Dalam upaya memenuhi perintah Nabi Adam as., bersilaturahim dan belajar kepada penerus-penerus Nabi Suci Muhammad saw. Kali ini ‘penjelajah ruang dan waktu pengayom dan pelindung alam semesta’, Semar dan Togog menemui Imam besar, ahli flisafat, fikih dan tasawuf yaitu Imam Ghazali, untuk mereguk dan menyelami lautan ilmu filsafat Islam dari kedalaman lautan fikir Imam tersebut. Semar dan Togog mengunjungi Imam Ghazali kira-kira beberapa hari sebelum Imam besar itu wafat pada tahun 505 H atau 1111 masehi.
Walau
berpenampilan asing untuk bandingan dengan masyarakat masa beliau hidup. Karena
mereka berpenampilan seperti budak belian dimasa beliau, tak berpakaian dan
beralas-kaki. Yang seorang lelaki sangat gemuk putih kuning langsat berwajah
menyenangkan, selalu tersenyum ramah, walau agak janggal untuk penampilan wajah
manusia umumnya. Sedangkan kawannya bertubuh kurus berkulit kecokelatan dan tampak
berwajah bengis, ketus, tegas dan sangat serius, akan tetapi beliau tidak
melihat aura kekejaman dibalik kekerasan wajahnya, malah sang Imam menangkap aura
kelembutan hati. Hal itu mengingatkan sang Imam Ghazali akan kisah wajah
sahabat Rasulullah saw. yaitu Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khatab, yang konon
kabarnya berwajah keras dan sulit tersenyum.
Walau
berpenampilan seperti budak, namun aneh keduanya sangat bersih, rapih, tidak
terlihat keringat dan debu-debu atau kotoran-kotoran yang menempel di tubuh dan
pakaian keduanya. Pakaian yang dikenakannya juga memperlihatkan warna amat
indah dan asing, mereka juga memakai perhiasan gelang, kalung dan ikat pinggang
dari emas. Dan yang lebih aneh, tubuh keduanya sangat harum, menebarkan
wewangian yang menyegarkan, keberadaannya juga membuat udara sekitar kamar sang
Imam menjadi sejuk. Namun Imam Ghazali waspada akan tamunya yang dipandangnya
sebagai ‘malaikat’ yang sedang menyamar menjadi manusia, yang tampaknya mempunyai
kekuasaan sangat luas tak terhingga.
“‘Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuhu’, wahai Imam besar cendekiawan Islam, yang dibanggakan dan
disayang dan menyayangi Allah SWT. Apakah sudah puas sang Imam besar
memperhatikan kami berdua”, sapa ramah Semar menyadarkan keterpakuan Imam
Ghazali. Tentu saja beliau menjadi gelagapan disapa begitu, sontak beliau
menjawab: “‘Wa ’alaikumussalaamu
warahmatullah wabarakatuhu’ langsung Imam menjabat tangan kedua tamunya sambil
berdo’a; ‘Yaghfiru lanaa walakum’.
Gerangan apa yang meringankan langkah kaki tuan-tuan berdua berkunjung ke gubuk
kami”.
Dihadapan
cendekiawan kebanggaan Allah ‘Azza wa Jalla, Semar tidak menutup rahasia
keberadaan dan siapa dirinya. “Kami mendapat amanat dari eyang kami, Nabiullah
Adam as. untuk mengikuti semua Nabi dan Rosul setelah beliau, untuk meraup dan
mendulang berlian ilmu-ilmu Allah SWT. dan sekaligus menemani para Nabi penerus
Eyang Adam as. Bila Nabi dan Rosul terakhir yaitu Nabi Muhammad saw. selesai
menyebar ajaran Allah SWT., kami diperintah eyang Adam as. untuk menemui para
penerus Nabi mulia Muhammad saw. Kami bukan malaikat dan juga bukan manusia
kebanyakan, juga bukan jin atau siluman. Kami makhluk Allah juga yang berdiam
di alam lain yang kami namakan Alam Mayapada. Dahulu manusia-manusia memanggil
kami dengan sebutan Dewa-dewi, sebagai tempat mereka mengadu dan meminta
pertolongan. Namun kami akhirnya sadar setelah Eyang Adam as.memaparkan rencana
besar Iblis untuk memusnahkan manusia. Jika tidak, dia akan berusaha
memurtadkan kembali manusia dari ajaran Allah SWT. Yah itu semua itu adalah
sebuah rencana besar Iblis laknatullah untuk membelokkan iman seluruh manusia
keturunan eyang Adam as. Maka kemudian Eyang Adam as. meminta kami untuk
membayang-bayangi gerakan Iblis selamanya. Benar kami juga diminta untuk menata
ulang jagat ini agar sesuai dengan kehidupan manusia hingga kiamat kelak. Kami
menyaksikan kelahiran jagat dari dentumam maha dahsyat hingga membentuk alam
semesta atas petunjukNya. Demikianlah yang bisa kami sampaikan untuk perkenalan
ini. Saya sendiri dipanggil sebagai Semar Kudapawana Badranaya dan ini saudara
muda saya Togog Tejamantri”, demikian jelas Semar.
