KARAKTERISTIK
MASYARAKAT ISLAM.
Perjalanan
menembus ruang dan waktu sudah mempertemukan keduanya dengan pelbagai type
orang dari berbagai karakteristik dalam kebudayaan setempatnya. Tentu yang
paling berkesan ketika pertemuan dengan para Nabi dan Rasul Utusan Allah. Dari
para utusan Allah itulah, mereka belajar berbagai kondisi dan karakteristik
masyarakat dimasa kehidupan para utusan tersebut. Tentu banyak pembelajaran
yang diperoleh mengenai tata cara kehidupan bermasyarakatnya, tata cara
bersosial, beragama, berniaga atau berwaralaba, bertoleransi antar ummat agama
maupun bertoleransi pada perbedaan status sosial, tingkat kebudayaan serta cara
berpolitik demi mengurus kelangsungan kehidupan bernegara atau kerajaan saat
itu.
Kesimpulan-kesimpulan
yang mereka kumpulkan adalah sesungguhnya sesuatu dasar utama mengenai wujud
kokohnya dan penggerak bermasyarakat pada zaman itu. Motivasi pengokohan
bermasyarakat tersebut adalah berangkat dari kepercayaan dan penghayatan kepada
sesuatu yang mereka percayai sebagai sumber kekuatan, sumber kehidupan dan
sumber pelindung masyarakat saat itu. Seperti halnya riwayat Nabi Ibrahim as.
ketika mencari sesuatu yang paling utama dan paling berkuasa, sehingga layak
untuk disembah. Begitu juga masyarakat-masyarakat yang mereka temui setiap
zaman, mereka selalu haus mencari akan sesuatu payung yang paling bisa
melindungi dan menghidupi.
Tingkat
terendah adalah melulu menggantungkan hidup dan nasib mereka pada alam
sekitarnya. Dimana ditemukan yang terkuat, disitulah mereka menggantung
hidupnya, secara naluriah menjadi sesembahan mereka. Tingkat kepercayaan yang
lebih tinggi, dimulai dengan suatu anggapan bahwa ada kekuatan yang tidak kasat
mata yang mengatur nasib dan hidup mereka, maka dicarilah bentuk-bentuk benda sebagai
kiblat penyembahan, maka ditemuilah beberapa benda dengan ratusan macam dan
bentuk sesuai tujuan dan kebutuhan. Mereka menamakan bentuk yang tidak
kasatmata sebagai Dewa-dewa, yang bermukim disuatu tempat yang tinggi, yang
mengatur hidup dan menghukum mereka jika membangkang. Saat itulah hadir beberapa
sesepuh – orang yang dituakan - yang mulai mengatur tata-cara penyembahan, dan mulai dibentuklah agama-agama sebagai pedoman tata-cara penyembahan tersebut. Semar
dan Togogpun maklum perilaku masyarakat seperti itu, karena mereka sudah
merasakan dan mengetahui tata-cara penyembahan itu. Kebetulan saat itu mereka berada
diposisi yang menjadi sesembahan kaum masyarakat dari suatu bangsa pada suatu
zaman.
Pembutaan
ternyata sudah berlangsung sekian lama, disatu pihak dibuai akan diberi kekuasaan dan
kedudukan untuk menghukum dan memberkati. Di pihak seberang sebagai para
penyembah, dibodohi dan diintimidasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan sesuai
kehendak ‘si nasib’. Apa kehendak sinasib itu kepada para penyembah?. Suatu
keharusan yang sungguh diluar akal sehat manusia, dan mungkin diluar kemampuan
mereka juga, yang harus mereka lakukan tanpa tanya dan protes. Namun intimidasi
melalui orang-orang tertentu yang dinamakan dukun, sesepuh atau yang dituakan,
cukup mewujudkan kepatuhan para penyembah. Sanksi berupa penyakit, kerasukan
dan lain-lain bentuk kegaiban, semakin mengikis keberanian dan akal sehat
mereka.
Siapa
si nasib itu. Ternyata sebuah rencana besar dari suatu makhluk yang dibakar dan
dibutakan api dendam. Api-bara dendamnya kepada Nabi Adam as., telah
membulatkan dan membatu dalam wujud sumpah dihadapan penciptanya, bahwa dia dan
turunan-turunannya akan terus menyeret anak turun Nabi Adam sampai hari kiamat,
kelembah kenistaan pendosa kepada tuhannya. Dia adalah Iblis bernama Azazil
berikut kolega dan keturunannya. Adalah tugas Semar dan Togog sebagai Dewa
‘Pengasuh Pengayom dan Pelindung Alam Semesta’ untuk menampung dan memadamkan
‘akibat’ api dendam Iblis. Semar dan Togog sudah menerima pengajaran dari para
Nabi dan Rasul setiap zamannya. Mereka juga dikaruniakan dapat berjumpa dengan
Nabi terakhir junjungan alam, Muhammad saw. Sungguhpun dari beliau sudah sangat
banyak pengajaran dan petunjuk-petunjuk, namun menurut Saidina Ali bin Abi
Thalib ilmu itu akan berkembang setiap zamannya. Maka tidaklah salah perintah
eyang mereka Nabi Adam as., agar mereka terus mengikuti perkembangan zaman dan bersilahturahim kepada para penerus
Nabi terakhir Muhammad saw.
Demikian
dalam pengarungan arul waktu dan penjelajahan zaman, mereka akhirnya berjumpa
dengan salah satu cendekiawan Islam terkenal bernama Imam Ghazali. Dari Imam itulah mereka mendapat penjelasan, gambaran, uraian-ilmiah dan benang-merah dari
pembelajaran tentang masyarakat yang mereka terima dan kumpulkan selama ini. Dan itu semua
adalah sesungguhnya dasar utama tata-cara beragama demi membentuk kokohnya bentuk masyarakat Islam yang terangkum dalam akidah, dan tercermin serta berdasar pada iman kepada
Allah, Malaikat, kitab-kitab, para Rasul dan hari akhir dan takdir Allah.
Sang
Imam Besar Ghazali mulai membuka percakapan menuturkan buah pikirnya, apa yang
disebut sebagai masyarakat islam dan semua bagian unsur pembentuknya. “Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : ‘Rasul
telah beriman kepada Al-Quran yang
diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan
rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan); Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun
(dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, dan mereka mengatakan: Kami dengar dan
kami taat. (mereka berdoa). Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkaulah
tempat kembali’. (QS. Al-Baqarah: 285). Bahwa akidah tersebut merupakan
tanda dan syiar yang merupakan penjabaran dari kalimat singkat yaitu bersaksi
bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah.
Maksud
dari akidah diatas adalah meng-Esakan Allah dalam hal kekuatan dan kekuasaan
serta hakim meng-Esakannya yang terpatri dalam hati, ibadah dalam syiar-syiar
dan syariat serta dalam praktek kehidupan. Keyakinan dan pengakuan yang telah
difahami sejak awal oleh orang-orang musyrik dan kafir, mereka sangat khawatir
dan takut semenjak Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam mempropagandakannya,
hal tersebut bukan karena tidak faham, namun mereka takut keberadaan dan
eksistensi mereka akan hilang, karena itu mereka berusaha keras menghalangi dan
mencoba memberantasnya hingga akhir hayat mereka sehingga agama yang mereka anggap
baru tersebut hilang dari muka bumi.
