang raja harus
lebih sakti dari dirinya. Maka sang resi menunjukkan seorang raja yang
kesaktiannya tak ada bandingannya, selain sang raja seorang bijak dan dermawan.
Dia adalah Prabu Arjuna Sasrabahu, seorang raja titisan Batara Wisnu. Ayahnya
kemudian menasehati agar Sumantri baik-baik menghadapinya, dan menjelaskan
bahwa sang prabu masih saudaranya juga. Dengan panjang lebar, ayahnya Resi
Suwandageni menjelaskan silsilah keluarga mereka (seperti diuraikan di atas),
dengan keluarga Kerajaan Maespati dimana Prabu Sasrabahu bertahta. Ayahnya
berpesan bahwa yang bertitah adalah SangHyang Batara Wisnu dan siapapun yang
mendapatkan tugas daripadanya pasti akan jaya. Sebaliknya bila pekerjaan itu
bukan titah Baginda, ia akan menemui kemalangan. Banyak lagi pesan dan nasehat
ayahnya sebelum Sumantri pergi. Kepergian Sumantri dari pertapaan Jatisarana
adalah untuk mengejar sesuatu yang menjadi kebutuhan hidupnya, yaitu impiannya
atau cita-citanya, ambisinya dan harapannya.
Banyak orang berhasil yang mengawali langkah keberhasilan dalam hidupnya dengan bermimpi. Setinggi apa pun mimpi seseorang, jika kita benar-benar yakin bahwa mimpinya akan berhasil dan mau berusaha keras untuk mewujudkannya, maka pastilah suatu saat mimpi tersebut akan menjadi kenyataan. Dalam realitas kehidupan, seseorang harus memiliki cita-cita dan impian agar hidup dapat terarah dan memiliki tujuan yang jelas. Orang bebas merancang impian sesuai dengan yang inginkannya dan juga bebas untuk mengubah impiannya setiap saat jika memang suara hati menghendaki untuk mengubahnya. Keberhasilan dan kesuksesan dalam hidup selalu berawal dari impian. Namun tidak semua orang berhasil mewujudkan impiannya. Hal ini bergantung pada bagaimana orang itu bisa mengarahkan impiannya menjadi kenyataan yang diharapkannya. Orang yang berhasil mewujudkan impiannya adalah orang yang dapat menyelaraskan antara impian dengan tindakan. Suatu impian akan dapat dicapai jika tidak terlena dengan impian-impian itu dan selalu hidup dalam dunia impian, namun mengharap untuk mau mengubah sikap dan tindakannya menuju ke arah impian yang dicita-citakannya. Jika saat ini kondisi dan keadaan sangat jauh dari impian yang dimilikinya, seseorang harus mengubah perilaku dan tindakannya untuk mencapainya. Dengan kata lain, harus keluar dari zona kenyamanan (comfort zone).
Impian
tanpa ambisi, bagai kendaraan tanpa bensin. Siapapun memenuhi syarat untuk
mencapai potensi penuh di dalam hidupnya. Semua orang memiliki kesempatan yang
sama untuk membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain bahwa dirinya mampu
mencapai kemajuan hidup. Tidak ada seorangpun yang ditakdirkan untuk gagal,
semua orang ditakdirkan untuk mencapai keberhasilan. Ambisi merupakan kesadaran
diri yang tinggi, motivasi, gairah, semangat, interospeksi, dan visi yang
jelas. Tidak boleh ada keraguan. Tidak boleh ada ketakutan. Tidak boleh ada
perasaan tidak mampu. Semua orang memiliki kemampuan alami untuk mencapai
impian hidupnya. Untuk itu, harus ada ambisi di dalam diri, dan keinginan yang
membara untuk mencapai sesuatu yang lebih besar di dalam hidup. Ambisi haruslah
mengalir di dalam energi positif. Ambisi harus di dalam interospeksi,
pengendalian diri, sikap rendah hati, belajar tanpa henti, serta menghidupkan
energi motivasi secara konsisten di dalam setiap keadaan dan situasi. Jangan
biarkan terjebak dalam perasaan superior ataupun inferior, sebab keduanya akan
membawa seseorang ke dalam penderitaan dan tekanan hidup. Sangat banyak
pelajaran yang diberikan oleh kehidupan nyata kepada orang yang ingin lebih
maju. Pelajaran yang mudah dan tersulit selalu ada di sepanjang kehidupan.
Diperlukan mental yang unggul untuk menghadapi semua pelajaran hidup tersulit.
Diperlukan emosi yang cerdas dan pikiran positif untuk bertindak menuju arah
pencapaian terbaik. Fokuskan perhatian kepada semua hal-hal detail. Hindari
tinggi hati dan kemalasan. Lakukan pekerjaan dengan sangat baik dari integritas
diri yang tinggi. Jangan berbohong pada kehidupan nyata, karena ada hukum alam
yang mengawasi semua perilaku. Apa yang ditabur akan menuai. Jadi, dalam kehidupan
nyata, hukum alam yang merupakan hukum Tuhan akan menjadi penilai atas
keberhasilan dan kegagalan hidup seseorang. Ambisi dalam diri adalah kekuatan
untuk mendorong kemajuan hidup. Ambisi dalam sikap rendah hati dan berserah
diri kepada Tuhan adalah hadiah untuk mencapai kemajuan. Ambisi untuk mencapai
yang terbaik di jalan Tuhan adalah cara untuk mencapai kemenangan dan sekaligus
kebahagiaan. Ambisi yang membuat seseorang berjuang dengan totalitas dan
sepenuh hati adalah energi untuk sukses. (oleh Djajenra)
Sumantri
berkemauan keras dengan impian-impiannya, ajaran ayahnya tidak membuatnya jadi
perenung, dia berusaha mewujudkan kedalam tindak nyata. Keteguhan hatinya akan
keyakinannya dapat mengalahkan Jin raksasa, dapat menggugah Dewata untuk memberikan
Senjata Pusaka Cakrabeswara. Dengan senjata pusaka itu ditangannya, Sumantri
mulai membentuk semua impiannya menjadi tujuan dan arah cita-citanya, yaitu
mengabdi kepada Raja. Sumantri diterima kerja oleh Mahapatih Maespati. Semula
dia hanya bertugas sebagai prajurit biasa. Tetapi karena kemampuan laganya yang
luar-biasa, sedikit demi sedikit dia diangkat menjadi prajurit gugus depan yang
membawahi 1000 prajurit.
Ambisi
untuk maju dan membuktikan diri, membuatnya dibenci pejabat-pejabat teras
Istana. Sumantri tidak sadar akan lingkungan sekitarnya yang gerah memanas,
kekurangan introspeksi membuatnya sering dijahili dan dimanfaatkan oleh
atasan-atasannya. Kurang rendah hati, kurang mau belajar terhadap pergaulan
antara pejabat istana, mau tidak mau Sumantri terjebak sendiri pada perasaan
superior karena kesaktiannya atau karena dia yang paling berjasa memenangkan
semua duel dengan musuh-musuh Kerajaan Maespati. Ada perasaan tinggi hati pada
satu segi kemampuan tempur dan kanuragan, namun tenggelam pada kubang inferior,
karena sebagai pemuda desa Sumantri tidak punya pengalaman pergaulan pada
perjamuan-perjamuan pejabat kekaisaran apalagi di lingkungan putri-putri
kerajaan. Kemampuan tata krama percakapan, sikap membawa diri pada pergaulan
antara para prajurit gugus depan dengan para Narpati, membuatnya kurang begitu
diperhitungkan.
Memang
Sumantri memiliki mental baja, hasil tempaan ayahnya, menghadapi kesulitan
hidup dan pelajaran bersosial di lingkungan kerajaan. Emosinya terjaga dengan
kesopanan cerminan anak dari seorang resi, tidak meledak-ledak, tetapi
digantikan sikap berwibawa setiap menerima titah atasan-atasannya. Sehingga
meskipun dia masih berkedudukan sebagai hulubalang atau prajurit gugus depan
dari mahapatih kerajaan Maespati, namun wibawanya cukup menggetarkan hati
atasannya. Ada pepatah mengatakan sekali mutiara tetaplah mutiara walau
dipendam dalam lumpur. Bintang gemerlapnya mulai tampak menyeruak, tatkala
Narpati Soda, atasannya mempercayakannya memimpin pasukan penjemputan Dewi
Citrawati dari Kerajaan Magada kakak Prabu Citragada. Kerajaan Magada pernah
diancam oleh Raja Darmawisesa dari Kerajaan Widarba, karena menolak pinangannya
untuk Dewi Citrawati. Sebagai balasan atas penolakan lamarannya, Kerajaan
Magada akan diserbu oleh Kerajaan Widarba. Atas prakarsa Prabu Arjuna
Sasrabahu, Kerajaan Maespati memberikan bantuan pasukan perang lengkap dengan
perwira-perwiranya. Dibalik bantuan Kerajaan Maespati kepada Kerajaan Magada,
Prabu Arjuna Sasrabahu berniat juga untuk meminang Dewi Citrawati untuk
dijadikan permaisurinya, karena sampai saat itu sang Prabu belum juga menikah.
Tentu saja lamaran Prabu Arjuna Sasrabahu diterima dengan tangan terbuka bahkan
Prabu Citragada merasa sangat tersanjung, kakaknya Dewi Citrawati dilamar raja
sebesar raja Maespati. Sekaligus kelegaan Prabu Citragada dari tekanan Raja
Darmawisesa. Kemurkaan Raja Darmawisesa dibuktikan dengan mengirimkan seluruh
balatentaranya berikut balatentara Kerajaan sahabat.
Peperangan
besar tidak dapat dihindarkan lagi antara gabungan Kerajaan Magada dan Kerajaan
Maespati melawan Kerajaan Widarba. Kedua prajurit bertarung dengan penuh
kesungguhan demi raja yang diagungkannya. Tetapi ada yang berubah dari hari ke
hari, pasukan gugus tengah yang dipimpin Sumantri kian mendesak mundur seluruh
pasukan Kerajaan Widarba di semua lininya. Kejadian itu membuat Raja
Darmawisesa resah, maka untuk mencegah berjatuhannya banyak korban, Raja
Darwawisesa menantang pertarungan antar narpati dari dua kerajaan yang
berseteru saja. Tantangan diterima dengan ksatria oleh Kerajaan Maespati. Dari
pihak Kerajaan Maespati bersiap maju adalah Prabu Citragada raja Magada sendiri
didampingi narpati-narpati Kerajaan Maespati yaitu; Narpati Soda atasan Sumantri,
Narpati Wisabajra, Narpati Suryaketu, Narpati Kalingpati, Narpati Candramaketu,
Narpati Sastranegara. Sedang dari pihak Kerajaan Widarba adalah Patih
Godadarma, Prabu Sriwindu, Prabu Sindarloba, Prabu Darmapati, Prabu Kodrabanu,
Prabu Redradarma. Pada waktu dan tempat sudah ditentukan, maka
berhadap-hadapanlah keenam petinggi kedua kerajaan, kecuali Prabu Citragada.
Perang tanding satu lawan satu berlangsung seru, masing-masing perwira
mengerahkan kanurangan dengan aji-aji ampuh disertai senjatanya pamungkasnya.
Masing-masing pihak tidak ada yang mau mengalah. Selang beberapa lama,
tampaklah keunggulan perwira-perwira Kerajaan Maespati. Satu persatu
Narpati-narpati Kerajaan Widarba berguguran, kecuali Patih Godadarma tampak
sangat tangguh ketika menghadapi Narpati Soda. Narpati Soda sudah banyak
terluka dan amat kepayahan. Ketika saat kritis keris Patih Godadarma akan
melibas leher Narpati Soda, sebilah pedang menahannya, hingga arah keris itu
melenceng bahkan terlempar saking kuatnya pedang itu menangkisnya. Tampak tubuh
tegap menghalangi tubuh Narpati Soda. Sumantri telah menolong atasannya pada
saat-saat genting. Patih Godadarma tidak ambil pusing siapa yang telah menolong
lawannya, dia segera memungut kerisnya dan langsung menyerang Sumantri. Pertarungan
berlangsung seru, tetapi tidak berlangsung lama, Patih Godadarma terdesak hebat
oleh sabetan-sabetan pedang Sumantri, hanya masalah waktu bagi kejatuhan Patih
itu, ketika pedang Sumantri menyabet dada dan menembus pinggang sang patih.
Patih Godadarma, narpati terakhir dari Kerajaan Widarba yang masih berdiripun
akhirnya tumbang. Sejak saat itulah nama Sumantri mulai diperhitungkan dan
mulai diperbincangkan diantara para perwira Kerajaan Maespati.
Bukan
kepalang marahnya Prabu Darmawisesa ketika melihat adiknya, Patih Godadarma dan
kelima raja kerabatnya tewas. Maka sambil menghunus sebilah keris Baginda
bermaksud menyerang malam itu juga, jika tidak ditenangkan adiknya Dewi
Darmawati, untuk maju perang pada hari berikutnya saja. Pada hari berikutnya Prabu
Darmawisesa yang memimpin pasukannya langsung, dan kali ini Sumantri memimpin
seluruh pasukan mewakili Narpati Soda yang terluka. Pertempuran antara kedua
pasukan berlangsung seru dan ketat, tetapi Sumantri melihat semakin banyaknya
korban berjatuhan, maka dia bersiap mengakhiri perang dengan caranya sendiri.
