Konon
150.000 tahun BC atau 75.000 tahun setelah masa Nabi Adam as. diturunkan Allah
Azza wa Jalla ke dunia, pernah berkuasa sesosok manusia yang begitu digjaya,
sehingga didewakan dan dipuja oleh sekelompok masyarakat dalam
negeri-negeri purba.
Manusia ‘digjaya’ ini bermukim nun jauh di atas gunung menjulang dikelilingi mega-mega menggulung. Manusia pertama yang membangun kerajaan manusia dewa dijuluki SangHyang NurCahya. Dia merupakan cucu buyut langsung Nabi Adam, atau putra SangHyang Anwar atau cucu Nabi Sys. Nabi Sys adalah merupakan salah satu dari 40 putra-putri Nabi Adam.
Sekian ribu tahun kemudian, SangHyang NurCahya mewariskan kepada salah satu dari 107 putranya, yang kemudian bergelar SangHyang NurRasa. Dan beberapa ribu tahun memegang tampuk kekuasaan tribuana, SangHyang NurRasa mewariskan kepada salah satu dari dua putra kembarnya, SangHyang Wenang dan SangHyang Wening. Masa kekuasaan terlama dipegang oleh SangHyang Wenang, karena sifatnya yang senang bertualangan mencari ilmu-ilmu kedigjayaan, ilmu-ilmu kanuragan serta ilmu-ilmu hening cipta rasa. Sehingga banyak bertualang diseluruh jagat. Banyak sudah mahkluk-makhluk seantero negeri hingga lain galaxy, jin-jin maupun dewa-dewa yang takluk akan keunggulannya.
Kemampuan
untuk mencari sosok lawan tangguh melalui putaran bathin 8 penjuru angin,
memungkinkan dia dapat menemukan lawan-lawan yang pantas ditantang untuk
berpibu (adu kesaktian). Bahkan dia mampu menemukannya hingga menembus zaman kemuka dan
kebelakang. Masa kebelakang, tentu ia akan menemukan kakek dan ayahnya yang
pantas menjadi lawan tandingnya. Tapi tidak dia lakukan, karena bakti dan
‘inggih ungguh mikul duwur mendem jero’ (filsafat Jawa berarti sopan kepada
yang lebih sepuh, mengangkat kelebihannya tinggi-tinggi dan menyembunyikan
kekurangannya dalam-dalam), sifat yang dipegangnya erat-erat. Maka dari hasil
terawangannya, dia melihat dimasa depan ada tiga sosok lawan yang teramat
tangguh luar-biasa yang bukan dari galaksi lain, melainkan dari bumi ini.
Dia
mencoba menyatroni salah seorang dari ketiganya, seorang raja di negeri timur
tengah, sekarang di namakan Yerusalem. Raja tersebut sedemikian perkasanya
sehingga semua bangsa jin takluk padanya. Semua kekuatan alampun bisa
dikendalikannya, memahami berbagai bahasa makhluk dunia, bahkan beliau mampu
berbicara dengan benda-benda mati. Mendengar kabar dari tiupan angin, dari
bebatuan, air sungai atau laut, tumbuh-tumbuhan, pepohonan dan lain sebagainya.
Sang
Raja perkasa itu bernama Sulaiman, seorang Nabi utusan Hyang Esa Allah Azza wa
Jalla. Tergetar juga hati SangHyang Wenang mendengar lawannya seorang Nabi
utusan Hyang Esa. Namun sifat kepenasaran membulatkan tekadnya untuk menaklukkan
semua lawan yang dipandangnya tangguh.
Maka
saat Nabi Sulaiman sedang berjalan-jalan bersama Permaisurinya Ratu Bilqis dari
Saba’ sekarang terletak di Yaman Selatan. Raja dan Ratu berjalan-jalan bersama
angin, berbulan madu, mengelilingi tujuh negeri. Saat itulah, ketika melintasi negeri
“Pewayangan” sekarang Tanah Arab, Sang Raja ditantang bertarung dengan taruhan
Istananya dan Istrinya harus diserahkan apabila beliau kalah. Jika beliau menang,
semua Negeri Pewayangan akan menjadi hak Sang Nabi. Tentu saja Nabi Sulaiman tidak
mengacuhkan tantangan itu. Dengan mengendarai angin, beliau bersama sang Ratu
meninggalkan SangHyang Wenang yang merah padam karena merasa diremehkan.