Maksud
dari tegaknya masyarakat diatas dalam akidah Islam adalah berdiri dengan
menghormati dan mensucikan akidahnya secara utuh, dan berusaha memasukkannya
dalam akal dan hati mereka, membimbing pertumbuhan Islam diatasnya, dan
berusaha menghadapi dan mempertimbangkan kebatilan yang direncarakan oleh
musuh-musuhnya, dari syubhat-syubhat orang-orang yang tersesat, bahkan berusaha
menampakkan kelebihan-kelebihannya dan pengaruhnya dalam setiap kehidupan, baik
individu maupun sosial kemasyarakatan”.
Semar
menyimpulkan akidah merupakan dasar utama yang kokoh pada setiap bangunan
sosial yang kuat, dan merupakan unsur terpenting dalam menyatukan umat hingga
berada dalam satu barisan dan satu anggota tubuh yang terpisah dan bebas dari
masyarakat jahiliah yang berusaha menghancurkan Islam. Semar menilai akidah ini
belumlah bisa terpatri dalam jiwa dan merasuk dalam hati jika sekedar memeluk
agama Islam, atau dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, bersaksi tidak ada
ilah selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah saja, bahkan tidak
terwujudkan dengan hanya sekedar menegakkan kaidah-kaidah islam secara teori
dalam jiwa setiap individunya, walaupun jumlah mereka begitu banyak, serta
tidak hanya sekedar dalam kumpulan seperti satu anggota tubuh saling bergotong-royong
dan tolong-menolong, kecuali dirinya memiliki wujud yang tersendiri, setiap
anggotanya bergerak secara bersamaan seperti anggota tubuh yang hidup dalam
rangka memurnikan eksistensi dan keberadaannya, bergerak dibawah pemimpin yang
merdeka dari pemimpin masyarakat lainnya yaitu pemimpin yang baru, yang
dipimpin oleh Rasulullah saw. dan yang setelahnya yang bertujuan mengembalikan
manusia menuju pengakuan akan keesaan Allah, ketuhanan, kekuatan, hakim,
kekuasaan dan syariat-Nya, melepas diri mereka yang telah berikrar bahwa tidak
ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah dari masyarakat
jahiliyah.
Sang
Imam sangat takjub dengan luasnya dan tajamnya wawasan kedua tamunya. Tentu dia
maklum karena keduanya sudah menerima pengajaran dari semua Nabi Rasul di
setiap zamannya. Maka merasa pembicaran mereka semakin hangat dan dalam,
membuat sang Imam semakin bersemangat menuturkan pemikirannya yang terangkum
dalam bukunya - Ihya Ulumiddinnya.
Imam
Ghazali menuturkan bahwa ketika periode Mekkah, Al-Quran turun dalam kurun
waktu 13 tahun, pokok pembahasan yang diberikan adalah akidah, bahkan menjadi
permasalahan yang mendasar pada saat itu, karena akidah merupakan rukun pertama
dan terpenting bagi manusia secara individu dan sosial, dan dalam mendirikan masyarakat
secara keseluruhan hingga dapat membekas dan memberikan pengaruh yang besar bagi
masyarakat lainnya. Namun setelah datang perintah untuk hijrah ke Madinah
sebagian ayat-ayat Al-Quran tentang akidah tidak begitu banyak kecuali hanya
pada batasan yang normal tidak seperti pada periode Mekkah, karena pada periode
Mekkah adalah sebagai basis (peletakan batu pertama) yang tentunya sudah tegak
berdiri, sementara pada periode Madinah masyarakat Islam pada hakekatnya telah
berdiri dan bahkan negara Islam, namun masih membutuhkan akan system dan undang-undang
yang mengaturnya, serta jihad di jalan Allah dalam rangka mempertahankan dan
menghadang serangan dari pihak musuh, dan juga sebagai sarana menyebarkan Islam
dimuka bumi.
Berdasarkan
pengalaman berada dan hidup bermasyarakat di zaman itu, Semar dan Togog tahu demikian
hal-awal dari terbentuknya mujtama Islam, sebuah masyarakat yang memiliki ciri khas
dan berbeda dengan masyarakat lainnya, merdeka dari ikatan dan system serta
undang-undang yang lain, masyarakat yang terpancar dari satu prinsip yaitu
akidah Islamiyah. Dan darinya mampu mengalahkan kebatilan yang dibuat oleh
masyarakat jahiliyah, sebagaimana darinya juga menghasilkan realitas kehidupan
yang mengagumkan dalam penegakan masyarakat Islam tanpa ada perbedaan suku dan
ras, perbedaan tempat tinggal dan warna, dan perbedaan jarak baik yang dekat
maupun yang jauh bahkan menjadi masyarakat yang terbuka bagi semua suku, ras,
bahasa dan warna.
Togog
menambahkan hal diatas akan menjadi masyarakat yang mendunia mencakup segala
lapisan masyarakat, tanpa ada perbedaan suku, ras dan tempat tinggal.
Seperti yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Wahai sekalian manusia sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari laki-laki
dan wanita, dan Kami jadikan berbangsa dan bersuku-suku agar kalian saling
mengenal, sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling
bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar”. (Al-Hujurat
: 13)
Dalam
hadits nabi juga disebutkan, dari Abi Nadroh, berkata, Rasulullah Shallallahualaihi
wa sallam bersabda: “Wahai sekalian
manusia ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu, ketahuilah tidak kelebihan
bagi orang arab atas orang ajam, dan orang ajam atas orang arab, dan tidak
orang berkulit merah dan hitam dan hitam atas merah kecuali taqwa”. (HR.
Imam Ahmad bin Hanbal)
Islam
yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah berskala mendunia,
yang di dalamnya diutus Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk seluruh
umat manusia sebagai pembawa kabar gembira bagi siapa yang mengikuti risalahnya
dan beriman kepadanya dan pembawa peringatan kepada mereka yang ingkar dan
kufur kepadanya, dan bukanlah Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam tidaklah
diutus untuk suku Quraisy, bukan untuk jazirah arab dan bangsa Sam saja namun
untuk umat manusia seluruhnya. Sebagaimana Allah berfirman : “Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad)
kecuali untuk seluruh umat manusia untuk memberi kabar gembira dan peringatan”.