Sumantri menghunus panah pusaka Cakrabeswara dan melepaskan kearah pasukan
Widarba. Para panglima perang Widarba itu berguguran diamuk senjata itu. Bahkan
tombak pusaka Prabu Darmawisesa yang dilontarkannya tidak mampu menahan laju
melesatnya panah Cakrawisesa. Tombak pusaka hancur luluh. Prabu Darmawisesa
masih memiliki senjata panah pusaka, bernama ‘Kresna Pujangga’. Dia segera
menghunuskan untuk menahan laju terbang Cakrabeswara. Benturan kedua panah
pusaka menimbulkan dentuman kuat di udara disertai semburatnya sinar. Akan
tetapi senjata Kresna Pujangga nampak menghilang karena tidak sesakti
Cakrabeswara. Dan panah Cakrabeswara masih berputar-putar di angkasa, lalu
menukik ke arah Prabu Darmawisesa. Tubuh sang prabu meledak berkeping-keping
disambar panah Cakrabeswara. Melihat peristiwa itu, balatentara Widarba nampak
sangat ketakutan dan segeralah mundur. Diantaranya banyak tentara yang
melarikan diri sambil membuang senjatanya dan adapula yang menyerah. Sebaliknya
balatentara Magada bersorak-sorai sambil menyerbu mengejar bala tentara Widarba
yang ketakutan. Sumantri dielu-elukan segenap prajurit dan dibopong sepanjang
perjalanan kembali ke kerajaan Maespati. Narpati Soda yang terluka memaksakan
diri menyambut di pintu gerbang, dia segera memeluk Sumantri, yang telah
menyelamatkan seluruh balatentara Maespati dan Magada. Dia segera berniat
melaporkan akan jasa-jasa Raden Sumantri kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, esok
harinya.
Keesokan
harinya Prabu Arjuna Sasrabahu mengadakan rapat lengkap, dihadiri semua Narpati
yang merupakan Raja-raja yang berniat dengan suka rela bergabung dan takluk
dengan Kerajaan Maespati. Rapat antar petinggi Maespati berlangsung di
balairung kerajaan, nampak Sumantripun hadir disamping Narpati Soda. Rapat
membahas hasil pertempuran yang berlangsung kemarin, semua Narpati melaporkan
akan kehebatan dan jasa-jasa Sumantri yang bertempur dan membunuh Prabu
Darmawisesa. Mereka serempak menyatakan jika tidak ada Sumantri, pasukan
Widarba tentu akan mampu mengalahkan pasukan Magada, karena kesaktian dari
Prabu Darmawisesa yang sangat tinggi. Tetapi berkat adanya Raden Sumantri yang
meghalangi angkara murka Prabu Darmawisesa, semua Narpati prajurit dapat
selamat. Bahkan lebih dari itu, Raden Sumantri mampu mengalahkan dan membunuh
Raja Widarba tersebut. Demikian laporan para Narpati berebut saling mendahului
dan saling melengkapi laporan dari lainnya. Sumatri hanya tertunduk malu dan
jengah. Disinilah Sumantri mulai belajar mengendalikan emosi dan pikiran
positifnya untuk bertindak lebih maju kearah pencapaian terbaik, mengabdi
langsung kepada Baginda Prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri mulai bisa
mengendalikan ambisinya, meskipun peluang bagi ‘si penjilat’ terbuka lebar
untuk menunjukkan ke-akuannya. Tetapi tidak bagi Sumantri, dia tetap tertunduk
khusu menunggu keputusan Sang Prabu.
Yang
ditunggu-tunggupun tiba, Prabu Arjuna Sasrabahu memanggilnya. Beliau ingin
lebih bertatap muka. Sumantri mendekat dengan posisi ‘abdi dalem’ yaitu bergeser
mendekat dengan cara beringsut, tidak menegakkan kedua kakinya. Sang Prabu
terpana karena usia merekapun hampir dan mungkin sebaya, dengan wajah ada
kemiripan layaknya wajah seorang kakak beradik. Sumantri diam saja, tidak
memperkenalkan diri bahwa dia dan Prabu masih saudara sepupu dekat. Dia ingin
prestasi jabatannya berdasarkan hasil jerih payah dan keahliannya. Juga tatkala
Sang Prabu menanyakan nama dan asalnya. Sumantri menjawab lengkap namanya
sebagai Bambang Sumantri anak seorang resi dari pertapaan Jatisarana. Sang
Prabu menanyakan maksud Sumantri mengabdi di Maespati. Sumantri sangat tertarik
oleh kemuharan hati Prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri bersedia menyumbangkan
tenaga untuk melakukan titah Sang Prabu. Sang Prabu menyampaikan pertanyaan
sulit yang diwanti-wanti ayahnya, agar berhati-hati dan harus bisa membawa diri
di hadapan Sang Prabu. “Bambang Sumantri, apakah yang kau harapkan dari tahtaku
ini? Bila kau harapkan keutamaan tidaklah mungkin, karena diriku sendiri belum
sempurna. Bila engkau mengharapkan kemuliaan engkau tak akan dapat bahagia. Apa
gunanya engkau ingin menghambakan diri? Cita-citamu itu akan berganti dengan
derita belaka. Adapun para raja yang cinta kepadaku itu, bukanlah mengharapkan
kemuliaan. Mereka sekedar ingin persaudaraan, ingin berkumpul dan bersatu
dengan daku yang kurang pengetahuan.” Sumantri yang cerdas menjawab diplomatis
menyembunyikan ambisinya dengan menjawab: “Duh wahai Tuanku, ampunilah hamba.
Bukanlah itu maksud hamba. Cita-cita hamba ialah ingin mengabdi kepada Tuangku
Prabu.” Maka tertariklah Sang Prabu Arjuna Sasrabahu ketika mendengar jawaban
Raden Sumantri. “Bambang Sumantri, keinginanmu itu akan kukabulkan. Bersediakah
tenagamu untuk pergi Magada.” ujar Sang Prabu. Sumantri sudah mendengar dari Narpati
Soda, bahwa Baginda Prabu akan meminang kakak raja Magada, yaitu Dewi
Citrawati. Tapi pengetahuannya itu disimpannya dalam hati, hingga Sang Prabu
sendiri yang mengutarakannya. Sumantri bertanya sopan: “Apakah kehendak Paduka
Tuanku di Kerajaan Magada itu?.” “Aku bermaksud akan meminang Dewi Citrawati.
Semula aku akan membantu Prabu Citragada Raja Magada, tetapi engkau telah
menyelesaikan apa yang menjadi rencanaku. Maka baiklah Sumantri pergilah engkau
ke Magada sebagai wakilku untuk meminang Sang Dewi. Segala tanggung jawabku,
kuserahkan kepadamu. Tapi sebelum itu pergilah ke perbendaharaan dan gantilah
pakaianmu dengan sesuka hatimu. Ikutilah penjaga itu, dia akan mengantar ke
ruangan perbendaharaan. Dan ajaklah uwa Semar dan putera-puteranya.” Penjaga
keraton mengajak Sumantri ketempat Semar dan anak-anaknya berkumpul, sebelum ke
kamar perhiasan. Selama menunggu Sumantri dan Semar kembali dari kamar
perhiasan, Prabu Arjuna Sasrabahu memanggil semua pejabat teras dan para
Narpati. Beliau akan membuat keputusan penting.
Sementara
di kamar perhiasan, Sumantri sibuk memilih-milih pakaian, sementara sepasang
mata memandang tajam seakan menembus isi hati dan sanubari Sumantri, kemudian
dia tersenyum maklum campur kecut. Sepasang mata itu adalah sepasang mata Semar
yang sedang menilai jati diri Sumantri menembus hingga nasibnya hingga ke masa
mendatang. Pantaslah Baginda Prabu meminta dirinya untuk menemani Sumantri,
karena Prabu Arjuna Sasrabahu ingin mendapat gambaran lengkap tentang Sumantri.
Dan dari pengamatan mata sakti Semar, akhirnya diambil kesimpulan bahwa anak
muda ini mempunyai tekad baja terhadap kehidupan ini, kematian saja tidak dapat
menghalangi tekadnya untuk menjalani kehidupan. Terbukti pada zaman Mahabrata
300 tahun mendatang, Sumantri akan berreinkarnasi pada Narasoma, kemudian
berganti nama menjadi Prabu Salya dari Kerajaan Mandraka setelah menikahi putri
tunggal Bagawan Bagaspati brahmana raksasa di pertapan Argabelah, bernama Dewi
Setyawati. Karakter Sumantri yang sekarang tidak muncul, kelak di masa Prabu
Salya, karakter terpendamnya muncul. Dia mempunyai sifat dan perwatakan tinggi
hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Sedangkan Begawan
Bagaspati adalah titisan Sukrasana yang tidak mau berpisah dengan kakaknya Sumantri.
Begawan Bagaspati menikah dengan Dewi Darmastuti, seorang hapsari atau
bidadari. Semar kelak akan mengarahkan nasib Begawan Bagaspati (titisan
Sukrasana) untuk bertemu dengan Narasoma (titisan Sumantri), melalui puterinya
Dewi Setyawati. Namun Sukrasana tidak akan kekal berkumpul dengan ‘arwah
Sumantri’, karena Narasoma tidak menghendaki mempunyai mertua seorang raksasa,
meskipun dia seorang Brahmana. Sifat congkak dan tinggi hatinya tidak hilang
sejak masa Arjuna Sasrabahu. Sumantri atau Narasoma tidak mau cacat gengsi di
hadapan masyarakat dan handai taulannya. Semua kesaktian Sukrasana ‘Belah
Jiwa’, yang dahulu sudah matang, kelak akan dibungkus oleh Semar kedalam
bentuk raksasa bernama Candrabirawa. Raksasa Candrabirawa ini tidak dapat mati,
Aji ‘Belah Jiwa’ membuat raksasa ini, yang apabila dilukai musuh maka jumlahnya
justru akan berlipat ganda. Karena Sukrasana tetap menyayangi ‘Sumantri’ dalam
raga Narasoma, akhirnya ajian Candrabirawa diwariskannya kepada Narasoma, dan
Begawan Bagaspatipun moksa hilang dari kehidupan manusia. Candrabirawa itu
hanya dapat dikalahkan dengan kesabaran, seperti ketika ia melawan Yudistira,
seorang yang tak pernah marah, Candrabirawa tak kuasa mendekatinya karena ia
merasa panas seperti dibakar, hingga mengundurkan diri. Dalam perang itu, Prabu
Salya akhirnya tewas oleh Yudistira.
“Tapa’
Semar yang menerawang menembus ruang dan waktu, pudar seketika tatkala Cepot
menanyakan siapakah sebenarnya Raden Sumantri. Semar menjawab yang menjadi
rahasia mereka berempat. Sumantri sebenarnya masih saudara sepupu Prabu Arjuna
Sasrabahu. Karena kakeknya Sumantri Raden Wisanggeni adalah adik kandung kakek
Prabu Arjuna Sasrabahu yaitu Prabu Heria. Hanya Sumantri tidak mau mengutarakan
siapa dia sebenarnya, karena takut Sang Prabu tidak tega untuk
menyuruh-nyuruhnya. Sumantri ingin kedudukan dari pengabdiannya adalah hasil
jerih payahnya. Jadi Semar menganjurkan agar mereka mengikuti Raden Sumantri.
Sementara itu Bambang Sumantri sudah selesai berpakaian ksatria, tampak kini
keagungan dan kewibawaan seorang senapati pilih tanding. Dengan diiringi Semar
dan ketiga putranya, Sumantri kembali kebalairung diantar penjaga keraton. Tak
lama setelah itu sampailah mereka ke hadapan Sang Prabu. Baginda Prabu bangkit
dari singgasana dan bertitah agar Raden Sumantri duduk sejajar dengan Para
Narpati. Semakin bertambah tertarik hati Sang Prabu. Maka setelah Raden
Sumantri duduk di tempat yang telah disediakan, Sang Prabu mulai bersabda:
“Para Narpati sekalian. Bahwa kita sudah mengadakan bantuan perang kepada
Kerajaan Magada. Seperti yang sudah dilaporkan kita sudah memenangkan
pertempuran. Dan itu semua berkat jasa-jasa Raden Bambang Sumantri, yang sudah
membunuh Prabu Darmawisesa Raja Widarba. Maka berkat jasa-jasa, keberanian,
keunggulan dan kesaktian Raden Sumantri, sejak hari ini dia kuangkat menjadi Patih
Kerajaan Maespati ini.” Sejenak sunyilah keadaan di balairung itu. Sang Prabu
mulai bersabda lagi: “Maka sangatlah
kuharapkan, pertama kepada Raden Sumantri, bertindaklah sebagai wakilku dengan
kejujuran hati. Kedua, kepada segenap para Narpati, sudilah berunding dengan
Raden Sumantri bila mendapat kesukaran selama di Magada. Dan umumkanlah kepada
pasukannya masing-masing bahwa seluruh angkatan perangpun berada di bawah
kekuasaan Raden Sumantri. Demikian pula kepada Uwa Semar sekeluarga. Temanilah
patihku ini seakan-akan menghadapi daku.” Demikian sabda Prabu Arjuna Sasrabahu
disambut dengan takjim oleh seluruh yang hadir di balairung.
Pada
keesokan harinya keadaan di Maespati terlihat sibuk oleh rakyat dan balatentara
yang menyediakan segala yang akan dibawa ke Magada. Raden Sumantri serta para
Narpati nampak sibuk pula memerintahkan bermacam-macam pekerjaan. Dalam waktu
beberapa hari saja persiapan selesailah. Laporan kepada Bagindapun telah
disampaikan. Dan surat perintah untuk ketentuan hari keberangkatanpun telah
diserahkan oleh Sang Prabu. Surat itu segera dibawa pesuruh ke alun-alun yang
kemudian disampaikan ke hadapan Raden Sumantri. Raden Sumantri membaca sabda
Baginda bahwa mereka semua berangkat esok hari.