SangHyang Wenang mengejar Nabi Sulaiman, dan langsung
menyerang tidak memberi kesempatan sang nabi untuk berpikir. Serangan-serangan
teramat dahsyat dari ilmu-ilmu tingkat tinggi dikerahkan SangHyang Wenang,
bahkan cenderung teramat kejam. Saat itu diutuslah Malaikat dari surga untuk
menyampaikan cincin Jabalkat, cincin Malaikat Malik-raja Neraka, cincin sebagai
kunci pembuka dan penyulut api neraka akherat. Dalam waktu singkat yang tidak terbayangkan
cepatnya, cincin itu disematkan diantara jari Nabi Sulaiman. Dan beliaupun
langsung mengangkat tinggi-tinggi lengan yang disemati cincin tersebut. Entah
bagaimana seketika seluruh tubuh SangHyang Wenang menggelosoh lumpuh disertai
seluruh tubuhnya panas terbakar. Semua kesaktiannya dikerahkan, tak ada satupun
yang mampu menandingi kesaktian cincin gaib Nabi Sulaiman.
Sang
Nabi memerintahkan Jin Ifrit dan beberapa anak buahnya untuk meringkus
SangHyang Wenang. Namun apa yang terjadi, Raja Jin- Ifrit justru berhasil ditangkap
dan dibawa kabur untuk disandera. Jin Ifrit, yang takluk diperintahkan
SangHyang Wenang untuk mencuri cincin saat sang nabi sedang lengah. Belasan
tahun penantian mencari saat sang nabi lengah. Dan saat yang ditunggu tiba,
tatkala Nabi Sulaiman tengah sibuk membangun ‘Tembok Sebelah Barat’. Beliau
begitu seriusnya membangun tembok itu, hingga mengerahkan pasukan jin dari
berbagai pelosok. Dengan kecerdikan jin, Ifrit berhasil menyelusup, menjadi
salah satu jin pekerja Nabi Sulaiman. Hingga dengan mudah dia dapat mencuri cincin
tersebut.
Mengetahui
cincin titipan Allah SWT. raib, Nabi Sulaiman merasa waktunya di dunia sudah
habis masanya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk memulai pekerjaan besar,
apalagi Ratu Bilqis istrinya, sudah lama meninggalkan kembali kepada
penciptanya. Dengan masih bersandarkan tongkat, dia masih terus mengawasi
jin-jin pekerja menyelesaikan tembok itu. Tak ada satu makhlukpun yang tahu,
bahwa Nabi Sulaiman yang berdiri bersandarkan tongkatnya, sebenarnya sudah menghembuskan
nafas terakhirnya. Ketika tongkat itu rapuh karena rayap, tubuh Nabi
Sulaimanpun akhirnya terjatuh. Barulah masyarakat dan para Jin menyadari, bahwa
pemimpin mereka sebenarnya sudah lama tiada, tetapi dengan tubuh utuh tak
berubah seujung rambutpun. Dan tembok yang dibangun inilah yang masih tersisa,
masih berdiri kokoh hingga kini. Orang Yahudi menamakan sisa bangunan itu dengan nama ‘Wailing Wall’ atau ‘Tembok Ratapan’.
Mendengar
Nabi Sulaiman yang ditakuti SangHyang Wenang sudah tiada, dia kembali
malang-melintang di seantero jagat, mencari lawan-lawan tangguh untuk
dijadikan lawan adu kesaktian. Cincin yang dirampasnya dari Nabi Sulaiman,
terpecah menjadi empat bagian. SangHyang Wenang hanya mendapatkan
seperempatnya, dimana potongan yang digenggamnya mengandung daya pemunah dan
pelumpuh semua jenis kekuatan, berbagai macam kedigjayaan atau gara-gara
berbagai bencana alam. Sisa potongan cincin lainnya raib kembali kepada
pemiliknya yaitu Malaikat Malik (akan diceritakan kemudian bagaimana Malaikat
Malik mencari sisa potongan cincin itu). Dengan kesaktiannya, diserapnya
kekuatan kepingan cincin itu kedalam ‘salah satu cakranya’, dan dia menamakan
daya kesaktian itu dengan nama Aji Kemayan. Selain cincin yang dicurinya, dia
juga berhasil mencuri gulungan kertas bertuliskan aksara emas di dalam selongsong tabung
emas bertabur berlian mutu manikam. Dia tidak bisa membaca aksara emas itu,
tetapi dia bisa menyerap ‘berkah’ dari gulungan aksara emas itu untuk
melipatkan gandakan kesaktiannya. Gulungan kertas beraksara emas itu kemudian
dikenal sebagai ‘Aji Kalimusada’.