(QS. Saba: 28)
Sang
Imam semakin berbinar melihat wawasan kedua tamunya, dan pembicaran mereka
sudah menggiring mereka keluar tenda, beliau bermaksud menunjukkan kepada
tamunya bukti sekaligus gambaran dari pemahaman-pemahaman yang dipahami kedua
tamunya. “Dari sini jelas bahwa tugas utama yang diamanahkan Allah kepada umat
Islam sebagai masyarakat yang memiliki keistimewaan tidak lain kecuali
memberikan petunjuk kepada manusia menuju kebaikan yang dibawa oleh Islam dan
memelihara akidah Islam para-pengikutnya, kemudian membersihkan masyarakat dari
kedzaliman masyarakat lainnya melalui suatu invasi yang bersih mengangkat
manusia melalui system dan prilakunya dan dalam segala aspek kehidupan menuju
puncak kemuliaan yang hal tersebut bisa diangkat sesudahnya dan sebelumnya
melalui naungan Islam, karena Islam merupakan agama yang sempurna dan
komprehensip, mampu mendisiplinkan kehidupan umat manusia secara keseluruhan;
baik dari segi-ekonomi, politik, sosial dan system-sistem yang lainnya yang
selalu ditemui dalam kehidupan sehari-hari, karena Islam tidak menyelesaikan
segala urusan yang beragam ini secara serampangan dan menguasainya secara
parsial dan berpecah-pecah, namun semuanya telah ada dalam syariat Islam dengan
manhaj (jalan yang jelas dan
terang), yang
satu dan sumber yang satu yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tidak ada dalam akidah yang terpisah,
system dan syariat yang berpencar-pencar, tidak juga ibadah dan muamalah namun
semua adalah satu dan semuanya adalah ibadah, papar sang Imam dengan khusyu.
Ringkasnya
adalah bahwa masyarakat yang hidup pada periode pertama adalah merupakan masyarakat
yang istimewa yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembangunan
masyarakat setelahnya. Masyarakat sangat istimewa dari masyarakat yang lainnya
seperti masyarakat jahili pada saat itu dan masyarakat lainnya, karena masyarakat
ini tumbuh pada prinsip yang satu, manhaj yang satu, pemimpin yang satu, yaitu
akidah Islam yang tertuang dalam dua kalimat syahadat bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan manhajnya adalah Al-Quran,
sementara pemimpinnya adalah Nabi Muhammad Shallallahu alaihiwa sallam. Namun
disamping itu ada juga ciri khas lain; yaitu penafian akan perpecahan antar-sesama
anggota masyarakat, semuanya adalah satu, berada dalam satu tubuh yaitu Al-Islam,
tidak ada yang saling memiliki kelebihan atau lebih baik antara perbedaan warna
kulit, kaum (suku), individu atau jenis kelamin atau yang lainnya, yang
membedakan mereka antara satu dengan yang lainnya adalah taqwa”, sambung Sang
Imam.
Semar
mencoba merajut benang-benang merah pengajaran Sang Imam Ghazali dengan berpendapat;
“masyarakat islam tidak tumbuh dengan tangan hampa tanpa ada system dan syariat
karena hal tersebut merupakan keharusan guna memberikan batasan dalam geraknya
agar tidak mengalami penyimpangan kepada jalan yang lain saat akan membentuk
masyarakat yang baik, karena syariah merupakan fenomena yang penting dalam
perkembangan suatu masyarakat, dan akan terus sejalan dengan perkembangan zaman
dan berada disampingnya yang akan selalu memenuhi panggilan, sehingga Islam
terus mengalami perkembangan dan pembaharuan. Kerenanya bukanlah masyarakat
Islam yang membentuk dan merekayasa undang-undang (syariah) namun syariahlah
yang membentuk masyarakat Islam. Syariahlah yang memberikan batasan-batasan
baik ciri dan karakteristiknya, dialah yang mengarahkan dan menunjuki jalan,
dan syariah juga tidak hanya menjawab setiap peristiwa yang sifatnya sementara
saja seperti layaknya yang terjadi pada undang-undang konvensional, namun dia merupakan
jalan terang ilahi yang selalu mengikuti perkembangan kehidupan manusia secara
keseluruhan, mencelupkannya dengan racikan yang tertentu, serta mendorongnya
kepada kondisi menuju kesempurnaan dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam
yang diidam-idamkan”.
Sang
Imam membenarkan pendapat tamunya itu. “Terakhir, dapat kami sebutkan tentang
kebangkitan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mewujudkan tujuan
peribadatan dan membangun individu menuju pribadi yang baik dan masyarakat yang
salih. Lihatlah sejenak apa yang dilakukan oleh Nabi dari fase-fase dan
kedisiplinan untuk mencapai kapada tujuan ini, beliau telah mendakwahkan
manusia pada permulaan dan sebelum sesuatunya kepada iman dan hikmah dalam hati
mereka, lalu dikuatkan kembali dalam kaidah-kaidah yang lebih luas dan lapang,
lalu ditumbuhkan dan dibina pada mereka yang beriman kepadanya dengan ajaran
dan pembinaan sesuai dengan kondisi keimanan mereka secara bertahap melalui
ketaatan yang nyata Islam dan kebersihan akhlak taqwa-cinta kepada Allah dan
loyal kepadaNya Ihsan. Kemudian disyariatkan kepada mereka yang beriman dengan
ikhlas dan disiplin secara berkelanjutan untuk berusaha menghancurkan system
yang jahiliyah yang merusak dan menggantinya dengan system yang baru yaitu
Islam, berdiri diatas kaidah akhlak dan madani yang diambil dari undang-undang yang
telah diturunkan oleh Allah, Tuhan semesta alam.
Kemudian
setelah dengan nyata mereka beriman dan mau menerima seruannya dalam berbagai
aspeknya dengan hati dan akal, jiwa dan akhlak, bahkan dengan ideology dan
perbuatan mereka, sehingga mereka menjadi kaum muslimin yang bertaqwa dan
muhsinin secara benar, lalu mereka berjalan menuju perbuatan yang selayaknya
dilakukan oleh hamba-hamba yang muklis untuk dilakukan, demikian itulah Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, yang telah berhasil mengarahkan mereka
menuju kehidupan yang dihiasi dengan ketaqwaan, muhsin dalam etika, adab yang
sopan, baik dalam bergerak, berpakaian, makan dan minum, kehidupan sehari-hari,
berdiri dan duduk, dan lain sebagainya dari urusan-urusan yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari”.
Imam
Ghazali melanjutkan, “karakteristik masyarakat Islam ada empat bentuk sebagai
berikut :
Pertama Rabbani, pada sebelumnya kami telah sebutkan bahwa yang pertama
kali diletakkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam membangun
individu umat dan pembentukan masyarakat Islam adalah pengokohan akidah Islam
dalam sanubari umat dan yang menjadi pengarah utama pada ideology, suluk,
prilaku dan perbuatan mereka.
Maka
tidak diragukan lagi bagi pondasi ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan
suatu masyarakat disepanjang masa dan setiap tempat. Karena ketika pondasi ini
telah merasuk dalam jiwa setiap individu masyarakat dan dibentangkan
manhaj-manhaj yang harus dijalaninya, serta syariat yang memberikan jaminan
terhadap jiwa, kehormatan dan harta mereka. Memberikan batasan terhadap ibadah,
pemahaman dan syiar-syiar mereka dibawah satu naungan yaitu Al-Quran yang datang
dari yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji, dan sunnah Nabi sebagai penjelas
dari hukum-hukum dan syariat yang dibawa oleh Al-Quran.
Dan
masyarakat yang dibangun diatas pondasi-pondasi ini dan menyatu dalam setiap
individunya akidah yang bersih maka disebut dengan masyarakat rabbani yang
selalu menjadi jalan Allah yang telah diambil oleh Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam dan manhajnya sebagai tauladan dan cerminan dalam perjalanan
hidupnya demi menggapai ridlo Allah.