Imam
Ghazali hanya melongo, mencengkeram kain meja dan bukunya, dia seakan tidak
percaya akan pendengarannya, tetapi kemudian teringat akan kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT., jika Allah menghendaki semua yang tidak mungkin bisa
mungkin terjadi. Akhirnya sang Imam bertakbir sebelas kali menghadap Ka’bah
untuk mengesakan Allah, kemudian bersujud syukur karena diberi kesempatan
menyaksikan suatu peristiwa amat ganjil. Sambil menitikan air mata, sang Imam
memeluk Semar dan togog ramah. “Subhanallah walhamdulillah, jadi tuan-tuan
adalah penjelajah dari masa kemasa, dari mulai jagat ini dilahirkan hingga
kini. Tuan-tuan sudah menemani para Nabi dan Rosul, Allahu Akbar, tuan juga
diberi kesempatan menemani Nabi Suci Junjungan Alam Muhammad saw. Allahu Akbar.
Tak henti-hentinya sang Imam bertakbir. Semar lalu menjelaskan: “Benar memang
kami menemani setiap Nabi dan Rosul, akan tetapi kami dilarang untuk menampakan
wujud asli kami, seperti sekarang sedang berhadapan dengan tuan, kami harus
menyamar untuk membaur dengan masyarakat”. Akhirnya Sang Imam Ghazali mengajak
tamunya ke ruang ‘kerjanya’, mengambil ke-empat kitab yang sudah rampung beliau
tulis. Maka beliaupun memaparkan Kitab Ihya' Ulumiddin yang terkenal kepada
‘kedua tamunya’ itu.
Siapa sebenarnya Imam Ghazali itu?.
Nama
lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu
Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam. Beliau dilahirkan di Thusia, suatu kota di
Khurasan dalam Th. 450 H. (1058 M). Ayahnya bekerja membuat pakaian dart bulu
(wol) dan menjualnya di pasar Thusia.
Sebelum
meninggal ayah Al-Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli tasawuf temannya,
supaya mengasuh dan mendidik AI Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal
ayahnya, maka hiduplah AI-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawuf itu. Harta
pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang
jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu, selalu
mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan
memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar uraian alim ulama itu maka
ayah Al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah swt. kiranya
dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu.
Pada
masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh
Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar
pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri
tersebut, berangkatlah. Al-Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam
Al-Haramain. Disanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar
biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti
ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqih madzhab Syafi’i. Imam Al-Haramain amat
berbesar hati dan selalu mengatakan: "AI-Ghazali itu bak lautan tak
bertepi”
Setelah
wafat Imam Al-Haramain, lalu AI-Ghazali berangkat ke Al-Askar mengunjungi
Menteri Nizamul-muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan
kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim
ulama dan pemuka-pemuka ilrnu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian
dari keahlian Al-Ghazali. Menteri Nizamul-muluk melantik AI-Ghazali pada tahun
484 H. menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di
kota Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah
dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai
datang kepadanya suatu masa, di mana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.
Maka
pada tahun 488 H. Al-Ghazali pergi ke Makkah menunaikan rukun Islam kelima.
Setelah selesai mengerjakan Haji, ia terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi
Baitul-makdis. Kemudian ke Damaskus dan terus menetap beribadah di masjid
Al-Umawi di kota tersebut pada suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan
nama "Al-Ghazaliyah", diambil dari nama yang mulia itu. Pada masa
itulah dia mengarang kitab "IHYA".