Pagi-pagi
benar Raden Sumantri serta para Narpati dan balatentara segera berangkat
meninggalkan Maespati. Setelah beberapa hari berjalan maka sampailah ke tugu
perbatasan Kerajaan Magada sebelah timur. Dua orang diantara penjaga-penjaga
perbatasan itu segera bersiap. Sumantri memerintahkan seorang kepala pasukan
menjelaskan bahwa mereka dari Kerajaan Maespati dan menjelaskan maksud
kedatangannya. Penjaga perbatasan segera beranjak pergi ke pusat kerajaan
Magada. Tak berapa lama penjaga tiba bersama Patih Sembada dari Magada. Raden
Sumantri menjemput Patih Magada dan berbincang-bincang ramah tentang pesan dari
Sang Prabu. Dan sementara itu pasukan membawa barang dan diijinkan berkemah, karena
pinangan Sang Prabu belum resmi diterima oleh Sang Dewi, jadi ajakan Patih
Sembada ditolak halus oleh Sumantri, begitu pesan Sang Prabu. Maka segeralah
Raden Sumantri serta para Narpati memerintahkan bala tentara agar membuat
perkemahan. Seketika itupun mulailah mereka bekerja dengan sibuk. Tampak Semar
dan para putranya sibuk juga mendirikan tenda perkemahan. Dalam sehari
selesailah perkemahan itu. Untuk Raden Sumantri dan para Narpati telah
disediakan sebuah perkemahan yang besar. Kemudian diajaknya para Narpati itu
berkumpul. Lalu disampaikan, bahwa Sumantri akan kepusat kerajaan bersama Patih
Sembada untuk menyampaikan pinangan.
Sumantri
diantar Patih Sembada menghadap Raja Magada Prabu Citragada di gerbang
balairung. Maka seakan-akan kedatangan Prabu Arjuna Sasrabahu sendirilah, Prabu
Citragada itu menjemput Raden Sumantri. Kemudian dikatakannya pula maksud
kedatangannya untuk mewakili Prabu Sasrabahu untuk meminang Dewi Citrawati.
Keduanya bercakap-cakap mengakrabkan diri, sebelum Prabu Citragada mengantar Raden
Sumantri ke keputren kakaknya Dewi Citrawati. Saat itulah selama Raden
Sumantri tengah bercakap-cakap dengan Prabu Citragada, Batara Narada diutus
Hyang Otipati untuk menemui Sang Dewi memberitahu sebentar lagi ada utusan
Kerajaan Maespati datang menemuinya. Dia merupakan utusan Raja penjelmaan
Batara Wisnu, yang datang untuk meminang Sang Dewi yang merupakan penjelmaan
Dewi Sri Sekar.
Tak
lama kemudian terlihatlah oleh Sang Dewi bahwa Prabu Citragada datang menuju ke
kaputren mengiringi Raden Sumantri dan para pengawalnya para panakawan. Sang
Dewi mengatakan bahwa sudah terbukti Sang Prabu Maespati mampu menundukkan
raja-raja yang ditolak olehnya, terutama Raja Widarba. Maka tidak alasan lagi
untuk menolak pinangan Sang Prabu Maespati. Semua yang hadir menjadi lega
mendengarnya, terutama Raja Citragada, karena kakaknya selalu menolak lamaran
dari raja-raja, dan yang terakhir menolak lamaran Raja Widarba yang berujung
ancaman akan menundukkan Kerajaan Magada dan akan menculik kakaknya Dewi
Citrawati. Satu yang mengejutkan adalah laporan dari Raden Sumantri; “Ada lagi
yang perlu dilaporkan dari hasil peperangan sebagai bingkisan. Diantaranya
ialah tawanan balatentara Widarba dan sekutunya Jonggarba yang benar-benar
berminat hendak menghambakan diri kepada Baginda Prabu Magada. Kemudian akan
kami sampaikan para janda permaisuri raja-raja bawahan Widarba dan seorang adik
Prabu Darmawisesa ialah Dewi Darmawati. Dan sejumlah kekayaan Prabu Darmawisesa
yang telah kami rampas dari perkemahannya.” Tapi Prabu Citraga dengan halus
menolak, karena semua adalah hasil jerih payah Raden Sumantri senapati Kerajaan
Maespati, maka yang berhak menerimanya adalah Prabu Arjuna Sasrabahu, sedangkan
Prabu Citragada dan kerajaan Magada bermaksud hendak dipersatukan di bawah
panji Kerajaan Maespati. Sang Prabu hendak berhidmat kepada Prabu Arjuna
Sasrabahu. Banyak lagi yang diperbincangkan, akhirnya Prabu Citragada mengutus
Patih Sembada untuk menjemput Dewi Citrawati. Sang Dewi pun menjawab bahwa
tidak akan keberatan memenuhi panggilan dan segera turun dari tempat duduknya.
Bersamaan
dengan hadirnya Sang Dewi, saat itu juga rombongan tandu yang membawa para
janda raja-raja Widarbapun baru tiba memasuki gerbang Keraton Magada. Sang Dewi
memasuki Keraton Magada dari pintu lain, sementara iring-iringan janda permaisuri
raja-raja bawahan negara Widarba memasuki balairung. Diantaranya terlihat Dewi
Darmawati datang bersembah ke hadapan Baginda dan Sang Dewi Citrawati. Sang
Dewi bertanya apakah mereka tidak keberatan bila sementara berdiam di kaputren.
Adapun Dewi Darmawati dan para permaisuri sangatlah bergembira ketika mendengar sambutan Dewi Citrawati. Baginda beserta Sang Dewi dan Raden Sumantri, kemudian
membicarakan rencana perpisahan dan kepastian-kepastian hari keberangkatan Sang
Dewi ke Maespati. Baginda memutuskan dua hari lagi sebelum berangkat akan
diadakan hari perpisahan bagi Dewi Citrawati terhadap rakyat Magada. Maka
perundingan selesai. Kemudian berangkatlah Dewi Citrawati diiringi Dewi
Darmawati dan permaisuri-permaisuri meninggalkan balairung keraton Magada
menuju kaputren sang Dewi. Dan Raden Sumantripun segera menyusul mohon diri
untuk mempersiapkan tentara-tentara untuk menghadiri acara perpisahan.
Tak
lama kemudian seluruh balatentara bekerja dengan sibuknya membereskan
perkemahan, lalu dibongkar bersiap untuk memasuki Kawasan Alun-alun Keraton
Magada. Setiba di alun-alun terlihat Patih Sembada menyambut kedatangan Raden
Sumantri dan mempersilahkan masuk beserta seluruh balatentara pengiring ke
halaman keraton dengan bebas. Maka pada hari itu pintu gerbangpun nampak selalu
terbuka dan penuh sesaklah halaman yang luas itu. Di situlah seluruh
balatentara Maespati dan Magada beserta seluruh rakyat Kerajaan Magada turut
serta memeriahkan hari perpisahan. Terlihatlah kembali Keraton Magada yang
dibanjiri oleh para tamu dan penonton itu. Hingga saat itu balatentara Maespati
telah tiga hari tiga malam dijamu di keraton. Bermacam-macam tingkah laku
mereka selama itu. Ada yang bersenda gurau duduk bercakap-cakap dipelataran
tangga masuk lobi balairung, ada yang berjalan-jalan, tertawa-tawa, melamun dan
ada juga diantaranya yang mengantuk. Semua orang memenuhi kesetiap pelosok
alun-alun dan halaman luar keraton. Tidaklah heran lagi, karena mereka sangat
merasa bebas yang kebiasaannya selalu terikat kewajiban peraturan keprajuritan
yang serba kaku dan ketat.
Tibalah
sekarang pada waktu dilangsungkannya upacara perpisahan. Terlihatlah Dewi
Citrawati disertai adiknya Prabu Citraga dan Raden Sumantri berjalan menuju ke
panggung diiringi oleh para emban dan patih. Maka ramailah suara tepuk tangan
para hadirin yang menantikannya, ketika para petinggi melambaikan tangan
memberi salam kepada ribuan hadirin. Kemudian berbicaralah Patih Sembada
sebagai pembuka acara, disusul tampilah Prabu Citragada ke depan. Baginda bersabda
bahwa sangatlah merasa gembiranya karena kunjungan rakyat dan tentara yang
benar-benar mentaati titahnya. Baginda berpesan pula agar bertambah samangat
dalam mengerjakan segala kepentingan Kerajaan disertai kejujuran dan keikhlasan
hati. Sabda baginda yang terakhir ialah mengenai akan berpisahnya Dewi
Citrawati dengan Kerajaan Pusaka itu dan rakyat berikut semua bala tentara.
Dengan wajah berseri-seri baginda bersabda, bahwa sang dewi akan dibawa ke
Maespati untuk dipersunting menjadi Permaisuri Prabu Arjuna Sasrabahu. Tak lupa
baginda menyampaikan terimakasih atas jasa Raden Sumantri serta para senapati
dan balatentaranya. Dan selesailah pesan-pesan Baginda itu dan disambut oleh
tepuk tangan dengan riuhnya. Patih Sembada sebagai pembawa acara menyampaikan
bahwa kini saatnya bagi Sang Dewi untuk tampil bertemu dengan rakyatnya. Dan
beranjaklah Dewi Citrawati ke tepi panggung. Dengan anggun Sang Dewi menoleh ke
kiri dan ke kanan sambil tersenyum. Banyaklah tentara Maespati yang baru
pertama kali melihatnya, terpesona oleh kecantikan Sang Dewi. Maka bertambahlah
serunya orang-orang itu bertepuk-tangan.
Kemudian
mulailah Sang Dewi berkata dengan suaranya yang sangat merdu dan lembut.
Mula-mula Dewi Citrawati mengucapkan terima kasih kepada segenap pengunjung.
Setelah itu Sang Dewi menyampaikan terima kasihnya pula kepada Raden Sumantri
dan para senapati serta tentara Maespati. Lalu disampaikan olehnya kepada
seluruh rakyat Magada bahwa Sang Dewi akan meninggalkan mereka. Tatkala berkata
demikian, air mata Sang Dewipun berlinang-linang dan suaranya agak tersendat
haru. Maka seluruh rakyat yang hadir sangatlah merasa sedihnya ketika melihat
keadaan demikian itu. Tidak sedikit rakyat yang tiada dapat menahan rasa pilu
hatinya, nampak menundukkan kepala dan banyaklah para wanita yang menangis
tersedu-sedu. Kemudian Sang Dewipun segera mengakhiri pertemuannya dengan
mengucapkan selamat berpisah dan mengharapkan doa mereka. Lalu mundurlah Dewi
Citrawati ke tempat duduknya. Patih Sembada hadir maju ke tepi panggung untuk
menyampaikan bahwa Raden Sumantri akan mengucapkan sepatah dua patah kata.
Raden Sumantri disambut oleh rakyat dan tentara Magada dengan bertepuk tangan
yang seru. Sambutan mereka itu dibalasnya dengan senyuman. Mula-mula ia
mengatakan sangat berterimakasih atas kunjungan seluruh rakyat. Bergembira
bahwa mereka benar-benar mentaati titah serta mencintai Prabu Citragada dan
saudarinya itu. Disampaikannya ucapan terimakasih atas sambutan dan jamuan dari
baginda. Adapun hal mengenai hari perpisahan, Raden Sumantri mengharapkan
keikhlasan hati rakyat Magada agar bergembira menerimanya. Bahwasanya raja
yang akan meminang Dewi Citrawati itu ialah seorang Raja yang berbudi luhur dan
sakti. Banyak pula saran-saran yang diajukan oleh Raden Sumantri, dan rakyat
serta tentara Magadapun sangatlah merasa tertarik oleh ucapan-ucapannya itu.
Raden Sumantri berseru agar bersatulah tujuan mereka didalam persaudaraan, yang
disambut dengan meriah dan tepuk tangan yang gegap gempita. Dan Raden
Sumantripun segera mengakhiri acaranya, tetapi tepuk tangan Rakyat Magada masih
terus menggema seakan tak rela Raden Sumantri meninggalkan panggung. Patih
Sembada segera maju ke muka untuk menutup acara. Dan mengatakan kepada para
pengunjung semuanya tidak ada kekecualian dapat menemui Sang Dewi di balairung
nanti untuk memberi salam menyampaikan doa selamat dan bahagia. Sang Dewipun
segera menuju ke balairung, dan segera duduk di singgasana. Adapun sang patih
nampak sibuk memerintah penjaga-penjaga keraton untuk serta mengatur rakyat
yang akan menghadap kepada Sang Dewi. Maka acara terakhir itupun akan dimulai.
Dengan berbaris satu persatu berturut-turut rakyat Magada yang ingin bertemu
dengan Sang Dewi masuk ke balairung. Acara sungkeman itu dimeriahkan alunan
gamelan di atas menara keraton, menambah khusu suasana sembah hormat perpisahan
dari rakyat Magada kepada Sang Dewi. Acara sungkeman dan doa dari rakyat
berlangsung hingga malam, dan dilanjutkan dengan pesta persahabatan antar
balatentara Magada dan Maespati.
Pada
keesokan harinya seluruh penjaga keraton bersiap dengan tugasnya masing-masing.
Patih Sembada tampak yang paling sibuk memerintah kesana-kemari. Hingga kereta
yang akan membawa keluarga raja siap di depan alun-alun. Dewi Citrawati serta
para permaisuri raja-raja taklukan nampak berkumpul disertai Prabu Citragada di
muka tangga keraton. Tak lama kemudian terdengarlah meriam berdentum tujuh kali
sebagai tanda waktu keberangkatan. Prabu Citragada bersama kakaknya Dewi
Citrawati dan Raden Sumantri duduk dalam satu kereta kerajaan. Sedangkan para
pemaisuri raja-raja taklukan dan Dewi Darwati beserta emban-emban dibawa dengan
tandu-tandu yang sudah dipersiapkan. Sepanjang perjalanan rakyat bergemuruh di
tepi jalan yang dilalui rombongan. Sang Dewipun tidaklah henti-hentinya
melambaikan tangannya menyambut seruan rakyat yang berjejal-jejal di sepanjang
jalan. Rombongan yang membawa kereta dan tandu-tandu bertambah panjang ketika
rombongan kuda pengawal mulai mengikuti di belakang. Dan berisan terakhir
adalah balatentara Maespati.
Dan
tidaklah terasa oleh barisan itu bahwa perbatasan kerajaan tengah mereka lalui.
Akan tetapi sepanjang perjalanan itu Sumantri nampak bermuram saja.