Komunitas
muslim pada masa awal masa nabi dan sahabatnya, merupakan komunitas masyarakat percontohan
dan tauladan yang baik, karena mereka dibangun diatas pondasi yang rabbani yang
diimplementasikan dalam akidah Islam dan diaktualisasikan dalam segala aspek
kehidupan; baik sosial, ekonomi, politik, muamalah dan lain sebagainya. Para
ulama menganggap mereka sebagai Penunggang Kuda disiang hari dan ahli ibadah
dimalam harinya, karena mereka menjadikan siang untuk mencari nafkah dan
menyebarkan dakwah islam demi mencari ridla Allah, dan menjadikan malamnya
untuk mendekatkan diri kepada Allah, beribadah dan membaca Al-Quran, shalat
sunnah, bersimpuh ditengah malam dengan penuh perasaan lemah dan butuh dihadapan
yang Maha Kuasa.
Karena
itu diantara karakteristik komunitas Islam adalah mujtama rabbani yaitu komunitas
yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar dan pondasi utama dalam pembangunan
dan pendiriannya, menjadikan syariat sebagai manhaj hidupnya. Jadi jika masyarakat
kontemporer ingin membentuk masyarakat yang islami dan menjadi taudalan bagi
masyarakat lainnya, maka hendaknya mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para sahabatnya.
Kedua Berperadaban, Sesungguhnya ayat yang pertama kali turun kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah motivasi kepada umatnya untuk
belajar dan membaca serta menelaah dari beberapa kejadian alam. Karena Islam
pada hakekatnya telah memberikan kesadaran kepada umatnya untuk belajar dan
menjadikan akal sebagai kunci menyelesaikan berbagai masalah, menjadikan ilmu
sebagai jalan untuk memahami sisi-sisi kehidupan dan sarana membangun peradaban
dan kemajuan jaman dan bahkan untuk membimbing umat kejalan yang lurus dan
jalan kebenaran.
Karena
itu jelas sudah bahwa Islam adalah risalah yang membawa pada pembangunan dan kemuliaan,
kekuatan dan kharisma, membawa pada peradaban dan kemajuan. Dimana suatu peradaban
tidaklah akan maju kecuali dengan ilmu dan akal, sementara mundurnya suatu umat
dan terancam pada kebangkrutan dan kehancuran karena kejahilan dan
mendisposisikan kekuatan akal.
Karena
itu Islam dan Al-Quran merupakan pintu revolusi dan pencerah ilmu dan
pengetahuan, penggamblangan secara nyata yang mengajak untuk memfungsikan akal
dan ideology, kehidupan untuk beramal dan berbuat, dan pengekplorasian sumber
daya alam.
Dengan
demikian Islam selalu menekankan untuk menuntut ilmu dan memfungsikan akalnya dan
mengajaknya dengan seruan yang nyata, karena ilmu dan akal merupakan
perangkat dan sarana untuk mencipta dan berkarya, dengannya kehidupan manusia
menjadi maju hingga pada titik peradaban yang pasti.
Dan
tidak cukup hanya disini, Islam juga mewajibkan kepada umat untuk menuntut ilmu
yang tidak kalah dengan kewajiban lainnya, sebagaimana ilmu dijadikan sebagai
tolok-ukur yang utama diterimanya keimanan seseorang, karena Allah dalam banyak
ayat-ayat-Nya sangat mencela taqlid dalam akidah dan tidak boleh taklid diwariskan
dalam masalah keyakinan.
Sebagaiman
ilmu yang diperintahkan Islam untuk dipelajari tidak hanya sebatas pada bidang keagamaan
saja, tapi mencakup berbagai bidang keilmuan; baik perundang-undangan,
perdagangan, adab (sastra), ilmu-alam, ilmu-ilmu terapan dalam bidang
perdagangan, industri dan pertanian, penggunaan ilmu-pengetahuan (teknologi),
sarana pengembang-biakan, produksi dan impor, semua itu merupakan fardlu
kifayah bagi setiap umat agar dapat mencapai kemajuan baik kedalam maupun keluar.
Lingkungan
muslim adalah kumpulan yang berperadaban, yang memandang ilmu sebagai sarana memakmurkan
bumi dan jalan menuju kemajuan, sebagaimana juga ilmu menjadi sarana pembersih
jiwa yaitu dengan menyatukan antara ilmu duniawi dan ukhrawi, antara materi dan
ruh, antara fenomena kehidupan dunia dan akhirat. Mereka memandang bahwa
berbagai ciri khusus sosial, agama, akhlak, tekhnologi dan seni yang terbentang
dibelahan dunia bukanlah satu-satunya jalan menuju kemajuan peradaban dunia
belaka namun juga sebagai sarana peningkatan kehidupan individu dan
kesuciannya, jalan untuk berta’ammul (berinteraksi
dengan islam dalam upaya membentuk kondisi dan sikap yang islami) dan tafakkur terhadap
berbagai kenikmatan yang telah Allah anugrahkan kepada mereka; baik yang hissiyah (mukjijat yang kasat mata) atau maknawiyyah (mukjijat
yang tidak dapat dilihat), sehingga dirasakan
akan ke-Esaan dan ke-Kuasaan Allah.
Islam
sangat memperhatikan ruh dan meteri, menjaga keseimbangan keduanya, tidak
melulu mengejar salah satunya. Ideology yang membangun, akhlak yang baik dan
mulia, akidah yang bersih, dan tidak mengenyampingkan satu sisi terhadap sisi
yang lainnya, sehingga perjalanan hidup manusia menuju peradaban tidak sia-sia
namun mampu lestari dan kontinyu demi kebaikan umat manusia secara keseluruhan.
Dan
diantara keistimewaan peradaban Islam adalah tidak mengenal akan adanya malas
dan tertutup, fanatik, ras dan suku, namun peradaban yang terbuka untuk kemaslahatan
umat manusia seluruhnya, sebagaimana Allah berfirman dalam menjelaskan tugas
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : ‘Tidaklah
Kami utus kamu kecuali sebagai pemberi rahmat untuk sekalian alam’. (Al-Anbiya
: 107).
Ketiga Mutawazin (Seimbang), Jika al-hadlarah
(kemajuan) yang dibangun Islam tegak diatas kesadaran fitrah
antara materi dan ruh, dan ikatan yang erat antara bumi dan langit, antara
perbaikan jasmani dan rohani, dan penyatuan tujuan antara kehidupan dunia dan
akhirat, maka disitulah letak keseimbangan antara berbagai perkara kehidupan
dunia.
Islam
pada dasarnya memiliki ciri khas tersendiri dan memiliki tonggak yang kuat
yaitu keseimbangan, keseimbangan dalam arahan-arahannya, yang dilestarikan dalam
berbagai tekanan dari berbagai arah, tidak berlebih-lebihan, dan mengalami
bentrokan dengan yang lainnya.
