Dalam
Legenda Ramayana Betara Wisnu kembali turun ke Marcapada (dunia manusia), untuk
kembali menitis keraga manusia. Kali ini Betara itu memilih raga Putra Mahkota
Ayodhya Kanda / Ayodhya Kala sebagai raga titisannya. Tetapi sebagai putra
mahkota syah Kerajaan Ayodhya Kala, putramahkota bernama Sri Rama mendapat
cobaan berat. Diusia remajanya, dia diharuskan mengembara selama 14 tahun atas
tuntutan selir Raja Destarata yaitu Putri Kakiyi. Ditemani adiknya Lesmana, Sri
Rama yang sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya, rela menunda
penobatannya sebagai raja untuk mengembara. Dalam pengembaraan itulah terjadi
hal-hal dahsyat pada diri dan kehidupan Sri Rama, yang memang sudah diatur
dalam skenario kehidupan oleh para Dewa Suralaya. (Kisah etos pengembaraan
Sri Rama dapat dibaca pada cergam apik RAMAYANA karya RA.Kosasih).
Riwayat
pengembaraan Sri Rama dan Lesmana yang sedemikian melegenda itu menceritakan
peristiwa-peristiwa dahsyat dan heroik penuh kepahitan perjuangan memburu
penculik calon istrinya Dewi Shinta. Selain kisah-kisah heroik, legenda ini
juga menitipkan suatu ‘pesan indah’, pesan tentang kisah indahnya semangat
perjuangan yang dinaungi cinta suci, cinta sejati sepasang kekasih yang
dipisahkan secara paksa.
Cinta
Sri Rama itu adalah cinta yang berasal dari kasih sayang yang kuat dan
keinginan berkorban, memiliki rasa empati, perhatian, ingin membantu dan mau
mengikuti apapun yang di inginkan oleh
yang di cintainya. Cintanya yang murni, putih, tulus dan suci yang timbul tanpa
adanya paksaan atau adanya sesuatu yang dibuat-buat, membuat motivasi untuk
melakukan perubahan yang lebih baik, perjuangan dan memperjuangkannya walau
dengan nyawa. Cintanya yang suci tidak dinodai dengan ke-egoisan yang hanya
menginginkan enaknya, cintanya yang penuh pengertian, suatu perasaan terdalam
yang membuatnya rela berkorban apa saja demi kebahagiaan orang yang
dicintainya. Pengorbanan yang tulus, tidak mengharap balasan. Cintanya tidak
terukur dengan materi ataupun yang berasal dari dunia fana. Bahagia, duka
ataupun kepahitan, keindahan dan kehangatan adalah onak duri atau cobaan
perjuangan cintanya Sri Rama demi sebuah keinginan suatu keindahan, keselarasan
dan kebersamaan untuk menjalani hidup bersama.
Semua
perasaan cintanya diwujudkan oleh Sri Rama dengan membentuk pasukan perang
langsung dikomandoinya untuk menyerbu Kerajaan Alengka, menyerbu penculik calon
istrinya. Dengan dibantu dan ditemani kawan seperjuangannya Wibiksana, Hanoman,
Hanggada dan Sugriwa beserta ribuan pasukan keranya dan hulubalang-hulubalang
‘manusia berkepala hewan’, Sri Rama menyiapkan penyerbuan ke Kerajaan Alengka,
walau harus menyeberangi lautan. Dengan bantuan dua panglimanya Hanoman dan
Hanggada, ribuan laskar ‘prajurit kera’ dan ratusan hulubalang, mereka berhasil
membuat jalan penyeberangan berupa tanggul tambak, yang memotong lautan
menghubungi daratan dimana mereka berada dengan daratan Kerajaan Alengka.
Tanggul tambak itu dibuat dengan cara menimbun lautan dengan jutaan kubik tanah
dan bebatuan gunung. Halangan dan rintangan-rintangan yang dilakukan tentara
dan pasukan siluman utusan Rahwana, tidak membuat mereka menjadi gentar. Teror
dahsyat tersebut mereka lawan dengan perjuangan yang tidak kalah hebatnya.
Tekad dan semangat juang Sri Rama beserta legiun pasukannya hampir membuat
Rahwana dan saudara-saudaranya putus asa, sampai akhirnya diputuskan untuk
membiarkan seluruh pasukan musuh menyeberang lautan memasuki kawasan
Kerajaannya. Dengan pertimbangan, pasukan musuh akan lebih mudah dihancurkan
dan dilumpuhkan jika berada di daratan luas. Maka Sri Rama dengan seluruh
pasukannya bebas berjalan diatas tambak penyeberangan. Penasihat Sri Rama
pernah mengutarakan usul untuk menghindari pertumpahan darah besar-besaran,
dengan cara menantang duel tanding satu lawan satu antara ksatria-ksatria Sri
Rama dan ksatria-ksatria Rahwana, dan pertarungan terakhir antara Sri Rama
dengan Rahwana. Bahkan Hanoman mengajukan diri untuk bertarung dengan Rahwana,
supaya lebih sedikit korban yang jatuh.
Pendapat
itu tentu sudah terlintas dari awal di dalam benak Sri Rama, sebelum rencana
penyerbuan mereka ke Alengka dilaksanakan. Namun sebagai seorang Ksatria
sejati, Sri Rama tidak ingin mengabaikan tekad juang pembantu-pembatunya untuk
menyumbang bela pati, walau akhirnya mereka bisa saja akan menjadi korban. Lagi
pula dengan membentuk pasukan perang ini, Sri Rama ingin memperlihatkan
kesungguhan tekadnya baik kepada Rahwana maupun kepada Dewi Shinta, untuk
merebut cinta sejatinya dari kekuasaan Rahwana.
Sri
Rama berhasil membuktikan tekad dan kesungguhan cintanya, dengan keberhasilan
dia dan seluruh pasukannya menduduki Kerajaan Alengka, mengalahkan Rahwana dan
seluruh ksatrianya. Saat itu Sri Rama tidak serta merta menyambut Dewi Shinta.