Pandangannya selalu di tujukan keluar kereta, memandangi daerah-daerah yang
dilaluinya tetapi dengan pikiran berada di tempat lain. Dia selalu bertopang
dagu, hampir sepanjang perjalanan, tidak mengindahkan orang-orang yang duduk
satu kereta dengannya, yaitu Prabu Citragada dan Dewi Citrawati. Sumantri
sedang berpikir bagaimana dia pernah berujar kepada ayahnya saat akan
meninggalkan pertapaan ayahnya. Dia berujar akan mengabdi kepada raja yang
lebih sakti daripada dirinya. Saat ini dia sudah mengabdi kepada Sang Prabu
Arjuna Sasrabahu sekian lama, membunuh Raja Sakti yang menyerbu kerajaan wanita
pujaan hatinya. Dia sudah mengingkari ucapannya sendiri di hadapan ayahnya.
Salahkah dia. Mungkin dia bersalah, mungkin juga tidak. Yang jelas kini
Sumantri menghadapi dilemanya sendiri, seandainya Sang Prabu tidak lebih sakti
daripada dirinya dan terbunuh dalam adu tanding, akankah dia akan menggantikan
Sang Prabu untuk meminang Dewi Citrawati atau menguasai singgasana tahta
Maespati. Semuanya sungguh diluar perkiraannya, akan tetapi bagaimana jika
semua terjadi. Sumantri sungguh-sungguh tidak menghendaki Sang Dewi dan tahta
Maespati, dia hanya ingin memenuhi apa yang sudah terucapkan di hadapan
ayahnya, dia tidak ingin terkena karma kutuk Dewata karena menyalahi janji di
hadapan seorang resi mumpuni seperti ayahnya. Tetapi lamunannya buyar, dia
terkejut tatkala Prabu Citragada bertanya heran, karena sejak dari alun-alun
Kerajaan Magada, Sumantri hanya bermuram durja saja. Selain itu Sang Dewipun
hanya tersenyum-senyum kecil, tentu mentertawakan kelakuannya. Ingin rasanya
dia menampar kepalanya sendiri karena kebodohannya, tetapi yang terjadi adalah
ucapan sebuah usul agar rombongan sebaiknya istirahat dulu, kebetulan
pemandangan sekitarnya sangat indah dan hari juga sudah menjelang petang. Prabu
Citragada sangat setuju. Kemudian segeralah Raden Sumantri mengisyaratkan kepala
pasukan penuntun agar berhenti disitu. Maka seluruh barisan itu berhenti dan
seluruh balatentara mulai sibuk bekerja bersiap mendirikan tenda-tenda dan
keperluan-keperluan lainnya bagi Raja, Sang Dewi, dan para petinggi kerajaan
serta para permaisuri.
Namun
malam pada pertemuan dengan petinggi Kerajaan Magada, Sumantri selalu nampak
bermuram saja. Maka segeralah ia bermohon diri kepada Prabu Citragada hendak
melepaskan lelah dalam ruangannya. Sang Prabu menduga bahwa Raden Sumantri itu
agak merasa pening dan Bagindapun mengijinkannya. Di dalam tendanya ia disambut
oleh Semar dan putra-putra. Tapi ia hanya mengatakan ingin beristirahat. Dalam
kesendiriannya dia merenung mempertimbangkan masak-masak rencana yang akan dilakukannya. Demi ucapan yang dia sampaikan kepada ayahnya, akhirnya
dibulatkan niatnya itu, dia membuka peti dan mengambil alat-alat tulis. Dia
menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Prabu Arjuna Sasrabahu.
Keesokan
harinya diperkemahan utama tempat Sang Prabu bermalam, sudah berkumpul para
Narpati. Mereka sedang bercakap-cakap sambil menantikan kedatangan Raden
Sumantri. Tak lama kemudian Raden Sumantripun hadir ke perkemahan. Dan iapun
berkumpul disitu disamping Sang Prabu. Sang Prabu menanyakan rencana Sumantri
berikutnya, dan Sumantri menyampaikan agar sebaiknya rombongan menetap di situ
beberapa hari lagi. Dan agar Prabu Arjuna Sasrabahu tidak menanti-nanti, dia
sudah menulis surat yang akan dikirimkan ke Maespati saat itu juga. Prabu
Citragada setuju dan akan menunggu kunjungan Sang Prabu Maespati keperkemahan
mereka. Surat akan dibawa oleh Narpati Soda dan Narpati Kalinggapati. Dengan
berkuda mereka membawa surat dan dengan cepat sebelum siang sudah tiba di
Kerajaan Maespati.
Sang
Parabu Sasrabahu sedang duduk di singgasana balairung. Beliaupun segera berdiri
menyambut kedua Narpatinya, menerima surat yang dipersembahkan kepadanya.
Sebelum membacanya surat itu, beliau menanyakan perkembangan penjemputan Dewi
Citrawati. Beliau sangat puas mendengar laporan kedua Narpatinya, kekaguman
beliau semakin kuat saja mendengar laporan hasil kepepimpinan Raden Sumantri.
Sang Prabu merasa tidak salah mengangkatnya menjadi Mahapati di Maespati.
Tetapi bisikan gaib dari pembantu khususnya yaitu Semar, membuatnya tetap
waspada. Dan kewaspadaan itu terbukti setelah beliau membuka gulungan surat
dari Raden Sumantri dan membacanya isinya. Adapun isi surat antara lain;
“Bila seorang raja hendak memiliki
seorang putri dengan resmi, haruslah mengalami perang yang dahsyat terlebih
dahulu. Maka untuk memenuhi syarat-syarat demikian itu, saya Bambang Sumantri
bersedia untuk melayani berperang dengan Prabu Arjuna Sasrabahu. Agar Dewi
Citrawati benar-benar menjadi hak Baginda.
Hormat saya.
Bambang Sumantri.”
Demikianlah
isi dan maksud surat itu. Mula-mula bagindapun merasa heranlah akan maksud
Raden Sumantri demikian itu. Namun sungguhlah Baginda waspada, terlebih lagi
Semar sudah membisikkan bagaimana karakter Patihnya itu. Maka Bagindapun
tersenyum. Kedua Narpati beliau terheran-heran melihat Rajanya setelah membaca
surat. Bagindapun memberikan surat kepada keduanya, dan meminta pendapat
mereka. Setelah membaca surat itu, keduanya berpandang-pandangan dengan kening
berkerut. Ada ketidak yakinan mereka, bahwa Raden Sumantripun menghendaki Sang
Dewi. Dengan bijaksana Sang Prabu menjelaskan, bahwa: “Raden Sumantri seorang
ksatria yang menjunjung tinggi norma-norma kepatutan keprajuritan, yang selalu
bela-pati demi titah junjungannya. Dia bermaksud ingin menguji kemampuanku,
sekedar untuk menetapkan dirinya kepada siapa ia harus mengabdi. Cita-citanya
itu ialah kepada siapapun, asal kesaktiannya melebihi dia. Maka maksud yang
demikian itu harus aku turutkan.” Kedua Narpati kagum akan kebijaksanaan
Rajanya. Karena tidak ada lagi yang harus dilaporkan, keduanya minta diri.
Sepeninggal kedua Narpati itu, Sang Prabu segera memanggil penjaga keraton.
Sang Prabu bertitah agar pada keesokan harinya di alun-alun harus disediakan
dua kereta perang lengkap dengan senjata.
Pada
keesokan harinya, di alun-alun sudah tersedia dua kereta perang lengkap dengan
persenjataan perangnya. Baginda segera membawa salah satunya, dan satunya lagi
dibawa kedua Narpatinya Soda dan Kalinggapati. Dengan kencangnya sepasang kereta
itu dibawa lari oleh kedua ekor kuda pilihan. Maka tiada berapa lama kemudian
sampailah kedua kereta itu ke perkemahan rombongan Prabu Citragada dan Raden
Sumantri. Tentu kedatangan Sang Prabu sangatlah mengherankan seluruh
balatentara. Mereka yang berada disitu tidaklah mengerti akan maksud Baginda
mengapa berkereta perang dan bersenjata lengkap. Maka Prabu Citragadapun segera
menjemputnya dengan penuh pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya. Setelah semua
masuk dan berkumpul bersama Prabu Arjuna Sasrabahu dan Prabu Citragada, Raden
Sumantri, para Patih dan Narpati kedua kerajaan itu, Prabu Citragada membuka
pembicaraan dengan mengutarakan kesenangannya akan kesudian Sang Prabu Arjuna
Sasrabahu untuk hadir di perkemahan mereka. Dan juga menyampaikan keheranannya
Paduka Prabu hadir dengan dua kereta perang lengkap. Dengan bijak Sang Prabu
menjelaskan, beliau membawa kereta perang untuk memenuhi persyaratan meminang
seorang puteri. Tetapi Prabu Citragada semakin heran, karena dia tidak merasa
memberikan syarat harus membuktikan berperang dahulu untuk meminang kakaknya Dewi
Citrawati. Sang Prabu Arjuna Sasrabahu bijak menjelaskan bahwa menurut adat
kebiasaan, bila seorang raja hendak memiliki seorang puteri harus mengalami dan
menundukkan suatu pertempuran pada perang yang dahsyat dahulu. Maka untuk
memenuhi syarat-syarat itu Prabu Maespati hendak berperang dahulu dengan Raden
Sumantri. Beberapa saat lamanya setelah Baginda bersabda demikian maka sunyilah
keadaan dalam ruangan itu. Semuanya terhenyak bingung bercampur
ketidak-percayaan dengan yang mereka dengar. Kecuali Raden Sumantri dan kedua
Narpati pembawa surat itu. Dan selanjutnya Sang Prabu mengajak Raden Sumantri
untuk mempersiapkan seluruh persenjataannya, dan menunggangi kereta yang sudah
disiapkan untuknya. Sumantri segera berdatang sembah dan siap menjalani titah Sang
Prabu.
Sebelum
menaiki kereta perangnya, Sang Prabu berpesan kepada para Narpati untuk
memerintahkan kepada seluruh balatentara agar mereka bersorak-sorai dan jangan
memihak kepada siapapun karena peperangan ini bukan berdasarkan perselisihan.
Tentu para Narpati yang tidak mengetahui hal-ihwalnya, mengira titah Baginda
sebagai berolok-olok. Namun titah itupun segera ditaatilah. Disamping tepik
sorak tentara dengan riuhnya itu, balatentara gembira juga karena akan disuguhi
tontonan pertempuran yang dahsyat tentunya. Kebanyakan balatentara belum pernah
melihat Sang Prabu turun ke medan laga bertempur dengan musuh, jadi mereka
belum pernah melihat kesaktian Prabu Arjuna Sasrabahu. Lain halnya dengan Raden
Sumantri, mereka sudah pernah menyaksikan dia mengalahkan Raja Widarba Prabu
Darmawisesa yang sangat sakti. Mereka juga pernah menyaksikan kemampuan
permainan pedang dan tombak yang tidak lumrah dilakukan manusia biasa. Seratus
prajurit dan tamtama Widarba berpentalan dan buyar disambar sabetan-sabetan
pedangnya, lemparan tombaknya tidak pernah tertahankan oleh tameng apapun,
mereka pernah menyaksikan belasan tubuh manusia tewas terpanggang tombak sekaligus.
Maka kini balatentara Maespati dan Magada sangat mengkhawatirkan keselamatan
Prabu Arjuna Sasrabahu.
Kemudian
Sang Prabu menunjukkan salah satu tempat yang datar dan luas kepada Raden
Sumantri. Semua barisan tentara Magada dan Maespati mengikuti dengan
terus-menerus bersorak-sorai. Prabu Citragada dan Dewi Citrawati dengan
ditandu, juga tidak mau ketinggalan untuk melihat ‘perang persahabatan’.
Sebelum balatentara yang akan menyaksikan itu berkumpul seluruhnya, perang
itupun belumlah dimulai. Selesai semua berkumpul, maka Baginda Arjuna Sasrabahu
memberi isyarat bahwa perang akan dimulai. Masing-masing sudah menghela keras
tali kekang kuda kuat-kuat, sehingga kereta perang tersentak berlari saling
mengitari lawan, dan masing-masing sudah mempersiapkan senjatanya
masing-masing, saling intai-mengintai mencari momen tepat untuk menyerang. Sang
Prabu tampak menyerang terlebih dahulu dengan tombak, meluncur dahsyat
menimbulkan suara bersiutan, namun Sumantri berhasil menepis dengan tamengnya.
Begitu kerasnya lemparan Sang Prabu sehingga menyebabkan tameng Sumantri robek
tergaruk ujung tombak. Sumantripun tidak kalah menyerang dengan pedangnya, dia
menyabet-nyabetkan pedangnya, suara sabetan pedang bersiutan mengerikan,
dahan-dahan pohon di dalam radius 10 sampai 15 meter terpotong-potong dan
daun-daun bertaburan seperti diserang angin tornado. Tetapi Sang Prabu tidak
kalah gesitnya menyabetkan pedang dan tombak di tangan kiri beliau. Suara
benturan kedua pedang berdenting belasan kali seakan ada puluhan orang sedang
bertarung disaat bersamaan. Dan angin pukulan dari sabetan dan benturan pedang
menyebabkan pohon-pohon bertumbangan terpotong-potong disertai bertebaran
dedaunan keangkasa, seakan ada tornado di tengah arena pertarungan. Percikan
api benturan-benturan senjata menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat dalam radius
15 meter. Di dalam radius inipula terjadi pusaran-pusaran angin yang
menerbangkan debu, pasir atau kerikil. Suara-suara mengaung-ngaung bagai ribuan
tawon bercampur deru pusaran angin akibat sabetan-sabetan pedang menambah
pemandangan pertarungan menjadi lebih menyeramkan. Suasana arena pertarungan
sudah tidak nyaman untuk ditonton Keruan
saja balatentara yang menonton lari berhamburan menjauhi arena untuk
menyelamatkan diri, ada yang bertiarap, ada yang bersembunyi dibalik
bukit-bukit batu. Suara sorak-sorai berganti dengan suara-suara
teriakan-teriakan ketakutan. Keadaan menjadi kacau ricuh dan menakutkan. Prabu
Citragada dan para Narpati segera memerintahkan semua orang untuk menjauhi
mengambil jarak lebih jauh. Tandu-tandu para Permaisuri dan Dewi Citrawati
dibawa ke atas bukit-bukit batu. Baik Sang Prabu dan Raden Sumantri belum
bertempur dalam jarak dekat atau tidak saling mendekati. Keduanya saling
menyabet pedangnya dari jauh, akan tetapi angin sabetan pedang berkelebatan
disekitar arena, bergemerincing dan berdenting mengerikan seakan disitu sedang
bertarung seratus orang yang saling beradu pedang. Kereta perang mereka tetap
berputar-putar cepat dan lincah, saling mengisi celah-celah peluang di
tempat-tempat kosong lawan. Maka saat itulah mereka menyerang dengan
sabetan-sabetan pedang, lemparan-lemparan tombak atau desingan puluhan
anak-panah. Suasana arena begitu hiruk pikuk, debu-debu bercampur percikan api
atau dentuman-dentuman ledakan yang membongkar tanah atau merontokkan bebatuan
berbaur menjadi satu. Waktu baru berjalan 5 menit, namun pecahan senjata sudah
menumpuk di lapangan.