Dari
sini umat Islam juga dikenal dengan umat yang seimbang, yaitu umat yang tidak
mengenal akan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah atau berlebihan
dalam berbuat untuk memakmurkan bumi. Tidak memandang materi hanya untuk
kesenangan duniawi saja, tapi juga untuk memakmurkan dunia dan peradabannya,
membersihkan diri dari kotoran dan penindasan, melalui pembersihan hati setiap
individu dari pandangan sebelah mata terhadap kehidupan dunia. Al-Quran telah
memperingatkan kepada manusia untuk tidak melupakan kehidupan dunia dalam
rangka mencari kebahagiaan di akhirat, sebagaiman firman Allah : ‘Dan carilah kamu terhadap apa yang telah
Allah berikan untuk kebahagiaan di akhirat dan jangan kau lupakan
terhadap kehidupan dunia’. (Al-Qashash : 77).
Allah
juga berfirman : ‘Dan katakanlah (wahai
Muhammad) bekerjalah kalian, semoga Allah akan melihat perbuatan kalian, dan
rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, dan kalian akan dikembalikan kepada
Allah Yang Maha Tahu akan yang ghaib dan nyata lalu mengabarkan kalian apa-apa
yang telah kalian lakukan’. (At-Taubah : 105).
Allah
telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bersikap seimbang dalam segala hal,
baik akidah, ibadah, muamalah, interaksi atau yang lainnya, karena fitrah manusia
menunjukkan akan hal tersebut. Akidah misalnya, adalah merupakan pengejawantahan
antara fitrah basyariyah dengan akalnya, antara yang menjadi seruan di dalamnya
dan kerinduan. Tidaklah dianggap akidah yang benar terhadap sesuatu yang tidak
dikenal dan diketahui, antara yang menentramkan hati dan akal. Seperti
keyakinan terhadap dzat Allah; Wujud,
Wahdaniyah, Qudrah, Iradah dan lain sebagainya atau keberadaan dunia dengan
hakekatnya, sumbernya dan penciptaannya, serta hubungannya dengan sang-pencipta,
dan peribadatannya kepada-Nya, dan lain sebagainya atau tentang kehidupan
dengan berbagai macam bentuknya, jenisnya, dan tingkatannya serta hubungannya
dengan Penciptanya atau tentang manusia itu sendiri dari hakikatnya,
karakteristiknya, sumbernya dan tujuan diciptakan serta manhaj hidupnya semuanya
mesti menggunakan akal untuk mengenalnya, dan kembali pada logika yang jelas
dan gamblang, menentramkan akal dan hati. Ditopang dengan bukti-bukti yang
berkesesuaian dengan fitrah dengan penuh penerimaan dan ketundukan, sehingga
membawa pada apa yang dilakukan oleh manusia yaitu beribadah kepada yang menciptakan
manusia dan bumi ini.
Adapun
keseimbangan masyarakat muslim dalam ibadahnya adalah bahwa disaat setiap individu
melaksanakan perintah Allah yang berhubungan dengan ibadah mahdoh tidak dengan
berlebih-lebihan, atau kurang dan melampui batas, tidak ditambah dan tidak
dikurangi. Karena Allah tidak pernah memerintahkan suatu kewajiban kecuali atas
dasar kemampuan mereka itu sendiri, seperti firman-Nya : ‘Allah tidak membebani diri seseorang kecuali karena kemampuannya’. (Al-Baqarah
: 276).
Apa
yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam mereka ambil dan
mereka laksanakan dan apa yang dilarang mereka tinggalkan tanpa ada yang dilebihkan
atau dikurangi.
Keempat, Tidak apartheid, Masyarakat Islam juga dibangun atas dasar agama dalam
segala aspeknya, baik dalam pandangannya, geraknya, tujuan dan misinya,
masyarakat yang tidak mengenal perbedaan ras atau suku, tidak terbatas hanya
pada satu negara tertentu dan warna kulit, tapi merupakan masyarakat yang luas
yang hanya bersumber pada satu titik perbedaan yaitu taqwa dan iman kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Masyarakat
Islam adalah kumpulan yang bebas dan terbuka, yang dapat dimiliki oleh individu,
kelompok dan bangsa sekalipun, semuanya bisa masuk dan bergabung didalamnya
tanpa harus ada rekomendasi atau izin, ikatan dan syarat tertentu, tidak ada
batas dalam jenis kelamin, warna kulit, bahasa dan batas territorial.
Manusia
dalam pandangan Al-Quran adalah sama, tidak ada perbedaan darah, keturunan, ras
dan bahasa kecuali taqwa dan amal salih, seperti yang diisyaratkan oleh Allah
dalam firman-Nya : ‘Wahai sekalian manusia
sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan wanita, dan Kami jadikan
berbangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal, sesungguhnya yang
peling mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui dan Maha Mendengar’. (Al-Hujurat : 13).”.
Togog
menitikkan air mata seusai mendengar penjelasan uraian sang Iman Agung Ghazali,
ingatannya hanyut pada ingatan akan masyarat dimana sang Nabi Agung Muhammad
dan para Sahabat hidup dan bersosialisasi. Penjelasan Sang Imam tidak jauh
berbeda dengan yang pernah disaksikan pada masa Nabi saw. masih hidup. Togog
tidak dapat menahan gejolak perasaan yang berkecamuk dalam dadanya, dia segera
berujar: “Pernahkah kita mengamati teman, saudara atau kenalan yang memiliki
latar belakang sangat berbeda? Seringkali kita menemui orang-orang yang berbeda
latar belakang dari segi keturunan, kemampuan ekonomi, dan tempat tinggal bisa
tumbuh menjadi orang yang sangat berbeda satu sama lain. Hal ini salah satunya
dipengaruhi oleh sistem stratifikasi sosial yang ada di masyarakat.
Masyarakat
saat dibatasi pelapisan yang berdasarkan pada kriteria sosial, yaitu masyarakat
terdiri atas beberapa pelapisan berupa kelas sosial atau kasta. Istilah kelas
sosial antara lain digunakan untuk pelapisan berdasarkan kriteria ekonomi
maupun sosial. Tipe kasta memiliki sistem stratifikasi dengan garis pemisah
yang kaku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat berkasta dan
hampir tidak memungkinkan tiap individu untuk bergerak secara vertikal untuk
naik kasta. Di tatanan paling atas ditempati penguasa tertinggi seperti raja.
Di lingkup sekitarnya terdapat kaum bangsawan, tentara, dan para pemuka agama.
Pelapisan kedua ditempati oleh kalangan pekerja seperti petani, dan pelapisan
terendah terdiri atas para budak.
Tipe
oligarki memiliki tipe stratifikasi yang menggambarkan garis pemisah yang
sangat tegas di antara strata. Akan tetapi, perbedaan antar strata satu dengan
strata lain tidak begitu mencolok. Walaupun kedudukan para warga masyarakat
masih banyak didasarkan kepada aspek keturunan, akan tetapi individu masih
diberikan kesempatan untuk naik ke strata yang lebih atas. Contohnya bisa
dilihat dari kelas menengah yang mempunyai warga paling banyak, seperti
masyarakat di industri, perdagangan dan keuangan yang memegang peranan lebih
penting di masyarakat. Ada bermacam-macam cara warga dari strata bawah naik ke
strata yang lebih atas dan juga ada kesempatan bagi warga kelas menengah untuk menjadi penguasa.