Ada satu ujian yang harus dilakukan Dewi Shinta, mengingat sudah sekian lama
dia berpisah dari Sri Rama. Sri Rama masih perlu bukti kesungguhan cinta suci
Dewi Shinta pula. Dewi Shinta harus mampu mengalahkan ‘Sang Agni’ untuk
membuktikan bahwa dia masih suci dan belum ‘terjamah’ oleh Rahwana. Dan Dewi
Shintapun membuktikan, dia berani terjun ke dalam kobaran api ‘Sang Agni’
sebagai bukti tekad cintanya kepada Sri Rama sekaligus menunjukkan bahwa dia
masih suci bersih. Dewi Shinta perlahan melayang keluar dari kobaran api dengan
duduk di atas singgasana kerajaan. Sang Agnipun turut menjadi saksi atas
kesucian dan ketulusan cinta Dewi Shinta. Dan Sri Ramapun menyambut calon
istrinya dengan bahagia, diikuti sorak sorai seluruh bala tentara Sri Rama.
Perjuangan
Sri Rama sebenarnya sudah dimulai saat mengikuti sayembara memperebutkan Dewi
Shinta, dengan mengharuskan menarik Busur Panah pusaka. Sudah belasan Ksatria
dari beberapa Kerajaan sahabat jatuh, tidak satupun yang mampu menarik busur
panah tersebut. Bahkan untuk mengangkatnyapun harus dengan menggunakan seluruh
tenaganya. Ada yang berhasil mengangkat busur, dan siap merentangkannya, namun
semua terpelanting tidak mampu menerima keuletan tali busur tersebut. Lain
halnya dengan Sri Rama, setelah mendapatkan giliran untuk mencoba menaklukkan
busur tersebut, selain Sri Rama mampu mengangkat batang busur, merentangkan
selebar-lebarnya, bahkan dengan kekuatannya, dia mampu mematahkan batang busur
menjadi lima potong. Maka secara otomatis Dewi Shinta akan jatuh menjadi jodoh
Sri Rama. Namun itu yang tampak didepan mata dan pikiran manusia biasa.
Sebenarnya itu adalah skenario dari Betara Wisnu dan istrinya Dewi Sri, yang
berkeinginan bersatu diraga titisannya masing-masing di marcapada (dunia
manusia). Selanjutnya penyatuan cinta antara Betara Wisnu dan Dewi Sri harus
menempuh tebing terjal bebatuan tajam penuh onak-onak duri, terhalang oleh
suatu sebab yang sudah diatur Sang Hyang Otipati Betara Guru, agar titisan Dewa
Wisnu dapat bertemu, bertarung dan mengalahkan Rahwana.
Bentuk
lakon cinta lain dalam babak Ramayana ini adalah cinta yang memberikan kasih
sayang bukannya rantai ego dan keduniaan. Cinta yang juga tidak bisa dipaksakan dan datangnya pun
kadang bisa secara tidak disengaja. Cinta indah namun kepedihan yang
ditinggalkannya kadang berlangsung lebih lama dari cinta itu sendiri. Batas
cinta dan benci juga amat tipis tapi dengan cinta itu dunia yang kita jalani
akan serasa lebih ringan. Cinta itu perasaan seseorang terhadap lawan jenisnya
karena ketertarikan terhadap sesuatu yang dimiliki oleh lawan jenisnya (misalnya
sifat, wajah dan lain lain). Namun diperlukan pengertian dan saling memahami
untuk dapat melanjutkan hubungan, haruslah saling menutupi kekurangan dan mau
menerima pasangannya apa adanya, tanpa pemaksaan oleh salah satu pihak. Berbagi
suka bersama dan berbagi kesedihan bersama.
Seorang
makhluk sekejam bahkan terkejam didunia seperti Rahwana, bisa takluk oleh
hembusan wewangian cinta. Sejak berhasil diculik dari tangan Sri Rama, Dewi
Shinta ditempatkan pada kamar terindah di seluruh Kerajaan Alengka. Namun tak sedikitpun Rahwana berani mengganggu Dewi Shinta
walau seinci tubuhnya sekalipun. Rahwana Raja di Raja terkejam, yang mampu
mendapatkan apapun yang dihendakinya hanya dengan sekali tunjuk, kini harus
tunduk total tak berdaya. Dia benar-benar sangat jatuh cinta kepada Dewi
Shinta. Dia tidak mau memaksakan cintanya terhadap Dewi Shinta, Rahwana ingin
Dewi Shinta menerima cintanya dengan tulus. Maka yang terjadi adalah
lolongan-lolongan rayuan gombal Rahwana didepan pintu kamar Dewi Shinta.
Berhari-hari dia membujuk agar Dewi Shinta mau keluar dari kamar, mau
menemuinya dan berkencan dengannya.
Berhari-hari
Rahwana menyusun puisi-puisi cinta agar Dewi Shinta menerimanya, walau hanya
sekedar menjawab puisi-puisi cintanya. Berhari-hari itu pula dia mengalami
kekecewan, pintu kamar tetap tertutup. Puluhan pujangga diperintahkannya untuk
mengarang dan menyusun puisi cinta, untuk dia bacakan di depan kamar Dewi
Shinta, dan puluhan pujangga itu pula menjadi korban akibat kekejaman Rahwana,
dibunuh karena puisi-puisi buatan mereka tidak ada satupun yang berhasil
membujuk Dewi Shinta keluar kamar, atau sekedar menjawab sapaan Rahwana.
Rahwana semakin melolong-lolong sudah bagai serigala layaknya, putus asa tidak
juga mendapatkan cinta Dewi Shinta. Korban semakin banyak berjatuhan dibunuh
Rahwana yang putus asa itu. Mendengar begitu banyaknya korban akibat ditolaknya
rayuan Rahwana olehnya, Dewi Shintapun luluh hatinya, mau membuka pintu kamar
menemui Rahwana, tapi hanya untuk memberikan persyaratan sebagai taktik agar Dewi
Shinta bisa bertemu Sri Rama.