Terkadang
Sang Prabu sekali waktu meninggalkan kereta perangmya dengan cara melompat di
udara, bersalto mendekati kereta Sumantri seraya menyabet-nyabetkan pedangnya,
sambil bertumpu pada sebilah tombak, dan melompat lagi menyerang Sumantri
mendesak dahsyat, sehingga membuat kereta Sumantri rusak parah tercacah
sabetan-sabetan pedang. Sang Prabu tidak pernah berpijak pada tanah, hanya
tombak itu sebagai pengganti kedua kaki beliau, kemudian beliau bersalto
kembali mendarat di kereta perang beliau. Begitu berulang kembali demontrasi
kelincahan Sang Prabu dipertontonkan. Sumantri kagum sekali akan kelihaian Sang
Prabu, dia sempat gelagapan dibuatnya, namun sabetan-sabetan pedang yang
dilambari aji-aji kesaktian sempat menyelamatkan dirinya. Untuk mengatasi
taktik serangan Sang Prabu yang aneh itu (sekarang taktik perang itu
dikenal dengan nama kungfu), Sumantri
memakai taktik panahan, mulai kontinyu memainkan anak panahnya, dia mulai
bermain jarak jauh. Maka perang anak panahpun ramai dilakukan, berdesingan di
angkasa arena tarung tersebut, sampai semua anak panah dalam kereta perang itu
habis dilepaskan. Sampai akhirnya terpegang oleh Sumantri Panah Cakrabeswara.
Namun Sumantri ragu-ragu untuk melepaskannya dan urung direntang dalam busur
panah. Melihat Raden Sumantri ragu-ragu melepas panah saktinya, Prabu Arjuna
Sasrabahu membulatkan tekadnya untuk jangan ragu-ragu agar tidak timbul
kepenasaran lagi. Lamalah Sumantri berpikir sebelum melepaskan senjatanya.
Kemudian niatnya itupun dibulatkannya, busurpun direntang dan panah
Cakrabeswara siap ditembakkan ke arah Sang Prabu. Sang Prabu segera menghela
tali kekang keretanya, berlari kencang berkelok-kelok untuk mempersulit fokus
tembak Sumantri. Sumantripun menghela keretanya berputar-putar mengikuti arah
putaran kereta Sang Prabu mencari posisi tepat untuk melepas panahnya.
Dan
terlepaslah senjata Cakrabeswara itu. Sesungguhnya tindakan Sumantri itu
sangatlah dilarang oleh Dewa, bahwasanya tindakan Raden Sumantri memang tidak
layak untuk dilakukan terhadap seorang penjelmaan Batara Wisnu. Namun karena
petempuran itu bukanlah karena perselisihan melainkan sekedar menetapkan niat
Raden Sumantri, yang bercita-cita apakah benar ia harus menghambakan diri
kepada Prabu Arjuna Sasrabahu. Sementara panah itu mulai mengejar kemana kereta
Sang Prabu lari, seakan seekor elang yang mengejar seekor tikus. Bersamaan
dengan jerit Dewi Citrawati, maka kereta Baginda terpanah. Bagai ledakan dinamit TNT, kereta dan tanah sekitarnya
meledak hancur sehingga sukar dikenali lagi. Melihat kesaktian senjatanya itu
Raden Sumantri sangat merasa bangga. Tetapi kebanggaannya itu lenyap ketika
melihat Prabu Arjuna Sasrabahu keluar dari asap ledakan dalam keadaan selamat.
Melihat Sang Prabu selamat, semua penonton bersorak-sorai disertai pekik
teriakan kekaguman. Tetapi sorak-sorai balatentara dan semua penonton berubah
menjadi pekik kengerian. Sebagian besar penonton di baris depan meloncat
kebelakang menerjang orang-orang dibelakangnya, saling bertindihan dan terus
berlarian menjauh, menginjak-nginjak penonton-penonton yang belum sempat
berdiri. Sebagian lagi terkesima melongo berlutut menyembah-nyembah sambil
melotot memandang ketengah arena pertarungan meracau ucapan-ucapan yang tidak
beraturan dan tidak jelas. Ada juga yang terduduk tidak kuasa menahan air
seninya yang membanjiri celananya. Para permaisuri dan emban-embannya
tergeletak tidak sadarkan diri. Sang Dewi melotot tidak percaya dengan
pandangannya, termasuk Prabu Citragada terlompat dari kereta kencananya. Para
Narpatipun tidak luput dari keterkejutan ini, mereka banyak yang terjatuh dari
pelana kudanya.
Apa
sebenarnya yang terjadi. Prabu Arjuna Sasrabahu tiba-tiba lenyap digantikan
sosok raksasa maha dahsyat, sebesar gunung, yang menutupi cahaya matahari,
menggapai awan. Sang Prabu ber ‘triwikrama’ (berubah wujud menjadi raksasa
apabila sudah marah). Konon kepala raksasa itu bisa berubah-ubah. Bisa ia
berkepala raksasa ganas, bisa berkepala banteng, bisa berkepala naga dengan lima tanduk
dan berwajah singa, atau bisa berkepala api. Kali ini Sang Prabu mengambil
wujud kepala medusa yaitu semua rambutnya berwujud ular dan berwajah singa.
Sekujur raksasa itu kekar dan bersisik seperti ikan dengan cakar-cakar di
setiap kuku tangan dan kakinya. Raksasa itu menggeram-geram dengan pandangan
mata memerah melotot ke arah Raden Sumantri. Sumantri sempat terkesima melihat
kesaktian yang belum pernah didengar dan dilihatnya. Tapi dia segera menghela
kudanya melarikan diri menghindar dari amukan ‘raksasa baginda prabu’. Tapi kemanapun
kereta itu berlari Sang Prabu selalu mengintainya. Keadaan lapangan sudah
semakin kacau, balatentara sudah berlarian dengan tidak tentu arah, asal dapat
menghindari dari injakan kaki sang Prabu. Para Narpati dan Prabu Citragada
segera bersemedi, memohon kepada Dewa agar amarah Baginda tidak terlanjur
memakan korban.
Sumantri
menghela keretanya ke arah hutan, jika dia bertahan di daerah terbuka dia akan
mudah terlihat dan terjangkau, sebab panjang tangan ‘raksasa Sang Prabu’ tidak
akan terkejar oleh lari kudanya. Untuk sementara Sumantri merasa aman
berlindung di balik rimbunnya hutan. Sang Prabupun kelihatan kesulitan
mencarinya, dia seperti seorang petani yang hendak menangkap katak di padang
ilalang yang lebat. Maka kesabarannyapun mulai habis, hutan-hutan itupun
dicabuti dengan kasar, akhirnya sampai pada rimbunan hutan tempat persembunyian
Sumantri. Sang Prabupun kini bisa melihat Sumantri, dan menjulurkan lengannya
untuk menangkapnya. Maka Sumantripun lekas-lekas berlutut, lalu bersembah
memohon ampun. Seketika itupun kembalilah ujud Baginda seperti sediakala. Baginda
berujar lembut, tidak terlihat bekas-bekas dari amarah raksasa jelmaannya. Dia
bersabda apapun cita-cita yang dikehendaki Sumantri, paduka akan kabulkan,
karena Baginda merasa bangga dengan keberanian dan kesaktian Sumantri. Sumantri
berujar bahwa hanya ingin mengabdi kepada Raja yang lebih sakti darinya, lain
itu Sumantri tidak ada keinginan apapun, dia bersumpah akan sungguh-sungguh
menaati segala titah Baginda. Dan Baginda Prabupun berterimakasih atas
kesungguhan pengabdian Sumantri, dan Baginda mengutarakan yang menjadi
keinginannya demi kesempurnaan Kerajaan Maespati. Keinginan yang mengganjal
pikirannya sejak lama, maka dengan adanya Raden Sumantri dapatlah membantu
memecahkannya. Keinginan Sang Prabu adalah agar memindahkan Taman Sriwedari
dari Gunung Utara ke Pedalaman Maespati. Baginda ingin agar pemindahan taman
itu tetap dalam keadaan utuh, tidak berubah sedikitpun. Bunga setangkaipun
jangan ketinggalan. Sumantri termenung sejenak, tetapi kemudian disanggupilah
permintaan Sang Prabu.
Kemudian
keduanya bangkit dan berangkat menuju keperkemahan. Sepanjang perjalanan ke
perkemahan Sumantri menceritakan hasil-hasil dari peperangan di Magada dengan
Kerajaan Widarba lebih rinci. Tampak Prabu Citragada dan Para Narpati yang
gelisah menunggu, menjadi tenang ketika melihat Sang Prabu berjalan akab dengan
Patih Sumantri. Mereka berlarian menjemputnya. Cepot bersama saudara-saudaranya
dan Semar ikut pula menjemput, Cepot datang menyerahkan senjata Panah
Cakrabeswara kepada Raden Sumantri, yang terjatuh saat pertempuran. Malam itu
Sang Prabu berkemah bersama-sama Patih Sumantri, Prabu Citragada dan Para
Narpati. Esok siang Patih Sumantri dan Para Narpati mempersiapkan balatentara.
Sang Prabupun hadir memeriksa semua persiapan untuk perjalanan ke Kerajaan Maespati.
Bagindapun memeriksa tenda-tenda yang dihuni permaisuri-permaisuri negara
taklukan. Sebelum rombongan berangkat Patih Sumantri mohon ijin Baginda untuk
berbicara di hadapan balatentara dan Para Narpati. Raden Sumantri mengatakan
pertempuran kemarin adalah bukanlah perselisihan, tetapi bermaksud untuk
menguji kesaktian semata-mata. Diterangkan bahwa Baginda sungguh seorang raja
yang sangat sakti serta luhur budinya. Sehingga iapun berkepastianlah bahwa
akan menaati segala perintahnya sekalipun harus mati. Untuk membuktikan
kesanggupannya itu, maka berkatalah Raden Sumantri bahwa ia tak kan ikut serta
pulang ke Maespati. Karena hendak melakukan tugas yang lain bagi kepentingan
Prabu Arjuna Sasrabahu. Dan akhirnya berkatalah ia bahwa seluruh balatentara harus
segera bersiap untuk menyertai Baginda ke Maespati. Maka selesailah acara itu.
Setelah itu terlihatlah seluruh balatentara mulai sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing. Barisan rombonganpun mulai berangkat, Sang Prabu satu kereta
dengan Prabu Citagada dan Dewi Citrawati. Raden Sumantri ikut mengantar sampai
batas hutan. Barisanpun itupun lenyaplah sudah dari pandangan Raden Sumantri.
Namun dia masih berdiri di tepi hutan. Raden Sumantri terpaku, galau dan tak
tahu kemana harus pergi. Kakinya terasa berat untuk berjalan. Sumantri mulai
masuk hutan, terbayanglah wajah ayahnya Resi Suwandageni. Apakah dia akan
kembali ke pertapaan untuk meminta tolong ayahnya. Akan tetapi niatnya itu
segera ia urungkan karena ia merasa malu untuk melakukannya. Tidak terasa
olehnya bahwa perjalanannyapun ternyata sudah jauh, melalui hutan, bukit dan
gunung. Setelah beberapa hari ia berjalan, maka sampailah pada tempat dataran
tinggi. Kemudian berpikirlah Sumantri. Daripada tidak berhasil dan malu kepada
Baginda Prabu, ia lebih memilih mati, apakah dilahap binatang buas atau terjun
kejurang. Tapi ia memilih mati tanpa jejak, jadi dimakan binatang buaslah yang
dipilih.
Ambisi
adalah gairah yang menggebu-gebu untuk meraih sesuatu. Dan, sesuatu itu adalah
kekuatan. Sesuatu itu adalah kekuasaan. Ambisi bisa jadi api pendorong lajunya
suatu langkah. Ambisi muncul sebagai konsekuensi wajar dari adanya tongkat
kekuasaan, celah kesempatan, serta energi keyakinan akan kemampuan diri. Tentu
saja setiap peniti karier berhak memompakan ambisinya. Tanpa itu, betapa tak
semaraknya perjalanan ini. Maka, tak salah bila ada orang yang berkata bahwa
untuk maju seseorang harus punya ambisi. Hal itu benar adanya, namun tak selalu
benar. Semestinya tidaklah terlalu mengejutkan bila banyak juga orang berhasil
justru dengan melepaskan kepalan ambisinya. Ambisi mudah sekali dipadamkan oleh
kenyataan sederhana; bahwa tubuh anda takkan mampu mengalahkan waktu. Oleh
karena itu, sedini mungkin kita pupuk yang lain yang tak terkalahkan oleh masa
dan tak terusangkan oleh jaman: yaitu cahaya kebijaksanaan.
Ambisi
Sumantri sudah dihadapkan kepada persimpangan, apakah untuk maju dengan
konsekuensi ketidak mampuan fisiknya menerima titah Sang Prabu, apakah berterus
terang untuk menyerah dan menerima hukuman, menerima malu atau meletakkan
jabatannya. Dan pilihan lainnya, meninggalkan kehidupan ini dengan kematian,
karena melarikan diri, bagi seorang ksatria semacam Raden Sumantri, bukanlah
pilihan, justru jalan itu akan terus membayangi dan menghantui seumur hidupnya.