Tipe
demokratis adalah tipe ketiga dengan garis pemisah antar lapisan yang sifatnya
fleksibel. Faktor keturunan tidak menentukan kedudukan atau tinggi-rendahnya
status seseorang, namun yang diutamakan adalah kemampuannya dan kadang-kadang
juga ditambah dengan faktor keberuntungan”.
“Saudaraku
Togog ingin menguraikan, bahwa pengelompokkan sosial juga tetap dapat terjadi
adanya perubahan sosial kearah kemajuan. Ruang lingkup perubahan sosial terdiri
dari unsur-unsur kebudayaan baik material dan immaterial. Fokusnya ialah
pengaruh besar unsur material terharap unsur immaterial”, Semar menambahkan
penuturan Togog.
“Perubahan
sosial itu sebagai wujud perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu
masyarakat. Perubahan sosial merujuk pada modifikasi dalam pola kehidupan
manusia. Modifikasi tersebut bisa terjadi karena sebab dari internal dan
eksternal yang mengakibatkan perubahan. Definisi perubahan sosial merujuk pada
perubahan lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang berpengaruh
pada sistem sosialnya. Perubahan ini mencakup nilai-nilai, sikap, dan pola
perilaku. Perubahan sosial merupakan wujud perubahan dalam struktur sosial dan
pola hubungan sosial. Termasuk didalamnya ialah sistem politik, sistem
kekuasaan, hubungan keluarga, dan kependudukan. Perubahan sosial adalah
perubahan yang terjadi baik kemunculan, perkembangan, bahkan kemunduran, dalam
kurun waktu tertentu terhadap tatanan yang meliputi struktur sosial. Perubahan
sosial ialah suatu hal yang tetap dan selalu ada dalam alam semesta. Masyarakat
generasi baru tidak mungkin meniru atau mengambil-alih kebudayaan generasi
sebelumnya. Generasi baru pasti selalu menginginkan perubahan.
Kasta
yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang atau orang-orang ahli dalam
bidang tertentu. Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan dirinya dalam urusan
bidang spiritual seperti sulinggih, pandita dan rohaniawan. Selain itu
disandang oleh para pribumi.
Kasta
Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang
menyandang gelar ini tidak memiliki harta pribadi semua harta milik negara.
Kasta
Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta benda sendiri petani,
nelayan, pedagang, dan lain-lain.
Kasta
Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya.
Sedangkan
di luar sistem kasta disebut Kaum Paria, golongan orang rendahan yang tugasnya
melayani para Brahmana dan Ksatria. Kaum Candala, golongan orang yang berasal
dari Perkawinan Antar Warna, bangsa asing.
Agama
diartikan suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang ‘moralitas sehari-hari’
yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Agama saat cenderung
seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada
seperangkat keyakinan yang baku dan seragam. Agama mengenal ‘darma abadi’ atau
‘jalan abadi’ yang melampaui asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban
‘kekal’ untuk diikuti oleh seluruh umatnya, tanpa memandang strata, kasta, atau
sekte, seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.
Seakan
agama itu upaya peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan,
dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya
meliputi agama-agama masa peradaban suatu lokasi tempat, dan tradisi lokal yang
populer. Atau dipercaya sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren
dan independen, yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi.
Sedangkan
praktik keagamaan meliputi ritus sehari-hari (puja atau sembahyang dan
pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum
petapa yang disebut orang suci memilih untuk melakukan tindakan yang lebih
ekstrem daripada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan
melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Budaya
sastra yang dipakai sebagai sarana penyampaian dan perwujudan praktik ritual,
dikelompokkan ke dalam dua kelompok: apa yang ‘terdengar’ dan apa yang ‘diingat’.
Sastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, kurban, prosesi ritual, dan
bahkan kaidah arsitektur agama”, sambung Semar.
“Jelaslah
hampir banyak kemiripan dalam bersosialisasi secara agama, kembali bergantung
kepada kita, bagaimana cara melaksanakan hidup beragama yang benar menurut
ajaran dan aturan-aturan yang tertulis dalam kitab-kitab suci agama tersebut. Tuan-tuan
berdua sudah begitu dalam membandingkan agama dimasa tuan-tuan dengan agama
Islam, apalagi dalam bimbingan Nabi Agung Muhammad saw. dan para sahabatnya.
Jadi beberapa pemahaman dapat dengan cepat kita bandingkan dan dikomentari
untuk koreksi”, tutur sang Imam kagum.
Ijinkan
saya melanjutkan, kata Imam Ghazali ramah. “Kita banyak berbicara tentang
masyarakat Islam. Bahkan dengan penuh keyakinan kita bercita-cita ingin
membentuk masyarakat itu, Tapi sungguh tragis kadang-kadang kita tidak tahu
seperti apa masyarakat dimaksud dan seperti apa wujud masyarakat Islam itu?. Masyarakat
adalah kelompok manusia yang tetap cukup lama hidup dan bekerja bersama,
sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir mengenai dirinya
sebagai kesatuan sosial, yang mempunyai batas-batas tertentu. Pada masyarakat,
ada semangat yang sama yang berfungsi menyatukan. Jadi yang dimaksud masyarakat
Islam adalah masyarakat dengan semangat Islam sebagai penyatunya. Masyarakat
Islam mempunyai sebutan khusus yaitu ‘ummat’.
Ummat
adalah kata yang sarat dengan semangat progresif serta menyandang pandangan
yang dinamis, komited dan ideologis. Kerangka dasar ummat adalah ekonomi,
kemakmuran, karena miliki semangat kerja yang prima, yang tidak menghayati
kehidupan duniawi, maka iapun tidak akan menikmati kehidupan bath ini. Ke arah
sana langkah kita ayunkan mulai dari pembinaan diri, keluarga, masyarakat dan
selanjutnya membentuk ummat yang kita idam-idamkan.
Seperti
apa wujud Masyarakat Islam itu. Kalau melihat pengertian masyarakat Islam di
atas, ternyata masyarakat Islam bukan sekedar masyarakat orang-orang Islam.
Tapi masyarakat dengan semangat Islam membentuk tatanan-tatanan yang bersumber
dari hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tatanan-tatanan tersebut minimal
bersendikan : Tauhidullah, Ukhuwah Islamiyyah, Persamaan dan kesetiakawanan, Musyawarah
dan Tasamuh, Jihad dan amal shaleh dan Istiqamah.
Artinya
setiap individu yang merasa menjadi anggota masyarakat Islam semestinya
mendasarkan hidupnya pada perinsip tauhid – mengesakan Allah – Dan tercermin
dalam seluruh segi kehidupannya. Tauhid dalam mencari nafkah dan berekonomi,
yaitu keyakinan tidak ada Zat yang memberi rizki dan pemilik mutlak dari
seluruh alam semesta kecuali Allah (QS. Al Baqarah 204 dan QS. An Nur 33). Tauhid
dalam kegiatan dakwah dan pendidikan, yaitu keyakinan tidak ada zat yang dapat memberi petunjuk kecuali Allah
(QS. Al Qasas 56 dan QS. An Nahl 37). Kegiatan berpolitik, yaitu suatu
keyakinan tidak ada penguasa yang paling mutlak dan maha adil kecuali Allah,
juga kekuasaan dan kemulyaan yang diperoleh semata-mata hanya datang dari
Allah. (QS. Ali Imran 26 dan QS. Yunus 65). Pelaksanaan hukum, yaitu keyakinan
bahwa hukum yang mutlak benar dan adil adalah hukum yang datang dari Allah (QS.