Bagai
mendapat perhiasan intan sebesar gunung, Rahwana menari-nari di depan
petinggi-tinggi Alengka. Dia sampai menangis tak kuasa menahan air matanya,
bahagia Dewi Shinta mau menemui dan menyapanya. Walau hanya sekedar mendengar
persyaratan yang disampaikan Dewi Shinta, bahwa Dewi Shinta mau menerima cinta
Rahwana apabila Rahwana bisa membawa dua kepala, yaitu kepala Sri Rama dan adiknya Laksamana. Rahwanapun
cancut-taliwanda tendang-sana tendang-sini kepada semua orang, memaksa agar
pasukannya secepat mungkin berangkat untuk menculik Sri Rama dan Laksamana. Dan
selanjutnya adalah pertarungan besar antara pasukan Rahwana dan pasukan Sri
Rama yang dimenangkan pihak Sri Rama, kehancuran total Kerajaan Alengka,
dikalahkannya Rahwana oleh Sri Rama dan terbunuhnya dia oleh Hanoman.
Lonceng
cinta masih terus bergema dalam irama lainnya. Kali ini cinta dinyatakan
sebagai perasaan hangat yang mampu membuat kita menyadari betapa berharganya
kita, dan adanya seseorang yang begitu berharga untuk kita lindungi. Cinta
tidaklah sebatas kata-kata saja, karena cinta jauh lebih berharga daripada
harta karun termahal di dunia pun. Saat seseorang memegang tanganmu dan
mengatakan: ”Aku cinta kamu…” pasti tumbuh perasaan hangat yang istimewa. Karena
itu, saat sudah menemukan seseorang yang begitu berharga, ada keengganan kuat
untuk melepaskannya. Namun adakalanya cinta begitu menyakitkan, dan
satu-satunya jalan untuk menunjukkan cintamu hanyalah merelakan dia pergi.
Atau
cinta digambarkan sebagai sebuah perasaan yang tidak ada seorangpun bisa
mengetahui kapan datangnya, bahkan sang pemilik perasaan sekalipun. Jika kita
sudah mengenal cinta, kita akan menjadi orang yang paling berbahagia di dunia
ini. Akan tetapi, bila cinta kita tak terbalas, kita akan merasa bahwa kita
adalah orang paling malang dan kita akan kehilangan gairah hidup. Dengan cinta,
kita bisa belajar untuk menghargai sesama, serta berusaha untuk melindungi
orang yang kita cintai, apapun yang akan terjadi pada kita. Fenomena gema lonceng
cinta diatas terjadi pada konflik perseteruan dua bersaudara Subali dan
Sugriwa.
Syahdan
Kahyangan Suralaya mendapat serbuan dari dua raja Jin, Maesasura, jin berkepala macan dan saudaranya Lembusura yang
berkepala sapi jantan. Kedua raja tersebut berasal dari Goa Kiskenda. Mereka
bermaksud melamar Dewi Tara, bidadari putri Betara Indra. Karena lamaran mereka
tidak mendapat sambutan baik, kedua raja jin itu nekat untuk menyerbu Kahyangan
untuk menculik Dewi Tara. Pertempuran dahsyat tidak dapat dihindarkan lagi.
Meskipun pasukan Dewa dapat memukul mundur, dan Betara Indra mampu menundukkan
Maesasura, tapi Dewi Tara berhasil diculik Lembusura. Maka dengan berhasilnya
Lembusura menggondol Dewi Tara, Maesasura memerintahkan pasukannya untuk mundur
yang memang sudah tidak mungkin mampu memenangkan pertempuran dengan pasukan
Para Dewa Suralaya. Untuk menyelamatkan Dewi Tara dari tangan dua penculiknya,
Sanghyang Otipati memerintahkan Betara Narada untuk pergi ke hutan
Sunyapringga, untuk menemui kedua putra Resi Gautama, yang saat itu sedang
bertapa sebagai penebus dosa terhadap tingkah-laku tidak patut mereka terhadap
ayahnya mereka, Resi Gautama.
Resi
Gautama berputra tiga orang, yang sulung adalah seorang putri bernama Dewi
Anjani, disusul adiknya Raden Subali dan yang bungsu Raden Sugriwa. Kehidupan
mereka awalnya aman tenteram bersama ayah dan ibunya Dewi Indradi di pertapaan
Grastina di lereng gunung Sukendra. Kehebohan keluarga Resi Gautama dimulai
dari sebuah cupu yang dimiliki Dewi Anjani pemberian ibunya sebagai anugerah
dari Betara Surya. Dahulu ketika Dewi Anjani masih kanak-kanak, cupu itu sangat
berguna untuk menghiburnya bila ia rewel dan menangis. Karena keajaibannya maka
hingga kinipun sang Dewi masih tetap menggemarinya sehingga tiap hari cupu itu
selalu dipermainkannya. Keajaiban cupu itu ialah bila dibuka dan dilihat
tutupnya, maka akan terlihat seluruh keadaan di angkasa. Adapun bagian dalamnya
dapat memperlihatkan seluruh keadaan bumi.
Melihat
kakaknya selalu mempermainkan cupu itu, kedua adiknya Raden Subali dan Raden
Sugriwa penasaran dan ingin melihatnya. Takjub akan isinya, timbul keinginan
keduanya untuk memilikinya, karena merasa ayah mereka tidak adil, kenapa hanya
Dewi Anjani yang dianugerahkan benda pusaka. Maka menghadaplah mereka berdua ke
hadapan ayahnya. Tentu Resi Gautama terperangah menerima pertanyaan-pertanyaan
kedua putranya, karena selama ini ia tidak merasa memberi benda pusaka apapun
kepada putrinya Dewi Anjani. Saat itu juga Resi Gautama mengumpulkan seluruh
anggota keluarganya. Cupu yang menjadi barang keributan dimintanya. Dewi Anjani
menjelaskan, bahwa cupu itu adalah milik ibunya Dewi Indradi. Sang Resi bertanya
kepada istrinya, dapat darimana benda ini. Alangkah sukarnya Dewi Indradi
menjawab, karena hubungan cinta sang Dewi dengan Betara Surya sangat dia
rahasiakan. Meski didesak terus oleh suaminya, sang Dewi tetap bungkam,
sehingga timbul amarahnya, dalam amarahnya keluar kutuk dari perkataannya. Sang
Dewi yang terus bungkam, dikatakan oleh Sang Resi bagai pilar tugu. Perkataan
Sang Resi linuwih akan selalu menjadi kenyataan, maka Sang Dewipun berubah
menjadi tugu batu. Tugu itupun dilempar Resi Gautama jauh keangkasa dan jatuh
di kerajaan Alengka. Kelak pada pertempuran dahsyat antara Sri Rama dengan
Rahwana, Dewi Indradi dapat terbebas dari kutuk suaminya, jika turunannya
menggunakan tugu itu sebagai alat perang. Tugu itu memang dipakai untuk memukul
kepala Patih Prahasta oleh Hanoman cucunya sendiri.