Keadaan
hidup dan kehidupannya pada saat itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian
kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa,
melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada
kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian
dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan
maksud dari kitabnya -Ihya'-. Tak lama sesudah itu berangkat pula ke Nisapur
dan mengajar sebentar pada Perguruan Nizarniyah Nisapur. Akhirnya, kembali ia
ke kampung asalnya Thusia. Maka didirikannya di samping rumahnya sebuah
madrasah untuk ulama-ulama fiqih dan sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli
tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al-Qur’an, mengadakan pertemuan
dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada para penuntut ilmu yang ingin
mereguk dari lautan ilmunya, mendirikan shalat dan lain-lain ibadah. Cara hidup
yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat
husnul-khatirnah Al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14
Jumadil-akhir tahun 505 H (1111 M) di Thusia.
Jenazahnya
dikebumikan di makam Ath-Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang
ahli sya'ir yang termasyhur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan
kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon seorang filsuf
Inggris, yaitu : "Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah
jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi
sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan". Ia meninggalkan
pusaka yang tak dapat dilupakan oleh ummat muslimin khususnya dan dunia umumnya
dengan karangan-karangannya yang berjumlah hampir 100 buku banyaknya.
Diantaranya kitab Ihya', terdiri dari empat jilid besar.
Dalam
kalangan agama di negeri kita ini tak ada yang tidak mengenal kitab Ihya'
Ulumiddin, suatu buku standar, terutama tentang akhlaq. Di Eropah mendapat
perhatian besar sekali dan telah dialih-bahasakan kedalam beberapa bahasa.
Dalam dunia Kristen telah lahir pula kemudian Thomas a Kempis (1379 — 1471 M)
yang mendekati pribadi Al-Ghazali dalam dunia Islam, dan hasil karangannya
"De Imitation Christi" yang sifatnya mendekati "IHYA' ",
tetapi dipandang dari sudut Kristen.
Diantara.
karangannya yang banyak itu, ada dua buah yang kurang dikenal di negeri kita,
akan tetapi sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena
antara ahli-ahli falsafah. Yaitu kitab "Maqashidul-falasifah"
(Maksudnya ahli-ahli falsafah) dan kitab "Tahafutul-falasifah"
(Kesesatan ahli-ahli falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam
ilmu filsafat, mantik, metafisika dan fisika. Kitab ini sudah diterjemahkan
oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke XII M. Kitab yang
kedua member kritik yang tajam atas sistem falsafah yang telah diterangkannya
satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malah oleh Al-Ghazali sendiri
menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang
pertama tadi ialah mengumpulkan lebih dahulu bahan-bahan untuk para pembaca,
yang nantinya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.
Beberapa
puluh tahun kemudian, maka lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu Rusyd,
digelarkan Filsuf Cordova (1126 - 1198). Dia membantah akan pendirian
Al-Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya
"Tahafutu-tahafutil falasifah" (Kesesatan buku Tahafutul-falasifah
Al-Ghazali). Dalam buku ini, Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalah-pahaman
Al-Ghazali tentang mengartikan apa yang dinamakan falsafah dan betapa salah
pahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah.
Demikianlah
telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan
menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya
bertempur secara aktif dalam dunia fikiran ulama Islam dan menantikan waktunya
masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
Di
samping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al-Ghazali, dilontarkannya
kitabnya Tahafutul-falasifah ke tengah-tengah ummat manusia dengan gaya bahasa
yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi
guntur bahasanya. Maka pada akhimya dalam peperangan alam pikiran ini,
AI-Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang. Sebagai filsuf,
Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan "madzhab
hissiyat" yakni yang kira-kira sama artinya dengan "mazhab
perasaan". Sebagaimana filsuf Inggeris David Hume (1711 — 1776) yang
mengemukakan bahwa perasaan adalah sebagai alat yang terpenting dalam falsafah,
diwaktu dia menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang
timbul di abad ke XVIII, yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca
indera dan akal manusia.
Al-Ghazali
telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama 700 tahun terlebih dahulu
dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan (hissiyat) itu boleh keliru juga
karena akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan
tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna mungkin dengan sendirinya saja.
Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semau-maunya saja. Lalu
akhirnya Al-Ghazali kernbali kepada apa yang dinamakannya "dlaruriat"
atau aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang
datang dari Allah swt.
Al-Ghazali
tak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan
pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tak kurang
ia membentangkan ilmu mantik dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji
dibandingkan dengan karangan-karangan filsuf yang lain. Semua ini menunjukkan
ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan
hati serta khusu’ akan kata-kata "Wallahu a`lam” artinya "Allah yang
Maha Tahu"
Dalam
zaman Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli
fiqih. Maka salah satu dari usaha Al-Ghazali ialah merapatkan kedua golongan
yang bertentangan itu.