Sumantri sudah menentukan pilihannya, dia akan mengakhiri hidupnya saat itu
juga. Dia segera menghunus Panah Cakrabeswara untuk dihunjamkan ke jantungnya,
tetapi diurungkanya, karena jasadnya pasti akan ditemukan orang, maka ia
memilih mati dengan ditelan hewan buas. Ketika ia sedang menimbang-nimbang
kematiannya, saat itulah sebuah suara yang dikenalnya dan sangat dirinduinya
juga, memanggil-manggil namanya dari balik semak-semak. Sukrasana sang adik
yang ditinggalkan di pertapaan bersama ayahnya, rupanya menyusulnya, entah
bagaimana dia dapat sampai di tempat itu. Sumantri dan ayahnya sepakat tidak
memberitahu Sukrasana kemana dia pergi. Memang semula Sang Resi bertahan tidak
memberitahu, akan tetapi ia sadar akan predikatnya sebagai resi yang pantang
berbohong, apalagi kepada putranya. Sukrasanapun kabur dengan berbekal
informasi kakaknya berada di Kerajaan Maespati. Akan tetapi dimana letak
Kerajaan Maespati sangatlah tidak diketahui dengan pasti oleh Sukrasana, apakah
harus ke utara, selatan, ke barat atau ke timur, hanya kehendak Dewatalah yang
akhirnya mempertemukan mereka disana.
Demikianlah
seperti diceritakan di awal, Sumantri menceritakan kepada Sukrasana akan tugas
dari Sang Prabu, untuk memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Rupanya Sukrasana
mampu melakukannya dan bersedia menolong Sumantri. Dengan kesaktian ‘Belah
Jiwa’ milik Sukrasana, dia bisa membantu kakaknya Sumantri untuk memindahkan
Taman Sriwedari itu. Jadi suatu skenario besar mulai berjalan untuk melenyapkan
Sukrasana, melalui Sumantri, melalui keserakahannya akan pujian dan jenjang
karir dari Prabu Arjuna Sasrabahu, bahwa taman Sriwedari adalah hasil upayanya
sendiri. Dia harus mengusir adiknya Sukrasana untuk pergi agar tidak nampak
dimata Sang Prabu. Sukrasana tidak mau pisah lagi dengan kakaknya walau diancam
akan dipanah. Melihat Sumantri marah sudah menghunus panah, Sukrasana menubruk
Sumantri, namun malang ujung anak panah malah menusuk jantung Sukrasana. Mayat
Sukrasana raib, sambil meninggalkan suara gaib bertutur kutukan untuk Sumantri
bahwa kelak dia akan menemui ajalnya saat bertarung melawan Raja raksasa,
karena pada saat itu juga, Sukrasana akan menitis pada tangan kanan raja itu
untuk menebas leher Sumantri. Jadi skenario utama Semar telah berhasil
dilaksanakan, Sukrasana telah tewas terbunuh. Keseimbangan alam sudah aman dari
ancaman di masa depan yang mengerikan.
Sang
Prabu terheran-heran melihat pemandangan di depannya. Suatu taman yang sangat
indah, yang tidak akan ditemui di seluruh dunia manusia. Memang Taman Sriwedari
ini adalah taman milik Batara Wisnu yang terletak di Utara Segara di Suralaya.
Maka tentu keindahannya tidak terbandingkan. Atas jasanya, Patih Bambang
Sumantri diberi gelar Patih Suwanda. Patih Suwanda akan menjadi wakil Sang
Prabu mengurus Kerajaan dengan kebijaksanaan dan kecakapannya agar rakyat dan
tentaranya bertambah maju. Demikian sabda Sang Prabu. Patih Suwandapun dengan
bergembira mengatakan sangat berterima kasih atas kepercayaan Baginda yang
tinggi. Sejak saat itu seluruh rakyat Maespati dan Kerajaan-kerajaan bawahannya
percaya akan kesaktian Patih Suwanda.
Syahdan
suatu hari Sang Prabu berniat bertamasya meninjau gunung-gunung dan
pertapaan-pertapaan. Patih Suwanda bersama para Narpati mempersiapkan selain
regu pekerja pembuka jalan dan lahan juga mempersiapkan balatentara dengan
persenjataan lengkap untuk menghindari hal-hal yang tidak diingini. Esok
harinya keadaan alun-alun Maespati mulai ramai disibukkan tentara-tentara dan
rakyat untuk menyediakan alat-alat kerja dan perbekalan. Siang dan malam mereka
bekerja tak mengenal lelah mempersiapkan untuk kepergian tamasya Baginda. Suatu
bukti kebaktian dan cintanya kepada rajanya. Esok hari pagi-pagi buta, sebentar
saja seluruh pasukan nampak berbaris dengan teratur. Patih Suwanda melaporkan
segala keperluan sudah diatur dan pasukan serta barisan pekerja sudah siap
berangkat. Maka Bagindapun memberi perintah untuk berangkat. Di alun-alun
Baginda dan Permaisuri segera masuk kedalam kereta disertai Prabu Citragada.
Para emban dan Para Permaisuri itupun tidaklah ketinggalan, mereka diangkut
dalam tandu-tandu di belakang barisan kereta Sang Prabu. Barisan pekerja
sebagai pembuka lahan berbaris paling depan, disusul balatentara dan kereta
perang serta barisan Para Narpati.
Setelah
perjalanan itu agak jauh dari Kerajaan Maespati, maka barisanpun menemui
kesukaran. Dan barisan pekerja pembuka hutan, pembuat jalan mulai melaksanakan
tugasnya. Segala yang merintangi perjalanan rombongan segera disingkirkan.
Semak dan belukar, hutan-hutan dan bukit-bukit ditempuh rombongan dengan gigih.
Terkadang pembuka jalan oleh rombongan pekerja membutuhkan waktu agak lama.
Maka sambil menunggu mereka menyelesaikan pekerjaannya, Bagindapun tak
henti-hentinya melihat-lihat keindahan pemandangan. Demikianlah perjalanan
Prabu Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati dalam tamasyanya. Lembah dan gunung
mereka lalui. Akhirnya sampailah Baginda dan balatentara pada sebuah sungai di
tepi pantai. Sampai di tepi sungai itu bertitahlah Sang Prabu kepada Patih
Suwanda agar barisan berhenti disitu. Baginda Prabu ingin menikmati pemandangan
di tepi sungai. Sampai di suatu tempat di pertengahan alur sungai, Sang Prabu
berhenti sejenak, memperhatikan disekitarnya, kemudian berujar pada Patih
Suwanda, bahwa Baginda akan ‘tidur’, diminta semua rombongan agar membuka
perkemahan di tempat dataran yang lebih tinggi. Sepeninggal Patih Suwanda dan
Para Narpati, Sang Prabu terdiam dengan mata terpejam khusu dalam semedi.
Isyarat akan tidur, memberi arti sudah saatnya bagi Sang Dewata untuk mencapai
tugas dari Sang Hyang Pramesti Jagatnata, yaitu membasmi kemurkaan di
marcapada.
Esok
harinya semua rakyat dalam rombongan duduk berlutut berdoa menengadah kepada
Dewa, ketika melihat Baginda bertriwikrama menjadi raksasa yang tidur telentang
membendung alur sungai. Bertambah lama permukaan air itu bertambahlah
tingginya. Sehingga membentuk danau yang luas dan dalam. Banyaklah bukit-bukit
dan hutan-hutan terendam air. Kian lama kian meluap danau itu, hingga sampai ke
kaki Gunung Nusamanik. Dimana di kaki gunung itu sedang dibuka perkemahan.
Melihat datangnya luapan air, para penghuni perkemahan menjadi gelisah dan
panik, siap-siap menyelamatkan apa saja yang berharga agar tidak terendam air
banjir tersebut. Adapun yang berkemah disitu adalah Raja Alengka yaitu Prabu
Dasamuka serta balatentaranya, yang sedang bersiap-siap untuk menyerbu ke
kerajaan-kerajaan yang belum takluk. Melihat air banjir dengan cepat
menggenangi wilayah perkemahan, Prabu Dasamuka menjadi murka. Dari laporan para
penyelidiknya, Prabu Dasamuka mendapat info banjir muncul diakibatkan alur
sungai ke laut terbendung oleh sesosok tubuh raksasa yang sedang tidur
telentang. Kontan Dasamuka memaki-maki sambil mengayunkan gadanya, mengira ini
adalah bentuk tantangan perang. Maka disiapkanlah balatentara perangnya dan
mulai bergerak ke arah raksasa yang tidur itu. Barisan Alengka itu rupanya
terlihat oleh sepasukan penjaga dari pihak Maespati. Patih Suwandapun segera
bertitah agar balatentara untuk bersiap membentuk pasukan tempur. Bersamaan
dengan itu datanglah kurir dari Alengka membawa sepucuk surat yang berisi
tantangan terhadap Prabu Arjuna Sasrabahu. Patih Suwanda memberi jawaban kepada
utusan Alengka, bahwa tantangan diterima dan pertempuran dilakukan di dataran
luas yang dipilihnya.
Tidak
lama, balatentara dari kedua belah pihak itupun sudah berhadap-hadapan. Barisan
tentara dengan teratur melintang bukit. Dan mulailah pertempuran jarak dekat.
Saling serang menyerang. Terdengarlah sorak sorai gegap gempita disela oleh
pekik jeritan tentara yang tewas. Kedua belah pihak nampak sama gagah dan
beraninya. Darah mengalir berceceran dimana-mana dan mayat-mayat bergelimpangan
berkaparan. Balatentara Maespati sungguh-sungguh kuat sehingga dapat mendesak
dan menghalau musuh hingga senja tiba. Esok harinya perang itupun dimulailah
kembali dan ternyata tentara Maespati bertambah kuat. Balatentara Alengka
terpaksa mundur. Balatentara Alengka yang melarikan diri dari medan pertempuran
itu terlihat oleh Prabu Dasamuka dari atas gajah tumpangannya. Dengan marahnya
maka turunlah dia, langsung maju ke tengah laga sambil memutar-mutar gadanya.
Seorang diri Prabu Dasamuka (Prabu Rahwana) mengamuk ditengah-tengah
balatentara Maespati. Banyak tentara Maespati yang menjadi korban. Ketika Para
Narpati melihatnya, mereka segera menyerbu Prabu Dasamuka. Dikeroyok enam
Narpati Maespati, Prabu Dasamuka tak bergeming, dia tetap kokoh tangguh tak
tergoyahkan. Semua tusukan-tusukan dan sabetan-sabetan pedang tidak ada yang
dapat melukai kulit Prabu Dasamuka. Berulang-ulang Para Narpati mencoba melukai
Dasamuka, tetapi hasilnya sia-sia. Malah mereka harus menelan pil pahit,
menerima serangan balasan Dasamuka yang teramat ganas. Satu persatu Narpati
Maespati gugur dimedan laga dengan tubuh remuk atau hancur dihantam gada
Dasamuka. Prabu Citragada yang mencoba menghalangi keganasan amukan Dasamukapun
gugur.
Semua
laga pertempuran dilapangan tidak lepas dari pengamatan Patih Suwanda,
keganasan Dasamuka harus segera dihentikan. Maka ditariknya tali kekang kereta
perangnya, Patih Suwandapun meluncur cepat ke arah laga Dasamuka dengan para
Narpati. Patih Suwanda segera melemparkan tombak-tombak, menyabetkan pedang dan
merentangkan ratusan panah dalam rentang waktu yang cepat. Namun semua dapat
dihalau dengan gada Dasamuka. Pertempuran keduanya menimbulkan kerusuhan karena
terjadi ledakan-ledakan amat keras setiap tombak, pedang atau panah beradu
dengan gada Dasamuka. Hampir semua persenjataan di dalam kereta perang Patih
Suwanda habis. Maka terpeganglah panah pusaka Cakrabeswara. Panah itupun
dilepas, gada Dasamuka meledak tidak mampu menahan desingan panah pusaka itu, dan
laju panah itu tak tertahankan lagi dan terus menghantam dada Dasamuka. Kontan
dada Dasamuka meledak, sehingga tubuhnya terbelah dua, termasuk kedua tangan
dan kepalanya putus terlempar terpisah dari badannya, saking dahsyatnya
ledakan. Tetapi tatkala tubuh yang sudah tidak bernyawa itu menyentuh tanah,
Prabu Dasamuka bangkit kembali, memancarkan hawa amat panas menebar dan
membakar sekitarnya disertai hembusan angin kencang. Itulah kehebatan Ajian
Pancasona. Patih Suwanda tercekat melihatnya, maka sekali-lagi dipanahnya Dasamuka
dengan Panah Cakrabeswara, tubuh Dasamukapun hancur, dan bangkit lagi dengan
menebarkan angin pukulan dari Ajian Pancasona. Demikian kejadian itu berulang
beberapa kali, membuat Patih Suwanda kecewa dan kurang waspada. Tetapi Patih
Suwanda tidak merasa jemu untuk terus melepaskan panah saktinya, dan sekian
kali itu pula Prabu Dasamuka terkapar dengan tubuh hancur dan sekian kali itu
pula tubuh Dasamuka bangkit hidup lagi.
Saat
itulah sesosok bayangan arwah menitis ketangan kanan Prabu Dasamuka. Arwah itu
diketahui sebagai arwah Sukrasana, yang pernah berujar bahwa Sumantri akan
tewas jika melawan raja raksasa. Rupanya raja raksasa yang dimaksud adalah
Prabu Dasamuka. Maka tatkala tubuh Dasamuka pulih setelah hacur, namun dia
tidak lekas bangkit. Arwah Sukrasana membantunya menyusun taktik untuk
mengalahkan Sumantri atau Patih Suwanda. Ketika dilihat tubuh Dasamuka yang
sudah utuh lagi tetapi tidak langsung bangkit seperti yang sudah-sudah, Patih
Suwanda dibuat lengah. Dia perlahan-lahan menghampiri tubuh Dasamuka yang
tertelungkup di tanah. Setelah cukup dekat dalam jangkauan tangan Dasamuka,
sekonyong-konyong Dasamuka bangkit melompat menerkam tubuh Patih Suwandi,
meringkus kedua tangannya dan merebut panah pusaka Cakrabeswara dengan tangan
kanannya, dan dengan senjata itu dipenggallah leher Sang Patih hingga putus.