Cupu
yang menjadi barang sengketa keluarga Resi Gautama, dilempar beliau ke angkasa,
karena masing-masing ketiga putra-putrinya masih berebut untuk memilikinya.
Sang Resi berpesan siapa saja dapat meraihnya, maka dia yang akan memilikinya.
Di udara cupu itu terbelah menjadi dua, badan cupu jatuh dan menjelma menjadi
Sungai Sumala dan tutupnya yang lebih ringan, terjatuh lebih jauh dan menjelma
menjadi Sungai Nirmala. Kedua Raden itu hanya melihat cupu jatuh kedalam
sungai, serta merta keduanya beserta kedua pengasuhnya, langsung terjun kedalam
sungai terdekat yaitu Sungai Sumala. Adapun Dewi Anjani yang tidak dapat
berlari secepat kedua adiknya, dia tertinggal jauh, dia berlari dengan ditemani
pengasuhnya Aria Saraba. Sungai Sumala mempunyai keajaiban mampu merubah ujud
setiap makhluk yang terkena airnya. Sedangkan Sungai Nirmala mempunyai khasiat
untuk memulihkan kutuk akibat air Sungai Sumala.
Singkat
cerita Subali, Sugriwa dan kedua pengasuhnya Aria Menda dan Aria Jembawan, yang
terjun ke dalam Sungai Sumala, mendapat kutuk berubah wujud seketika menjadi
seekor kera. Dewi Anjani dan pengasuhnya yang hanya membasuh muka dengan
tangannya, hanya berubah wujud menjadi kera pada wajah dan kedua tangannya. Mereka
segera melapor kepada ayahnya, untuk memperoleh pengampunan. Dan Sang Resipun
memerintahkan mereka bertiga untuk bertapa. Pertama Dewi Anjani bertapa
merendamkan diri ke dalam air danau Madirda yang mengalir di bawah pohon asam
yang rindang. Hanya kepalanya yang muncul sebatas mulut. Mulut sang Dewi selalu
terbuka menantikan makanan yang terbawa air masuk ke dalamnya. Demikianlah sang
Dewi itu bertapa menantikan nasib selanjutnya dengan dijaga oleh Aria Saraba
dengan setia.
Adapun
Raden Subali dan Raden Sugriwa bertapa di hutan Sunyapringga. Raden Subali
bertapa dengan cara bergelantungan di dahan pohon seperti seekor kelelawar. Dan
Raden Sugriwa bertapa ‘Ngidang’di padang rumput, mengambil posisi seperti
seekor kijang sedang makan rumput. Mereka berdua bertapa bertahun-tahun dengan
dijaga kedua pengasuh setianya, yaitu Aria Menda dan Aria Jembawan. Termasuk
Dewi Anjani yang ditemani Aria Saraba. Hingga saat itu tiba turun Sang Hyang
Otipati dan Betara Narada menghadap ketiganya. Dewi Anjani dipulihkan oleh Sang
Hyang Otipati Betara Guru dan dibawa ke Suralaya untuk dipersunting. Dari
perkawinan keduanya dianugerahi seorang putra berwujud kera putih, yang
kemudian diberi Hanoman. Sedang Raden Subali dan Raden Sugriwa dianugerahi oleh
Betara Narada berbagai kesaktian, kemudian diberikan tugas dari Hyang Guru
untuk membantu Para Dewa. Demikianlah sekelumit riwayat asal-usul Hanoman putra
Dewi Anjani, Raden Subali, Raden Sugriwa.
Kembali
kepada tugas yang diemban kedua putra Resi Gautama dari Betara Narada. Beberapa
lamanya mereka berjalan mencari Goa Kiskenda. Hutan dan gunung telah mereka
lalui. Tiba-tiba bertemulah mereka dengan penjaga goa, yang menerangkan bahwa
dia adalah penjaga Goa Kiskenda. Kedua putra Resi Gautama mengutarakan
maksudnya untuk menjemput Dewi Tara. Keruan saja penjaga itu menjadi naik
pitam. Tetapi dengan sekali tampar penjaga itu tewas. Beberapa orang Kiskenda
melihat kejadian segera memanggil pasukan perangnya. Namun amukan kedua ksatria
dan dua pengasuhnya benar-benar tiada tertahankan oleh pasukan Kiskenda. Mereka
mengamuk sehingga seluruh pasukan Kiskenda menjadi kacau balau. Pasukan
Kiskenda dikejar kesana kemari dan mencoba hendak bersembunyi ke dalam goa.
Tetapi Sugriwa dan dua pengasuhnya sudah menunggu menghadang, sehingga membuat
pasukan Kiskenda berlari-lari kesana kemari mencari tempat persembunyian.
Setelah keadaan sepi, Subali dan Sugriwa beranjak memasuki goa, kedua
pengasuhnya berjaga-jaga di mulut goa. Ternyata lorong goa itu sangat dalam,
setelah berjalan agak jauh, mereka menemukan sinar terang gemilang, rupanya
itulah ujung goa, yang ternyata dibangun suatu keraton yang indah mewah. Mereka
mendapati Maesasura dan Lembusura sedang tertidur lelap. Maka dengan
mengendap-endap keduanya mencari tempat Dewi Tara disembunyikan. Sebelum
mencari, Subali berpesan, bahwa Sugriwa yang membawa bidadari itu keluar goa,
dan menunggu Subali di luar goa. Dan Sugriwa harus memperhatikan tanda-tanda
yang akan diberikan Subali. Jika mengalir darah bercampur otak, artinya Subali
kalah bertempur dengan kepala pecah. Maka untuk menjaga keselamatan Dewi Tara,
Sugriwa harus menutup pintu goa dengan batu gunung. Dengan perasaan masgul
Sugriwa menerima perintah kakaknya. Sugriwa segera bergerak mencari tempat Dewi
Tara disembunyikan, sementara Subali berjaga-jaga. Setelah Sugriwa mendapatkan
bidadari itu disembunyikan, segera Dewi Tara dipanggul keluar. Terkejut karena
tiba-tiba seorang berwujud kera memasuki kamarnya dan dengan cepat menyambar
tubuhnya, Dewi Tara tak kuasa menahan jeritannya. Jeritannya itu yang
membangunkan Maesasura dan Lembusura. Tetapi Subali yang sejak tadi
berjaga-jaga langsung menerjang. Perkelahian dua lawan satu berlangsung seru.