Baik
semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al-GhazaIi mendapat teman sepaham,
disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sepaham,
diantaranya iaIah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain dari
ahli fiqih. Didunia Barat Al-Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat
penghargaan dari para filsuf. Di antaranya dari Renan, Cassanova, Carra de Vaux
dan lain-lain.
Seorang
ahli ketimuran Inggeris bemama Ds. Zwemmer pernah memasukkan Al-Ghazali menjadi
salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah
saw. sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu :
Nabi Besar Muhammad s.a.w. sendiri.
Imam-Al-Bukhari, ulama hadist yang
terbesar.
Imam-AI-Asygari, ulama tauhid yang
termasyhur.
Imam-AI-Ghazali, pengarang Ihya‘ yang
terkenal.
Demikiardah
sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebutkan beberapa
bidang lagi, dimana Al-Ghazali mempunyai saham yang tidak kecil, seperti bidang
pendidikan, da'wah, figih dan lain-lain. Semoga pusaka ilmiah yang ditinggalkan
Al-Ghazali, dapat kiranya diambil faedahnya oleh ummat manusia umumnya dan
ummat Islam khususnya.
Kitab
Ihya' Ulumiddin, buah tangan Al-Imam Al-Ghazali adalah salah satu karya besar
dari beliau dan salah satu karya besar dalam perpustakaan Islam. Meskipun ada
berpuluh lagi karangan Ghazali yang lain, dalam berbagai bidang ilmu
Pengetahuan Islam, namun yang menjadi inti-sari dari seluruh karangan-karangan
beliau itu ialah Kitab Ulumiddin.
Beliau
pilih untuk menjadi judul narna bukunya Ihya' Ulumiddin, artinya ialah:
MENGHIDUPKAN KEMBALI PENGETAHUAN AGAMA.
Sebabnya
judul itu yang beliau pilih, ialah karena pada waktu itu ilmu-ilmu Islam sudah
hampir tercampakkan oleh ilmu yang lain, terutama oleh filsafat Yunani, khusus
Filsafat Aristoteles telah disambut dengan amat asyiknya oleh ahli-ahli fikir
Islam, yang dipelopori oleh Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain di Timur dan
kemudian menjalar pula ke Barat (Andalusia dan Afrika Utara), sesudah Ghazali,
yang dipelopori oleh Ibnu Rusyd.
Filsafat
Yunani itu pada waktu itu dinamai 'Ulumul Awail, artinya Pengetahuan orang
zaman purbakala. Oleh sebab Islam sangat berlapang dada menerima segala macam
ilmu pengetahuan ataupun hikmat, walau dari manapun datangnya, maka dalam
abad-abad kedua dan ketiga hijriyah, terutama di zaman permulaan fajar Daulat
Bani 'Abbas, banyaklah pengetahuan bangsa lain disalin ke dalam bahasa Arab,
guna memperkaya perpustakaan dan buah pikiran Arab Islam sendiri. Sebab
kemajuan Islam dan Daulah Islamiyah dalam lapangan politik dan pengaruh
kebudayaan, tidaklah akan dapat bertahan lama kalau pemikiran dari
sarjana-sarjana tidak meluas dan mendalam.
Majulah
Islam dalam lapangan fighi, ilmu kalam, tasawuf dan filsafat. Tetapi
kadang-kadang Ilmu Islam yang ash telah teledor oleh karena kemajuan dalam
bidang yang tersebut di belakang ini, yakni filsafat. Al-Ghazali telah tampil
ke muka mempersiapkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang ada pada masa itu, Beliau
memperdalam fikih (Ilmu Hukum) dan perhatian beliau akhirnya amat tertarik
kepada Filsafat sampai dipelajarinya begitu mendalam. Hasil dan buah dari
penyelidikannya terhadap Filsafat itu telah diungkapkannya dalam buku-bukunya
"Al-Munqidzu minadl-dlalal" ( Pembangkit dari lembah kesesatan ),
"Maqashid al-Falasifah" (
Tujuan daripada para Filosofi ) dan "Tahafut al-Falasifah" (
Kekacau-balauan para Filosofi ).