Kembali
kepada pencarian dua lawan tangguhnya. Dia sudah tahu adanya dua lawan tangguh
ini, tapi yang aneh dia tidak mampu melacak keberadaan keduanya, berdiam dimana
dan pada masa kapan mereka ada. Inilah aneh dan sungguh keterlaluan,
benar-benar mencoreng nama besarnya. Hanya yang dia tahu, keduanya adalah
tokoh-tokoh pembela kebenaran dan dipuja-puji semua bangsa manusia dan jin.
Semakin panas tengkuknya, mengetahui keandalan keduanya. Untuk memancing
keduanya, dia harus membuat kerusuhan besar-besaran. Dipilihnya negeri nan
makmur dengan masyarakatnya sudah sedemikian maju taraf hidupnya. Negeri itu
bernama Sundadwipa, terletak di khatulistiwa diapit dua benua (sekarang benua itu
bernama Asia, Australia dan Amerika). Dia menculik putri raja, dan
mengawininya, hingga mempunyai keturunan seorang bayi laki-laki. Sang Raja
demikian murkanya, mengetahui putri kesayangannya telah hamil dan melahirkan
seorang putra. SangHyang Wenang mengatakan akan mengembalikan dan mengakui putri raja itu
sebagai istrinya, apabila raja dan seluruh Negeri Sundadwipa mau tunduk dibawah
panji kerajaan dewa Suralaya. Sang raja menolak, bahkan mengerahkan pasukan
yang sudah bersenjatakan modern untuk menyerang SangHyang Wenang habis-habisan.
Tetapi dengan seorang diri SangHyang Wenang, melumpuhkan seluruh pasukan Negeri
Sundadwipa dengan mudah. Bahkan tidak berhenti sampai disitu, dia juga menghancurkan
negeri itu, dengan membelah, mencabik-cabik dan menenggelamkan seluruh daratan
kedalam lautan. Dia sudah lupa siapa dirinya sebagai dewa pujaan manusia, yang
harus melindungi dan mengayomi kehidupan semua makhluk. Bahkan dia tidak
perduli lagi akan nasib istri dan anaknya yang baru berusia beberapa bulan. Dari
angkasa dia melihat kehancuran daratan pulau yang pecah berkeping, terberangus
api gunung kemudian perlahan-lahan tenggelam kedalam lautan. Kebengisan
terbersit sekejap dari raut muka alim seorang dewa berupa kepuasan melihat
hasil perbuatannya. Kepuasan akan keampuhan kesaktian barunya yang diambil dari gulungan kertas Kalimusada.
Tetapi
dari kepekatan asap, abu dan api muncul dua sosok dengan cepat terbang menghampiri dirinya. Yang seorang bersosok
kurus berkulit gelap berwajah bengis dan seorang lagi gemuk berkulit putih
kuning langsat berwajah ramah. Yang gemuk tampak sedang mengapit seorang
wanita yang pingsan di tangan kirinya, di tangan kanannya menggendong seorang
bayi. SangHyang Wenang terhenyak, merekalah yang dia cari. Sebaliknya kedua
sosok ini yang tidak lain adalah Semar Badranaya dan Togog Tejamantri tak kalah
terkejutnya. Karena mereka sangat mengenali siapa tokoh yang diperangi dan yang menghancurkan negeri itu sehingga lenyap dari muka bumi selamanya. Dia adalah kakek
mereka sendiri ketika masih sebagai penguasa di Suralaya. Mereka tidak
menyangka kakeknya mau bersusah payah menembus waktu hanya untuk menjadi perusuh bagi kehidupan sebuah negeri yang sedang damai dan sentosa.
Terjadi
percakapan dari sang cucu kepada kakeknya, dengan tata krama
kekeluargaan dari yang muda kepada yang tua. Tetapi anehnya kakeknya tidak
mengenali mereka bahkan ketika disebutkan nama asli mereka sebagai Ismaya alias
Semar dan Antaga alias Togog. Sebaliknya dengan jumawa kakeknya menantang pibu
(adu kesaktian) terhadap mereka berdua. Tentu saja Semar dan Togog semakin kebingungan.