Sugriwa terus berlari keluar goa. Diluar goa dia menjelaskan tujuan mereka
kepada Dewi Tara, yaitu atas perintah Hyang Otipati Betara Guru.
Tiba-tiba
mengalir darah bercampur otak dari dalam goa Kiskenda. Maka teringatlah Sugriwa
akan pesan kakaknya, dan dengan tak berpikir panjang lagi, batu gunung yang
disediakan itu segera ditutupkan kepintu goa sambil meratap dengan sedihnya.
Sugriwa tak henti-hentinya menangisi kakaknya. Aria Jembawan pengasuhnya,
segera menghampiri agar segera membawa sang Dewi ke Suralaya. Dewi Tara yang
semenjak tadi merasa takut oleh mereka, manusia tapi berwujud kera, barulah
percaya akan kejujuran dan kesopanan mereka. Singkat kata, Dewi Tara dibawa
menghadap Hyang Pramesti Jagatnata atau Hyang Otipati Betara Guru. Hyang
Otipati bertanya kepada Sugriwa, siapa yang paling berjasa membebaskan Dewi
Tara. Dengan sedih Sugriwa menceritakan sejujurnya bahwa kakaknyalah yang
paling berjasa, ia hanya dipesankan kakaknya jika melihat pertanda kejadian
mengalirnya darah bercampur otak keluar goa, berarti kakaknya kalah berperang,
dan dia harus segera mengantarkan Dewi Tara ke Suralaya. Atas usul Betara
Narada, maka Raden Sugriwa dinikahkan dengan Dewi Tara, dan mereka menetap di
kerajaan kera Pancawati.
Menengok
kedalam goa untuk melihat kejadian sebenarnya, Raden Subali berhasil
mengalahkan Maesasura dan Lembusura, dengan memecahkan kepala keduanya. Tak
urung darah bercampur otak memancar deras mengalir sepanjang goa ke arah pintu
goa. Subali mengikuti arah aliran darah dan otak itu hingga ke ujung goa.
Alangkah terkejutnya dia, sebuah batu gunung menyumbat lobang goa. Darah memuncak
kekepalanya pertanda amarah yang hebat disusul makian dan sumpah serapah kepada
adiknya Sugriwa. Tidak sepatah katapun ia teringat akan pesannya kepada
Sugriwa, semua tenggelam dalam api amarah. Dengan penuh nafsu
didorong-dorongnya batu itu, namun tidak sejengkalpun bergeser, hingga beberapa
hari dan malam Subali terkurung dalam goa. Ia menangis seorang diri, maka
putuslah harapan Subali untuk mendekati bidadari Dewi Tara. Tiba-tiba
teringatlah olehnya akan aji baru pemberian Dewata, Aji Pancasona. Maka aji
tersebutpun dirapalnya, dan batu besar yang menutup lobang goa itupun meledak
hancur berkeping-keping diterjang Subali. Subali segera melompat keluar. Di
luar goa dia terus berteriak-teriak memanggil Sugriwa dengan ancaman akan
membuat perhitungan dengan Sugriwa. Subali segera berlari cepat ‘sipat kuping’
langkahnya tidak menapak tanah dan rumput, dia bagaikan terbang saja layaknya.
Dari kejauhan hanya tampak bayangan tubuhnya saja yang berkelebat cepat menerobos hutan, lembah
semak-semak, ngarai bebatuan dan sungai. Maka dalam waktu singkat dia sudah
tiba di dataran Gunung Mahameru yang misterius. Yah dia sudah tiba di lereng
gunung tempat para Dewa bermukim yaitu Suralaya. Di lereng gunung itu dia masih
saja berteriak-teriak memaki-maki Sugriwa, dengan didorong Aji Pancasona, maka
teriakan Subali laksana ledakan petir dimusim penghujan.
Hyang
Otipati segera mengutus Betara Narada. Karena beliau sudah waspada ada
peristiwa yang tidak beres dan kesalah pahaman antar dua saudara kandung.
Dihadapan Betara Narada, Subali masih saja menyesalkan tindakan saudaranya, dan
menepuk dada menunjukkan siapa sebenarnya yang paling berjasa. Betara Narada
dengan bijak menenangkan emosi Subali, sambil mengingatkan pesan Subali
terhadap Sugriwa. Dewata sama sekali tidak menduga akan akhir pertempuran
Subali dengan dua raja jin itu. Sesuai pesan Subali, dan apa yang dipesankan
memang terjadi, maka Sugriwa menutup goa dengan batu, dan membawa Dewi Tara ke
Suralaya. Dan sebagai jasanya, karena Subali dianggap sudah tewas, Dewi Tara
dinikahkan dengan Raden Sugriwa dan dianugerahi kerajaan kera Pancawati.
Mendengar penjelasan Dewata, Subali termenung, tenggelam dalam keputus asaan.
Maka dengan diliputi rasa sedih berangkatlah dia meninggal Gunung Mahameru.
Ditengah perjalanan, rasa cinta terhadap sang dewi, mengobarkan api amarahnya
kembali. Dia berteriak-teriak memaki-maki Sugriwa, mengancam akan membuat
perhitungan. Dengan Aji ‘Sipat Kuping’ nya, kembali Subali berlari melesat
secepat angin menuju lereng gunung Pancawati, tempat Sugriwa dan Dewi Tara
bermukim.