Setelah
pengembaraan dalam alam pikiran yang mendalam itu, beliau telah menyatakan
kesimpulan bahwa filsafat itu, baik juga untuk melatih kita berfikir. Tetapi
jadi amat berbahaya kalau sekiranya pikiran yang akan dipergunakan bagi
berfilsafat tidak terlatih terlebih dahulu dengan tuntunan Wahyu Ilahi dan
tuntunan. Nabi. Ada orang menyatakan bahwa berfikir filsafat itu harus bebas,
obyektif, jangan ada yang mempengaruhi terlebih dahulu. Tetapi kenyataan
menunjukkan bahwa tidaklah ada seorang manusiapun yang dapat membebaskan
dirinya daripada pengaruh alam sekelilingnya. Apa lagi menurut Ghazali
Filosofi-Filosofi Yunani yang mempengaruhi berfikirnya Filosofi-Filosofi Muslim
seumpama Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena penerawangan berfikir bebas itu, telah
sampai kepada kesimpulan bahwa Alam itu adalah qodim penaka Tuhan juga. Disini
Filsafat sudah menjauh sendirinya daripada pokok ajaran agama.
Lantaran
itu, maka Ghazalipun amat menyuruh hati-hati di dalam belajar 'Ilmul Kalam,
'Ilmu Theologi dalam Islam. Untuk orang awam, kata beliau-Kalam itu lebih besar
bahayanya daripada manfaatnya, sehingga beliau keluarkan sebuah risalah bernama
"Iljamul 'Awam" ( Mengekang orang awam ) daripada membicarakan Ilmu
Kalam. Iman kepada Allah, menurut Ghazali tidaklah dapat dengan dipelajari
secara "akal semata", melainkan hendaklah karena dirasakan, demi
setelah meleburkan diri ke dalam persada Alam yang ada dikeliling kita.
Setelah
nyata bahwa bukan dengan filsafat, bukan dengan 'Ilmu Kalam, juga bukan dengan
debat-berdebat (jidal) Ilmu Fiqhi, manakah jalan yang dapat mencapai kepada
Tuhan itu? Ghazali akhirnya berpendapat bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya
Tuhan dan ma'rifat kepada Tuhan, hanya dapat dicapai dengan menempuh satu
jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum shufi.
Ghazalipun
insyaf bahwasanya di zamannya pertentangan kaum syari'ah amat besar dengan kaum
Shufi atau kaum Hakikat. Kaum Fuqaha menghabiskan waktunya di dalam
membincangkan syah dan bathal, dengan mengabaikan perhatian kepada kehalusan
perasaan, sedang kaurn Shufi sating terlalu memupuk perasaan (dzauq)
kadang-kadang tidak memperdulikan mana amalan, ibadat dan syari'at yang sesuai
dengan Sunnah Rasul dan mana yang tidak.
Tasawuf
perlu untuk memupuk perasaan halus manusia, atau ‘athifah’. Tetapi
kadang-kadang terlanjur keluar dari garis syari'at. Syari’at perlu untuk
mengatur kehidupan sehari-hari menurut jalan Rasul, tetapi kadang-kadang
menjadi kaku dan kehilangan intisari karena hanya tunduk kepada yang tertulis
belaka sehingga kebebasan manusia buat berfikir, buat merasa dan buat
berfantasi menjadi hilang. Syari'at tanpa hakikat, menjadi bangkai tak
bernyawa. Hakikat tanpa syari'at menjadi nyawa tak bertubuh.
Ghazali
berusaha mempersatu-padukan keduanya. Dengan dasar itulah beliau ingin
menghidupkan kembali Ilmu Agama: IHYA' ULUMIDDIN.
Dengan
bersumber kepada Al-Qur-an, dengan kembali kepada Sunnah Rasul yang asli, kita
bongkar dan kita gali ilmu yang sejati. Di dalamnya terkandunglah
hikmat-hikrnat yang tinggi, yang kadang-kadang mungkin dapat dinamai filsafat,
kadang-kadang dapat dinamai Ilmul Kalam, Fiqhi dan lain-lain, dan lagi buat
mengetahui rahasia yang terkandung dalam hati (Asroril-Qulub).
Apabila
ilmu telah dihidupkan kembali, syari'at mesti bertemu dengan hakikat, amal
saleh mesti dinyawai oleh Iman dan di samping riadlah jasmani (latihan badan)
kita adalah riadlah annafs atau riadlah qalb ( latihan jiwa atau latihan hati
). Disitulah kita mendapat "Haqiqat al Hajah” (hidup yang sejati).