Namun Semar yang lebih awas dan waspada akan peristiwa ini membisiki Togog,
bahwa kakeknya dan mereka berdua sedang berada dalam ‘lorong waktu’ yang
berbeda. Bagai dua kereta api yang sedang saling berpapasan, hanya karena kesaktian
kakeknya dan mereka berdua maka mereka masing-masing bisa melihat dan saling
berkomunikasi dari dua lorong waktu tersebut.
Seperti
disebut diatas bahwa SangHyang Wenang tidak dapat menembus tabir Semar dan
Togog. Dia sudah merasa ketangguhan keduanya. Memang sejak mereka berdua
berubah wujud dan di ‘talqin’ (pengangkatan maqam dengan sumpah setia
menjalankan semua perintah), oleh Hyang Esa Allah SWT. menjadi ‘pengasuh dan
pengayom’ seluruh jagad beserta dimensi-dimensi jagat yang menyertainya dan
juga semua jagat-jagat paralelnya. Maka kesaktian keduanya sudah tidak lumrah
manusia lagi, bahkan dewa sekalipun, bisa disebut mereka adalah ‘dewanya para dewa’
sejajar dengan para malaikat Lauhul Mahfudz di Alam Layamut kursi kerajaan
Allah SWT.
Mendapat
bisikan kakaknya, Togog menjadi waspada dan bersiap diri, karena yang dia
hadapi sekarang adalah bukan lagi kakeknya yang mereka kenal. Sejak mereka bertiga bersama
Manikmaya – Betara Guru masih kanak-kanak, kakek itulah yang mengasuh dan melatih pelbagai ilmu dan
kesaktian. Tapi kini yang dia hadapi adalah sesosok pembunuh dan pemusnah
kehidupan sebuah negeri beserta puluhan ribu nyawa tidak
berdosa.
Kakeknya sudah menyerang dengan berbagai ilmu-ilmu kesaktian baru tingkat tingginya. Dicecar sedemikian rupa, Togog pun balik menyerang dengan ilmu-ilmu titipan Hyang Esa. Sementara Semar sambil mengapit putri raja dan bayinya, hanya menyaksikan dengan keyakinan adiknya mampu melumpuhkan kakeknya. Pertempuran berlangsung amat dahsyat, tetapi sejurus kemudian tampak SangHyang Wenang mulai terdesak hebat dan kemudian dapat dilumpuhkan. Memucat wajah sang mahadewa ini, tubuhnya menggigil hebat. Dia sudah terkalahkan dua kali. Togog mengatakan, jika kakaknya Semar yang maju, tentu akan lebih cepat dapat meringkusnya. Hampir tidak percaya dia mendengarnya. Jadi sudah tiga orang yang berhasil melumpuhkannya. (Kisah ini akan diuraikan detil dalam sesi tersendiri).
Kakeknya sudah menyerang dengan berbagai ilmu-ilmu kesaktian baru tingkat tingginya. Dicecar sedemikian rupa, Togog pun balik menyerang dengan ilmu-ilmu titipan Hyang Esa. Sementara Semar sambil mengapit putri raja dan bayinya, hanya menyaksikan dengan keyakinan adiknya mampu melumpuhkan kakeknya. Pertempuran berlangsung amat dahsyat, tetapi sejurus kemudian tampak SangHyang Wenang mulai terdesak hebat dan kemudian dapat dilumpuhkan. Memucat wajah sang mahadewa ini, tubuhnya menggigil hebat. Dia sudah terkalahkan dua kali. Togog mengatakan, jika kakaknya Semar yang maju, tentu akan lebih cepat dapat meringkusnya. Hampir tidak percaya dia mendengarnya. Jadi sudah tiga orang yang berhasil melumpuhkannya. (Kisah ini akan diuraikan detil dalam sesi tersendiri).
Entah
dari mana, tiba-tiba muncul tiga sosok menghampiri Hyang Wenang yang sedang
meringkuk terkena ilmu pelumpuh Togog. Semar dan Togog mengenali mereka bertiga.
Mereka memanggil ayahnya, yang tampak masih remaja. Ayahnya menghampiri kakeknya dan memapahnya.
Dua orang lagi mereka kenal sebagai buyut dan kakek buyutnya, SangHyang NurRasa
dan SangHyang NurCahya. Kali ini Semar yang maju menghampiri mereka berempat.
Togog meraih putri dan bayinya, menjauh dari mereka berlima. Semar berusaha
menerangkan siapa dirinya dan duduk persoalan pertikaian ini.