Di
Pancawati Subali yang sudah kesetanan oleh cinta buta, berteriak-teriak
menantang Sugriwa. Kedatangannya tentu mengejutkan kedua pengasuhnya, terutama
Aria Menda pengasuh Subali. Sugriwa yang diberitahu kedua pengasuhnya tentu
terkejut senang, tetapi mendengar Subali datang dengan amarah dan memaki-maki
dirinya, sebagai adik pengkhianat dan tidak tahu diri. Tentu saja kesabaran
Sugriwa pudar dicaci maki dengan kata-kata pedas itu. Ia pun melompat
kelapangan dimana Subali berdiri menantang. Kedua pengasuhnya, Aria Menda dan
Aria Jembawan, berusaha menenangkan asuhannya masing-masing, namun tidak
berhasil, ketika kedua bersaudara itu saling melompat keudara untuk mengadu
pukulan. Kemudian pergulatanpun terjadi, saling terjang, pukul, cakar, tendang.
Kelihatan benar kedua putra Resi Gautama adalah benar-benar ksatria pilih
tanding, sukar dicari lawannya saat itu. Maka pertarungan dua bersaudara itu
amatlah dahsyat, memporak-poranda sekitar pertarungan. Tapi selang beberapa lama,
tampaklah keunggulan Sugriwa, kelincahan dan kecepatan gerak tubuhnya melebihi
dari kakaknya. Maka sudah beberapa kali Subali dirobohkan, terluka dan pingsan.
Dan beberapa kali pula dia bangkit, karena keampuhan Aji Pancasona. Selama
Subali dapat menyentuh tanah dia dapat sembuh dan hidup kembali, itulah watak
Aji Pancasona. Hingga akhirnya Sugriwa kepayahan dan menyerah, bersimpuh di
hadapan kakaknya. Seketika itupun Subali memboyong Dewi Tara ketempatnya
bermukim. Tempat yang dia dipilih adalah Goa Kiskenda. Subali kembali memanggil
seluruh pasukan Maesasura untuk menjadi pasukannya.
Tinggal
Sugriwa melolong-lolong kesedihan, berhari-hari tidak enak makan dan tidur
tidak nyenyak, selalu mengingat istrinya. Aria Jembawan berusaha menghibur
asuhannya. Tetapi rupanya gagal, api kerinduan amat sangat menyesakkan dadanya.
Sugriwapun tampil berdiri, berteriak memanggil-manggil Subali untuk menantang
perang tanding lagi. Dihimpunnya pasukan keranya, kemudian berangkat ke Goa
Kiskenda. Dan terjadilah pertempuran antara pasukan kera Pancawati dengan
pasukan mutan Kiskenda. Pasukan Kiskenda memang unik, berpenampakan tubuh
manusia namun berkepala semua binatang baik binatang buas atau binatang ternak.
Aria Jembawan memimpin pasukan Pancawati terus menggempur penjaga-penjaga goa
yang nampaknya sibuk mempertahankannya. Sedang Sugriwa menerobos masuk kedalam
goa untuk menemui Subali. Kembali kedua bersaudara saling tantang dan
dilanjutkan saling terjang. Pertarungan mereka kali ini lebih dahsyat dari
pertarungan mereka yang pertama kali. Karena kali ini mereka bertempur dengan
kebencian antara dua musuh bebuyutan, bukan lagi antara saudara kandung.
Sugriwa terus didesak hingga menjauh dari Goa Kiskenda ke hutan di lereng
Gunung Reksamuka. Tetapi memang Subali sukar ditaklukkan, sukar dilukai apalagi
dibunuh, karena ageman Aji Pancasonanya. Dan Sugriwa yang sudah kepayahan itu
ditundukkan dan dibelenggu antara dahan pohon di hutan lereng Gunung Reksamuka.
Aria Jembawan hanya dapat meratap menangisi asuhannya yang pingsan terjepit
dahan pohon besar, dan dia terus menjaganya dengan setia. Saat itu Dewi Tarapun
sudah melahirkan seorang putra, disambut Subali seakan sebagai trofi kemenangan
perang.
Nasib
Sugriwa kemudian ditentukan oleh dua petualang bernama Sri Rama dan Laksamana,
yang sedang mencari Kerajaan Alengka. Dengan bantuan Sri Rama, Sugriwa berhasil
dibebaskan dari jepitan dahan pohon. Lepas dari jepitan, Sugriwa yang mempunyai
tabiat keras kepala, kembali akan menyambangi kediaman kakaknya, untuk
menantang perang tanding ketiga kalinya. Kali ini dia tidak mengerahkan bala
tentara keranya. Dia hanya datang seorang diri. Diapun mengerahkan Aji Sipat
Kuping, dan melesatlah dia berlari secepat angin menuju goa Kiskenda. Tidak
berapa lama, dia sudah berada di hadapan goa, kedua pengawal goa sudah paham
akan maksud kedatangannya dan juga sudah jerih akan kesaktian saudara muda
majikannya. Segera mereka lapor kepada Subali. Subali tentu sangat kesal akan
kebandelan adiknya, kenapa tidak bisa belajar dari pengalaman. Dia mengepal
tinju kuat-kuat, kali ini dia tidak akan memberi ampun Sugriwa, ya Subali kali
ini akan membunuh adiknya Sugriwa, tidak perduli dia akan mendapat murka
ayahnya Resi Gautama.
Dan
dua saudara kandung itu kini sudah berhadapan kembali, tidak ada cakap
diantaranya, karena terbakar api dendam amarah, hanya terdengar dengus nafas
dan gemeletuk gigi karena getaran otot geraham. Dan keduanya melompat ke udara
mengadu pukulan dan tendangan, masing-masing mengerahkan aji-aji pukulan
pamungkas. Dan pada dasarnya keduanya belajar dari sumber yang sama,
kesaktiannya mereka didapat dari ajaran dan wejangan ayahnya, maka perkelahian
berjalan seimbang. Faktor bakat tempur, stamina dan wawasan ilmu menjadi faktor
penentu kemenangan. Sugriwa menang pada bakat tempur, dia sangat gesit dan
terampil melancarkan jurus-jurus pukulan pamungkasnya, namun Subali lebih pada
wawasan keilmuan, stamina dan dia juga memiliki Aji Pancasona, yang membuatnya
tidak dapat terluka dan terbunuh. Maka hasil akhir pertempuran sudah dapat
diperkirakan, Sugriwa kembali kepayahan, lemas, nafas memburu habis daya,
dengan pandangan berkunang-kunang dia hanya dapat melihat Subali siap
membantingnya. Sugriwa sudah diambang ajalnya.