Semua
ibadat, sembahyang, puasa, zakat dan haji, sampai kepada mu'amalat ( pergaulan
hidup manusia sehari-hari ), sampai kepada munakahat (pembangunan rumah
tangga), sampai kepada hukum-hukum pidana, semuanya beliau cari isi dan
umbinya, inti atau sarinya dalam alam hakikat dan hikmat, sehingga hidup kita
sebagai muslim berarti dalam lahir dan bathin. Maka kitab "IHYA'
ULUMIDDIN" adalah hasil karya positif sesudah beliau ragu (syak, skeptis)
terhadap segala persoalan dalam bidang kepercayaan dan akhirnya keraguan itu
sedikit demi sedikit mulai hilang, berganti dengan yakin. Dan itulah yang
beliau hidangkan ke dalam masyarakat muslim.
Sebagai
seorang ahli fiqih Islam yang besar, karangan beliau ini mendapat sambutan
hangat. Mendapat sanjung puji yang tinggi dan juga mendapat sanggahan yang
hebat.
Di
zaman pemerintahan Sultan Yusuf bin Tasyfin di negeri Maghribi di Fas (Fez)
kaum Fuqaha sangat murka kepada Ghazali, sebab karangannya Ihya"Ulumiddin
banyak mengeritik kaum ahli fiqhi, yang sudah menjauh daripada Al-Qur'an dan
hanya tenggelam kedalam taqlid. Fuqaha marah, sehingga mengusulkan kepada
Sulthan supaya Ihya' dibakar raja dan dilarang keras peredarannya ke Maghribi.
Di kala disampaikan orang berita itu kepada Ghazali serta-merta beliau berkata
: "Tuhan akan merobek kerajaan mereka sebagaimana mereka telah merobek
kitabku". Tiba-tiba muncullah dalam majlis itu, murid beliau Muhammad bin
Taumrut, yang bergelar Al-Mahdi, lalu berkata: "Wahai Imam! Do’akanlah
kepada Tuhan bahwa keruntuhan kerajaan Bani Tasyfin akan terjadi di tangan
saya".
Kemudian
memang jatuhlah kerajaan Murabithin, digantikan oleh murid Imam Ghazali yang
bernama Muhammad bin Taumrut itu, dengan nama Kerajaan Muwahhidin. Bila Imam
Ghazali mengetahui bahwa muridnyalah yang menjadi raja, dan kitab beliau telah
diakui kembali di negeri itu, beliau berniat hendak hijrah ke Maghribi. Sayang
sekali sebelum beliau berangkat, beliau meninggal dunia tahun 505 H. dalam usia
55 tahun.
"lhya"Ulumiddin"
adalah salah satu karya besar, yang diakui sebagai fikiran besar yang
terkandung di dalamnya. Ds. Zwemmer, tokoh sending Kristen yang terkenal,
berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad saw. adalah dua Pribadi yang amat besar
jasanya menegakkan Islam, pertama Imam Bukhari karena pengumpulan Haditsnya,
kedua Imam Ghazali karena "Ihya'-nya". Segala sesuatu apabila telah
tercapai kesempurnaannya, nampaklah di mana kekurangannya. "Tiada gading
yang tak retak". Alam ini sendiri menjadi amat sempurna, karena serba
kekurangannya. Tuhan menciptaka Alam dalam kesempurnaannya, karena ada
kekurangannya. Kalau tidak ada yang cacat niscaya Allah Ta'ala tidak kaya
karena tidak menjadikan sesuatu yang bernama cacat.
Demikian
juga kitab-kitab karangan Ghazali terutama Ihya’Ulumiddin ini. Kadang-kadang
beliau, Iantaran asyiknya memperingatkan kesucian hidup, hingga sangat mencela dunia. Orang yang terpengaruh oleh
ajaran Ghazali tentang cacat dunia, maulah rasanya mengutuk sama sekali dunia
itu. Mengutuk dunia bisa menyebabkan dunia itu lepas dari tangan kita, hingga
dipungut oleh orang lain, sehingga negara-negara Islam terjajah.
Kadang-kadang
beliau rnenganjurkan hidup membujang, tak usah beristeri. Supaya beban hidup
dalam munajat kepada Tuhan menjadi ringan, padahal ajaran asli Islam tidak
mengajarkan demikian. Dan yang Iebih penting lagi, sebagal seorang ahli pikir
yang bebas dan besar, beliau membebaskan pikirannya daripadanya pengaruh
penafsir-penafsir yang terdahulu, tetapi hadits-hadits yang dijadikan dalil, kerapkali
tidak memperhatikan ilmu sanad hadits, sehingga sebagairnana ditulis Syaikh
Abdulkarim Amrullah dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya' musti hati-hati,
karena banyak haditsnya lemah.