Tetapi sama seperti kakeknya, ayahnya, buyut dan kakek buyutnya tidak mengenal
mereka bahkan tidak bisa menembus tabir rahasia keduanya. Tapi baik ayahnya SangHyang Tunggal, buyut dan kakek buyutnya, masih tidak terima ketika ada seseorang yang bisa menaklukkan raja dari kerajaan Dewa Suralaya. Maka untuk mengembalikan gengsi itu, dengan serempak
mereka bertiga menyerang dahsyat Semar. SangHyang Wenangpun bangkit kembali
semangatnya, melihat keluarganya bela-pati terhadap kehormatan kerajaan kahyangan. Diapun turut menyerang. Pertempuran berlangsung dahsyat di angkasa. Diserbu
mereka berempat, Semar bukannya menghindar tetapi bersiap meladeni para
leluhurnya. Togog dicegah Semar ketika akan membantu.
Untuk
mempersingkat waktu, Semar mengerahkan kesaktian titipan Hyang Esa.
Seperti halnya Hyang Wenang, kini nasib serupa dialami ayah dan kedua
leluhurnya. Keempatnya lumpuh oleh kesaktian aneh dan amat dahsyat itu. Sambil
tergolek melayang di angkasa mereka menyaksikan demontrasi kesaktian yang belum
pernah mereka saksikan. Semar tampak sedang mempersatukan ‘dua lorong waktu’
menarik dan menempelkannya, bagai menarik kedua lembar kain. Penyatuan kedua realita dalam lorong waktu yang berbeda, membuka pikiran dan kesadaran keempatnya. Mereka baru
mengerti siapa jati Semar dan Togog sebenarnya. Ada perasaan haru dan bangga
dari hati Hyang Tunggal ‘calon’ ayah mereka melihat kepiawaian ‘kedua anaknya’.
Begitu pula kakeknya dan kedua leluhurnya. Terjadi reuni keluarga yang aneh
karena kedua pihak berasal dari masa yang berbeda. Semar berhasil menyadarkan kakeknya
Hyang Wenang agar tidak lagi mencari dan mengejar lawan hanya sekedar untuk
mengetahui siapa yang lebih unggul.
Sementara
Semar membawa sang putri dan bayinya kesebuah pulau kepingan dari daratan Sundadwipa
(sekarang disebut Sunda Land yang diyakini sebagai benua Atlantis yang hilang). Kepingan pulau itu kini dikenal sebagai Pulau
Jawa. Putri itu ditempatkan pada daerah perhutanan yang subur dan tenang di
sebelah barat pulau kecil itu. Semar menciptakan anjing hitam diberi nama si
Kumang, sebagai penjaga sang ibu dan bayinya. Sang putri disarankan mengganti
nama lain, dan Semar memberinya nama Dayangsumbi dan putranya si bayi diberi
nama Sangkuriang. Nama lokasi ibu dan anaknya diberi nama Parahyangan. Asal
kata turunan SangHyang. (Kisah Dayangsumbi bersuamikan SangHyang Wenang,
berdasarkan terawangan Ustad Harry Mukti di acara Dua Dunia – tv swasta Trans7.
Dan kisah SangHyang Wenang beristri Dayangsumbi akan diuraikan detil dalam sesi
tersendiri).
Mengapa
Semar dan Togog dapat berada dalam lorong waktu yang berbeda dengan
keluarganya. Dikisahkan keduanya sedang mengejar Iblis Azazil yang berusaha
menghancurkan semua realita alam semesta. Pengejaran hingga menembus
lorong waktu ke masa awal zaman, yaitu saat alam semesta dilahirkan pada proses
ledakan akbar (Big Bang). Azazil berusaha menghancurkan bayi jagat raya, tetapi
berhasil digagalkan keduanya. Selain menggagalkan upaya Azazil, keduanya kemudian mendapat tugas dari Hyang Esa Allah Azza wa Jalla untuk ‘membidani’
kelahiran jagat ini. Menata ulang formasi dan konfigurasi seluruh jagat beserta
semua dimensi yang menyertainya. Menata ulang dari kelahiran seluruh galaxy-galaxy termasuk
galaxy bima sakti tempat manusia hidup sekarang. Semar dan Togog menyusun tata
surya, yang semula terdiri dari tiga planet mengelilingi matahari, kini
mereka membidani membentuk sembilan planet yang mengelilingi matahari.