Namun tubuh Patih Suwanda yang sudah tak berkepala masih bisa mengamuk melepas
ajian-ajian pembunuh dan membantai pasukan Alengka hingga tercatat saat itu hampir
separuh balatentara dan tamtama Alengka terbunuh. Dasamuka yang masih
menggenggam kepala Patih Suwanda, segera melemparkannya ketubuh Sang Patih yang
mengamuk itu beserta senjata Cakrabeswara, dan meniupkan topan melempar tubuh
dan kepala Patih Suwanda ke angkasa. Dari angkasa turun rombongan Dewa-Dewi
dari Suralaya dipimpin Batara Narada dan Batara Indra, menjemput jasad Patih
Suwanda. Seketika tubuh Patih Suwanda utuh seperti sediakala dan dibawa ke
Kahyangan Suralaya sebagai penghargaan atas jasa-jasa, kesetiaan dan
keberaniannya. Arwah Sukrasanapun ikut raib dari tangan kanan Prabu Dasamuka,
mengiringi arwah kakaknya ke Suralaya.
Harapan.
Seseorang harus hidup dengan harapan, tetapi kita tidak bisa hidup menggantung
semata pada harapan. Adalah baik untuk berharap yang terbaik. Tetapi hal itu
tidak cukup. Seseorang tidak bisa hanya berharap - kita harus bertindak. Sangat
menyedihkan, bahwa banyak hal digantung berlebihan pada harapan demi perbaikan
nasib. Berharap yang terbaik belum menghasilkan apa-apa. Bekerja dan bertindak
- disertai dengan harapan di dalam hati - adalah hal yang membawa hasil.
Kombinasi yang sempurna. Harapan tidak akan mengecewakan - selama hal itu disertai
dengan tindakan dan komitmen. Harapan tidak bisa mengganti tindakan. Kerjakan
apa yang harus dikerjakan ada atau tidak ada harapan. Harapkan yang terbaik dan
kerjakan apa saja yang memungkinkan harapan itu terwujud.
Rendah
hati. Semua hal diatas tiada akan berarti, bila semua itu diselimuti dengan
kecongkakan, kesombongan, iri hati dan dengki. Ada pepatah Tiongkok kuno yang
berbunyi, “Orang yang Rendah Hati akan Mendapat Manfaat, yang Terbuai oleh Rasa
Puas Diri akan Mendapatkan Kerugian”. Filsuf Tao terkenal Tiongkok, Lao Zi
berkata, “Seseorang bisa mengambil keputusan yang bijak saat dia tidak
menanggap dirinya serba pintar. Seseorang bisa dihormati atas jasa-jasanya saat
dia tidak membesar-besarkan dirinya. Seseorang bisa mengukir prestasi besar
apabila dia tidak sombong. Seorang yang penuh toleransi pasti sarat dengan
nasib baik. Seseorang yang tidak punya toleransi pasti minim dengan nasib baik.
Menjadi seorang yang rendah hati atau sombong, menentukan takdir dan nasib
seseorang. Orang yang rendah hati dengan karakter yang luhur, moralitasnya akan
semakin menonjol. Oleh sebab itu, rendah hati adalah sebuah nilai moral positif
yang harus dipertahankan setiap orang. Sekali manusia menjadi congkak, dia akan
terhalang dalam peningkatan moralitasnya. Terbuai dengan perasaan puas diri
adalah halangan terbesar dalam peningkatan. Seseorang dapat memikul
tanggungjawab yang penting hanya apabila dia gigih mencari kebenaran dan
meningkatkan moralitasnya. Seseorang dapat mengajarkan orang lain menjadi baik
dan menghancurkan elemen yang tidak baik hanya apabila dia bertoleransi pada
yang lain.
Selama
pertempuran antara Patih Suwanda dan Prabu Dasamuka, secara diam-diam tiga
Narpati Maespati menyelinap pergi untuk melaporkan situasi yang genting.
Mendapat kemenangan terhadap Patih Maespati, Prabu Dasamuka memerintahkan
pasukannya untuk maju mendesak pihak lawan. Tetapi pasukan Maespati bertahan
kemudian menyerang dengan gagah berani. Gemuruh suara tempik sorak mereka,
kadang-kadang terdengar pekik tentara-tentara yang tewas dengan mengharukan.
Tikam menikam, gada menggada, darah mengalir dan mayatpun menumpuk
bertimbun-timbun. Suara senjata bergemerincing, bercampur baur dengan suara
teriakan-teriakan pekik peperangan dan teriakan-teriakan kematian. Karena
sebagian besar Narpati Maespati sudah banyak yang tewas, sisanya tengah
menghadap Sang Prabu Arjuna Sasrabahu, maka penyerangan balatentara Maespati
tidak terpimpin baik, maka terdesaklah tentara Maespati hingga ke garis
belakang.
Terlihat
ketiga Narpati yang hendak melapor, sedang duduk berlutut dekat telapak kaki
Baginda sambil membakar dupa yang menyebarkan bau harum. Mencium harumnya dupa,
maka Bagindapun bangun dari tidurnya. Beliau menatap heran kepada ketiga
Narpatinya yang diperintahkan berjaga-jaga membantu Patih Suwanda. Dilaporkan
oleh ketiga Narpati, Maespati yang sedang berkemah mendapat serbuan tentara
dari Kerajaan Alengka dipimpin oleh raja raksasa bernama Prabu Dasamuka.
Balatentara Maespati terdesak hebat, sementara Patih Suwanda belum bisa
mengalahkan Raja Alengka itu. Mendengar ujar para Narpati itu bagindapun
bangkit, menyusun tentara Maespati yang ada. Tiba-tiba datang seorang prajurit
melaporkan bahwa Patih Suwanda sudah gugur dan tentara Maespati hampir tiada kuat
menahan serangan tentara Alengka. Karena kehilangan Patih yang disayanginya,
baginda menggeram laksana harimau luka. Sehingga geramannya menimbulkan gempa
dan goncangan-goncangan di area Gunung Nusamanik. Wajah baginda yang semula
berwujud wajah raksasa seketika berubah menjadi wajah Naga dengan lima-tanduk
dikepalanya dan berambut untaian api yang menyala-nyala, karena Baginda sedang
teramat marah. Saat itulah hadirlah Batara Narada dari Suralaya bermaksud
mencegah nafsu membunuh Baginda. Beliau menyabarkan Sang Prabu, karena saat ini
Dasamuka tidak dapat dibunuh, kecuali kelak pada penitisan Batara Wisnu kepada
Putra Mahkota Kerajaan Ayodhya Kanda. Sang Betara Wisnu berkeras untuk maju ke
medan laga dengan alasan kekejaman Dasamuka terhadap Patihnya, dan dia tidak
akan membunuhnya, melainkan akan menghukumnya saja. Batara Narada menyetujui
maksud Batara Wisnu itu, dan menjelaskan jangan menyesalkan akan nasib Patih
Suwanda, karena sekarang sudah dijemput dan berada di Suralaya sebagai
penghargaan atas dirinya. Setelah mendapat restu dari Batara Narada, raksasa
penjelmaan Prabu Arjuna Sasrabahu segera melompat kemedan laga langsung
menghadapi Dasamuka. Bagai terjadi gempa bumi ketika tubuh raksasa Sang Prabu
menginjakkan kakinya ke bumi. Melihat raksasa buas bersisik berwajah naga dan
bertanduk lima serta berambut api, Dasamuka takjub juga, tetapi tidak mau
kalah, diapun ber-triwikrama, membesarkan diri namun hanya mencapai sepertiga
tinggi raksasa Sang Prabu.
Tentara
Maespati yang masih segar itu dikerahkan Sang Prabu agar maju membantu
berperang. Maka semangat tempur tentara Maespati tumbuh kembali. Sang Prabu
tampaknya tidak mau membuang waktu, melihat Dasamuka juga sudah bersiap dengan
juga ber-triwikrama, Sang Prabu segera menyerbu Dasamuka. Semburan kobaran api
dari setiap helai rambutnya laksana tembakan-tembakan peluru berdesing cepat
setiap menitnya memberondong tubuh Dasamuka sehingga tubuhnya penuh
bercak-bercak luka, dan belum hilang keterkejutan Dasamuka, Sang Prabu sudah
menembak semburan ‘api neraka’ dari mulut naga beliau. Tubuh Dasamuka saat itu
senyata-nyatanya hancur hangus berkeping-keping. Dan pengalaman Sumantri atau
Patih Suwandapun kini dialami Sang Prabu. Tubuh Dasamuka bangkit kembali utuh
seperti sediakala, bahkan menyerang ganas dengan ajian Pancasonanya, yang
membuat sipemiliknya mempunyai tenaga berlipat-lipat. Sang Prabu tidak tinggal
diam, dengan ganas juga mendorongkan kedua telapak tangannya menyambut pukulan
Dasamuka. Pertemuan kedua pukulan itu menimbulkan dentuman dahsyat, laksana
1000 dinamit TNT. Sang Prabu segera menyusul dengan pukulan topan yang
berputar-putar merobek-robek setiap yang dilewatinya, namun Dasamuka
menyambutnya dengan kesaktian panas matahari. Gagal dengan kesaktian tadi, Sang
Prabu menghidupkan batu-batu gunung menjadi makhluk-makhluk raksasa mengepung,
menghimpit dan menghantam. Namun tidak bertahan lama, sebab raksasa batu-batu
itu hancur luluh dengan petir ciptaan Dasamuka. Sang Prabupun tidak mau kalah
menciptakan petir dahsyat, adu petir sungguh menggetarkan area perbukitan,
suara-suara menggelegar berkali-kali terdengar, tampak selang berapa lama petir
Dasamuka terdesak habat, dan akhirnya dia tersambar petir Sang Prabu hingga
gosong dan hancur. Dan kembali dia bangkit lagi hidup siap menyerang Sang Prabu.
Kali ini dia menciptakan cahaya-cahaya matahari yang menyilaukan dan membakar,
dan Sang Prabu menciptakan awan gelap yang menutupi langit, sehingga Dasamuka
terhalang pandangannya. Saat itu pukulan Sang Prabu dengan dilambari ajian
‘Karang Sewu’ menghantam dan melumatkan tubuh Dasamuka. Lagi-lagi Dasamuka
hidup lagi dan siap untuk bertarung lagi. Sang Prabu menjadi kesal, dia segera
menciptakan rantai selain beracun juga setiap mata rantai dipasangi paku-paku.
Rantai itu dilepas Sang Prabu dan mengejar Dasamuka. Dasamuka berusaha
menghindar, terbang berbelok-belok meliuk-liuk, namun rantai terus mengejarnya,
hingga pada suatu saat tubuh Dasamuka tertangkap, rantai itu terus melibat,
menekan dan meremas tubuhnya, laksana ular pithon raksasa meremas seluruh
tulang-tulang mangsanya. Begitu juga dengan tubuh Dasamuka, bergemeretak
terdengar suara tulang yang hancur, ditambah dengan tusukan ribuan paku-paku
beracun yang meracuni setiap inchi tubuhnya. Sungguh penderitaan yang teramat
dahsyat. Dasamuka melolong hebat melebihi auman seratus singa menggetarkan
sekeliling kaki Gunung Nusamanik. Namun rantai itu semakin kuat menjepit
tubuhnya, hingga tubuh Dasamuka kembali keukuran aslinya, bergulingan masih
meraung-raung, membanting-banting atau membentur-bentukan tubuhnya ke batu-batu
karang untuk menghancurkan rantai ajaib itu, namun sia-sia malah semakin
menyiksanya karena resapan racun yang tertoreh di ribuan paku-paku yang
terpasang di setiap mata rantai itu. Dasamuka meminta tolong kepada Dewata tapi
tidak ada jawaban. Akhirnya dia berlutut lemas dengan tubuh bersimbah keringat
dan darah. Memang dari segi kualitas daya tempur kanuragan, Sang Prabu Arjuna
Sasrabahu sangat jauh diatas daya tempur Dasamuka, bahkan dibandingkan dengan
Patih Suwanda atau Raden Sumantripun, Dasamuka masih dibawahnya. Dia terlalu
‘dimanjakan’ oleh ajian Rawarontek dan Pancasonanya. Kurang mengupayakan
pertahanan dan menjaga tubuhnya untuk tidak terluka dengan fokus pada pencarian
kelemahan-kelemahan jurus tempur lawannya. Dia hanya mengandalkan adu ketahanan
stamina. Dengan kemampuan tidak dapat dibunuhnya, dia berharap lawan menjadi
lelah, kesal, kecewa dan putus asa. Saat itulah Dasamuka akan menyerang balik
dengan ganas tanpa ampun, seperti yang dialami Patih Suwanda. Maka menghadapi
strategi perang Sang Prabu seperti ini, dia sungguh tidak siap diri dan roboh
tanpa perlawanan sedikitpun.
Sang
Prabu yang sudah berubah ke wujud asli beliau sebagai Raja Maespati menghampiri
Dasamuka. Melihat Prabu Maespati, Dasamuka merintih-rintih memohon ampun,
membentur-benturkan keningnya ke tanah, menyembah agar dikasihani. Namun Sang
Prabu tak bergeming. Patih Prahasta paman, pengasuh Dasamuka sekaligus
penasehatnya juga menyembah memohonkan ampun bagi keponakannya, tetapi tidak
digubrisnya, malah Sang Prabu bersabda tidak akan memberi ampun dan akan
menyiksanya seumur hidup sesuai dengan kejahatannya. Sang Prabu memanggil
seorang Narpatinya untuk mengikat leher Dasamuka dan dikaitkan kepada kuda
untuk diseret sepanjang jalan menuju Kerajaan Maespati. Leher Dasamukapun
diikat dan diseret kuda yang ditunggangi Narpati itu. Sepanjang jalan
penderitaan Dasamuka bertambah bukan main, selain luka-luka akibat tusukan
ribuan paku beracun pada rantai itu, juga luka tersayat-sayat sepanjang jalan.