Yusuf 40 dan 67). Sikap hidup secara keseluruhan, termasuk ucapan-ucapan
sebagai ungkapan hati dalam menerima peristiwa sehari-hari. Tidak ada yang
patut ditakuti kecuali Allah. (QS. At Taubah l8, QS. Al Baqarah 150). Tidak ada
yang patut dicintai secara mutlak kecuali Allah (QS. At Taubah 24). Tidak ada
yang dapat menghilangkan kemadharatan dan tidak ada yang dapat memberikan
karunia kecuali Allah (QS. Yunus 107, QS. Ali Imran73). Bahkan tidak ada yang
dapat menghilangkan nyawa kecuali Allah (QS. Ali Imran 145). Seorang anggota
masyarakat Islam, akan senantiasa mengihlaskan seluruh hidupnya untuk beribadah
kepadaNya serta tetap menjaga kesucian amaliahnya baik lahir maupun bathin (QS.
Al An’am 162-163, QS. Al Bayyinah 5).
Dengan
sendi Tauhidullah, anggota-anggota masyarakat Islam berpandangan hidup yang
sama, sehingga terjelmalah pertautan hati satu sama lain yang melahirkan ikatan
persaudaraan di atas budi pekerti, akhlak yang mulia. Terkikis penyakit
egoisme, individualisme serta materialisme yang hanya mementingkan diri
sendiri, Firman Allah menegaskan dalam Al Qur’an : ‘Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara’. (QS. Al Hujurat 10).
‘Dan Allah mempersatu-padukan di antara
hati mereka, yang andai kata engkau belanjakan seluruh isi bumi tidaklah engkau
mampu mempersatukan di antara mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha
Bijaksana’. (QS. Al Anfal 63).
Lebih
jauh Islam mengajarkan, berbeda bangsa, berbeda kulit, berbeda bahasa dan
berbeda budaya diupayakan untuk saling mengenal dan memperkaya batin
masing-masing. Ibadah-ibadah khusus dalam Islam, bila kita simak secara teliti
ternyata ujungnya adalah kebaikan bermasyarakat.
Bila
hidup menyadari sebagai hamba Allah, maka hanya Allahlah Yang Maha Kuasa dan
Maha Mulia, dirinya hanya sebagai hamba, tidak akan terbetik dari hatinya
perasaan lebih mulia dari sesamanya. Perasaan ini akan menumbuhkan persamaan dan kebersamaan,
menumbuhkan kesetiakawanan yang bersumber dari kedalaman lubuk hati yang
diteduhi iman. Cintanya kepada sesama manusia merupakan wujud kecintaan pada
Allah, yang didorong oleh sabda Nabi : ‘Sayangi
apa-apa yang ada di bumi, engkau akan disayangi oleh yang menaungi di langit’.
Hadits. Perbedaan-perbedaan
yang tampak, akan dijadikan sarana untuk saling melengkapi dalam memenuhi
kebutuhan, bukan untuk saling menghancurkan.
Selanjutnya
apabila persamaan dan persaudaraan yang berdasar keimanan telah tumbuh dengan
subur, maka segala usaha serta tindakan-tindakan dalam masyarakat senantiasa
akan dilihat dari segi kepentingan umum dan untuk kepentingan bersama. Berbagai
pendapat mungkin terjadi, bahkan pasti terjadi, tetapi semua itu tidak akan
menimbulkan konflik yang akan menjadi gangguan ketentraman bersama. Musyawarah
menjadi tradisinya, saling menghormati menjadi hiasan pergaulannya, Firman
Allah dalam Al Qur’an : ‘Mereka menyambut
ajaran yang datang dari Tuhannya, mendirikan shalat, musyawarah dalam
urusan-urusannya, dan mereka menginfakkan sebahagian dari rizkinya’. (QS.
Asy Syura 38). Seorang mukmin tidak bakalan merasa benar sendiri, ia menyadari
bahwa dirinya tidak mungkin sempurna, ia akan senantiasa mencari kebenaran
serta mempertimbangkan nasihat dan pendapat orang lain.
Lebih
dalam kepada sikap dan pengalaman beragama, contoh jihad, mengandung arti
bekerja dengan kesungguhan hati, berusaha mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
Itulah yang merupakan karakter seorang mukmin. Ia terus bekerja dan berusaha menciptakan kesejahteraan untuk
dirinya, keluarganya dan masyarakatnya serta bangsa dan negaranya sebagai wujud
amal shalehnya. Tepatlah ungkapan Nabi bahwa Mukmin itu seperti lebah, energik,
disiplin, memberi manfaat dan tidak merusak lingkungan.
Dan
pendirian dalam beragama (Istiqomah), artinya lurus terus, tetap memegang dan
memperjuangkan kebenaran yang datang dari Allah. Ia tidak akan meleleh karena
panas, tidak akan beku karena dingin, tidak akan lapuk karena hujan dan tak
akan lekang di terik sinar matahari. ‘Katakan
aku beriman kepada Allah, kemudian luruslah senantiasa’, demikian jawab
Nabi kepada sahabatnya yang meminta nasihat. Jiwa orang yang istiqomah akan
senantiasa tenang, tidak ragu, tidak
gentar apalagi takut menghadapi berbagai tantangan. Keteguhan hati serta
kepercayaan diri yang mantap merupakan faktor yang sangat menentukan
keberhasilan dalam mengayuh serta meniti hidup yang penuh rintangan.
Insya
Allah masyarakat yang bersendikan enam pokok tersebut di atas. Akan mewujudkan
masyarakat yang makmur dalam keadilan yang adil dalam kemakmuran. Serta rahmah,
berkah dan keridlaan Allah senantiasa tercurah di atasnya. Terhadap mereka yang
berlainan keyakinan, Islampun melalui Nabinya memberi teladan yang baik. Islam
dapat hidup berdampingan dengan damai bersama siapa saja asal mereka tidak
beritikad jelek. Sebagai khalifah di muka bumi Islampun mengamanatkan agar kita
mampu menciptakan surga yang dahulu ditinggalkan Adam dan Hawa di dunia ini,
untuk selanjutnya menggapai surga yang dijanjikan Allah di Akhirat nanti.
Bagaimana
mewujudkan Masyarakat Islam yang Ideal.
Masyarakat
Islam yang ideal sudah pernah terwujud pada masa Rasulullah saw. di Madinah.
Mereka mendapat predikat khaeru-ummah, masyarakat terbaik atau utama. Gelar ini
diperoleh, karena umat Islam pada periode awal di bawah kepemimpinan Nabi saw
mampu memadukan keshalehan ritual dengan memperkokoh keimanan di dalam masjid
dan keshalehan sosial dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan
kepada kebajikan dan melarang dari kemunkaran) di tengah-tengah masyarakat.
Allah
SWT berfirman: Artinya: ‘Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik’. (QS.