Pencapaian kelahiran jagat terus berlanjut hingga membidani terbentuknya bumi
seperti sekarang ini. (Kisah ini akan diuraikan detil dalam sesi tersendiri).
Bagaimana
awal kejadian ini bermula. SangHyang Tunggal penguasa Suralaya setelah mewarisi
dari ayahnya SangHyang Wenang, berputra tiga orang. Yang sulung bernama
SangHyang Ismaya, berkulit putih langsat, bermata biru dan berambut pirang.
Dialah yang paling alim, bijaksana, kalem, penyabar dan berwibawa. Tentu dia
yang tersakti diantara kedua adiknya. Kedua bernama SangHyang Antaga berperawakan
tinggi besar tegap berkulit sawo matang, seperti layaknya Bima dari Pandawa.
Bertabiat seperti Bima, kasar tidak suka ketidak adilan, sembrono, tidak
sabaran, pemarah tetapi dia sangat menghormati dan mencintai kakaknya dan juga adiknya SangHyang Manikmaya. Yang bungsu berperawakan tidak
seperti kedua kakaknya yang bertubuh tegap, tapi Manikmaya bertubuh biasa
seperti ayahnya. Ketiga bersaudara ini hidup rukun saling hormat dan saling
menyayangi. (Dari gambar illustrasi diatas dijelaskan SangHyang Ismaya ditengah
diapit sebelah kirinya adalah SangHyang Antaga dan sebelah kanannya SangHyang
Manikmaya).
Kerukunan
ketiga bersaudara ini terbukti ketika ayah mereka berniat turun tahta dan akan
menyerahkan kekuasaannya kepada SangHyang Ismaya. Sang Hyang Ismaya dengan
sopan dan hormat menolak tawaran ayahnya, dengan alasan dia bermaksud akan
mendalami berolah-rasa menyatu dengan penciptanya - Sang Hyang Esa, untuk memperoleh
keunggulan dewa mumpuni linuwih, cipta-rasa dan ilmu-ilmu kadewataan tingkat
tinggi. Maka pilihan kemudian ditawarkan kepada putranya yang kedua SangHyang
Antaga. Seperti halnya kakaknya, diapun menolak dengan alasan sama. Maka
pilihan kemudian jatuh kepada putranya yang bungsu. Tentu saja si bungsu yang
selalu dimanja kakak-kakaknya merasa rikuh. Setelah diyakini kedua kakaknya,
bahwa mereka akan membantu dengan segala jiwa dan raganya, akhirnya tampuk
pimpinan diterima kepada SangHyang Manikmaya yang kemudian bergelar Betara Guru
atau SangHyang Otipati.
SangHyang Tunggal bersabda kepada ketiga anaknya, bahwa pamor kahyangan Suralaya akan semakin berkibar memancar ke delapan arah jagatraya. Tetapi kemudian harus dibayar dengan pengorbanan mereka bertiga.
Waktu memang membuktikan, pamor kahyangan Suralaya semakin cemerlang.
Ketujuh Raja dari para MahaDewa di tujuh galaxy tunduk dan mengakui akan
kesaktian ketiga bersaudara itu. Dan sebagai bukti takluk, ketujuh Raja
MahaDewa itu membangun patung wujud dari tubuh mereka yang tidak kasat mata oleh
siapapun, kecuali oleh mereka tiga bersaudara itu. Disamping itu segala dan
seluruh raja-raja Jin pun satu persatu takluk, mengakui kesaktian ketiganya.
Hanya
satu ganjalan pada pikiran ketiganya, kenapa hanya tujuh Raja MahaDewa.
Bukankah ayahnya mengatakan akan ada delapan MahaDewa yang takluk, tapi
kemudian harus dengan pengorbanan mereka. Pengorbanan apa sebenarnya itu.
Ternyata satu MahaDewa yang tersisa adalah berasal dari dunia ini, bahkan dari
kahyangan Suralaya, yaitu dari kakak sulung mereka berlainan ibu bernama
SangHyang Rancasan.
SangHyang
Rancasan yang sangat pendengki terhadap ketiga bersaudara itu, kemudian dia menciptakan
kahyangan tandingan bernama Kahyangan Tunjung Biru, dan menyombongkan diri
sebagai dewa tersakti karena ageman gulungan aksara emas Kalimusada. Dengan
ditemani kedua kakaknya, SangHyang Otipati mengunjungi SangHyang Rancasan,
meminta baik-baik untuk bergabung dan menyerahkan gulungan aksara emas warisan
SangHyang Wenang. Dari dialog ramah tamah berubah menjadi pertengkaran yang
berakhir adu kesaktian. SangHyang Rancasan tidak dapat dilumpuhkan oleh
SangHyang Otipati, bahkan setelah dibantu kakaknya SangHyang Antaga sekalipun.