Itulah
menjadi bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang filsuf besar tidaklah
melengkapi ilmunya dalam segala bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits, tetapi
dia besar dalam penciptaan fikiran. Sebagaimana juga Ulama-Ulama Ahli Hadits,
kebanyakan tidak sanggup buat menciptakan fiqhi atau mengeluarkan faham bebas,
sebab amat terikat oleh hadits-hadits, sehingga fikirannya menjadi buntu karena
kekuatan hafalan.
Perhatikan
kepada ajaran Filsafat Ethika (Akhlaq) Al-Ghazali sampai saat-saat sekarang ini
masih menjadi bahan yang kaya untuk direnungkan. Kupasan Ghazali tidak akan
habis-habisnya menjadi bahan study tentang tasawuf, tentang aqidah, tentang
filsafat dan ethika (akhlaq). Demikianlah selayang pandang tentang IHYA
’ULUMIDDIN oleh "Hujjatul Islam" AI-Ghazali.
Di
dalam perkembangan ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam di Indonesia, tasawuf Imam
Ghazal dengan Ihya'-nya besar sekali peranannya. Madzhab Sunni yang masuk
kemari sejak zaraan kerajaan Islam Pasai ialah Madzhab Syafi'i. Imam Ghazali
adalah seorang Ulama Muta-akhkhirin dalam madzhab itu.
Tasawuf
"Wihdatul Wujud" (Pantheisme) AI-Hallaj yang mulanya amat berpengaruh
di sini menjadi terdesak karena datangnya ajaran Ghazali. Kitab Ihya’Ulumiddin
menjadi pegangan ulama-ulama di tanah air kita.
Versi
lainnya menceritakan dengan jabaran sebagai berikut;
Sejarah
Hidup Imam Al Ghazali
Imam
Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh
terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran
yang telah menyebar ke seantero …
Imam
Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh
terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran
yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan
hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengenalnya.
Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang
mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama,
Nasab dan Kelahiran Beliau.
Beliau
bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al
Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam
Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah
Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam
Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al
Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi
Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu
Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan
nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian
lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian
keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian
pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali
adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang
pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah
Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al
Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar,
ini pendapat Al Khafaji.
Yang
dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir
dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan
kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah
dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan
memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam
Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan
dan Perjalanannya Menuntut Ilmu.
Ayah
beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan
menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua
anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh
saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin
memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon
engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk
keduanya.”
Setelah
meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah
harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat
melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia
berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian
dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta.
Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai
penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu
keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan
dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau
berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu
enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau
pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali
hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling
mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah
semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis
dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah
nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak
yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya
Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang
yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi
ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam
Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh
Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan
untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat.
Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/195).
Beliau
mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan
penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i
dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau
pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang
menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al
Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah
Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul
Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul
Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat
ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan
tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan
yang sangat tinggi.
Pengaruh
Filsafat Dalam Dirinya.
Pengaruh
filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi
celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan
filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang
disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu
atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat.
Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam
perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab
Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’
Fatawa 6/54).
Hal
ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan
tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam,
cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah
Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul,
tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu
kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan
meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun
beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran
Islam yang hakiki.
Adz
Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat,
yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam
beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan
agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar
dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat
mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa.
Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu
Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah
binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya
dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena
itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu
Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat,
kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik
Kejiwaan Imam Ghazali.
Kedudukan
dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia.
Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang
menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali
kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H
beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai
penggantinya.
Pada
tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian
menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di
menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh
Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al
Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al
Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para
ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu
Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10
tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’
Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin
Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan
juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk)
mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud,
berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke
Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah.
Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala
6/34).
Ketika
Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan
diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan
mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun,
pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.
Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk
orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an,
berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat
dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa
Akhir Kehidupannya.
Akhir
kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul
dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau
tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah
shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang,
niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat
meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul
Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat
Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin,
saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan
saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua
matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”
Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal
sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal
14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/201).
Berikut
isi kitab Ihya Ulumiddin buku pertama,
silahkan klik disini.
Ceritanya Mohon Di Unggah
ReplyDelete