Sri
Rama dan Laksamana yang membebaskan Sugriwa, tidak diam dihutan itu. Mereka
segera mengerahkan Aji Kidang Mas, ilmu berlari bersama angin, keduanyapun
berkelebat sangat cepat, dan tiba saat pertempuran kedua bersaudara masih
berlangsung. Saat kritis bagi Sugriwa dipatahkan Sri Rama dengan melepaskan
panah Goawijaya ke arah Subali. Subali berhasil menangkap panah itu, namun
panah itu tidak berhenti meluncur, terus melesat kearah dada Subali, akibatnya
Subali terbawa panah itu. Walau tangannya sudah memegang erat-erat, panah itu
masih bergerak perlahan, sedikit-demi-sedikit mendekati dada kemudian perlahan mulai
menusuk dan mengebor dada Subali. Semua kesaktian dikerahkan Subali, tetapi
sia-sia, panah itu menyerap semua kesaktian dan kekuatan Subali. Maka dia hanya
dapat terbelalak tidak percaya ketika panah itu menusuk jantungnya menembus
badannya keluar melalui punggungnya. Subali mendekati ajalnya. Dia
tersengal-sengal dengan nafas satu-satu. Saat itulah ia memandang orang yang
memanahnya. Sri Rama menghampiri Subali, menjelaskan watak Panah Goawijaya, dia
akan berbalik kembali kepada pemiliknya apabila korbannya seorang yang suci
bersih dan tidak bersalah. Barulah Subali sadar akan keserakahannya, ambisi,
jahat pada adiknya, melupakan semua ajaran ayahnya. Dia memanggil Sugriwa,
menyerahkan kerajaan Kiskenda, istrinya Dewi Tara dan menitipkan anaknya yang
masih bayi agar dididik dengan baik tidak seperti ayahnya. Kemudian dia
merangkul adiknya menangis meminta maaf. Sugriwapun merangkul kakaknya,
menangis menyesali pada nasib kenapa sampai ini terjadi. Mereka sudah dibutakan
oleh cinta. Mendengar Sugriwa memaafkan dan merangkul Subali erat-erat
menangisi takdir keduanya, Subali menjadi tenang untuk berpulang ke alam
keabadian.
Memang
cinta adalah perasaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri. Cinta dalam
pengertian seperti ini merupakan perasaan mendasar dalam diri manusia, yang
tidak bisa terlepas kodratnya, dan merupakan sesuatu yang esensial. Dalam
banyak hal, cinta muncul untuk mengontrol keinginan ke arah yang lebih baik dan
positif. Hal ini dapat terjadi jika orang yang mencintai menjadikan cintanya
sebagai sarana untuk meraih hasil yang baik dan mulia guna meraih kehidupan
sebagaimana kehidupan orang-orang pilihan dan suci serta orang-orang yang
bertaqwa dan selalu berbuat baik.
Cinta
juga merupakan anugerah yang tak ternilai harganya dan itu di berikan kepada
makhluk yang paling sempurna, manusia. Cinta tidak dapat diucapkan dengan
kata-kata, tidak dapat dideskripsikan dengan bahasa apapun. Cinta hanya bisa
dibaca dengan bahasa cinta dan juga dengan perasaan. Cinta adalah perasaan yang
universal, tak mengenal gender, usia, suku ataupun ras. Tak perduli cinta
dengan sesama manusia, dengan tumbuhan, binatang, roh halus ataupun dengan Sang
Pencipta. Lagi pula, cinta itu buta. Buta sama dengan meraba-raba. Jadi… cinta
itu meraba-raba.
Cinta
itu bisa membuat orang buta akan segalanya hanya demi rasa sayang terhadap sang
kekasih. Kita juga tahu apa maknanya cinta itu. Cinta pasti bisa membuat orang
merasakan suka dan duka pada waktu yang sama ketika kita berusaha mendapat
kebahagiaan bersama. Jadi bukanlah kebahagiaan untuk kita sendiri. Meskipun
demikian kita jangan sampai salah langkah agar tidak menuju kesengsaraan.
Lakukanlah demi orang yang kamu kasihi agar kau tidak merasa sia-sia tanpa
guna. Karena hal itulah yang membuat hidup menjadi lebih bahagia.
Lakon
cinta diatas akan digambarkan kepada cinta segitiga antara Hanoman, Dewi
Trijata putri Wibiksana atau keponakan Rahwana, dan Aria Jembawan, pengasuhnya
paman Hanoman yaitu Sugriwa.
Atas
jasa-jasanya terhadap perjuangan dan sifat ksatria dari Hanoman, Wibiksana adik
kandung Rahwana, berniat mengambil mantu dirinya. Lebih lagi memang putrinya
sudah jatuh hati sejak diselamatkan dari kebakaran besar di keraton Alengka.
Maka pintu pernikahan keduanya hanya tinggal penetapan waktu saja. Sri Rama
yang menetapkan waktu pernikahan Hanoman dan Dewi Trijata, sebelum dia kembali
ke Kerajaan Ayodhya Kala. Tibalah saat yang dinanti-nantikan oleh kedua
mempelai itu. Pernikahan dilangsungkan sangat meriah. Sri Ramapun lalu
mengangkat Pangeran Wibiksana menjadi raja di Negeri Alengka. Setelah selesai
segala upacara itu Sri Rama berangkat pulang ke Negeri leluhurnya, Ayodhya Kala
diiringi oleh seluruh punggawanya. Prabu Sugriwa tetap menjadi raja di goa
Kiskenda dan Pancawati. Hanoman dan Trijata menetap bersama ayah mertuanya di
Alengka.