Sang Prabu menitahkan Narpati itu untuk memilih jalan-jalan berbatu berkerikil
tajam. Sepanjang jalan itu pula Patih Prahasta terus meminta-minta ampun bagi
keponakannya.
Perjalanan
ke Maespati akan melalui perkemahan di tepi pantai untuk menjemput Dewi
Citrawati, Para Permaisuri, para emban dan bala tentara pengawal. Namun apa
yang terjadi, di dalam kemah Sang Prabu melihat Istrinya Dewi Citrawati beserta
seluruh Permaisuri dan para emban termasuk bala tentara, sudah tergolek kaku,
mereka rupanya bunuh diri. Sang Prabu menoleh kepada Dasamuka. Patih Prahasta
sudah habis daya untuk dapat membela keponakannya. Sang Prabu paham akan maksud
Dasamuka, dengan taktik itu ia berharap pikiran Sang Prabu akan menjadi kacau
dan mudah dikalahkan. Sang Prabu segera menghunus keris untuk memutilasi dan
mencacah tubuh Dasamuka untuk dibiarkan membusuk selama-lamanya. Karena
Dasamuka tidak dapat mati, maka dia akan merasakan terus siksaan yang sungguh
amat mengerikan itu. Saat itulah laut tersibak dan muncul berjalan di atas gelombang
laut sesosok manusia bersisik dan berwajah ikan. Sang Prabu mengenal dia
seorang Dewa Samudera bernama Sang Hyang Baruna. Jelaslah Sang Prabu sangat
dikenal dan dihormati sampai kepada kalangan Jin dan Dewa. Sehingga Dewa
Samudera Barunapun menyempatkan diri membantunya untuk menghidupkan istri
berikut para pengikut Sang Dewi. Sang Dewa Baruna berujar, bahwa Sang Dewi dan
lainnya belum saatnya meninggal, karena Sang Dewi Citrawati akan perlaya
bersama-sama dengan Sang Prabu. Tampak Sang Prabu bersuka hati dan
mempersilahkan Dewa Baruna menghidupkan semua kerabat Sang Prabu yang berada di
perkemahan. Sang Hyang Baruna menghidupkan Sang Dewi dengan pusaka ‘Tirtamaya
Maosandi’ air kehidupan yang dapat menghidupkan semua makhluk yang mati belum
saatnya.
Dewa
Baruna bersemedi memohon kepada Sang Pramesti Jagatnata. Seketika itupun Dewi
Citrawati serta para putri dan para emban hidup kembali. Mayat penjaga dan
pasukan pengawal itupun bangunlah semuanya, lalu berdatang sembah ke hadapan
Baginda. Dewi Citrawati juga datang menghadap dan bersembahlah kepada Baginda.
Diantara tentara-tentara yang baru itu terlihat seorang Narpati. Dia
menceritakan setelah baginda maju ke medan laga, datang seorang prajurit
Maespati yang menceritakan, bahwa Baginda telah gugur ditangan Dasamuka. Sang
Dewa Baruna membenarkan cerita Narpati itu, bahwa prajurit yang datang melapor
adalah prajurit Alengka utusan Dasamuka bernama Sokasana, dengan aji ‘Malih
Rupa’ dia menyamar menjadi tentara yang sudah tewas. Karena semua sudah pulih
kembali, Dewa Baruna mohon diri untuk kembali ke kahyangannya. Mendengar
penjelasan Narpati itu, melihat kenyataan Patih Suwanda yang sangat
disayanginya tidak hadir bersembah, maka keputusan Baginda untuk memutilasi dan
mencacah seluruh tubuh Dasamuka tidak berubah. Dewi Citrawati dan seluruh
Permaisuri Raja taklukan beserta para emban, minta diijinkan untuk menyaksikan
eksekusi itu. Sang Prabu segera mencabut keris pusakanya. Menurut Sang Prabu
eksekusi hukuman tidak berlangsung lama. Dapat dibayangkan kengerian yang
terbayang dibenak Dasamuka. Prabu Dasamuka itupun tak henti-hentinya meratap
dan memohon pertolongan Dewa. Begitu Sang Prabu Maespati mengangkat tangannya
untuk disabetkan ketubuh Dasamuka, datanglah dari angkasa seorang Brahmana,
yaitu Resi Pulasta yang telah lama menjadi Dewa, datang dari pertapaan Nayaloka
yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana itu adalah kakek buyut Dasamuka
dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana
yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa.
Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjuna Sasrabahu adalah untuk
memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Dasamuka. Karena menurut ketentuan
Dewata, belum saatnya Dasamuka untuk menemui kematian. la memang harus mati
oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang
sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya.
Sebagai
balasannya Sang Prabu boleh memperbudak Dasamuka, mengambil kerajaan Alengka
dan seluruh kekayaannya. Serta Resi Pulasta mampu menghidupkan semua prajurit
yang telah gugur di medan laga. Seketika suka citalah hati Baginda Prabu.
Kemudian Sang Resi bersiap dan bersemedi. Saat itu turunlah hujan gerimis,
disinari matahari kemerah-merahan dari sebelah barat. Daun semak dan
pohon-pohon nampak segar terkena air hujan. Syahdan keadaan mayat-mayat yang
berkaparan di medan perang mulai basah tersiram hujan gerimis tersebut.
Perlahan-lahan sosok mayat dari balatentara Maespati, tentara raksasa Alengka
berikut semua kuda tunggangan yang tewas mulai bangkit hidup kembali.
Balatentara kedua belah pihak segera berkumpul pada kelompoknya masing-masing.
Pihak Alengka berkumpul kebingungan karena kehilangan rajanya. Disitu terdapat
Senapati Alengka seperti Mintragna, Wirupaksa, Dumraksa dan Kampana yang segera
berunding sambil menunggu khabar rajanya. Lain halnya dengan pihak Maespati,
disana terdapat Narpati Soda dan Raja Magada Prabu Citragada yang memutuskan
segala hal. Prabu Citragada bersabda kepada kedua belah pihak, karena hari
sudah petang, maka masing-masing hendaknya kembali keperkemahannya
masing-masing.
Patih
Prahasta bergegas menuju ke area medan tempur untuk menjemput para senapati
sebagai titah Sang Prabu Maespati untuk mendengarkan sabda Prabu Dasamuka.
Bahwasanya Baginda sudah takluk kepada Raja Maespati, dan meminta semua
prajurit untuk datang ke perkemahan Maespati. Setelah berkumpul di perkemahan
Maespati, seluruh prajurit Alengka segera berlutut dan bersembah di hadapan
Raja Maespati. Akan tetapi Prabu Arjuna Sasrabahu masih bermuram durja juga.
Rupanya dia masih terkenang dengan Patih Suwanda yang tidak datang bersembah.
Resi Pulasta menjelaskan ia tidak sanggup menghidupkan Patih Suwanda karena dia
sudah dijemput oleh Para Dewa ke Suralaya, dan gugurnya Patih Suwanda itu
bukanlah khusus karena dibunuh oleh Dasamuka, akan tetapi memang ia harus
menjalani takdir. Menebus kesalahannya terhadap adiknya yang bernama Sukrasana
yang menitis kepada Dasamuka. Maka
Baginda itupun termenunglah. Resi Pulasta menghibur, pada penitisan Sang Prabu
berikutnya, yakinlah Patih Suwanda akan menitis juga di Ayodhya, dan permaisuri
Dewi Citrawati akan menitis menjadi putri Mantili. Dan mungkin semua akan
berjumpa lagi. Maka bersuka citalah hati Sang Prabu mendengar penjelasan Resi Pulasta.
Kemudian rantai belengggu Prabu Dasamuka itupun terurai dan menghilang. Resi
Pulasta banyak memberi nasehat kepada Dasamuka, setelah cukup memberi nasehat,
sang Resi mohon diri kepada Sang Prabu. Prabu Dasamuka dan seluruh tentaranya
diperkenankan Sang Prabu untuk kembali ke Alengka.
Tinggi
diatas gunung, dua pasang mata mengawasi semua kejadian yang terjadi di
bawahnya. “Semua sesuai dengan rencanamu bukan kakang. Adi Guru sudah mengutus
Narada untuk membujuk Wisnu menunda membunuh Dasamuka.” “Hhe..ehm!”, jawab
seseorang lagi. “Baruna yang muncul tiba-tiba juga upayamukah dan Pulasta juga
kau panggil, keduanya kakang panggil untuk membujuk Wisnu agar tidak membunuh
Dasamuka.” “Hhe..ehm!, jawabnya singkat. “Jika tidak kau beritahu, aku pertama
menduga kalau Resi Suwandagenilah yang telah mewarisi anaknya Sukrasana dengan
ilmu teramat keji, ilmu hitam ‘Belah Jiwa’ yang mengancam kehidupan manusia
dimasa depan. Dan aku mengira Resi itu punya niat jahat terhadap kehidupan
manusia. Dan kakang menduga Sumantri mempunyai ambisi terpendam, dia akan
diperalat untuk menjadi Raja manusia setengah hewan di Kerajaan Kiskenda dan
miliaran populasi kera di Pancawati itu.” “Hmm yaah”, masih belum mau menjawab,
tampak orang itu sedang berpikir keras. “Berarti ada makhluk lain yang
mempunyai kesaktian melebihi para Dewa Suralaya, yang tidak terlacak Kaca
Lopian Adi Guru, yang mengancam keseimbangan Alam Semesta kakang. Untuk itukah
kita ditugaskan oleh Hyang Esa Allah Azza wa jalla?.”
“Tidakkah
kau lihat hubungan semua ini, kesaktian, kanuragan, para Dewa, jutaan manusia
setengah hewan, jutaan makhluk kera, Ilmu Belah Jiwa Sukrasana dan Sumantri.
Kita harus menelaahnya bertahap. Kita mulai saja dari yang akan terjadi di
barat, membantu anak muda mengusir tentara denawa dan pasukan jin dari Alengka
untuk menyelamatkan kerajaan bernama Ayodhya Kanda atau Ayodhya Kala. Anak muda
itu bernama Destarata. Destarata akan mewarisi tahta kerajaan dari mertuanya,
Prabu Banaputra yang tewas dibunuh Prabu Dasamuka, raja Alengka. Perjumpaannya
dengan Dewi Sukasalya terjadi di Hutan Dandaka, tatkala putri Ayodhya itu
sedang melarikan diri dari kejaran Dasamuka. Destarata seorang pertapa muda dan
berkelana di hutan-hutan, dan akan menyelamatkan Sukasalya dengan menciptakan
Dewi Sukasalya palsu yang berasal dari tusuk konde Sang Dewi. Prabu Dasamuka
akan dikecohkannya dan dengan demikian selamatlah Dewi Sukasalya. Dia meminang
Dewi Sukasalya alias Dewi Kusalya alias Dewi Raghu. Tapi tidak juga mendapat
putra. Dewi Sukasalya akan menganjurkan agar Destarata kawin lagi. Destarata
akan menikah lagi dengan Dewi Kekayi dan Dewi Sumitrawati. Tapi ketiganya tidak
akan rukun, hubungan ketiganya sungguh jauh dari anggapan itu. Terlebih Dewi
Kekayi yang memang memiliki watak kurang terpuji. Meski Destarata sudah
beristri tiga orang, putra yang mereka rindukan tidak kunjung lahir. Nah di
Ayodhya itu kau menjelma menjadi seorang Patih bernama Patih Tamenggita, dan
aku akan menjelma menjadi Resi Wasista. Kita bantu Destarata dengan mengadakan
upacara sesaji Aswameda, yakni sesaji kurban kuda. Dari situ kedua istri
Destarata yaitu Dewi Sukasalya atau Dewi Ragu akan mengandung. Pada waktunya
lahir sang bayi laki-laki, diberi nama Raden Regawa atau Raden Rama. Dari
isteri ketiganya yaitu Dewi Sumitra juga akan melahirkan bayi laki-laki yang
kemudian diberi nama Raden Laksmana Widagda atau Raden Sumitra Tanaya. Tak
hanya itu, dua tahun kemudia Dewi Sumitra akan melahirkan lagi seorang bayi
laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Satrugena.
Dewi
Kekeyi akan merasa tidak suka atas kelahiran Regawa. Dia yang pada dasarnya
memiliki watak iri dan dengki merasa tidak mendapatkan perhatian dari Sang
Prabu atas lahirnya bayi yang lahir dari rahim Dewi Ragu dan Dewi Sumitra. Dia
berupaya sekuat tenaga senantiasa untuk mendekati Destarata dan memohon agar
jika pada saatnya dia berhasil mengandung putera Destarata, nantinya diangkat
menjadi Raja Ayodya. Terbawa rasa cintanya yang begitu besar kepada Dewi
Kekayi, Destarata mengabulkan permohonan permaisuri yang iri hati ini. Keputusan
Destarata inilah yang nantinya akan memicu permasalahan besar di Ayodhya karena
tak lama setelah itu Dewi Kekeyi mengandung. Pada saatnya dari rahimnya lahir
bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Barata.
Keempat
putera Destarata setelah dewasa, mereka akan tumbuh menjadi anak yang cerdas, sakti dan berbudi pekerti luhur. Nah! kita harus mengabdi kepada putra
sulung Destarata dengan wujud asli kita. Karena dialah yang mejadi titisan
Batara Wisnu”, jawab sipendiam. Yang satu lagi hanya manggut-manggut saja.
Kemudian keduanya lenyap pergi ke tempat yang dituju. Mereka adalah Dewa
pengasuh dan pengayom alam semesta bernama Semar Kudapawana dan Togog
Tejamantri.
(
Berlanjut pada kisah - LEGENDA RAMAYANA
- ).
==============================================
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.