Kesaktiannya hanya dapat diimbangi oleh SangHyang Ismaya. Setelah terjadi
pertempuran satu lawan satu, tangan kanan SangHyang Rancasan yang memegang
Gulungan Aksara berhasil ditangkap dan ditarik. Ismaya bermaksud melakukakan
pukulan terakhir untuk melumpuhkan ‘kakaknya’ itu, akan tetapi dengan kecepatan
luar-biasa SangHyang Antagapun menangkap dan menarik tangan kiri SangHyang Rancasan. Tarik
menarik dengan disertai kekuatan ajian tingkat tinggi membuat tubuh SangHyang
Rancasan terbelah dua. Sebelum meninggal dunia, dia melempar kutukan, bahwa
SangHyang Ismaya dan SangHyang Antaga akan kehilangan ketampanan, keluar dari
kahyangan dan hidup melalang buana. Sedangkan SangHyang Manikmaya akan
mengalami kecelakaan-kecelakaan.
Kutukan SangHyang Rancasan terbukti, SangHyang Ismaya
berubah ujud menjadi buruk rupa kemudian bernama Semar Badranaya. Sedangkan SangHyang
Antaga menjadi Togog Tejamantri. SangHyang Manikmaya mengalami kecelakaan
sehingga bertangan empat, bertaring, berleher ungu dan kedua kakinya menjadi sangat ringkih. Rupanya itulah pengorbanan yang dimaksud ayahnya. Tetapi untuk Semar
dan Togog, perubahan ujud itu merupakan babak peristiwa baru. Mereka mendapat talqin dan titah Hyang Esa untuk menjadi pengayom dan
pengasuh seluruh alam semesta, dengan disertai diturunkanya berbagai ilmu dari
alam Jabarrut, Malakut dan Layamut. Ilmu-ilmu akherat yang tidak ada makhluk yang bisa menahannya.
Kemudian
Semar merasa kehidupan dunia tidak lagi menarik hatinya. Dia bermaksud untuk
mendalami tapa brata kedewataan seperti yang dilakukan leluhur-leluhurnya.
Semar terus ‘berjalan’ dalam penelusurannya, hingga batas yang bahkan kakek dan
kedua buyutnya tidak berani menyentuhnya. Dalam Islam batas itu disebut Ittihad
atau Wahdatul Wujud. Suatu upaya untuk
mencapai terbuka hijab rahasia dari segala rahasianya super rahasia. Togog yang
setia mengikuti kakaknya terus membayangi apa yang dilakukan Semar, sehingga
keduanya harus meninggalkan kahyangan untuk mendapatkan apa yang dicarinya.
Maka
petulangan keduanya dimulai untuk mengayom dan mengasuh alam semesta terutama
dari upaya pemusnahan Raja Iblis Akherat Azazil. Petualangan keduanya berlanjut
terus dengan bertemu dan mengayomi para biksu, pendeta, orang yang menempuh kehidupan
suci, ksatria. Bahkan kepada para Nabi Rasul, keduanya menyamar untuk melindungi para Nabi dan Rasul yang menyiarkan ajaran Illahi. Keduanya tidak segan-segan untuk
berguru kepada Nabi-nabi tersebut, terutama kepada Nabi Ulul Azmi (lima nabi utama), yaitu
Nabi Nuh as., Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad
saw. Tidak sampai disitu, keduanya terus bersilahturahim kepada para penerus
Nabi Muhammad saw. Pengabdiannya terus berlangsung hingga akhir zaman membantu
Imam Mahdi dan Nabi Isa as. memerangi Dajjal laknattullah pada perang akhir
zaman.
**%***
waww..
ReplyDeletemeooww..
DeleteBerhayal tingkat tinggi
ReplyDeleteMencampurkan crita nih
ReplyDeleteSangat bisa dipahami. Maturnuwun
ReplyDeletejika itu memang benar adanya
ReplyDeletewalau ditengah peng-kerdilan jati diri bangsa oleh anak turunnya sendiri
monggo
Ngawur wkwkwkwk
ReplyDeleteHalu nya ketinggian