Ali-‘Imran - 110). Mengacu kepada ayat di atas, ada tiga upaya atau gerakan
untuk mewujudkan masyarakat Islam yang ideal. Pertama, gerakan humanisasi,
yaitu upaya memanusiakan manusia. Ini tercermin dari gerakan amar ma’ruf,
memerintahkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Karena pada hakikatnya,
manusia itu sangat mencintai dan menginginkan kebaikan. Maka untuk mencapai
derajat kemanusiaannya yang sempurna, manusia harus bisa menanamkan dan
mengimplementasikan kebaikan-kebaikan demi kemaslahatan hidupnya.
Kedua,
gerakan liberasi, yakni upaya membebaskan manusia dari belenggu-belenggu
kejahatan dan kemunkaran. Derajat manusia dapat terdegrasi ke lembah yang
paling hina, karena perbuatan-perbuatan jahat dan maksiatnya. Oleh karena itu,
demi mempertahankan derajat kemanusiaannya, manusia harus dapat membebaskan
kehidupannya dari berbagai perbuatan jahat dan maksiat yang dapat mengundang kehinaan dan kemurkaan dari Allah
SWT.
Ketiga,
gerakan transendensi, yakni upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah
SWT, melalui ibadah-ibadah yang dilakukan. Untuk memelihara kesempurnaannya
sebagai insan kamil, manusia tidak bisa lepas dari melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama yang diperintahkan. Keimanan bukan hanya tersimpan di
dalam hati, tetapi harus dingejawantahkan dalam sikap dan perbuatan
sehari-hari. Di sinilah pentingnya manusia memperkokoh keimanannya dengan
melaksanakan kewajiban-kewajiban ibadah kepada Allah SWT.
Mudah-mudahan
dengan melakukan ketiga upaya ini secara terus menerus dalam kehidupan, dapat
mewujudkan masyarakat Islam yang ideal di bumi nusantara ini. Aamin…. Wallaahu
A’lam Bish-Shawwab”.
Semar
mencoba menyimpulkan, “Yang terpenting untuk kita perhatikan adalah bahwa
masyarakat itu terbentuk tidak hanya dari kumpulan individu-individu saja.
Kalau hanya individu-individu berkumpul, apakah mungkin kehidupan masyarakat
itu dapat hidup terus menerus? Cobalah kita lihat orang yang berkumpul bersama
untuk berlayar dengan sebuah kapal, apakah kumpulan orang tersebut bisa disebut
sebagai masyarakat? Begitu meraka sampai tujuan, mereka akan berpisah, menuju
tempatnya masing-masing. Begitu juga dengan kumpulan orang dari berbagai daerah
yang pertandingan olah-raga, apakah mereka dapat disebut masyarakat? Tentu saja
tidak. Dengan demikian ada unsur paling penting untuk membentuk sebuah
masyarakat daripada sekedar kumpulan individu-individu saja. Apa unsur yang
paling penting tersebut?
Ternyata
unsur terpenting tersebut ialah ikatan. Ikatan yang bagaimana? Ikatan yang
dapat menjamin hubungan interaksi antar anggota masyarakat tesebut agar dapat
berjalan terus menerus. Bila ikatan itu tidak bisa menjamin hubungan interaksi
masyarakat berlangsung secara terus menerus, maka kumpulan masyarakat itu akan
pecah, bubar dan berantakan. Yang menjadi pertanyaan berikutnya ialah apakah
unsur-unsur yang membentuk ikatan masyarakat itu? Unsur pengikatnya ialah
kesamaan pemikiran, perasaan dan peraturan dari segenap anggota masyarakatnya.
Artinya, jika dalam masyarakat tidak ada kesamaan pemikiran, perasaan dan
peraturan dari segenap masyarakatnya, maka dijamin masyaratkat itu akan cepat
bubar, dan kemungkinan besar akan terjadi kekacauan.
Jadi
definisi masyarakat dengan lebih komprehensip, adalah masyarakat adalah
sekumpulan individu-individu manusia di suatu wilayah tertentu, yang memiliki
hubungan interaksi secara terus menerus, karena mempunyai kesatuan pemikiran,
perasaan dan peraturan. Mengapa unsurnya adalah adanya kesatuan pemikiran,
perasaan dan peraturaan? Mungkinkah unsur-unsur tersebut dapat disatukan atau
disamakan?.
Maka
penjelasannya begini, yang dimaksud dengan kesatuan pemikiran ialah adanya
kesamaan dalam menilai tentang baik atau buruknya sesuatu hal. Kesatuan
perasaaan terkait dengan hal suka atau tidak suka. Jika pemikirannya sudah
memiliki standar baik buruk maka perasaan tinggal mengikuti. Selanjutnya
bagaimana dengan aspek kesatuan peraturan? Jika seluruh standar penilaian dari
segenap anggota masyarakatnya dilegalisasikan dalam bentuk peraturan, maka
ikatan yang terjadi akan menjadi lebih kuat lagi. Karena hal ini akan
memunculkan unsur sangsi di dalamnya.
Harus
terjadi interaksi secara terus menerus dengan adanya sebuah ikatan, ikatan
tersebut terwujud dengan adanya: kesatuan pemikiran, perasaan dan peraturan. Dengan
demikian, maka masyarakat tuan Imam sebagai masyarakat Islam, dapat dimaknai
sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam ikatan Islam yakni memiliki
pemikiran Islam, perasaan Islam, dan peraturan Islam, sehingga mereka dapat dan
mau mengamalkan nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam melalui ajaran dari
Al-Qur’an dan as-sunah”.
Imam
Ghazali mendekap kedua tangan Semar dan Togog erat-erat, seakan-akan tidak ingin terjadi
perpisahan diantara mereka saat itu. Sang Iman memandang kedua tamunya seakan memandang cermin
yang memantulkan semua pemahaman Ihya Ulumiddin kepada permukaan bidang datar
luas tak bertepi putih seputih langit diatas mega. Karena beliau seperti
memandang kembali dirinya yang terpantul dari tulisan-tulisannya akan kebenaran
agung Islam warisan dari Nabi Agung Muhammad saw.
Sebaliknya
Semar dan Togog yang mendapat pencerahan dari penjelasan Imam Ghazali, merasa
wangsit dan Catatan Akhasic alam semesta yang sudah mereka telaah dan miliki
serta dipahami, sebagai catatan konsep yang perlu penyempurnaan. Upaya membedah Catatan Akhasic adalah upaya untuk mengikuti
jejak upaya Azazil selama bersama Para Malaikat di alam Sidratul Muntaha,
dimana dia mendapat pengetahuan Akhasic tsb. Kini mereka mendapat kenyataan
bahwa pengetahuan makro kosmos dari Akhasic adalah tidaklah cukup memenuhi untuk keseimbangan
alam. Diperlukan pengetahuan mikro kosmos untuk menyeimbangan tatanan alam yang
sudah terbentuk, yang disebut ‘Akidah”. Maka keduanya mempersilahkan Sang Imam
Agung untuk melanjutkan membedah Ihya Ulumiddin buku-2.
Ceritanya Mohon Di Unggah
ReplyDelete