Dan
kisah cinta terlarang dimulai saat Aria Jembawan diminta memberikan bingkisan dari Raja Wibiksana untuk putrinya Dewi Trijata. Entah bagaimana kejadiannya, panah asmara
tiba-tiba saja melesat menusuk jantung Aria Jembawan, ketika bersentuhan tangan
dengan Trijata, yang secara usia lebih pantas menjadi anaknya. Dari
ketertarikan tumbuh perasaan birahi. Karena tidak bisa menanggung perasaan ini,
timbul niat jahat dari dirinya. Mengetahui Hanoman sedang tidak ada ditempat,
kesempatan itu dipergunakan Jembawan untuk melaksanakan niatnya. Dia merubah
dirinya menyerupai Hanoman dengan Ajian Malih Rupa. Maka kejadian selanjutnya
adalah terjadi hubungan akrab suami istri. Kejadian tersebut berulang hingga
beberapa kali. Selama berhari-hari mereka akrab laksana keluarga suami istri.
Tetapi perselingkuhan itu cepat diketahui Hanoman, ketika secara tiba-tiba dia
menerobos masuk kamar melalui jendela. Hanoman menghardik dan mencengkeram
pundak Aria Jembawan. Ajiannya luntur, diapun kembali pada rupanya semula.
Jembawan meratap-ratap meminta ampun. Hanoman cepat sadar, ia seorang yang
berbudi, luas pandangannya, kuat mengendalikan diri dan menahan nafsunya. Dia
berujar, karena Aria Jembawan sudah mengotori dirinya sendiri, tobat terbaik
adalah mau bertanggung jawab mengawini Dewi Trijata. Dewi Trijata hanya
menangis meratap-ratap meminta ampun. Hanoman dengan bijak menjelaskan Dewi
Trijata tidak bersalah sedikitpun, namun nasi sudah menjadi bubur, dia sudah
mengandung benih Aria Jembawan, harus disyahkan di atas kursi pelaminan.
Hanoman rela menyerahkan Dewi Trijata dan pergi ke Gunung Kandalisada, menetap
disana bersama ibunya Dewi Anjani, bersemedi untuk keselamatan dunia ini,
hingga mendapat gelar Resi seperti kakeknya, Resi Gautama.
Skenario
Hyang Otipati Betara Guru sesuai dengan rencananya, yaitu tewasnya Rahwana oleh
titisan Betara Wisnu, dan hancurnya kebatilan angkara murka Kerajaan Alengka
dimana Rahwana atau Dasamuka dan saudara-saudaranya bertahta. Tapi tidak
demikian dengan rencana dari Semar dan Togog dua Dewa yang menyamar.
Keduanya
melihat kedalam cakrawala yang lebih luas, bahwa Rahwana jangan dibiarkan mati.
Memang secara jasad dia sudah tewas, tapi kedua dewa penyamaran itu membangkitkan
roh Rahwana dan memecahnya menjadi ratusan-juta buih-buih kecil sebesar
kelereng disebar keseluruh dunia. Buih-buih itu adalah nafsu angkara-murka
Rahwana selama hidupnya. Buih-buih itu akan hinggap pada setiap manusia menjadi
godaan hati berupa penyakit hati yaitu; dendam, serakah, rakus, loba, tamak,
benci, buas, kikir, malas, pengecut, curiga, cemburu, iri dan seterusnya. Hanya
manusia yang bersih hatinya dan dekat dengan Tuhannya yang akan terbebas dari
sisipan buih itu.
Kenapa
sedemikian jahatnya Semar dan Togog berlaku melebihi tindakan Dewa-dewa
Suralaya?. Semar dan Togog yang mempunyai tugas menjaga keseimbangan jagat
raya, butuh sesuatu untuk keseimbangan antara baik dan buruk perilaku manusia.
Keduanya tahu sekian ribu tahun lagi akan dihadirkan manusia termulia oleh
Hyang Esa ditanah Arab, yang akan membawa ajaran mulia dan kitab suci hasil
sabda-sabda Hyang Esa yang saat itu masih tergantung di alam Arasy kerajaan
Hyang Esa. Dengan hadirnya ajaran mulia itu, maka perilaku manusia akan semakin
halus oleh karena itu perlu indikator pengukur iman, dengan cara disusupi
gelembung nafsu dunia Rahwana.
Keseimbangan
alam lainnya yang dikontrol keduanya adalah, mengurangi populasi kera, monyet,
orang utan, gorila yang merupakan Rakyat Subali dan Sugriwa, yang entah
bagaimana konon populasi mahluk-makhluk itu sebanyak tiga kali penduduk Jakarta
sekarang ini (kl. 37 juta makhluk). Selanjutnya memusnahkan makhluk-makhluk
buto, genderuwo, raksasa-raksasa buas yang merupakan rakyat Kerajaan Alengka Dasamuka.
Sisa-sisa yang masih hidup dibuang kealam jin dan tidak bisa berkeliaran sesuka
dan semudah seperti sebelumnya. Keseimbangan lainnya adalah memusnahkan seluruh
makhluk-makhluk mutan, paduan manusia dan hewan, tubuh manusia kepala hewan.
Jadi untuk selanjutnya yang ada adalah makhluk-makhluk sejenis manusia dan
sejenis hewan.
Tugas
Semar dan Togog kali ini demikian lancar untuk satu segi, tapi akibat
gelembung-gelambung buih ciptaan mereka menimbulkan masalah-masalah gara-gara
dan kasus-kasus baru bagi kehidupan manusia, jin maupun para Dewa Suralaya.
Masalah ini akan menimbulkan huru-hara maha dahsyat yang akan membuat
konsekuensi bagi semua pihak, sehingga memaksa turunnya Bapak Manusia Hyang
Adam ke Swargaloka dan Dunia untuk mengambil jalan terbaik sebelum Nabi-nabi
diturunkan Tuhan, dan sebelum manusia termulia lahir sekian belasan ribu tahun
lagi.
(Bersambung
ke Perang Bratayuda Kurusetra).
=============================================
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke Blog saya, semoga semua hari-hari anda sejahtera dan sukses selalu, diberi petunjuk oleh-Nya, amin.